Cerita ini ada sequel dari Dendam Dokter Aruna♡♡
■
■
"Kenapa mereka harus berbarengan, sih," omel Kiano pada Aruna yang terpaksa bergantian membantu ketiga teman Kiano melahirkan dengan melakukan operasi caesar di hari yang sama.
Alva, Glen dan Arga. Ketiganya meminta Aruna menolong istri mereka untuk melakukan pendampingan dalam operasi caesar. Aruna memang sudah biasa melakukannya.
Glen dan Arga mendadak bersikap aneh, ingin hari lahir anak pertama mereka berbarengan. Jadi bisa merayakan ulang tahun bersama sama.
Tapi Kiano takut Aruna kelelahan karena mereka hanya memberi jarak dalam beberapa jam saja untuk proses kelahiran anak anak mereka.
Alva dan Tamara mendapat prioritas karena anak mereka kembar dan sudah terdapat tanda tanda akan melahirkan.
"Do'akan ya, " kata Aruna sabar. Putra mereka-Kendra yang baru berumur beberapa bulan sudah dititipkan pada orang tua Kiano.
"Tolong ya, Aruna," pinta Alva memohon.
"Jangan lupa ke istri kita, Aruna," ujar Glen yang diangguki Arga.
"Kalian, kan, bisa nunggu besok," sinis Kiano sebal.
Glen dan Arga sama sama memberikan cemgirannya.
Begitu tau Tamara harus dioperasi hari ini, keduanya pun membujuk istri istri mereka agar mau dioperasi juga pada hari ini. Kebetulan HPL mereka ngga jauh beda.
"Seru ntar tiap ulang tahun anak anak kita bisa berbarengan. Kita juga bisa kumpul," ucap Arga merespon ringan.
"Iya, jadi mereka bisa ulang tahun rame rame," tambah Glen penuh semangat. Untung saja istri istri mereka setuju.
Hanya Dinda, istri Regan yang enggan. Dinda bersikukuh ingin melahirkan secara normal, ngga mau operasi.
Kiano hanya bisa membuang nafasnya kesal. Dia mengelus lengan kanan Aruna. Dalam hati bersyukur karena Aruna ngga pernah menolak keinginan aneh sahabat sahabat tengilnya.
"Iya, sabar, ya. Sebaiknya istri istrinya ditungguin," kata Aruna sambil melepaskan pegangan Kiano. Aruna pun mengecup pipi Kiano sebelum masuk ke ruangan operasi. Tamara sudah berada di dalam. Alva pun mengikuti Aruna. Dia ingin bersama Tamara di saat saat yang mendebarkan ini.
Glen dan Arga menepuk bahu Kiano berbarengan.
"Gue balik ke kamar dulu," kata Arga pamit. Dia ingin mendampingi Qonita yang saat ini ditemani Arik dan istrinya. Juga mami dan papi mereka.
"Gue juga," sambung Glen. Rain saat ini juga ditemani mama dan papanya, juga orang tuanya. Dia dan Arga sengaja ingin menguatkan hati Alva yang istrinya di operasi lebih dulu makanya menemani Alva sebelum masuk ke ruang operasi.
Alva terlihat stres. Apalagi dia dan keluarganya ngga nyangka kalo Tamara akan melahirkan hari ini. Untung support para sahabatnya selalu ada untuknya, jadi dia ngga merasa sendiri.
Apalagi keduanya punya ide ajaib ingin lahiran secara bersamaan di hari ini membuat tekanan batinnya jauh berkurang.
"Oke."
Selepas kepergian keduanya, Kiano duduk menyandar dengan kedua tangan di atas kepalanya.
"Kendra udah bisa apa?" tanya Regan yang tiba tiba muncul dan ikutan duduk di samping Kiano.
"Baru mau tengkurap," kata Kiano dengan senyum di bibir. Kekesalannya langsung hilang jika mengingat wajah menggemaskan putra kecilnya.
Regan pun tersenyun mendengarnya. Membayangkan putranya yang sedang menunggu waktu satu bulan lagi sesuai dengan HPL istrinya.
"Tamara mengalami kehamilan yang cukup susah juga, ya," komen Regan mengingat Alva yang bolak balik mengurusi Tamara opname di rumah sakit.
Kasian Tamara. Hamil ini membuatnya lemah. Salutnya Alva selalu siap berada di samping Tamara, kapan pun istrinya membutuhkan.
Segala meeting akan dia cancel jika.memdapat panggilan darurat dari Tamara.
"Mungkin karena anaknya kembar," jawab Kiano berusaha memaklumi.
Bahkan Alva memgatakan padanya kalo dia sudah sangat bersyukur karena Yang Di Atas sudah langsung memberikannya dua anak laki laki sekaligus. Akan dijaganya dengan baik. Dan dia ngga akan menambah anak lagi yang bisa membuat Tamara menderita.
"Gimana rasanya punya anak kembar, ya?" tanya Kiano beralih menatap Regan yang masih tersenyum.
"Lo pengen?" ledek Regan terkekeh.
Kiano pun terkekeh.
"Pengen, sih. Tapi melihat penderitaan Tamara, jadi berpikir seribu kali," ucapnya di sela kekehannya.
"Betul," balas Regan.
Ngga bisa dia bayangkan Dinda semenderita itu. Apalagi fisik Dinda maupun Aruna lemah sebagai perempuan. Beda dengan fisik Tamara. Dia atlet karate profesiomal.
"Alva bisa pusing tujuh keliling ntar ngadepin anak anaknya," gelak Kiano dibalas Regan.
"Apalagi kalo kelakuannya sama dengannya," tambah Regan.
Tentu saja mereka sangat hapal kelakuan Alva dulu sebelum nikah.
"Gue agak berharap semoga ada sifat galak Tamara dalam diri putra kembar mereka," sambung Regan lagi. Tawa keduanya pun semakin pecah walau ditahan agar tidak terlalu keras.
"Regan, kalo anak lo cewe, mau ngga lo jodohin sama anak gue, si Kendra?" tanya Kiano setelah tawa mereka usai
"Haa? Lo serius? Anak gue msih di dalam perut lagi," tawa Regan merasa aneh dengan kata kata Kiano.
Lagi pula apa anak anak mereka mau dijodohkan? Mereka dulu aja menolak.
Kiano pun tertawa mendengarnya.
"Gue ngerasa anak lo bisa meredam tingkah laku anak gue. Kayak lo sama Dinda," ledek Kiano.
Ya ya, Regan mengerti sekarang maksud perjodohan ini. Dia yang brengsek bisa takluk dengan Dinda yang kalem.
"Kalo anak anak kita setuju, kenapa engga," tukas Regan seruju. Kedua sahabat ini pun tertawa mengekeh sambil menunggu kelahiran putra kembar Alva.
*
*
*
"Selamat, Tamara," bisik Aruna ketika melihat dua orang putra Tamara sudah lahir dengan selamat.
Alva pun meneteskan air mata. Kedua orang tua mereka masih dalam perjalaman menuju rumah sakit, pesawat mereka baru saja landing.
Karena kabar Tamara akan melahirkan, kedua orang tua mereka mempercepat kepulangan mereka untuk menyambut cucu cucu pertama mereka.
Harusnya Tamara melahirkan masih tiga atau lima hari lagi berdasarkan HPL, tapi sudah ada tanda tanda kedua bayi itu pengen lahir tanpa mau di tunggu kedua oma dan opanya.
"Ya, Runa," jawab Tamara walau lemah tapi wajahnya terlihat berseri seri. Apalagi melihat suaminya yang menangis haru.
"Makasih, sayang," kata Alva kemudian mengecup kening istrinya.
Hati Tamara bergetar karenanya. Mengingat kesabaran dan ketelatenan Alva dalam menghadapi kondisi dirinya yang lemah.
Alva sudah menunjukkan kalo dia sangat pantas menjadi papa karena tanggung jawabnya merawat dirinya buah hati mereka saat masih berada dalam rahimnya.
Alva selalu menemaninya bahkan sampai membawa pekerjaannya ke rumah sakit. Bahkan meeting pun di lakukan melalui aplikasi online karena hampir setiap bulan selama kehamilan Tamara harus opname di rumah sakit.
"Ayo, kita pindahkan pasien," titah Aruna pada tim medis lainnya. Dia dan para dokter harus beristirahat sebentar saja karena sebentar lagi giliran Arga.
Ingin rasanya Aruna mengetok kepala kedua sahabat Kiano yang punya keinginan nyeleneh, ingin punya anak yang ulang tahunnya berbarengan.
Paling Dinda dan Rain yang beda. Kalo Dinda tinggal menghitung hari dan menginginkan persalinan normal, sedangkan Rain masih dua bulan lagi baru akan melahirkan. Sekarang baru masuk tujuh bulanan.
"Kamu lelah?" tanya Kiano saat Aruna menyandarkan kepalanya di dadanya.
"Yah, lumayan lah," ucap Aruna sambil memejamkan mata.
Hari mulai sore. Ketiga persalinan teman teman Kiano telah di lalui Aruna hanya dalam rentang waktu beberapa jam saja.
"Kendra rewel ngga ,ya?" gumamnya dengan mata terpejam.
"Kata mami, sih, engga. Asi kamu masih cukup, kok," kata Kiano lembut.
"Asi yang tadi sudah dikirim ke rumah?"
Setelah proses kelahiran putra kembar Alva dan Tamara, Aruna senpat memompa asinya. Begitu juga setelah kelahiran putra Arga.
'Sudah. Mami yang langsung terima," jawab kiano menenangkan. Aris yang dimintanya mengantarkan langsung asi itu ke rumah. Kiano ngga bisa mempercayai orang lain.
Kiano menempelkan dagunya di puncak kepala Aruna.
"Syukurlah Armita bisa normal, ya," ucap Aruna kemudian membuka matanya dan tersenyum lega.
"Stres kali Kak Mita ngadepin si Glen," kekeh Kiano.
Aruna pun terkekeh.
"Udah ada empat cowo mungil yang lahir, dan baru satu cewe," sela Aruna dalam deraian tawanya.
"Aku minta ke Regan kalo anaknya cewe, buat jadi istri Kendra. Kamu setuju, kan?"
Aruna menegakkan tubuhnya sambil menatap Kiano dengan tatapan serius.
"Kamu ngomong gitu?" tanya Aruna ngga percaya.
Masalahnya mereka belum tau jenis kelamin anaknya Regan dan Dinda. Pasangan itu ngga mau menanyakan identitas bayi mereka pada dokter kandungannya. Katanya mau buat surprise.
"Iya. Apa aku salah?" tanya Kiano seakan baru sadar harusnya dia memgatakannya dulu pada Aruna sebelum memutuskannya pada Regan.
"Setuju, sih. Tapi kalo bisa jangan dipaksa," senyum Aruna membuat Kiano lega. Tadi dia sempat berpikir Aruna akan marah padanya.
"Itu sudah pasti."
Keduanya pun sama sama melebarkan senyum mereka. Kemudian Kiano menarik kepala Aruna agar berisitirahat di dadanya seperti tadi.
Aruna menurut dan memejamkan matanya.
"Kamu mau ngga punya bayi kembar seperti Alva dan Tamara?" usik Kiano beberapa saat kemudian.
"Sedikasihnya aja, sih," jawab Aruna pelan. Hatinya pengen tapi juga takut melihat proses kehamilan Tamara yang cukup mengkhawatirkan.
"Jadi nanti kita bakal ngasih adik, nih, buat Kendra?" goda Kiano sambil mencubit ujung hidung Aruna gemas.
Aruna hanya melebarkan senyum di bibirnya sambil menyembunyikan wajahnya di dada Kiano.
*
*
*
Reno dan Rain kini mengunjungi Glen dan Armita di kamarnya yang hanya bersebelahan dengan kamar Arga dan Qonita. Mereka pun sudah mengunjungi putra kembar Alva yang kamarnya juga berada di sebelahnya, karena kamar Glen terletak di tengah.
Setelah Tamara dinyatakan siap untuk melahirkan, keduanya pun memesan dua kamar yang berdekatan dengan kamar Tamara.
Keduanya sudah melihat bayi bayi tampan Alva dan Arga yang cukup gendut.
"Wah, bayi lo sama gendutnya dengan bayi Alva dan Arga," kekeh Reno sambil memeluk sahabatnya, Glen.
Glen tertawa mendengarnya.
"Masih dua bulan lagi ya, Rain?" tanya Armita ketika Rain menghampirinya.
"Ya, Kak Mita," sahut Rain sambil balas menggenggam tangan Armita.
"Senang, kak, ya, bisa lahiran normal?" ucap Rain dengan senyum manisnya.
"Ya, sangat senang," kata Arnita sambil melirik Glen yang nampak malu dengan ucapan Armita.
Rain menahan senyumnya agar ngga berubah jadi tawa, tapi Reno sudah ngga tahan lagi, dia pun terbahak membuat bayi Glen dan Armita menggeliat bangun dari tidurnya.
"Kak Reno jangan keras keras tawanya. Nanti bayinya bangun," cegah Rain tapi terlambat, suara mahkluk kecil itu sudah terdengar perlahan.
"Sorry sorry," kata Reno agak menyesal tapi tawanya masih terdengar walau perlahan.
"Lo sih," kata Glen yang awalnya malu jadi kesal dan mendekati bayinya. Bayinya baru saja tertidur dan sekarang terbangun lagi.
Tapi Rain sudah berada lebih dekat dengan boks bayi itu.
"Boleh, ya?" pinta Rain sambil menatap Armita dan Glen.
"Kamu bisa?" tanya Armita sambil menatap Rain dengan tatapan membolehkan.
"Bisa, ada teman juga yang baru lahiran," kata Rain sambil meraih bayi mungil yang tampan itu.
Tangisan bayi itu mereda saat Rain sedikit pelan menggoyangkannya.
"Wow, bisa aman nih, Reno, kalo nanti bayi kalian lahir," ujar Glen bersemangat.
"Tapi nanti jangan pingsan, ya, Reno, seperti seseorang," ledek Armita pada suami brondongnya.
Tanpa dapat dicegah, suara tawa tertahan pun terdengar. Glen hanya bisa tersenyum malu malu.
Memang sangat menyebalkan, saat air ketuban Armita tiba tiba mengalir, Glen langsung merasa pusing. Setelah mengantar Armita ke dalam ruang bersalin, tubuh laki laki itu malah terkulai pingsan. Untung kedua orang tua mereka ada di sana.
Mami Armita dan mami Glen menemani Armita lahiran secara normal, sedangkan kedua papi mereka menunggu Glen sampai sadar. Termasuk Regan, Reno dan Rain. Bahkan Alva dan Arga juga sempat menunggui Glen sebentar sambil tertawa tawa.
"Baru gitu aja udah pingsan," ejek Alva.
"Dasar laki laki lemah," sambung Reno waktu itu.
Dan mereka pun tertawa tergelak gelak di ruang perawatan Glen.
"Maaf, sayang," ucap Glen malu malu kemudian membelai rambut istrinya.
Rain menggelengkan kepalanya. Dia bersitatap dengan Reno dengan pandangan lucu.
"Bayi kembar Kak Alva tampan tampan," kata Rain mengalihkan topik.
"Boleh juga, nih, si cantik di jodohkan dengan si kembar atau dengan anaknya Arga," cetus Reno menyambut ucapan Rain.
"Mereka masih bayi. Perjalanan masih panjang," ucap Armita demgan wajah full senyum.
"Semoga mereka bisa dekat seperti kita," harap Glen.
"Ya, semoga,. Bahkan jadi mantu" balas Reno kemudian tergelak bersama yang lain.
"Aamiin," jawab mereka berbarengan di sela tawa yang terdengar sangat bahagia.
Kebetulan kedua orang tua mereka sedang beristirahat di kantin sambil membelikan Armita makanan. Karena bayinya selalu saja lapar dan Armita ngga henti hentinya menyusuinya.
"Kak, sepertinya bayinya haus," kata Rain ketika melihat gerakan bibir bayi Armita dan Alva.
"Oooh, haus lagi, ya," sahut Arnita sambil menerima bayinya dari tangan Rain.
"Gue keluar, ya," kata Reno tau diri sebelum.diusir Glen. Dia pun melangkah keluar.
"Gue ke depan, ya, sayang," ucap Glen sambil mencium puncak kepala bayinya sebelum keluar menemani Reno.
"Apa Regan masih di tempat Alva?" tanya Glen sambil membuka pintu ruangan Tamara yang berada di samping kiri ruangannya.
Di dalam sudah heboh dengan orang tua Alva dan Tamara yang baru saja sampai. Para mami menggendong masing masing satu dari si kembar.
"Tampannya. Siapa namanya nih?" tanya mami Glen yang diapit suaminya.
"Ada di gelang tangannya mam," ujar Alva memberitau.
"Kalil?" eja maminya demgan senyum senang.
"Sama saya namanya Kenan," sambung mami Tamara juga ngga kalah senangnya.
"Kenapa lo semua pada suka huruf awal Ka, sih?" tanya Glen sambil menggelemgkan kepalanya pada Alva yang hanya cengar cengir. Anak Kiano, Kendra. Udah ada triple Ka.
"Anak lo siapa namanya?"
"Khanza," jawab Glen sambil melebarkan senyumnya dengan wajah sok polosnya.
"Lo juga pake huruf Ka," cibir Reno membuat yang mendengarnya pun tertawa.
"Saat tau nama Anak Kiano Kendra, mindset gue langsung ke huruf Ka aja," kekeh Alva.
"Kalo gue engga gitu. Itu nama pemberian mami Armita," sangkal Glen membela diri.
Reno lagi lagi mencibir walaupun tawanya masih berderai derai.
Begitu juga Rain, sampai akhirnya wajahnya agak pucat dan perutnya terasa sakit. Tangannya menggenggam.erat tangan Reno.
Reno menatapnya khawatir.
"Kenapa? Kontraksi lagi?" tanya Reno cemas. Ini kontraksi kedua. Yang pertama saat Glen menyarangkan ide ajaib agar anak anak mereka lahir di tanggal yang sama. Tapi ditolak Rain. Karena Rain ingin anaknya lahir tepat sembilan bulan.
"Rain, kamu masih bisa tahan?" tanya Reno panik. Bahkan yang ada di kamar Alva pun terlihat juga tegang.
"Langsung hubungi Aruna," seru Tamara kemudian meringis merasakan sakit pada bekas operasinya ketika berbicara tadi.
"Sayang, kamu tenang. Kita akan ngurus Rain," kata Alva menenangkan.
Glen pun berinisiatif menghubungi Kiano.
"Ada apa?" suara Kiano terdengar ogah ogahan.
"Aruna mana? Belun pulang, kan, lo sama Aruna?" tanya Glen panik.
"Belum."
Bahkan saat ini Reno sudah menggendong Rain ala bridal dan Regan membawakan tas Rain.
"Kita langsung ke IGD," seru Regan sambil berjalan mendahului Reno.
"Kenapa IGD. Kita ke ruang bersalin," bantah Reno ngga setuju.
"Ada apa ribut ribut?" tanya Kiano setelah memastikan suara banyak orang yang seperti bingung dan cemas.
"Rain, Kiano. Sepertinya dia mau melahirkan," seru Glen cepat dengan debar jantung ngga menentu. Keringat dingin mulai membasahi keningnya.
Jangan lagi, batinnya mulai lemas melihat cairan yang sudah mengalir di betis Rain yang sedang digendong Reno.
"Eh, Glen mau pingsan," seru Alva panik melihat punggung kaos Glen yang sudah dibasahi keringat dan wajahnya yang tiba tiba pucat.
"Lo kenapa lemah banget, sih, Glen. Nanti nantilah pingsannya," sentak Reno mulai emosi.
Istri orang lain bisa bikin pingsan lo juga, rutuk Reno dalam hati.
"Langsung bawa ke ruang operasi! Tim dokter sudah siap!" titah Kiano setelah cukup yakin mendengar suara suara panik yang tertangkap di telinganya.
"Oke. Reno! Langsung ke ruang operasi," seru Glen dengan suara bergetar sebelum jatuh terduduk di lantai. Kepalanya rasanya mulai berat.
"Ya. Thank's. Alva, lo urus Glen," tukas Reno sambil berjalan keluar bersama Regan.
Arga yang mendengar ribut ribut di kamar Alva segera keluar dari kamar perawatan istrinya-Qonita.
"Rain kenapa?" kagetnya melihat Reno yang berjalan buru buru sambil menggendong Rain.
"Mau lahiran," jawab Regan sambil berjalan cepat di belakang Reno.
"Haaa? Eh, Reno, hati hati lo," seru Arga jadi ikutan panik.
Dia pun segera masuk ke dalam ruangannya bentar untuk berpamitan dengan istrinya.
"Ada apa?" tanya Arik heran melihat wajah ngga tenang Arga.
Istrinya, kan, udah lahiran dengan selamat.
"Bang, aku titip.Qonita. Rain mau lahiran" katanya sambil mendekati Qonita. Kebetulan orang tua mereka.sudah pulang untuk beristirahat sebentar karena nanti malam akan gantian menemani Arga dan Qonita.
"Istri Reno?" tanya Zesa ngga percaya. Karena setahunya kandungan Rain baru tujuh bulan.
"Iya " jawab Arga kemudian mengecup Qonita yang hanya terpaku mendengarnya.
Seingatnya Rain belum saatnya melahirkan.
"Aku pergi bentar, ya," pamitnya sambil menatap lekat wajah cantik Qonita.
"Ya," jawab Qonita tersipu. Mata Arga selalu bisa mengobrak abrik suasana hatinya.
Arga pun tersenyum sebelum pergi.
"Titip Qoni, Bang Arik, Kak Zesa."
"Oke," jawab Aris cepat.
"Ya. Pergilah. Semoga lancar kelahirannyya," jawab Zesa jadi ikutan cemas.
"Aamiin."
Sementara itu di kamar perawatan Tamara.
"Lo nyusahin aja," gerutu Alva sambil membantu Glen berdiri dan memapahnya ke sofa. Papinya pun ikut membantu.
"Gue masih trauma," kesal Glen berdalih. Dia juga malu. Lagi lagi dia hampir pingsan di depan banyak orang. Untung saja engga jadi, masih bisa sedikit dia tahan.
"Alasan," maki Alva setelah berhasil mendudukkan Glen di sofa panjang. Tanpa malu dan ragu, Glen membaringkan tubuhnya. Kepalanya terasa pusing dan berat. Ngga mungkin dalam situasi ini dia kembali ke tempat Armita-istrinya.
Istrinya bakal mengetawakannya jika tau apa penyebab dia jadi begini. Seperti tadi. Setelah lahiran Armita ngga henti hentinya tertawa melihat wajahnya.
Istrinya ngga gitu mempedulikan rasa sakit jahitan pada proses lahirannya karena hentakan tawanya.
Menyadari fakta Glen yang takut dengan perempuan yang akan melahirkan mrmbuatnya ngga abis pikir hingga menjadi lelucon terindah buatnya.
Alva hanya bisa menggelengkan kepalanya kemudian melangkah mendekati Tamara.
"Masih sakit?" tanya Ala lembut sambil mengusap lengan Tamara yang menatapnya dengan cemas campur merimgis.
"Sedikit," jawabnya pelan karena masih ada rasa cekot cekot pada bekas operasinya.
"Jangan seperti itu lagi, ya. Kamu harus pelan pelan kalo berbicara atau bergerak," ucap Alva menasehati.
"Iya."
Tadi Tamara ikutan panik melihat Rain. Dia ingin Rain cepat mendapat penanganan dokter sehingga dia melupakan kondisinya sendiri.
Alva tersenyum lembut.
"Tamara, kalo boleh aku mau nyusul Reno," katanya menohon ijin. Ngga tega melihat Reno yang hanya ditemani Regan dalam situasi seperti ini.
Alva juga teringat akan dirinya tadi yang juga begitu stres karena Tamara akan melahirkan tanpa ditemani kedua orang tua mereka.
"Iya, pergilah. Ada mami dan papi," kata Tamara mengijinkan. Bibirmya tersenyum tulus.
"Terima kasih," kata Alva sambil mengecup kening Tamara lembut.
Tamara hanya membalasnya dengan senyuman manis.
Saat akan pergi dia melihat Glen yang masih memejamkan mata.
"Lo mau tetap di sini atau balik ke kamar lo?" sinis Alva kesal melihat reaksi berlebihan Glen.
"Gue numpang tiduran bentar. Nanti gue nyusul. Kepala gue masih berat," jawab Glen pelan. Dia terpaksa. Bukan maunya seperti ini.
"Hemm," dengus Alva masih kesal. Dia beneran ngga abis pikir melihat keadaan Glen yang menjadi sangat memalukan sebagai laki laki.
Kemudian Alva berbalik dan menatap kedua orang tua mereka yang kini juga menatapnya cemas.
"Papi akan telpon Papi Reno dan Papi Rain," jawab Papi Alva sambil mengeluarkan ponselnya.
'Cepat kamu temenin Reno," titah maminya dengan wajah tegang karena mengkhawatirkan keadaan Rain.
"Alva titip Glen, mam, pap," pamitnya pada orang tuanya dan orang tua Tamara.
"Ya, biarkan Glen di sini dulu," jawab Mami Tamara sebelum Alva pergi.
Alva pun menyusul Reno dan Regan ke ruangan operasi.
Begitu sampai di sana, ternyata Rain sudah masuk bersama Aruna dan tim medis ke ruang operasi.
Yang ada hanyalah sahabat sahabatnya saja. Bahkan Arga juga ada di sana.
"Papi gue udah telpon orang tua lo dan Rain," kata Akva memberitau.
"Thank's," ucapnya tanpa bisa menghilangkan wajah tegangnya.
"Glen pingsan lagi?" tanya Kiano kemudian tertawa kecil.
"Memalukan memamg dia," decih Alva.
"Apa dia bakal pingsan terus kalo tiap kali Kak Mita mau lahiran," kekeh Arga.
Regan hanya tersenyum kecil mendengarnya.Tapi hatinya mendadak jadi ngga tenang.
Mengingat kondisi Rain yang baru tujuh bulan tapi udah mau lahiran, Regan jadi membandingkan kondisi Dinda yang sudah mendekati HPL.
"Gue mau telpon Dinda dulu, ya," ucapnya sambil menyerahkan tas Rain pada Reno
"Ya."
Tapi belum sempat Regan menekan nomer Dinda, ponselnya sudah bergetar.
Ada nama Dinda sayang yang memanggil.
Ternyata video call.
Dada Regan berdebar bahagia melihat pemandangan yang tersaji di layar ponselnya.
"Surprise. Putri kita barusan lahir dengan selamat," ucap Dinda sambil menunjukkan foto dirinya dan bayi mungil mereka.
Mata Regan langsung berkaca kaca.
"Syukurlah," ucapnya dengan bibir bergetar.
Kiano, Reno, Alva, dan Arga yang tampak penasaran mulai mendekat.
"Alhamdulillah," seru mereka berbarengan karena melihat bayi mungil dalam pelukan Dinda.
"Sementara namanya Zaira. Nanti mas yang nyari lanjutan namanya, ya," ucapnya dengan sangat manis.
"Ya, ya, sayang. Akan mas carikan," jawab Regan bahagia.
"Selamat," ucap keempat sahabatnya berbarengan sambil memeluk Regan dalam luapan kebahagiaan yang amat sangat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!