Pernah merasa menikah dengan orang yang salah? Atau pernah merasa kehidupan setelah menikah tidak seperti yang dibayangkan? Setidaknya ada beberapa orang yang merasakan hal demikian. Merasa pasangan berubah setelah menikah, tidak seperti ketika masa pacaran. Ada yang merasa sangat berat menjalani pernikahan karena terpaksa menerima perjodohan yang sudah diatur oleh orang tua. Dan masih banyak lagi masalah pelik seputar biduk rumah tangga.
Ana:
Sudah hampir tiga tahun aku menikah. Yang terbesit di dalam pikiran ku masih sama. Apakah aku menikahi orang yang tepat? Rasanya aku sudah mengenal suami ku lebih dari sepuluh tahun. Ya, karena kami sudah menjalin kasih selama tujuh tahun sebelum menikah. Aku sudah membersamainya selama itu, namun aku masih merasa ada yang belum aku pahami tentang suami ku.
Suami ku seorang lelaki yang cukup baik menurut ku. Dia cukup tegas juga, namun terkadang bisa sangat lembut. Yang paling penting dia sangat penyayang. Pada awal pernikahan kami, aku merasa bisa melewati semua toh kami sudah berpacaran selama sekitar tujuh tahun. Namun, semua jauh dari impian dan bayangan ku. Kehidupan rumah tangga bukanlah akhir, tapi awal dari masa percobaan dan ujian. Entah apakah aku sanggup melalui ini semua sampai akhir?
Arina:
Tak pernah terbesit oleh ku akan menikah secepat itu. Di kala teman-teman sebaya ku sibuk mencari pekerjaan setelah lulus kuliah, aku sudah harus menikah saja. Bukan dengan lelaki pilihan ku. Lelaki yang menjadi suami ku kini adalah pilihan orang tua ku. Entah apa yang mereka ragukan dari cara ku memilih pendamping hidup. Aku merasa tersudut. Aku harus menikah dengan lelaki itu yang bahkan usianya terpaut tujuh tahun lebih tua dari aku.
Demi mematuhi orang tua ku, aku terpaksa menikah dengannya. Aku tak tahu apakah aku akan bahagia atau menderita. Aku bahkan tidak tahu siapa namanya. Apa yang akan aku bicarakan dengannya setelah menikah? Dan di sini lah aku, sudah menjadi isteri sah seorang lelaki bernama Leon.
Airin:
Aku cukup beruntung menikahi seorang lelaki yang juga sahabat ku sejak bangku SMA. Kami memang sudah dekat sejak itu, tapi kami tidak mengungkapkan perasaan kami satu sama lain hingga tiga tahun sebelum pernikahan kami. Aku yang dulu mengembara cinta, mencoba mencari jodoh ku ke setiap lelaki yang mendekati ku kini berlabuh pada sahabat dekat ku sendiri.
Kami memang saling memahami dan hidup berumah tangga dengannya pun menjadi sangat mengasyikkan. Namun, ada yang kurang dari pernikahan kami. Buah hati yang tak kunjung hadir. Sampai kapan kami, terutama aku, harus bersabar? Semoga disegerakan.
Alessa:
Pernikahan yang aku impikan terwujud. Menikah dengan pria yang aku cintai dan mencintai ku. Kami memang bukan dari kalangan orang mampu. Setidaknya kami dapat mencukupi kebutuhan kami sehari-hari. Walaupun kami tinggal serumah dengan orang tua ku, biduk rumah tangga kami berjalan cukup mulus di tahun pertama.
Namun, ujian pastilah datang. Kedua orang tua ku yang selalu menekan ku membuat aku merasa sesak dan terkadang ingin lepas dari mereka. Pergi jauh meninggalkan mereka dan hidup mandiri. Tetapi, ada banyak hal yang jadi pertimbangan kami. Mampukah aku tetap tegar dan berusaha masa bodoh? Mampukah aku meyakinkan kedua orang tua ku bahwa aku bisa bahagia?
Awal tahun 2017
Seperti halnya gadis-gadis seusianya, Ana, yang waktu itu berusia sembilan belas tahun, memiliki seorang kekasih, Ali. Ali adalah teman sekelasnya semasa kuliah. Dia seorang pria yang baik dan lembut, meski terkadang terkesan tertutup dan tak ingin membicarakan sesuatu yang tengah mengganggunya kepada Ana. Namun, dia tak pernah berbohong kepada Ana tentang apapun. Bersama Ali, Ana merasa menemukan tempat berbagi semua hal.
Layaknya kebanyakan pasangan kekasih memadu asmara, Ana dan Ali tak pernah absen dari peluk dan cumbu yang nampak sudah sangat biasa dilakukan setiap kali mereka bertemu. Meski hanya sebatas itu, tapi terkadang hasrat alamiah manusia mereka terpancing untuk melakukan lebih yang pada akhirnya tetap bisa mereka tahan tanpa melukai perasaan masing-masing.
Waktu terus bergulir, bulan ke bulan, tahun ke tahun, dan tanpa terasa sudah hampir tujuh tahun mereka menjalin hubungan asmara. Ali sudah cukup mapan membuka usaha konter hp di ruko miliknya sendiri yang terletak di depan rumah yang masih dalam proses cicilan. Sedang Ana, cukup puas dengan hanya menjadi guru privat panggilan. Mereka masih dapat meluangkan waktu untuk saling bertemu di tengah kesibukan masing-masing yang cukup menyita waktu mereka.
"Ali, mau sampai kapan kita pacaran?" tanya Ana suatu hari ketika mereka tengah kencan di suatu pusat perbelanjaan.
"Enaknya sampai kapan?" Ali balas bertanya dengan nada candaan.
"Iiiihhh. Seriuuuusss." ucap Ana sambil menepuk bahu Ali, gemas.
"Ahahahahaha. Terserah kamu aja." jawab Ali sambilalu. Melihat Ana yang terlihat kesal dengan jawabannya, Ali kembali bertanya kepada Ana, "Kamu yakin mau nikah sekarang?"
"Enggak sekarang jugaaa tapiii." jawab Ana sedikit gugup.
"Hahahaha. Ya mana mungkin sekarang. Maksudnya, kamu udah siap nikah? Yakin mau nikah sama aku?"
"Yakin lah. Kamu gak yakin sama aku?" tanya Ana penuh selidik dan curiga.
"Bukan aku gak yakin sama kamu, Na. Aku cuma mau ngasih pengertian ke kamu, kalau nikah itu gak sekedar ngucapin ijab qobul trus sah, udah, engga. Tapi lebih dalem lagi. Status kamu yang kemudian udah jadi isteri aku otomatis akan merubah sedikit banyak apa-apa yang boleh dan tidak boleh kamu lakuin. Nah, aku cuma mau mastiin aja kalau kamu sudah siap akan semua itu." ucap Ali, mencoba memberi pengertian kepada Ana.
Ana hanya terdiam, mencerna setiap kata yang Ali ucapkan. Memang benar. Setelah menikah, bahkan bekerja pun dia harus minta ijin dari suami boleh atau tidak. Pergaulan dengan cowok pun tak bisa sembarangan. Ana akui semua kata-kata Ali benar. Dia belum memikirkan sampai sejauh itu. Yang dia pikirkan hanya teman-temannya yang satu per satu sudah menikah dan dia yang sudah pacaran sekian lama masih belum ada pembicaraan ke arah pernikahan.
"Bagaimana? Jadi nikah sekarang? " tanya Ali, membuyarkan pikiran Ana.
"Kalau kamu sudah mantap, siap. Aku bilang sama bapak ibu aku buat nglamar kamu. Kalau masih mikir-mikir ya aku tunggu sampai kamu siap." tambah Ali melihat Ana yang masih terdiam dalam pikirannya.
"Aku cuma nunggu kamu siap aja. Kan kamu masih suka main-main, hang out bareng temen-temen kamu. Kalau udah nikah kamu gak bisa seenaknya kayak gitu lho. Makanya aku nunggu kamu yang siap. Aku kapan aja oke." ucap Ali, memberikan pilihan kepada Ana.
Pada akhirnya Ana hanya terdiam, larut dalam pikirannya. Menimbang-nimbang apakah dia sudah siap mengarungi biduk rumah tangga? Rasa ragu perlahan merasuki hatinya. Rasanya pernikahan menjadi sesuatu yang berat. Sanggupkah dia menjadi seorang isteri? Melayani suami, mengurus pekerjaan rumah, memasak, mencuci, dan lain-lain yang akan menjadi acaranya sehari-hari setelah menikah. Sanggupkah? Pertanyaan-pertanyaan itu terus membayangi Ana. Membuatnya tetap terdiam.
"Gak perlu buru-buru, An. Pikirkan dengan tenang. Pernikahan bukan main-main yang bisa kamu akhiri begitu saja ketika kamu bosan atau capek. Gak perlu lihat ke orang-orang yang udah menikah. Tiap orang punya kesiapan mental masing-masing. Buru-buru juga gak bagus kalau kamu belum siap secara mental." ucap Ali kemudian, mencoba menenangkan Ana yang terlihat kalut.
"Aku bakalan nunggu kamu kok. Tenang aja." ucap Ali sambil mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum. Ana membalas senyum Ali, meski sedikit terpaksa, karena pikirannya masih melayang-layang memikirkan arti dibalik kata pernikahan.
"Es krim yuk. Mau?" ajak Ali yang seperti tahu kegundahan hati Ana. Senyum lebar terkembang di wajah Ana. Senyum yang tak dibuat-buat. Bahagia. Ali selalu tahu bagaimana membuat Ana senang.
***
Duduk termangu di bangku halaman belakang rumahnya, Ana masih memikirkan setiap ucapan Ali tentang pernikahan. Selama ini Ana kira Ali tidak pernah memikirkan masalah pernikahan. Ternyata Ali malah lebih dewasa memikirkan tentang pernikahan yang memang bukan hal sepele dan gampang. Sentuhan tangan di bahu, menyadarkan Ana dari lamunannya.
"Eh, mama."
"Lagi mikirin apa sih? Serius banget kayaknya." tanya mama Ana sambil duduk di samping anak gadisnya yang terlihat murung itu.
"Enggak kok, ma." elak Ana.
"Bener?" tanya mama memastikan. Ragu terlihat di wajah Ana. Namun, sedetik kemudian dia memutuskan untuk bertanya kepada mamanya.
"Mama dulu menikah sama papa umur dua sembilan kan ya? Mama gak pengen buru-buru nikah dulu kok sampe dua sembilan baru nikah?"
Meski bingung ada apa dengan putrinya, mama Ana menjawab dengan senyum terkembang di wajahnya.
"Mana ada wanita yang gak pengen buru-buru nikah. Mungkin memang ada. Tapi jaman dulu beda ceritanya. Umur dua puluh belum nikah aja udah dibilang perawan tua, apalagi umur dua sembilan."
"Trus kenapa sampe dua sembilan baru nikah, ma?" tanya Ana tak sabar.
"Papa kamu tuh. Papa nyuruh mama nunggu dulu. Papa kan masih nyelesaiin kuliah. Kuliah jaman dulu gak kayak kuliah jaman sekarang. Apalagi dulu papa kuliah sambil kerja, jadi ya gitu agak lama. Sebenernya mama juga udah buru-buru papa kamu buat nikah, tapi papa kamu bilang papa mau nyari kehidupan yang layak buat menghidupi keluarganya nanti, apalagi kalau udah punya anak. Papa kamu juga ngasih pilihan ke mama misal mama gak mau nunggu boleh nikah sama pria yang dateng nglamar mama. Tapi, ya mama cintanya sama papa ya udah mau gak mau mama nunggu kan. Toh papa berjuang buat masa depan papa dan mama dan anak-anak kita nantinya. Jadi, orang mau bilang mama perawan tua ya masa bodoh lah. Yang penting masa depan terjamin, gitu. Memang kenapa Ana tanya seperti itu? Ana sudah pengen nikah?" tanya mama sedikit menggoda. Ana tersipu, tapi mengelak.
"Enggak, ma. Ana kayaknya belum siap deh." ucap Ana ragu.
"Belum siap? Kenapa?" tanya mama heran.
"Ya...belum siap aja, ma." jawab Ana, bingung. Mama diam, mengusap punggung Ana perlahan, menunggu jawaban lebih dari putrinya.
"Waktu Ana tanya sama Ali mau sampai kapan pacaran, Ali malah balik tanya ke Ana, apa Ana yakin mau nikah sekarang. Apa Ana siap nikah sekarang? Siap jadi isteri? Siap dengan segala konsekuensi setelah menikah? Dan itu malah membuat Ana merasa gak siap." ucap Ana.
"Ana sayang, kehidupan setelah pernikahan memang tidaklah mudah. Pasti ada saja cobaannya. Memang membutuhkan kesiapan secara mental. Ali memang benar, Ana harus siap bertanggung jawab sebagai isteri, siap melayani kebutuhan suami lahir maupun batin, mengurus rumah tangga, belum nanti kalau sudah punya anak, harus bisa mengasuh dan mendidik dengan baik. Semua memang terlihat berat kalau dilihat, tapi begitu dijalani apalagi dengan niatan ibadah, semua jadi ringan, lelah menjadi tak terasa. Kita wanita diciptakan kuat secara fisik dan mental, percayalah. Buktinya yang hamil dan melahirkan itu wanita, padahal itu bukan hal yang mudah. Belum yang lain-lain lagi. Siap gak siap, Ana memang harus siap. Karena itu fase yang harus Ana jalani, apalagi Ana dan Ali sudah matang secara umur dan finansial. Tunggu siap sampai kapan?"
Kata-kata mama benar-benar menenangkan Ana. Wanita diciptakan kuat secara fisik dan mental. Memang benar. Ana melihat itu dari mama. Mama selama ini bisa membagi waktunya antara bekerja dan mengurus pekerjaan rumah tangga, melayani kebutuhan papa dan dua anaknya. Bangun dini hari, tidur larut malam, tapi tak ada gurat kelelahan di wajahnya. Siap tidak siap memang harus siap. Ini adalah fase yang memang harus dijalaninya. Ana menjadi lebih mantap setelah mengutarakan apa yang ada di pikirannya kepada mamanya.
"Makasih ma." ucap Ana sambil memeluk mamanya.
"Sama-sama, sayang. Nanti kalau Ali udah ada rencana mau dateng kesini sama papa mamanya bilang ke mama ya." balas mama menggoda. Ana hanya mengangguk dalam pelukan mamanya. Aku siap Al.
Pertengahan tahun 2015
Sepasang mata Arina membengkak. Semalam tak kuasa air mata terus mengalir tanpa henti. Bukan karena patah hati, melainkan karena sebentar lagi dia akan menikah. Bukan tangjs bahagia, melainkan tangis luapan emosi kemarahan dan kesedihan yang tak mampu ia tumpahkan di hadapan kedua orang tuanya, terutama ayahnya.
Kemarin sore, gadis berparas manis dan bertubuh mungil itu mendapat kabar menggelegar dari ayahnya. Sebuah perjodohan dengan anak sahabatnya. Arina sangat terkejut dengan keputusan ayahnya. Tak pernah ada pembicaraan soal perjodohan. Padahal Arina sering diantar pulang oleh kekasihnya semasa kuliah. Sampai sekarang pun Arina masih menjalin kasih dengan Andri, kekasihnya yang sudah dipacarinya satu tahun belakangan ini.
Ayahnya tak pernah memperlihatkan rona tidak suka ketika Andri main ke rumah. Bahkan ayah sering mengajaknya ngobrol banyak hal dan terkesan nyambung. Lalu kenapa sekarang? Mengapa tak dari dulu saja ayahnya melarangnya pacaran dan mengatakan akan menjodohkannya dengan anak sahabatnya. Jadi, dia tak perlu repot-repot jatuh cinta dengan orang lain dan akhirnya harus terluka sendiri dan melukai orang lain.
"Rin, kemari sebentar." panggil ayah Arina ketika Arina pulang dari melamar pekerjaan di sebuah perusahaan.
"Ada apa, yah?" tanya Arina sambil duduk di samping ayahnya.
"Gimana tadi wawancaranya? Sukses?"
"Lumayan susah sih yah. Tapi, Arina cukup tenang kok jawabnya."
"Hahaha. Kamu disuruh masuk ke perusahaan ayah aja gak mau. Gak perlu wawancara, langsung kerja."
"Arina kan pengen usaha sendiri yah. Ayah manjain Arina terus, kapan Arina dewasanya." bantah Arina. Sebenarnya Arina tidak begitu suka bekerja di perusahaan ayahnya yang bergerak di bidang furnitur dan design interior. Bukan bidangnya. Yang ada kalau Arina kerja di sana dia hanya duduk diam dan dibayar.
"Ya sudah terserah kamu saja. Wanita sebaiknya di rumah aja, ngurus rumah, ngurus suami, ngurus anak. Kayak mama mu itu. Gak perlu repot-repot kerja nyari uang. Kerjaan pria itu." ucap ayahnya santai, sambil membolak-balik halaman surat kabar.
"Kalau udah nikah. Kan Arina masih single, yah. Biar nambah pengalaman juga."
"Kamu sebentar lagi nikah. Jadi..."
"Nikah?! Enggak ih. Ayah ngaco. Baru seminggu yang lalu Arina lulus kuliah, masa' iya nikah. Ayah becanda. Lagian Andri belum ngomongin masalah pernikahan sama Arina."
"Siapa bilang kamu nikahnya sama Andri?" tanya ayahnya santai, masih sambil fokus membaca surat kabar di tangannya.
"Trus siapa?" tanya Arina heran.
"Leon. Anaknya Om Hadi, sahabat ayah. Kamu ingat kan? Keluarga mereka pernah main ke sini dulu sebelum berangkat ke Jepang. Nah ini mereka udah balik ke Indonesia, lagi nyariin jodoh buat anaknya. Katanya anaknya gak mau cari calon isteri sendiri, jadi Om Hadi yang nyariin. Terus..."
"Terus dijodohin sama Arina? Terus ayah bilang setuju tanpa tanya dulu ke Arina? Ayah tahu kan Arina punya Andri? Ayah juga tahu Andri cowok baik-baik. Kenapa ayah jahat sama Arina sama Andri? Ayah tega."
Tanpa mendengar kata-kata ayahnya lebih lama lagi, Arina berlari menuju kamarnya. Mengunci diri dan menjatuhkan air matanya yang tertahan. Dia tak pernah bisa menangis di depan ayahnya.
Arina tak tahu harus berbuat apa. Dia tak ingin dijodohkan, tapi juga tak ingin membantah ayahnya. Semalaman dia menangis, mencoba berhenti pun air matanya tak ingin bertahan dan terus mengalir. Suara ketukan di pintu tak menghentikan tangisnya. Arina bergeming di tempatnya membiarkan pintu kamarnya di buka. Sosok lembut dan menenangkan menyentuh kepalanya, membelai rambutnya penuh kelembutan.
"Sabar, sayang." Arina hanya menghambur ke pelukan mamanya dengan air mata yang semakin deras.
"Leon pria baik. Ayah langsung menyetujui perjodohan itu karena ayah sudah sangat mengenal Leon. Ayah hanya ingin kamu bahagia, Rin." ucap mama Arina, mencoba menenangkan putrinya.
"Tapi Arina ga suka Leon, ma. Arina belum kenal Leon. Dan lagian dia jauh lebih tua dari Arina." rengek Arina.
"Cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Mama percaya kamu akan cepet jatuh cinta sama Leon. Soal umur, ayah dan mama juga terpaut jauh. Enak, bisa manja-manja nanti sama suami." hibur mama.
Arina tidak menjawab mamanya. Dia hanya diam dan tetap memeluk mamanya. Merasakan kenyamanan yang perlahan membawanya ke alam mimpi.
***
Raut wajah yang kusut menghiasi Arina pagi itu. Ditatapnya ponselnya berulang-ulang menanti kabar dari seseorang yang dikasihinya. Belum ada balasan. Sudah tiga puluh menit yang lalu dia mengirim sebuah pesan singkat ingin bertemu, tapi belum ada balasan. Ketukan di pintu kamar mengalihkan perhatiannya.
"Rin, ada Andri dateng." ucap mamanya. Tanpa menjawab, Arina langsung keluar kamar dan menuju ruang tamu tempat Andri menunggu. Andri yang melihat Arina berantakan langsung berdiri menghampiri Arina.
"Kamu kenapa, Rin?" tanya Andri cemas. Arina tidak menjawab. Air matanya langsung mengalir deras. Andri memapah Arina berjalan menuju sofa ruang tamua dan mendudukkannya. Menunggu hingga dia tenang, Andri hanya mengelus punggung Arina perlahan. Suara Arina tertahan. Sulit baginya mengatakan tentang perjodohannya.
Mama Arina yang tahu bahwa putrinya tak sampai hati menyampaikan berita perjodohan itu, menghampiri sepasang kekasih yang duduk diam di ruang tamu, duduk di samping Arina yang kemudian disambut pelukan dan tangisan oleh putrinya.
"Arina kenapa tante?" tanya Andri.
"Sebelumnya tante minta maaf dulu ya, Nak Andri. Jadi gini, Arina mau dijodohin sama anaknya sahabat ayahnya. Arina gak mau katanya, dia sayangnya sama nak Andri gitu." ucap mama Arina sambil mengelus punggung Arina lembut.
Seperti ditusuk sembilu, hati Andri terasa sakit mendengar tentang perjodohan Arina. Meski begitu, Andri tetap berusaha tenang dan menahan emosinya yang sebenarnya sudah tak karuan.
"Apa Andri ada salah sama Arina tante sampe Om jodohin Arina?" tanya Andri, mengingat sikap orang tua Arina yang selalu terbuka dan ramah kepadanya selama ini.
"Nak Andri gak salah apa-apa kok. Cuma kan kemarin siang itu, ayahnya Arina dapet telepon dari Om Hadi, sahabatnya banget dari jaman kuliah. Nah, Om Hadi ini dulu sering bantuin ayahnya Arina pas lagi jatuh-jatuhnya. Kemarin Om Hadi ini telepon minta dicariin jodoh buat putra tunggalnya, soalnya anaknya itu disuruh cari calon isteri sendiri gak mau malah nyuruh ayahnya buat nyariin. Terus Om Hadi bilang kalau seandainya dijodohin sama Arina gimana, ayah Arina langsung jawab saja boleh. Mau nolak juga gak enak karena ayahnya kan sering dibantu dulu, jadi kayak hutang budi gitu. Om dan tante tau gak seharusnya membayar hutang budi dengan kebahagiaan Arina, tapi om dan tante juga mikirnya nnanti juga Arina bakal bahagia. Mungkin memang sekarang sangat menyiksa, tapi om dan tante bisa jamin Arina bakal bahagia nantinya. Maaf ya, nak Andri." jelas mama Arina panjang lebar.
"Aku gak mau, An. Bawa aku pergi, An." rengek Arina kepada Andri. Andri yang masih mencerna dan menimbang apa yang akan dia lakukan hanya terdiam mendengar rengekan Arina.
"Rin, ini udah keputusan orang tua kamu. Kamu yang nurut ya. Aku gak mau kamu jadi durhaka karena mencintai aku. Aku gak apa-apa. Aku yakin ayah kamu tahu pasti apa yang terbaik buat putrinya. Itu anaknya sahabat ayah kamu jadi pasti bukan sembarangan cowok. Dia pasti lebih baik dari aku dan pasti jauh lebih bisa bahagiain kamu. Terima ya, Rin. Mungkin memang takdir kita seperti ini." ucap Andri pada akhirnya, mengalah, membuat Arina semakin meronta.
"Kamu gak sayang aku? Kamu tega aku nikah sama orang lain? Kamu gak mau berjuang untuk kita?" tanya Arina penuh amarah.
"Rin, bukannya aku gak mau berjuang untuk kita. Aku menghormati orang tua kamu, aku gak bisa memaksakan kehendakku. Aku sayang kamu, Rin. Tapi aku juga gak bisa melawan keputusan orang tua mu. Mereka sudah baik ke aku, sudah mengijinkan aku mengenal anak gadisnya dan keluarganya selama ini. Mereka tahu seperti apa aku dan aku gak mau merusak hubungan baik kita hanya karena keegoisan kita."
"Tapi mereka juga egois! Mereka egois, Ndri! Mereka tahu aku cinta kamu tapi mereka malah menjodohkan ku dengan orang lain yang aku gak tahu!"
"Keegoisan mereka beralasan, Rin. Mereka cuma pengen yang terbaik buat kamu."
"Kamu yang terbaik buat aku!" tangis Arina semakin menjadi.
"Belum, Rin. Aku belum yang terbaik. Aku masih berusaha untuk itu. Percayalah, orang tua tidak akan menjerumuskan anaknya. Ayah kamu tidak akan dengan mudah menerima perjodohan ini kalau beliau tidak mengenal sosok calon mantunya dengan baik. Nanti, seandainya jika dia memang bukan orang baik dan gak bikin kamu bahagia, kamu bisa hubungi aku, aku yang akan jemput kamu dari rumahnya dan meminta ijin ayahmu untuk menikahi mu. Aku janji." ucap Andri, mencoba menenangkan Arina.
Arina terisak, terdiam, sudah mulai lelah berdebat. Andri mengusap kepala Arina lembut.
"Kamu cewek baik, pasti dapat yang baik. Aku memang baik, menurut mu, tapi mungkin tidak menurut Allah. Aku menyayangi mu, menyayangi orang tua mu seperti halnya orang tua ku, jadi aku tidak mungkin membantah apa yang sudah menjadi keputusan ayah mu. Aku janji, aku belum akan menikah sebelum memastikan kamu bahagia. Aku janji." ucap Andri tulus, menyentuh hati mama Arina yang tak terasa meneteskan air mata. Tak tahu harus mengatakan apa kepada lelaki yang begitu mencintai putrinya, menghormatibdirinya dan suaminya seperti orang tuanya sendiri. Mama Arina hanya mampu menepuk bahu Andri, mencoba menguatkan hati lelaki itu. Andri tersenyum.
Arina hanya tertunduk, tak menyangka Andri akan melepasnya, merelakannya menikah dengan pria pilihan orang tuanya. Dia sudah tak sanggup menyanggah lagi. Andri sudah berjanji, dan dia tak bisa lari dari perjodohan ini. Mau tak mau, dia memang harus masuk ke dalam pernikahan yang sudah diatur. Akankah aku bahagia?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!