NovelToon NovelToon

Madulah Aku, Suamiku

Why?

"Sah!!!"

Sebuah kalimat pendek berdengung di telinga Intan Nawangsari. Hari ini adalah hari dimana suaminya menikahi seorang wanita muda yang di pilih olehnya tempo lalu. Pernikahan sederhana di gelar di kediaman sang suami dengan dihadiri teman terdekat, tetangga, serta keluarga Yuda Anggara dan Sinta Kumala.

Wanita berhijab biru laut itu tersenyum getir, menyaksikan Yuda Anggara menyalami satu-persatu sanak saudaranya tengah memberi ucapan selamat di ujung sana. Sementara Sinta menundukkan kepalanya sedari tadi kala mendengar pujian dari keluarga Yuda.

Intan meraup udara sebanyak-banyaknya. Dadanya bergemuruh kuat sekarang, seakan ada yang menghimpit paru-parunya. Sesak, itulah yang dia rasakan saat ini.

Intan tertunduk lemas sambil meremas gamis putihnya, menetralkan perasaan cemburunya. Entah dorongan dari mana, seakan ada magnet ia mengangkat wajahnya lagi. Dan tanpa sengaja matanya bertubrukkan langsung dengan mata Yuda. Ia langsung menatap penuh damba pada sang suami tapi Yuda malah melengoskan pandangan matanya.

Maafkan aku, Mas, ini yang terbaik untuk kita, aku yakin kamu pasti bahagia bersama Sinta.

Tiga meter dari Intan, Yuda menahan diri untuk tidak berlari ke arah Intan. Tadi ia sempat melihat Intan memandanginya dengan tatapan yang tak bisa ia artikan sama sekali.

Semenjak kejadian tiga bulan silam, Yuda terlanjur kecewa terhadap keputusan Intan. Kala itu ia menolak dengan tegas permintaan Intan. Namun akhirnya Yuda pun terpaksa mengiyakan setelah di bujuk rayu Intan dengan menerangkan dalil-dalil di dalam Al'quran.

Dia tak mengerti, sungguh tak mengerti, mengapa wanita yang sudah lama mengarungi mahligai rumah tangga bersamanya, memintanya menikah lagi.

Apa Intan tak mencintainya lagi, pikir Yuda sejenak. Yuda pun bertanya, apa alasan Intan rela berbagi suami bersama wanita lain. Tapi Intan diam seribu bahasa.

Pria berkulit kuning langsat itu dilanda resah dan gelisah kala tak mendapat jawaban yang jelas dari sang istri. Sempat terlintas pula di benaknya, jikalau bunda ataupun kakak kandungnya memperlakukan Intan semena-mena, akan tetapi Intan mengatakan secara gamblang bahwa mertua dan kakak iparnya itu selalu baik padanya.

Yuda menerka-nerka lagi, apa yang membuat Intan memintanya menikah. Semakin dipikirkannya semakin membuatnya menggila. Tak mungkin juga karena mereka tak memiliki anak sampai saat ini.

Memang benar hidup bersama selama belasan tahun ini, ia dan Intan belum dikaruniai anak. Tapi Yuda tak mempermasalahkan hal tersebut, karena menikah bukan hanya soal anak. Memiliki keturunan adalah bonus yang diberikan Allah, pikir Yuda.

Yuda dan Intan juga sudah melakukan berbagai macam cara agar istrinya bisa hamil, tapi sampai sekarang Allah belum menitipkan anak jua pada mereka. Dia pun menjelaskan pada Bunda dan kakaknya bahwa mereka bahagia dengan kehidupan mereka sekarang. Mereka pun memahami kegundahan Yuda.

"Selamat Yuda, istri mudamu sangatlah cantik, tak kalah cantiknya dari Intan."

"Iya, benar itu, kalian pasangan yang sangat serasi Yud, di mana kau menemukan bidadari ini?"

Enggan menanggapi, Yuda hanya tersenyum hambar, sebisa mungkin memberikan senyum terbaiknya pada tamu undangan yang hadir di rumahnya saat ini.

"Yud, ajaklah istrimu berbicara, lihatlah dari tadi diam saja." Wulan, kakak kandungnya, menyenggol tangan Yuda kala adik laki-lakinya tak mengajak mengobrol Sinta sedari tadi. Wanita yang memasuki umur kepala empat itu melototi sang adik dengan sangat tajam sebelum menjauh dari hadapannya.

Yuda mengangguk pelan, melirik Sinta yang masih tertunduk malu. Helaan nafas terdengar berat dari hidungnya. Mau tak mau ia berdeham rendah.

"Hmm."

Tak ada pergerakkan sama sekali, Yuda menghela nafas lagi. Menggeram sebal ketika sang kakak lagi dan lagi melototinya dari kejauhan.

"Sinta," panggil Yuda sambil memegang punggung tangan Sinta.

Bagai sengatan listrik, Sinta tersentak kala tangan kokoh nan besar itu menyentuh kulitnya. Reflek, ia mendongakkan wajah.

"Iy–a, iy–a," Sinta berucap dengan terbata-bata.

Yuda mendekatkan bibirnya ke telinga Sinta, lalu berkata, "Angkat kepalamu dan tampilkan senyuman terbaikmu, Sinta, jangan sampai keluargamu salah paham. Aku imammu sekarang."

Sinta tak langsung menjawab, tengah terhipnotis dengan aroma tubuh suaminya. Sebuah aroma wangi menguar seketika dari tubuh Yuda membuatnya di mabuk kepayang sejenak.

"Apa kau mendengarkanku?" Yuda mengulangi perkataan lalu menatap langsung kedua mata Sinta yang kebetulan sekarang tengah termenung.

Sinta segera tersadar, bak anak polos langsung mengambil tangan Yuda dan menyalami dengan takzim. "Iya, iya, mas."

Sontak, gelagat wanita muda yang berumur dua puluh empat tahun itu membuat semua kumpulan manusia di dalam bilik tertawa keras. Terkecuali Intan masih bergeming di tempat dengan mengigit bibir bawahnya.

"Ya ampun, lucu sekali Sinta, sebentar lagi bunda akan mendapatkan seorang cucu dari menantu muda Bunda, tidak seperti wanita itu," Wulan berucap di tengah-tengah gelak tawa berkumandang.

Bunda Ema hanya menghembuskan pelan nafasnya, melihat Intan tengah memegang dadanya sekarang.

"Intan, lebih kau pergi ke dapur saja, bantu bik Inem membuat teh es, lihat itu teh es di teko sudah mulai habis," ucap wanita paruh baya yang sudah menjanda puluhan tahun lamanya.

Intan menyeka sedikit buliran air yang hampir saja terjatuh di pelupuk matanya, kemudian menoleh ke arah Bunda Ema.

"Bunda, aku kecapean, bolehkah mbak Wulan saja yang menggantikanku." Pintanya dengan sungguh-sungguh.

"Enggak mau! Kau pikir aku babumu?" Wulan curi-curi pandang pada Yuda dan Sinta yang masih berbicara satu sama lain. Dia tak mau perlakuannya terhadap Intan diketahui Yuda.

Intan memejamkan matanya sesaat, kemudian tanpa banyak kata melenggang pergi dari ruangan. Meninggalkan Wulan dan Bunda Ema menatap penuh arti kepergian Intan.

Sesampainya di dapur, Intan langsung mendekati Bik Inem, bertanya apa ada yang bisa ia bantu.

Wanita yang sudah lama berkerja bersama keluarga terpandang di desa ini, begitu terkejut melihat kedatangan Intan. "Jangan non, biar bibik saja, non sebaiknya beristirahat saja ya," ucap Bik Inem sambil mengambil alih sendok yang tengah di genggam Intan.

Intan tertegun, mengulas senyum tipis ketika sorot mata bik Inem selalu mengingatkannya pada mendiang ibunya.

"Bik, teh es di depan sudah mau habis, Intan bantu ya," kata Intan dengan lembut lalu menyambar spatula dari tangan bik Inem.

Bik Inem menghela nafas. "Tapi Non–"

"Shftt, sudahlah Bik, ayo, kita harus bergerak cepat agar para tamu undangan tak kehausan." Intan mengulas senyum tipis sambil mengambil gula di dalam toples.

Sementara itu, di ruang depan, Yuda mengedarkan pandangan, mencari keberadaan Intan yang tak nampak sama sekali sekarang.

Kemana dia? Apa dia ke dapur?

"Mas, cari siapa?" tanya Sinta penasaran.

"Em, nggak cari siapa-siapa, aku mau ke toilet, tunggu di sini." Sebelum mendengar balasan Sinta, Yuda pamit sebentar pada pak penghulu dan sanak saudaranya.

Sinta hendak mengejar Yuda namun Wulan menahan tangannya seketika.

"Hai, Sin, aku bersyukur, ternyata pilihan adikku sangatlah cantik, aku harap kita bisa berteman baik, Sinta." Wulan berucap cepat membuat Sinta mengulas senyum tipis.

Baik sekali mbak Wulan, mbak Intan benar-benar beruntung memiliki suami, kakak ipar dan mertua yang baik seperti mereka.

"Iya, mbak aku mau ke dalam sebentar," pungkas Sinta.

Wulan mengangguk pelan.

*

*

Di sisi lain, Intan amat terkejut ketika tangan kokoh melingkar diperutnya. Secepat kilat ia memutar tubuhnya sambil melepaskan tangan tersebut. Matanya terbelalak seketika saat melihat Yuda berdiri dihadapannya dengan melayangkan tatapan sendu.

"Mas, kenapa ada di sini?"

Intan menggerakan kepala ke kanan dan ke kiri, merasa sedikit lega karena di dapur tak ada orang sama sekali. Satu menit lalu sukarelawan yang membantu memasak di dapur, mengantar teko ke ruang tamu.

"Memangnya kenapa? Apa ada masalah? Aku merindukanmu, Intan, apa kau sudah puas? Keinginanmu sudah aku turuti, katakan apa lagi yang harus aku korbankan, selain perasaanku ini?" ucapan Yuda terdengar sarkas di telinga Intan.

"Mas, maaf, aku melakukan semua ini demi kebahagianmu."

Yuda mendengus sesaat, jawaban yang sama selalu terlontar dari bibir Intan. Dia semakin heran dengan sikap Intan.

"Kau benar-benar egois, Intan, kebahagianku adalah dirimu, jangan salahkan aku, jika sikapmu bisa saja membuatku berpaling." Yuda menggertak dengan tegas.

"Tak apa, mas, aku ikhlas," jawab Intan lembut.

Yuda mulai tersulut kemudian mencengkram bahu Intan tiba-tiba. "Apa kau sudah tak mencintaiku lagi, Intan?! Apa salahku? Mengapa kau mempermainkan perasaanku! Jangan seperti ini, Intan, aku mohon! Aku mencintaimu, Intan," kata Yuda dengan mata yang mulai berembun.

"Mas..." Intan mengigit bibirnya, menahan sesuatu dari balik bola matanya untuk tak keluar juga.

Dalam sepersekian detik, Yuda menarik pinggang Intan kemudian mencium kasar istrinya. Intan terkejut dan memberontak, namun tenaganya kalah dari Yuda.

Yuda meluapkan semua emosinya melalui kecupan-kecupan di bibir munggil Intan. Dia tak memberi Intan kesempatan untuk bernafas. Beruntung suasana di dapur sangat sepi dan hanya terdengar bunyi gemercik air di dalam wastafel. Akan tetapi seseorang di balik gorden, menutup mulutnya saat melihat suaminya tengah bercumbu mesra.

Ya Allah, kuatkan lah hambamu ini, bukankah kau sudah tahu dari awal akan seperti ini.

Sinta menarik dan menghembuskan nafas berkali-kali, meredam gemuruh di dadanya saat ini.

Sinta, itu istri pertama suamimu, hal yang sangat wajar. Sekali lagi Sinta bermonolog di dalam hati.

Tapi, tidak di hari pernikahanku... Tanpa terasa buliran air mata menerpa kedua pipinya.

Tonight

Pasangan suami istri itu masih bercumbu mesra di dapur. Semula Intan enggan meladeni sang suami namun nyatanya terbuai juga dengan permainan Yuda. Tanpa sadar sekarang wanita berhijab itu tengah mengalungkan tangannya di leher Yuda sambil berjinjit sedikit.

Sementara Yuda memegang pinggang Intan tanpa menghentikan gerakan lidahnya berselancar ria di rongga mulutnya. Ketika nafas Intan tersengal-sengal, tanpa banyak kata Yuda menyudahi perbuatannya lalu mengurai pelukan.

"Mas, kembalilah ke ruang depan, para tamu pasti mencarimu, terlebih lagi Sinta pasti tengah menunggumu juga," ucap Intan kemudian menghapus jejak permainan Yuda dibibirnya secepat kilat.

Yuda mendengus, tak mengerti mengapa sang istri seakan menghindarinya, padahal setelah selesai meluapkan semua perasaannya barusan. Dia berharap penuh Intan dapat menjawab pertanyaan yang ia nantikan.

"Intan, aku akan depan, menyusullah, biarkan Bik Inem yang melakukan tugasnya, mengapa pula kau harus di sini membuat teh es, siapa yang menyuruhmu?" Yuda penasaran sedari tadi kenapa Intan malah sibuk membuat teh es untuk para tamu undangan.

"Tidak ada yang menyuruhku, Mas. Aku berinisiatif sendiri, lagipula teh es sudah mulai habis, kasihan bik Inem dia yang menghandle semua makanan dari kemarin, aku tidak akan lama, tenanglah, aku akan ke depan," ucap Intan dengan lembut.

Yuda memicingkan mata, mencari kebohongan dari setiap kalimat yang dilontarkan Intan. Entahlah ia merasa Intan tengah berbohong. Perasaan kalut menderanya seketika. Dalam kegamangan hatinya ia menatap Intan dengan seksama.

"Yuda!"

Suara panggilan dari luar sana membuat Yuda dan Intan tersentak. Dari balik pintu yang terhubung antara ruang dapur dan ruang keluarga, Wulan menyembul dari balik gorden kemudian melangkah cepat mendekati keduanya.

"Di sini kau rupanya, Yuda ayo ke depan pak Kades ingin berbicara denganmu," Wulan berucap sambil melirik-lirik Intan sesekali.

Yuda tak menyahut, malah memberikan bahasa isyarat pada Intan' mau ke depan menemui mertuanya. Intan mengangguk pelan. Selepas kepergian Yuda, Wulan dan Intan saling melemparkan pandangan satu sama lain.

"Apa kau mengatakan kalau aku dan Bunda yang menyuruhmu membuat teh es?" Wulan harap-harap cemas jikalau Yuda mengetahui perlakuannya terhadap istri tercinta sang adik.

Intan mengembangkan senyuman tipis lalu berkata dengan tenang,"Tidak, Mbak, tidak ada gunanya aku memberitahukan perbuatan kalian padanya."

Wulan melebarkan mata, tentu merasa tersinggung meskipun Intan berkata pelan dan lembut tapi tetap saja membuat emosinya mulai naik.

Dulu dia memang menyukai Intan namun seiring berjalannya waktu, perasaan iri merasuki hatinya ketika Yuda memperlakukan Intan bak ratu. Yang tak pernah ia dapatkan dari suaminya yang sekarang telah berpisah akibat KDRT. Wulan semakin dongkol saat Intan yang tak bisa memberi keturunan, tapi malah mendapatkan kasih sayang dari adiknya.

"Apa katamu?! Kau mulai berani denganku sekarang! Cih! Wanita mandul sepertimu tak pantas bahagia!" seru Wulan.

Bukannya terpengaruh dengan ucapan kakak iparnya. Intan malah mengulas senyum lalu menyentuh pundak Wulan.

"Aku tidak mandul, mbak, apakah pantas sesama wanita saling menjatuhkan, bagaimana kalau mbak di posisiku, maaf jika perkataanku menyinggung perasaan mbak, aku permisi dulu mbak, mau mengantar teko ini ke depan." Intan berlalu pergi sambil membawa nampan berisi teko besar. Meninggalkan Wulan tertegun di tempat.

Menjelang sore, kediaman Yuda Anggara sudah terlihat sepi. Acara yang diselenggarakan dari pagi hingga pukul dua siang sudah selesai. Baik keluarga Sinta dan Yuda sudah kembali ke rumah masing-masing. Begitupula dengan Wulan dan Bunda Ema yang sudah pulang ke rumah belakang. Iya, rumah Yuda dan ibunya masih dalam satu lingkup, berjarak sekitar delapan meter. Keluarga Bunda Ema adalah keluarga terpandang di desa XXX, dulu mendiang sang ayah merupakan pengusaha yang bergerak di perikanan dan pertanian. Kini usaha tersebut dilanjutkan oleh putra bungsunya sendiri, Yuda.

"Sinta," panggil Intan setelah menutup pintu kamar pengantin baru itu.

Sinta yang tengah duduk termenung di tepi ranjang segera tersadar kemudian menolehkan mata.

"Iya, Mbak," jawab Sinta.

"Ada apa? Apa kau keletihan?" Intan menjatuhkan bokongnya di samping Sinta. Sedari tadi dia kebingungan melihat Sinta lebih banyak terdiam.

Sinta menghela nafas kasar. "Mbak, bolehkah Sinta bertanya sesuatu?"

Intan keheranan, mengapa pertanyaannya di balas pertanyaan. Dahinya nampak berkerut kuat sekarang. "Boleh, silahkan, Sinta."

"Maaf, kalau aku terlalu mencampuri urusan mbak, sebenarnya apa alasan mbak, merelakan suami mbak poligami?" tanya Sinta.

Dia teringat tempo lalu ketika Intan datang ke rumah orangtuanya, ingin menikahkan ia pada Yuda, lelaki berparas tampan dan menawan yang diminati oleh banyak wanita muda di semua desa, termasuk dirinya pun tertarik pada suami Intan.

Sewaktu itu Intan mengatakan bahwa Yuda mencari istri lagi. Sinta begitu senang walaupun harus menjadi yang kedua tapi dia tak peduli sebab rasa cintanya terlalu besar untuk Yuda. Wanita yang memiliki wajah bulat itu mengagumi Yuda sedari dulu walaupun rentang umurnya sangatlah jauh dari suaminya, berselisih empat belas tahun.

Intan menarik nafas dalam. Tak mungkin pula ia mengatakan pada Sinta apa alasan ia meminta Yuda menikah lagi. Jauh di lubuk hatinya, Intan amat tak rela berbagi suami. Istri mana yang mau membagi suami bersama wanita lain, tapi Intan mencoba mengikhlaskan, meski tahu kedepannya perasaannya akan sakit.

"Mbak, katakan padaku, kita adalah istri mas Yuda, anggaplah aku adikmu, Mbak," kata Sinta bersungguh-sungguh.

"Sinta, semua ini demi kebaikan dan kebahagiaan Yuda, itulah alasan Mbak meminta Yuda menikah lagi," ucapan Intan terdengar ambigu di telinga Sinta.

"Kebaikan? Kebahagiaan? Tapi nyatanya aku mendengar tadi kebahagiaan Mas Yuda adalah Mbak," Sinta tak bisa lagi menahan diri untuk tak mengatakan kegundahannya. Semenjak mendengar obrolan Intan dan Yuda di dapur tadi, lantas perkataan Yuda terngiang-ngiang di benaknya. Ia tak tahu Yuda sebenarnya tak mau menikah lagi, bagai di sambar petir tentu saja Sinta kecewa.

Intan begitu terkejut, apa Sinta mendengar perbincangan ia dan Yuda di dapur. Dan apakah wanita yang berusia selisih tiga belas tahun dengannya imelihat ia dan suaminya bercumbu mesra tadi.

"Sinta, apa kau melihat..." Intan tak meneruskan perkatannya ketika Sinta langsung membalas dengan anggukan pelan.

"Maaf jika sikapku dan Yuda membuatmu sakit," Intan dapat melihat sorot mata Sinta terpancar kecemburuan mendalam.

"Tak apa mbak, seharusnya aku tahu dari awal akan seperti ini," kata Sinta membuang nafas berat.

Hanya saja jangan di hari pernikahanku mbak, bolehkah aku sedikit egois.

"Maaf, Sin, Mas Yuda kalau sedang marah akan melampiaskan kemarahannya dengan bercumbu mesra, mungkin kalau kau dan dia tengah bertengkar dia akan memperlakukan yang serupa padamu," kata Intan hendak menghibur Sinta.

Mendengar hal itu, Sinta tersipu malu, membayangkan Yuda akan menciumnya. Wajahnya terlihat memerah seperti kepiting rebus. Secepat kilat ia menunduk, menyembunyikan senyuman manis yang terukir di wajahnya saat ini.

Berbeda dengan Intan, hatinya berdenyut nyeri berkhayal Yuda dan Sinta tengah bergumul mesra. Sebisa mungkin meredam rasa cemburunya.

"Sinta, sekarang Yuda adalah suamimu juga, maka dari itu masukilah hatinya, mbak yakin dia akan jatuh cinta padamu nantinya."

Intan menarik nafas panjang lagi, kala melontarkan kalimat barusan pada madunya itu.

"Tapi Mbak, apakah aku bisa membuat Mas Yuda mencintaiku, aku merasa seperti orang ketiga di sini," ucap Sinta jujur.

"Sin, jangan berpikir seperti itu, toh aku yang memintamu menjadi maduku, kalau kau melakukannya dengan ikhlas maka Allah akan membuka pintu hati Yuda dengan lebar, masuki hatinya malam ini, Sin," kata Intan berhasil membuat wajah Sinta merah padam.

How Could You

Di sisi lain, setelah selesai acara pernikahan. Yuda langsung ke lantai dua, duduk menghadap ke arah hamparan sawah yang membentang di depan sana. Pria yang sudah memasuki umur kepala empat itu tengah berperang dengan perasaannya saat ini. Bingung atas sikap Intan yang membuatnya begitu takut tak dicintai lagi. Yuda meraup udara di sekitarnya, menetralisir perasaannya semerawut seperti benang kusut.

Matanya mengedar ke depan, melihat langit berubah menjadi warna jingga. Yuda menikmati pemandangan di depannya saat ini sambil menikmati hembusan angin menerpa wajahnya.

Benaknya dipenuhi tanda tanya dari tadi, masih gelisah dengan statusnya yang memiliki dua istri sekarang. Jujur, ia merasa tanggung jawabnya semakin besar sebagai imam bagi istri-istrinya. Yuda terlihat bergeming di posisi semula sambil memegang tiang pembatas kamar.

Hingga mendekati waktu pukul enam malam ia pun bersiap-siap menunaikan ibadahnya meminta pada Allah meringankan bebannya. Selepas menyelesaikan kewajibannya, Yuda langsung membersihkan diri.

Sepuluh menit kemudian, dia keluar dari kamar mandi, melihat kamar masih kosong, rupanya Intan belum juga naik ke lantai atas. Dia bertanya-tanya di mana istrinya. Tak biasanya Intan tak mempersiapkan pakaiannya. Apa istrinya masih sibuk di bawah, entahlah..

Selesai memakai pakaian, Yuda bersantai di tempat tidur, lalu menonton televisi seperti biasa yang ia lakukan tapi bedanya Intan tak menemaninya sekarang.

Tok, tok, tok, tok!

Mendengar ketukan pintu, Yuda beringsut dari tempat tidur kemudian melangkah mendekati pintu kamar.

"In–" Perkataan Yuda terhenti ketika Sinta yang berdiri dihadapannya bukan Intan.

"Mas, ayo turun ke bawah, kita makan malam," ucap Sinta dengan menunduk malu-malu.

"Di mana Intan?" Bukannya mengiyakan ajakan Sinta, Yuda malah menanyakan keberadaan Intan.

Sinta mengangkat wajah. "Mbak Intan ke rumah Bunda, Mas, sebentar lagi dia kemari," jawabnya cepat.

"Hm, aku akan menyusul." Tanpa mendengar jawaban Sinta, Yuda langsung menutup pintu kamar, meninggalkan istri mudanya mematung di tempat.

Mbak Intan, apakah aku bisa memasuki hati Mas Yuda, lihat dia mengajakku ke bawah saja tidak, hah....

Ekpresi wajah Sinta yang semula begitu semangat berubah drastis menjadi lesu.

Sementara itu di dalam kamar, Yuda memakai pakaian kokonya hendak menyusul Intan ke rumah Bundanya namun pergerakkannya terhenti ketika ponselnya berdering di atas meja. Menampilkan nama bidadariku, menghiasi layar ponsel, siapa lagi kalau bukan kontak Intan.

Yuda menyambar ponsel dan menekan-nekan layar sejenak. "Intan, kau di mana? Pulanglah kita makan bersama," ucapnya cepat membuat Intan terkekeh kecil di ujung sana.

"Mas, sepertinya aku masih lama di sini, aku harus masak untuk Bunda, tadi Bunda kecipratan minyak goreng, kulitnya melepuh Mas."

"Loh, Mbak Wulan kemana? Kenapa tidak dia saja, pulanglah Intan, kau tak kasihan padaku makan sendirian di sini nanti." Untuk sesaat Yuda lupa dengan statusnya yang beristri dua.

"Sendiri?" Intan menjeda ucapannya. "Bukannya ada Sinta di sana, makanlah bersamanya Mas, tenanglah 30 menit lagi aku akan ke sana, Mbak Wulan mengurus anaknya yang rewel Mas."

Yuda enggan membalas, hanya terdiam mendengar ucapan sang istri mengatakan ada Sinta di rumah.

"Baiklah, jangan lama, Intan, aku merindukanmu," balasnya manja.

Intan merekahkan senyuman mendengar penuturan sang suami.

*

*

*

Ruang Dapur.

Sinta sesekali melirik tangga, menunggu kedatangan Yuda untuk makan malam bersamanya. Sembari menunggu ia merapikan piring dan gelas untuk Yuda.

Senyuman terukir jelas di bibirnya seketika saat melihat Yuda menuruni anak tangga. Dengan cepat ia mengambil posisi berdiri di dekat tempat duduk suaminya.

"Mas, duduklah, mas mau makan apa?" tanyanya bersemangat setelah melihat Yuda duduk di kursi.

"Terserah," balas Yuda datar.

Sontak perlakuan Yuda berhasil membuat Sinta tersenyum kecut. Sepertinya dia perlu mengatur strategi agar sang suami mencintainya. Tanpa banyak kata ia mengambil makanan kesukaan Yuda yang diberitahu Intan tadi sore, yaitu tumis kangkung dan tahu goreng berserta sambal terasi.

Yuda mengerutkan dahi melihat makanan yang di ambil adalah makanan kesukaannya. Mendesah kasar menebak jikalau Intan lah yang memberitahu Sinta.

Tak mau bertanya-tanya, Yuda langsung mengambil alih piring dari tangan Sinta kemudian berdoa sebentar dan mulai makan tanpa menunggu Sinta.

Hati Sinta berdenyut nyeri mendapati sikap Yuda terhadap dirinya dan Intan teramat berbeda.

Berjuanglah Sinta, Mas Yuda akan mencintaimu seperti dia mencintai Mbak Intan. Aku berharap Mbak Intan agak lama di rumah Bunda agar aku mempunyai banyak waktu bersama Mas Yuda.

Keheningan pun tercipta sesaat. Hanya terdengar bunyi piring dan sendok berdenting. Kini Sinta pun ikut makan bersama Yuda.

Baik Sinta dan Yuda sama-sama tak membuka suara sama sekali. Wanita muda itu sesekali mencuri pandangan ke arah Yuda.

"Aku ke ruang kerjaku dulu, ada yang harus aku kerjakan." Yuda berlalu cepat menuju lantai dua. Sementara, Sinta menatap nanar kepergian suaminya.

Tenanglah, Sinta, lebih kau buatkan saja dia kopi, siapa tahu saja dia suka.

Sesuai rencananya Sinta membuatkan Yuda kopi namun dia diterpa kebingungan, saat tak mengetahui ruang kerja Yuda. Menghela nafas kasar, akhirnya memilih turun ke dapur saat merasakan cangkir kopi yang bertengker di atas nampan terlihat mulai dingin.

Sedangkan Yuda termenung di meja kerjanya sambil melihat foto pernikahan ia dan Intan beberapa tahun silam. Sebuah figura menampilkan wajah teduh sang istri yang selalu menenangkan jiwanya.

"Mas." Suara nan lembut dan hangat itu berhasil mengalihkan pandangan Yuda.

"Intan, akhirnya kau pulang, kenapa lama sekali?" Yuda beranjak kemudian menghampiri sang istri.

"Maaf, Mas. Bunda memintaku menemaninya," ucap Intan jujur.

"Hm, jangan terlalu capek, Intan, lihat tubuhmu semakin kurus saja, aku seperti suami yang tak pernah memberimu makan, apa kau sudah makan?" kelakar Yuda sembari menatap lekat Intan.

"Sudah Mas, aku sedang diet mas," jawab Intan lalu terkekeh pelan.

Yuda tersenyum tipis lalu menarik pinggang Intan. "Ayo sekarang kita beristirahat, kau pasti kelelahan, aku akan memijatmu nanti," ucapnya kemudian menangkup kedua pipi Intan.

"Mas, malam ini, malam pertamamu bersama Sinta, kau harus tidur dengannya Mas."

Yuda melebarkan mata, saat melihat sorot mata Intan tak menyiratkan kecemburuan sama sekali. Tanpa sadar ia menurunkan tangannya lalu memegang pundak ringkih Intan.

"Intan, bisakah aku tak tidur dengannya, kali ini aku tak bisa memenuhi permintaanmu, bagaimana bisa kau tak cemburu jika aku menyentuh madumu, kau gila atau apa Intan?! Pada umumnya wanita akan terbakar cemburu jika suaminya berhubungan badan dengan wanita lain, tapi kau?" ucap Yuda menggebu-gebu.

"Mas, ini kewajibanmu sebagai suami, berilah dia nafkah batin juga Mas, biarlah aku mendapatkan pahala di kemudian hari, aku mohon." Pinta Intan.

"Aku tak mengerti dengan sikapmu sekarang! Entah hatimu yang seluas samudra atau apa?! Kau yang memintaku menyentuh Sinta bukan?! Baiklah aku akan mengabulkan permintaanmu itu, Sinta! Jangan salahkan aku kalau namamu mulai terkikis di hatiku ini!"

Deg.

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Yuda berlalu pergi dari hadapan Intan yang masih terpaku di tempat sambil memegang dadanya yang berdenyut nyeri sekarang.

"Mas..." Intan memutar tubuhnya hendak mengejar Yuda namun baru satu langkah, pandangannya mulai kabur.

Bruk!

Intan terduduk lemas di atas lantai sembari memegangi kepalanya yang sangat sakit seperti di timpa ribuan ton batu. Tanpa terasa buliran air bening mengalir deras dari matanya.

"Maafkan aku Mas, ini semua demi kebaikanmu, aku berharap kau bisa bahagia bersama Sinta, kalau aku pergi nanti..."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!