Pulau Emas Besar, satu di antara pulau besar yang terpisah dari Benua Daratan Tengah. Pulau nan subur serta kaya sumber daya alam. Pulau ini menjadi wilayah bagi tiga kerajaan besar, yaitu Muaro Lamahtang di sisi selatan, Lembah Barapi di barat, dan Baharus di sisi Utara.
Di masing-masing kerajaan, berdiri berbagai perguruan-perguruan beragam aliran beladiri. Beberapa perguruan bahkan memiliki kekuatan setara bahkan melebihi kekuatan kerajaan-kerajaan tersebut.
Perguruan Matahari Emas adalah salah satu perguruan kelas menengah aliran putih yang mendiami pulau emas besar, tepatnya berada di wilayah kerajaan Muaro Lamahtang.
Perguruan yang cukup berpengaruh karena keberadaannya efektif membentengi wilayah selatan pulau Emas Besar dari berbagai ancaman keamanan dari kelompok perampok, perompak maupun kelompok-kelompok aliran hitam yang biasanya membuat onar.
Namun, siang itu kondisi perguruan Matahari Emas terlihat sangat kacau dan porak poranda akibat penyerbuan dari kelompok yang belum diketahui siapa dan apa motivasi penyerangan tersebut. Ratusan mayat tampak bergelimpangan bersimbah darah atau kehilangan bagian tubuh yang kadang terlihat hangus terbakar. Sebagian besar jumlah mayat didominasi oleh warga padepokan. Aroma bau amis darah menyeruak memenuhi udara siang itu.
“Lindungi perguruaaaaaan....! Jangan biarkan mereka masuk!”
Terdengar teriakan-teriakan dari para senior dan sesepuh perguruan memberi semangat dan mengarahkan para anggota perguruan untuk tetap bertahan diantara dentingan senjata yang beradu.
Sementara, para penyerangpun tampak makin beringas. Teriakan-teriakan mereka memprovokasi lawan tak kalah lantang terdengar.
“Hayo! Musnahkan! Bumi hanguskan tempat ini!”
Yang lain berseru : “di dalam sana, pasti banyak wanita cantik yang bisa kita nikmati....! Hahahahaha...!”
Namun yang paling banyak terdengar tetaplah teriakan-teriakan kematian di setiap sudut. Suasana yang sangat memilukan di tempat yang biasanya tenang dan damai...
Padepokan tersebut nampak tak siap atas penyerangan itu.
Pertarungan ternyata telah berlangsung lebih dari dua Jam lamanya. Kelompok penyerang menyerbu dari tiga penjuru.
Sisi Barat perguruan telah dilumpuhkan oleh serangan gelombang pertama yang terdiri dari sekitar 400 orang pendekar aliran hitam. Mendapati perguruan diserang, para pendekar yang tinggal di padepokan segera menyambut serangan dan berusaha menahan dengan kekuatan penuh agar para penyerang tidak merangsek masuk lebih jauh ke dalam padepokan. Pertempuran hebatpun pecah di sisi barat perguruan antara seluruh kekuatan padepokan Matahari Emas melawan kelompok penyerang.
Di luar dugaan para pendekar Perguruan Matahari Emas, ternyata serangan di sisi barat hanyalah permulaan sekaligus pancingan saja, karena kemudian dari sisi sebelah timur yang berbukit-bukit justru muncul kelompok penyerang berikutnya dengan kekuatan lebih besar. Mereka terdiri dari tak kurang 500-an lebih pendekar yang dipimpin oleh 10 pendekar Sakti mumpuni. Segera saja, sisi timur padepokan dengan mudah dikuasai penyerbu nyaris tanpa perlawanan karena seluruh kekuatan padepokan yang berkekuatan sekitar 300 orang itu terkonsentrasi di sisi barat. Para penyerang kemudian memukul dari belakang kekuatan padepokan yang tengah berusaha mempertahankan sisi barat dari serbuan kelompok pertama.
Pertarunganpun mulai tak seimbang. Korban dari pihak padepokan terus bertambah dengan cepat.
Keadaan sebenarnya bisa saja tidak akan separah ini seandainya kondisi perguruan Matahari Emas sedang prima. Masalahnya, tiga bulan yang lalu Guru Besar mereka, Ki Brajawana sang Pendekar Matahari Emas tewas terkena serangan racun Kelabang Hitam saat menghadiri pertemuan para pendekar aliran putih yang ternyata adalah jebakan. Selain itu, para pendekar senior padepokan juga banyak yang belum kembali dari menjalankan misi yang ditugaskan oleh mendiang Pendekar Matahari Emas.
Kondisi diperparah dengan dualisme kepemimpinan dalam padepokan akibat perebutan pengaruh antara Bandu Aji sang Ketua baru yang merupakan anak dari Mendiang Pendekar Matahari Emas, dengan Juwana sang jenius beladiri perguruan. Bandu Aji, sang Ketua Padepokan yang menggantikan Pendekar Matahari Emas itu ilmu bela dirinya kalah jauh bila dibandingkan dengan Juwana Kalin sehingga para Sesepuh padepokan lalu membagi kewenangan keduanya. Bandu Aji sebagai ketua Padepokan berperan dalam mengurusi operasional dan administrasi perguruan sedangkan Juwana Kalin yang kemampuan beladirinya lebih tinggi didaulat sebagai guru besar.
Tak disangka, hal ini justru memicu benih perpecahan di dalam padepokan tersebut mengingat sebelumnya, posisi guru besar dan ketua disandang sekaligus oleh Mendiang Pendekar Matahari Emas, Ki Brajawana.
Baik Juwana maupun Bandu Aji dibantu oleh para Sesepuh padepokan sangat kewalahan menghadapi pasukan penyerbu tersebut. Mereka terdesak dan terancam musnah bila tidak mampu bertahan.
Para pendekar yang menyerang setidaknya merupakan gabungan dari empat kelompok besar bila melihat dari permainan jurus dan seragam yang berbeda-beda. Sayangnya belum diketahui siapa mereka sebenarnya.
“Pasukan ini setidaknya paling rendah berada di level pendekar Madya. Aku tidak menemukan pendekar mereka yang tidak memiliki kemampuan tenaga dalam”
berkata Bandu Aji kepada salah satu Sesepuh perguruan yang bertarung bersamanya.
“Aku tidak yakin kita bisa selamat melihat perbedaan kekuatan kita dengan mereka” Sambungnya sambil tetap menebaskan pedangnya kepada lautan musuh yang seperti tiada habisnya menyerbu. Selalu ada nyawa yang melayang setiap kali pedang itu ditebaskan.
“Benar ketua! Para murid kita yang berada di tingkat madya-pun kewalahan dan terbantai” Sesepuh berumur sekitar 40an tahun itu membenarkan pernyataan ketuanya dengan nafas yang makin ngos-ngosan karena telah bertarung selama dua jam tanpa jeda.
Kondisi mereka berdua makin memburuk, tidak jauh berbeda dengan sisa belasan sisa rekan mereka yang masih bertahan. Luka sayatan senjata dan bekas pukulan telah banyak menghiasi tubuh mereka. Namun mereka bertekad untuk bertarung sampai titik darah penghabisan, apalagi melihat seluruh penghuni padepokan tak terkecuali wanita dan anak-anak telah dibantai tanpa ampun.
“Kita mungkin tak akan bertahan, tapi setidaknya kita akan mati membawa sebanyak mungkin penyerang ini bersama kita...!!”
Teriakan bandu aji tersebut adalah teriakan terakhirnya, karena setelah itu sedikitnya lima ledakan energi panas mendarat di sekujur tubuhnya.
Bandu Aji terhempas dari tempatnya berdiri menimpa mayat-mayat di yang bergelimpangan sekitarnya. Pedang di tangannya terlepas dari genggamannya.
Sementara tak jauh dari situ, dia melihat seringai 3 orang yang barusan menyerangnya. Sesepuh yang bertarung bersamanya bernasib lebih buruk. Dia telah roboh dengan pedang yang mengunjam di dada kirinya dan seorang pendekar lain dari pihak penyerbu telah berdiri menginjak kepalanya dan meremukkannya dengan sekali hentakan berisi kekuatan tenaga dalam yang menimbulkan reaksi kejut pada udara di sekitarnya.
“Kau ketua yang lemah!” ejek seorang pendekar wanita diantara 3 penyerangnya. Lidah perempuan tersebut menjilati buku-buku tangannya yang mengepal dan masih mengeluarkan asap tipis.
“Biarkan aku saja yang mencabut nyawamu...” wanita itu melompat dan mengarahkan pukulan pamungkas ke arah bandu aji yang masih berusaha dengan susah payah untuk bangkit.
‘whuuuuussssssyyyhhhh.......’ DUARRR!!!
Pukulan dari kepalan tangan yang merah membara dari wanita paruh baya berambut putih tersebut membentur sesuatu. Tubuhnya terhempas kebelakang tak menyangka akan ada yang menghadang pukulannya.
“Kurang Ajar! Cari mati!” wanita itu mengumpat sambil memegangi dadanya yang sesak akibat pukulan tenaga dalamnya berbalik kepadanya. Darah menetes dari sudut bibirnya. Di hadapan mereka telah berdiri seorang pemuda yang terlihat belum genap berusia 20 tahun menghadangnya dengan sebuah senjata berbentuk keris dengan pancaran energi dahsyat di tangannya.
“Tak kusangka, kalian aliran hitam dari pulau seberang sepengecut ini. Menyerang sebuah perguruan kecil dengan mengerahkan kekuatan sebesar ini di saat mereka tidak siap!” Pemuda itu berkata lantang. Lalu berbalik kepada Bandu Aji. “ Saudara ketua, aku adalah murid kelana dari ayah anda. Izinkan aku membantu...”
..belum sempat pemuda itu menyelesaikan kalimatnya, pendekar wanita yang menjadi lawannya telah kembali menyerangnya bersama dua rekannya..
Pertarungan sengit kembali terjadi. Pertukaran puluhan jurus antara pemuda misterius tersebut dengan para pengeroyoknya berlangsung cepat. Tercipta kerusakan lebih parah disekitar pertarungan akibat hempasan energi yang berasal dari tenaga dalam keempat orang tersebut. Kemampuan pendekar misterius tersebut nyatanya jauh di atas bandu aji bahkan mendekati kemampuan mendiang guru besar sekaligus ayahnya, Pendekar Matahari Emas.
Tidak butuh waktu lama, ketiga pendekar yang mengeroyoknya telah terhempas dengan nyawa meninggalkan badan setelah masing-masing dihadiahi pukulan berkekuatan besar yang menghancurkan batok kepala mereka.
Benar-benar kekuatan yang mengerikan untuk ukuran pendekar dengan usia semuda dirinya. Itulah yang kini ada dalam benak Bandu Aji yang kini nafasnya tinggal satu-satu dan makin melemah.
Pemuda itu segera menghampiri bandu aji yang sekarat, menopang dengan tangannya dan membantunya untuk duduk.
“terimakasih, pendekar, tapi.. uhuk...!” bandu aji berkata dengan nafas yang sudah hampir terputus. Luka dalamnya tampaknya sangat parah. “tapi.. kita tak mungkin memenangkan pertarungan ini.... Uhuk..uhuk...!” bandu aji kembali terbatuk meludahkan darah kental dari mulutnya dan kondisinya makin melemah. “tuan pendekar, mohon pergilah. Selamatkan... harta karun perguruan... se..ka..ligus.. mohon... ban... tu.. selamat.. kan.. hoh, hoh... anakku... Dia.. dia ada.. di bukit goa.. ba... tu..!” bandu aji menghembuskan nafas terakhirnya dengan tangan menggenggam sesuatu yang diambilnya dari balik bajunya untuk diserahkan kepada pendekar yang menolongnya tersebut.
Tak menunggu lama, setelah mengambil sesuatu dari tangan Bandu Aji, pendekar tersebut kembali terlibat dalam pertarungan sengit.
Para penyerang seolah tak memberi dia waktu untuk sekedar menarik nafas. Gerakannya yang sangat cepat nyaris sulit untuk diikuti oleh mata bahkan para pendekar yang mengeroyoknya pun kesulitan mengantisipasi setiap kelebat keris di tangannya.
Satu, dua, sepuluh, dua puluh dan terus bertambah jumlah penyerang yang meregang nyawa di tangan pemuda ini.
Hal ini rupanya disadari oleh salah satu pendekar sakti mumpuni diantara para penyerang yang sejak tadi mengamati. Dia adalah Ra Hanta. Salah satu pimpinan dari para penyerang padepokan tersebut.
Sejurus kemudian, tanpa aba-aba sebuah kelebat sinar terang berkecepatan sangat tinggi dan berhawa panas menerjang pemuda pendekar yang sedang dikeroyok tersebut.
‘Wuussshhhhh.... DUAR...!!!
Kembali suara ledakan energi panas mambahana. Bersamaan dengan itu, sekitar 20 oarang pengeroyok pemuda tersebut terlempar tanpa nyawa lagi karena ledakan energi tersebut. Asap bercampur debu tebal menyelimuti area pertarungan tersebut.
“Mampus Kau..!” Ra Hanta menyeringai sambil meniup buku-buku tangannya yang masih memerah bara dan mengepulkan asap tipis. Dia tampak tak peduli bahwa justru para bawahannya yang menjadi korban serangannya sendiri.
Begitu debu dan asap yang menyelimuti arena pertarungan menghilang, Ra Hanta terkejut dan senyumnya menghilang karena tidak menemukan mayat pemuda yang diserangnya.
“Hah?? Menghilang kemana bocah itu?! Dengan pukulan Aji segoro geni-ku itu seharusnya dia mati terpanggang..!”
Ra Hanta nampak tak senang dan tak tenang mengetahui musuh yang diserangnya tidak berada di tempat. Namun kegelisahannya tak berlangsung lama karena tiba-tiba lehernya telah tertebas keris pemuda tersebut.
“Aaaaaaaaakh.. glok..glok.. grrrrkkkkk....” suara pekikan yang bercampur dengan muncratnya darah dari leher yang tergorok keris itu terdengar sangat mengerikan.
Pemuda misterius itu ternyata telah berada di belakang Ra Hanta dan mengakhiri petualangan pendekar Sakti mumpuni tersebut dalam sekali gerakan.
Kini, hanya tinggal pemuda tersebut yang masih bertahan di antara kepungan lautan musuh yang terus meringsek maju. Dia telah berhasil membunuh setidaknya 4 orang pimpinan kelompok penyerang, namun kelompok itu memiliki sekitar 20 lebih pimpinan yang setidaknya membawahi 30an pendekar.
Pimpinan tertinggi kelompok ini sepertinya adalah seorang lelaki paruh baya berjubah hitam dengan rambut putihnya yang terlihat melayang di udara mengamati jalannya pertarungan. Perhatiannya teralihkan kepada energi yang cukup besar yang dipancarkan dari pertarungan singkat sang pendekar misterius melawan anak buahnya.
Lelaki itu memancarkan kekuatan sangat besar yang tidak akan mungkin untuk bisa dihadapi saat ini. Jelas dia bukan tandingan pendekar terkuat di perguruan ini. Hal ini disadari oleh pemuda misterius itu.
‘Aku harus segera meninggalkan tempat ini. Aku tak mungkin bisa menghadapi para ******** sebanyak ini sendirian atau aku akan mati sebelum membalas kematian guruku’
Sesaat kemudian, pemuda itu sekali lagi mengamuk dan menghabisi musuh-musuh di dekatnya. Para penyerang bergidik ngeri melihat staimina dan kemampuan pendekar muda tersebut sehingga memilih lebih hati-hati untuk menyerang.
Empat orang pemimpin kelompok penyerang lainnya yang berkekuatan setara dengan Ra Hanta maju untuk menghujani pendekar muda misterius tersebut dengan pukulan berhawa panas dari jarak jauh. Bola-bola api berwarna merah kekuningan dan putih melesat ke arah pemuda misterius. Namun, saat bola-bola api panas tersebut mencapai posisi pemuda tersebut berada, pemuda itu telah melesat cepat berusaha menjauh untuk meloloskan diri dari serangan.
‘Dhuar..! Dhuar!.. Dhuar!..
kembali terdengar ledakan-ledakan yang sangat keras yang hanya menghantam ruang hampa. Sekali lagi Pemuda itu berhasil meloloskan diri dan melesat menjauh. Namun gerakannya kembali terkunci oleh 6 orang pendekar penyerang yang menghalanginya meloloskan diri.
Brak..! Degh! Bug..! TRANK..!!
Suara hantaman pukulan dan senjata yang beradu kembali nyaring menghiasi setiap gerakan pemuda misterius tersebut.
“Aaaaaak...!!”
terdengar pekik kematian mengerikan. 6 orang tersebut roboh dengan masing-masing kehilangan anggota badan berikut nyawa mereka. Sementara pemuda tersebut telah dengan sangat cepat dan tak mungkin dapat dikejar telah meloloskan diri dalam bentuk seperti sinar yang melesat cepat menuju ke perbukitan. Meninggalkan padepokan dan pertarungan yang segera berakhir itu.
Keadaan makin memburuk saat dari sisi Hutan di sebelah utara, gelombang penyerang berikutnya merangsek masuk sembari melakukan pembakaran dan penjarahan tak lama setelah kepergian pemuda tersebut.
**************
Siang itu, di tepi hutan salah satu sisi pegunungan yang berbaris sepanjang pulau emas besar, nampak seorang anak asyik bermain bersama seekor harimau peliharaan. Dua orang pendekar berseragam perguruan Matahari Emas tampak mengawalnya. Anak kecil berumur 4 tahun tersebut adalah cucu dari ketua sekaligus guru besar perguruan Matahari Emas, sedangkan harimau tersebut adalah hewan milik perguruan yang telah dijinakkan dan dirawat sejak kecil oleh perguruan. Dua pengawal tersebut adalah dua orang murid-murid inti dari perguruan Matahari Emas. Mereka ditugaskan untuk memastikan keamanan dan keselamatan Cucu sang guru besar.
Bermain di tepi hutan tersebut bersama si imau, begitu merka menamai harimau itu, adalah kebiasaan sang cucu guru besar. Selain bermain, kegiatan tersebut adalah dalam rangka memberi kesempatan harimau tersebut untuk berburu makanannya.
“Danang, sepertinya kita harus segera pulang. Hari sudah menjelag sore. Guru pasti sudah menunggumu” Kuyung sang pendekar kurus berumur sekitar 40an tahun mengingatkan bahwa waktu bermain sudah hampir habis.
“Iya Danang. Si Imau juga sepertinya sudah cukup kenyang setelah melahap anak **** hutan tadi” Danu si pendekar gempal yang lebih muda menimpali.
“Baik paman. Ayo imau, kita pulang..” Sang anak mengerti dan segera mengajak teman bermainnya untuk pulang.
“Tunggu...” Tiba-tiba kuyung bersikap waspada dan memberi isyarat kepada rekannya dan Danang untuk menunduk sembari meletakkan jari telunjuk di depan bibir dengan posisi tubuh sedikit merunduk
“Aku mendengar suara mencurigakan. Sepertinya ada pergerakan banyak orang dengan kecepatan tinggi tak jauh dari sini...”lanjutnya setengah berbisik.
Tanpa bicara, Danu segera mengambil alih imau dari anak kecil tersebut, memegang belakang kepala danang dan menyuruhnya merunduk. Kuyung sendiri tanpa menunggu langsung melesat ke atas salah satu pohon tinggi di sekitar mereka untuk mengamati keadaan.
Tak lama kemudian, kuyung telah meluncur turun dengan muka pucat.
“Mereka menuju ke padepokan. AAAAAKKHHHHHH.....!!” belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Kuyung roboh dengan pisau-pisau menancap di beberapa bagian tubuhnya. Pisau-pisau itu jelas beracun karena dari luka yang disebabkannya kemudian berubah membiru dan segera membusuk dan terus menjalar ke bagian tubuhnya yang lain.
Danu hendak mendekat tubuh Kuyung yang mulai meregang nyawa tersebut ketika sebuah golok terbang ke arahnya..
‘WHUSSSS.........!! ..... TRAANK...!”
Golok itu berhasil ditangkisnya, namun tangannya tak berhenti begetar akibat kuatnya benturan pedangnya dengan golok tersebut. Golok itu berbelok dan menancap di sebatang pohon besar tak jauh dari tempatnya berdiri. Lagi-lagi, bagian pada pohon tempat golok tersebut tertancap mengeluarkan asap tipis pertanda golok tersebut juga beracun.
Pendekar tingkat Madya perguruan Matahari Emas itu segera waspada seraya memutar otak untuk kabur karena menyadari satu hal. Siapapun musuh yang menyerang mereka, pasti berjumlah banyak dan sangat kuat!
“Imau, bawa tuanmu pergi, Cepat!” Danu memberi perintah kepada sang harimau untuk membawa bocah kecil, danang pergi meninggalkan tempat itu. Melihat rekannya roboh dengan mudahnya, Danu merasa bahwa nyawa mereka sedang diujung tanduk.
‘Gerrrrrr... Ghrrrrr...” harimau tersebut seperti mengerti kondisi yag sedang dihadapi. Segera saja ia melesat dalam sekali lompatan, menghilang dari tempat tersebut setelah danang ada dipunggungnya.
“HAHAHAHAHAHA.......! Kalian, Orang-orang Matahari Emas tidak akan lolos!” Terdengar suara tertawa dingin dari balik semak-semak tak jauh dari Danu berdiri. Tawa itu berhasil membuat bulu kuduk merinding karena hawa membunuh yang dilepaskan pemilik suara tersebut.
Sejumlah anak panah melesat mengejar larinya harimau dan si anak kecil. Namun panah-panah tersebut sepertinya hanya mengenai ruang kosong karena sang harimau telah menghilang di balik rimbunnya hutan.
Danu yang masih berdiri siaga mempererat genggaman pedangnya sebelum sosok dua orang berpakaian merah kehitaman muncul.
Seringai meremehkan dari dua pendekar asing itu membuatnya geram sekaligus merasa tertekan. Tentu saja, karena level kekuatan mereka sudah jelas tak berimbang. Hal itu bisa dilihat sepintas dari kuatnya pedang terbang yang berhasil ditangkis dan membuat tangannya tak berhenti gemetar untuk beberapa saat lalu. Tangannya masih terasa kebas.
“Siapa Kalian? Dan Apa maksud kalian menyerang kami?!” Danu mengajukan pertanyaan kepada dua orang asing tersebut. Tentu saja dia tak mungkin mendapatkan jawaban, sebagaimana kebiasaan orang-orang dari aliran hitam yang tidak akan peduli dengan lawannya.
“Biar aku saja yang membereskannya, kakang..” Wanita yang merupakan salah satu dari dua pendekar berpakaian merah itu tersenyum sinis ke arah Danu dan melangkah maju. Tangan kanannya terangkat lurus sejajar bahu, sementara tangan kirinya seperti menunjuk di depan dada. Tiba-tiba golok yang tadinya tertancap di batang pohon tercabut dan melesat kembali ke tangan kanannya.
“Bersiaplah bertemu Kematianmu!!”
Wanita itu tidak menunggu dan segera melompat menerjang Danu segera setelah pedang tersebut melekat ditangannya. Serangannya segera disambut dengan pedang yang beradu. Dalam sekali pukulan yang mengawali pertarungan tersebut, tangan Danu kembali bergetar.
‘Ah, ternyata! Kuat sekali wanita ini’ Danu menggerutu dalam hati menyadari ternyata dirinya kalah jauh dari sisi kekuatan fisik sekalipun dengan wanita di hadapannya. ‘Setidaknya, aku tak akan mati tanpa perlawanan’
Dalam serangan berikutnya, Danu memilih menjaga jarak dan mengelak dari setiap serangan golok dan pukulan lawannya ketimbang menangkisnya. Dengan keahlian meringankan tubuhnya, pendekar madya ini setidaknya bisa bertahan lebih lama untuk mempertahankan nyawanya.
Sebuah serangan cepat yang mengarah ke leher Danu dari golok wanita tersebut berhasil ditepis dengan pedangnya, namun ternyata serangan tersebut segera disusul dengan tendangan lutut yang mengarah ke bagian perut. Danu dengan cepat melompat mundur untuk menghindari tendangan lutut tersebut, namun ternyata tangan kiri wanita tersebut telah berada di sisi kanan kepalanya. Sebuah pukulan kepalan tangan mendarat sempurna di pelipis kanan Danu, namun di saat bersamaan Danu juga berhasil menyarangkan tendangan kaki kiri ke dada lawannya. Tendangan itu tidak cukup keras karena berbarengan dengan tubuhnya menerima pukulan kepalan tangan.
Serangan keduanya berhenti beberapa detik. Danu menyeka darah yang mengalir dari pelipisnya yang robek. Sedangkan wanita tersebut tampak marah karena mendapat tendangan tipis. “Kurang Ajar! Matilah Kau..!”Wanita itu kembali berinisiatif mendahului menyerang dan tak memberikan kesempatan lawannya untuk sekedar bernafas. Ia ingin segera mengakhiri pertarungan. Goloknya kembali menebas ke area vital lawannya.
Danu menangkis dan menghindari setiap serangannya dengan segenap kemampuannya. Sesekali ia gantian menyerang.
Menyadari kemampuannya jelas di bawah wanita tersebut, Danu bertarung dengan konsentrasi tinggi. Hal itu menguntungkannya karena membuatnya selalu mewaspadai setiap perubahan gerakan lawan. Namun tentu saja, hal itu tidak banyak menolongnya dan menguras energinya lebih cepat karena terlalu tegang dalam bertarung.
Dalam serangan yang kesekian kali selama kurang dari sepuluh menit itu, wanita tersebut berhasil kembali mendaratkan pukulan tangan kiri dan beberapa kali tendangan ke tubuh danu. Namun demikian, pedang pendekar wanita itu belum berhasil menggores sedikitpun kulit pendekar muda tersebut.
“Hei Luhita! Mau sampai kapan kau main-main??”Pendekar pria rekan wanita yang dipanggil Luhita nampak tak sabar.
“Cepatlah bereskan dia! Ini sudah terlalu lama. Kita harus segera bergabung dengan yang lain!” serunya kembali.
Wanita bernama Luhita itu menoleh sebentar ke arah rekannya. Kemudian menyeringai kepada Danu.” Baiklah. Kita akhiri ini!”
Luhita mengangkat pedangnya seolah menunjuk langit. Sesaat kemudian, asap tipis berwarna putih kembali terlihat keluar dari pedangnya. Pedang tersebut seperti bergetar sesaat sebelum meluncur ke angkasa dengan kecepatan kilat dan segera menghilang dari pandangan.
Danu menjadi lebih waspada menyadari sesuatu akan segera terjadi.
Benar saja, Luhita kemudian melompat tinggi ke angkasa dengan kepalan tangan seperti meninju ke arah Danu dan......
‘WHUSSSSSSZZZZZZZ......!!!’
Sebuah kilatan berwarna hitam melesat dari kepalan tangan wanita tersebut saat ia berada di udara. Pukulan jarak jauh bertenaga besar tersebut melaju ke arah Danu berdiri dengan kecepatan mengerikan.
‘DHUUUARRRR...!!
Pukulan tersebut menghantam dan menghanguskan semak belukar tepat di bekas tempat Danu berdiri. Hanya sepersekian detik waktu bagi Danu untuk berguling-guling menghindarinya. Tampak ia kewalahan dengan serangan tersebut.
Belum sempat kembali berdiri, dari arah belakang terasa desiran angin kencang dan dingin mengarah ke tengkuknya. Sebuah mata pedang meluncur deras seperti dari ruang hampa.. Tak sempat baginya untuk menghindar.
‘Sepertinya, inilah akhir hidupku’ gumam pemuda tersebut putus asa.
‘WHUUUSSSSSSSZZZZ..... TRANK..!’
‘APA?????’ Pemuda itu melotot tak percaya ia selamat dari maut. Serangan pedang yang muncul tiba-tiba dari angkasa seperti hantu itu tak mengenainya. Justru terdengar suara benturan yang disusul tercium bau hangus seperti logam dipanaskan hasil dari benturan dua senjata. Pedang tersebut telah retak dan tergeletak di sisi kanan tubuhnya.
“Maafkan aku ikut campur urusan kalian orang-orang Segoro Geni!” ternyata sesosok pemuda telah muncul dan dalam posisi membelakangi Danu. Danu bisa melihat sepintas dari aura yang dipancarkan pemuda asing yang telah menyelamatkan nyawanya bahwa setidaknya pemuda itu memiliki kekuatan dua tingkat lebih tinggi dari dirinya. Dialah pemuda misterius yang sebelumnya ikut memberikan perlawanan dalam serangan di padepokan Matahari Emas dan berhasil meloloskan diri
“Tapi, aku memang sudah lama ingin berurusan dengan orang-orang sesat seperti kalian” pemuda itu melanjutkan kalimatnya.
Segoro Geni adalah kelompok aliran hitam yang berasal dari Pulau Padi Perak. Sepak terjang kelompok ini sejauh ini cukup meresahkan dan tidak sedikit menimbulkan korban baik korban warga biasa maupun kelompok kecil aliran putih. Tampaknya, pemuda penolong inipun salah satu yang memiliki masalah dengan kelompok ini.
Luhita yang masih terkejut karena jurus pamungkasnya ternyata gagal membunuh lawannya menjadi makin geram. Sementara teman lelakinya yang menonton pertarungan sejak tadi kini menjadi waspada.
“Luhita, Sebaiknya kau cepat bereskan saja lawanmu itu. Pemuda yang bosan hidup ini, biar aku yang mengurusnya! Aku sudah bosan terlalu lama di sini” Laki-laki yang disebut bagian dari orang-orang segoro geni itu mulai kehabisan kesabaran dan segera ingin ikut bertarung.
“Hei pendekar Durjana! Kalau sudah bosan terlalu lama di sini, kusarankan pergi saja ke Neraka!” Pemuda asing itu ternyata menyahuti ketidaksabaran pendekar berbaju merah dari segoro geni itu dan tiba-tiba menghilang dari pandangan mata.
Luhita dan rekannya yang sesaat kebingungan menjadi waspada. Namun kewaspadaan mereka menjadi sia-sia ketika tiba-tiba sebuah tebasan pedang mampir ke leher Luhita dan sukses meninggalkan luka gores cukup dalam. Pemuda itu ternyata telah muncul mendadak pada jarak kurang dari satu meter dari Luhita.
“AAAAAAKKHHHH.... Sialan Kau!!” Wanita itu mengumpat sambil memegangi lehernya yang mulai mengucurkan darah, mencoba menahan pendarahan.
Rekannya tentu saja tak tinggal diam dan segera melepaskan pukulan-pukulan beruntun berisi tenaga dalam cukup besar. Namun, pukulan-pukulan tersebut kalah cepat dibandngkan gerakan mengelak dari pemuda misterius. Titik-titik di tepi hutan yang terkena pukulan Pendekar dari segoro geni itu berubah menjadi hangus terbakar.
Pertarungan sengit segera terjadi antara Pemuda Misterius melawan pendekar dari segoro geni. Pertukaran jurus keduanya berlangsung sangat cepat. Sang Pemuda Misterius tampak mampu mendominasi lawannya tanpa kesulitan. Kurang dari lima menit kemudian...
‘WHIZZZZZSSSSSSSSSS..... TRANK!
' KRASAK.....!! BUGH! ‘
Pendekar berbaju merah telah terlempar sekitar lima meter dari arena pertarungan dan menghantam tebing tak jauh dari sana.
Tampak dia berusaha bangkit, namun usahanya terhenti saat pukulan jarak jauh lawannya mengantam tepat kepalanya dan mengakhiri petualangan pendekar aliran hitam itu selamanya. Pendekar itu mati dengan kepala yang hancur dan tanpa teriakan. Bau amis segera menyeruak.
“Tidaaaaaaaaak.....!” Luhinta, rekan wanitanya yang sedang terluka kena sabetan pedang di lehernya menjerit histeris mengetahui rekannya tewas mengenaskan dalam waktu secepat itu. Wanita itu bermaksud meninggalkan pertarungannya untuk menghampiri jasad rekannya, namun justru celah yang terbuka itu berujung dengan sebuah tendangan bertenaga dalam lumayan kuat menghantam punggungnya. Wanita itu ambruk ke tanah.
“Aaakh...!” teriakan wanita itu kembali terdengar kembali lebih pilu karena sebelum tubuhnya menyentuh tanah, sebuah pedang melesat menembus batok kepalanya. Diapun roboh dan tewas seketika.
Setelah pertarungan singkat itu selesai, pemuda misterius itu berniat menemui Danu yang masih terduduk lemah memegangi perutnya. Rupanya, dalam pertarungan sebelumnya pendekar dari padepokan Matahari Emas itu terkena sabetan senjata yang lumayan parah. Insting bertahannya-lah yang memaksanya terus bertempur hingga kemudian nyawanya diselamatkan pemuda misterius ini.
“Kisanak, apakah lukamu parah?” pemuda tersebut menanyakan kondisi luka Danu dengan mimik muka penuh kekhawatiran. Terlihat jelas di matanya bahwa kondisi pendekar yang ditolongnya semakin memburuk dari waktu ke waktu.
“Hah.. heh.. te.. rima..kasih, kisanak. Siapa.. ki.. sanak.. ini?“ bukannya menjawab, Danu malah balik menanyakan identitas penolongnya dengan nafas yang satu-satu dan makin lemah.
“Saya Gentayu...” Jawabnya singkat dan segera berjongkok memeriksa kondisi Danu. Rupanya, senjata yang mengenainya selain dialiri tenaga dalam juga mengandung racun yang mematikan.
“Tuan, gen.. tayu.. tolong... se.. lamat..kan..” Danu tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Sebuah anak panah lain telah menancap di pelipisnya menembus batok kepalanya bersama ratusan anak panah yang tak sempat ditangkis keduanya. Pendekar tersebut tewas seketika dengan tangan yang menunjuk ke arah timur tempatnya menjemput maut tersebut.
Serangan panah tidak berhenti justru semakin banyak. Gentayu kemudian segera sibuk menangkis ratusan anak panah yang seperti tak berhenti meluncur dari sisi utara tempatnya berdiri. Menyadari banyaknya musuh yang menyerang setelah dia merobohkan dua pendekar asing yang menyerbu barusan, tanpa membuang waktu gentayu segera mencari celah untuk kembali melarikan diri. Melawan pasukan sebanyak itu bukanlah ide yang baik, fikirnya.
“Habisi bocah tengik itu..!!”
Terdengar lantang suara komandan pasukan penyerang yang segera muncul dari balik semak-semak bersama sekitar dua puluh pendekar membawa senjata panah dan beberapa pendekar pedang. Namun, ‘bocah tengik’ yang dimaksud telah berhasil meloloskan diri.
“Bedebah sialan! Kucing Air! Kemana bocah itu menghilang??” sumpah serapah dan lampiasan kekesalan segera keluar dari mulut komandan tersebut.
Mereka kemudian segera berlalu dengan kesal setelah mencari-cari di sekitar tempat itu dan tak menemukan buruannya. Rombongan itu menuju ke arah Padepokan Matahari Emas. Meninggalkan empat mayat di tempat tersebut begitu saja sekalipun dua diantaranya adalah rekan mereka sendiri.
Sementara itu, Gentayu, pendekar misterius yang sebelumnya terlibat melawan pasukan penyerbu, telah berhasil menemukan anak kecil bersama harimaunya. Anak kecil itu adalah anak dari Bandu Aji, penerus dari Ki Brajawana sang Pendekar Matahari Emas. Sayangnya, saat ditemukan anak tersebut telah terbunuh dengan sebuah anak panah menancap dipunggungnya. Harimaunya sendiri tak kalah mengenaskan karena kakinya membiru dan sebuah anak panah lain menancap di sana. Namun harimau itu masih hidup.
Tak menunggu lama, dibopongnya tubuh harimau yang besarnya hampir seukuran anak sapi itu tanpa masalah. Namun, saat ia hendak meninggalkan tempat itu karena khawatir para pengejarnya tak akan membiarkannya lolos begitu saja, sebuah suara yang berat mengagetkannya.
“Tuan...”
Celingukan Gentayu berusaha mencari sumber suara yang sepertinya sangat dekat itu.
“Tuan... saya di.. sini..”
Gentayu kaget dan segera melepaskan kedua tangan yang sedang membopong harimau itu. Ternyata harimau itu yang bersuara.
‘Gedebugh..!’
Terrdengar suara seperti benda berat yang jatuh ke tanah saat tubuh hewan malang itu harus jatuh ke tanah gara-gara penolongnya terkejut.
“Ugh...! Sakit...! Hei tuan.. kau.. kuat, tapi kagetan..” harimau itu antara mengumpat dan mengeluh.
“Bb..bb..bagaimana.. kau bisa bicara??” tanya Gentayu dengan mata melotot tak percaya.
“Tuan.. tolong..cabut panah ini. Lalu tempelkan... tanganmu.. di.. keningku.. tidak. Tapi di antara kedua alisku.. waktu kita tak.. banyak...” harimau aneh itu memberi petunjuk kepada Gentayu.
Gentayu segera tersadar dari keterkejutannya. Tanpa bertanya dan menunggu, segera dilaksanaknnya petunjuk harimau itu.
Panah yang menancap di kakinya telah tercabut. Gentayu kemudian menempelkan tangannya ke titik diantara kedua alis harimau itu.
“Lalu apa lagi?”
Gentayu meminta penjelasan lebih lanjut.
“Baik. Alirkan.. hawa... murni.. tuan.. ketika terasa... ada sesuatu... yang masuk.. ke aliran darah di tangan.. tuan, mohon.. jangan.. di.. lawan. Engkau... akan.. tau.. dan.. mendapat.. manfaatnya...” harimau itu kembali menjelaskan dengan nafas tersengal yang makin lemah.
“Baik!” Gentayu mengerti.
Rasa penasaran dan khawatir segera ditekannya. Lalu segera melakukan petunjuk dari harimau itu.
Gentayu memejamkan mata. Dialirkannya hawa murni dari tubuhnya ke titik di antara dua alis harimau itu. Awalnya, dia tak merasakan apapun. Namun lama-kelamaan, terasa ada hawa dingin mulai merayap dari tubuh harimau menuju telapak tangannya, lalu naikke pergelangan, naik ke siku, dan berhenti di lengan bagian atasnya.
“Apa ini??” Pemuda itu bermaksud mengajukan pertanyaan kepada sang Harimau, tapi harimau itu telah menutup matanya. Nafasnya berhenti. Harimau itu telah mati..
“Tuan..”
Tiba-tiba kembali terdengar suara harimau itu. Namun kali ini sangat lancar. Tanpa nafas tersengal dan kesakitannya.
“Tuan, apakah engkau mendengarku?”
Suara harimau kembali terdengar, namun kali ini jelas bukan dari tubuh harimau yang mulai kaku di tanah ini.
“I.. iya.. aku mendengarmu” agak gugup Gentayu menjawab dengan bingung.
“Sebaiknya tuan segera pergi dari sini. Gerombolan penyerang itu mungkin masih mengejar. Tidak aman di sini”
Suara harimau yang entah bagaimana dia bersuara itu kembali terdengar.
“Baiklah..” Gentayu menjawab singkat dan dengan kesaktiannya segera melesat menjauh dengan lincah diantara dahan-dahan pohon dan semak di hutan itu. Hanya terlihat kelebat bayangannya tanpa terlihat wujudnya. Manusia biasa pasti akan mengira bahwa ia adalah hantu.
Setelah melesat sekian lama, gentayu akhirnya tiba di pinggir sungai. Sungai yang cukup besar karena dari hulu dan hilirnya sesekali melintas perahu-perahu berukuran lumayan besar dengan bermacam muatan hasil bumi dan penumpang. Mata pemuda itu kemudian tertuju pada deretan perahu dengan bendera-bendera yang berkibar.
‘Ah.. dilihat dari benderanya, itu pasti perahu-perahu yang dipakai sebagai sarana mengangkut ratusan anggota kelompok aliran hitam yang menyerang perguruan Matahari Emas...’ Gentayu kemudian tersenyum setelah berfikir sesaat.
‘Sebaiknya aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Perahu-perahu itu berjumlah tidak kurang dari 50 kapal. Tapi penjaganya semuanya tidak lebih dari 30 orang. Mereka terlalu percaya diri’
Ya. Gentayu saat ini sedang berfikir untuk melumpuhkan para penjaga perahu, merusak dan membakar perahu mereka, lalu menjarah isinya.
Gentayu berfikir bahwa untuk sebuah rombongan pasukan yang menjalankan sebuah misi, pasti dibekali dengan sumber daya memadai. Setidaknya makanan, obat-obatan, dan tentu saja harta hasil jarahan dari penyerangan yang telah dilakukan sebelum menyerang Matahari Emas. ‘Aku akan kaya’ fikirnya.
“Tuan..” kembali terdengar suara sang harimau.
“kini aku sudah dalam bentuk asliku. Ya, aku adalah roh yang kebetulan terkurung dalam tubuh harimau tersebut. Kini aku bersemayam dalam lenganmu dalam bentuk lukisan 2 belang harimau. Kau bisa gunakan kekuatanku. Jangan khawatir. Suaraku hanya bisa didengar oleh tuan saja”
“Eh, apa? Menggunakan kekuatanmu? Bukankah kau sendiri tidak bisa melindungi dirimu sendiri sehingga mati oleh panah-panah itu?” Gentayu menyahut sekenanya dan terkesan mengejek roh harimau.
“Eh, tuan.. Aku memang lemah dalam tubuh harimau itu. Bagaimanapun, tubuh itu adalah segel bagi kekuatanku. Aaaah.. terlalu lama menjelaskannya. Begini saja. Tuan alirkan sedikit tenaga dalam ke lengan tuan. Lalu, arahkan ke perahu-perahu itu, dengan menyebut ‘Tinju Naga Api’ maka tuan akan tahu..” Roh harimau itu menjawab dan menjelaskan dengan sedikit kesal.
“Eh, apa? Tinju Naga Api? Bukannya engkau ini harimau?” Gentayu kembali terkikik geli mendengar nama jurus yang harus dipraktekkan. ini seperti iklan susu sapi tapi gambarnya beruang dengan iklan naga di zaman modern, tentu saja.
“Lah.. ini khan jurusku. Suka-suka aku lah menamainya apa..!” Roh harimau mendengus kesal.
“hehehe... baiklah. Kita lihat kemampuanmu..”
Sesaat kemudian..
“Tinju Naga Api!”
Sebuah sinar putih terang berukuran cukup besar melesat dari kepalan tangan Gentayu ke arah perahu-perahu yang ditambatkan di tepi sungai. Gentayu saat ini melesakkan jurusnya dari kiri kapal ditambatkan.
‘BLARRR.... BRASHHHHH.....!!!’
Suara ledakan dahsyat terdengar saat lesatan sinar putih terang menghajar lambung kapal. Ternyata sinar itu tidak berhenti setelah lambung kapal itu hancur dengan kondisi hangus dan lalu terbakar. Namun sinar putih terang menyilaukan itu justru makin membesar dan terus melaju hingga lebih 15an kapal mengalami kehancuran pada bagian lambung.
Gentayu melongo melihat dampak dari serangannya yang tidak disangka akan sedahsyat itu karena tenaga dalam yang dialirkannya sebenarnya sangat kecil. Bahkan seharusnya tidak cukup untuk menumbangkan seorang pendekar pemula.
Kondisi berbeda dialami awak perahu yang berjaga. Mereka berloncatan dengan panik. Sebagian menghambur lari menuju hutan di tepi sungai saking kagetnya mendapati serangan dahsyat yang mendadak itu.
Sementara beberapa dari mereka yang di atas perahu tak sempat menyelamatkan diri harus meregang nyawa dalam kondisi tubuh hangus terbakar ataupun langsung menjadi abu. Namun yang paling banyak adalah mereka yang terluka lumayan parah terkena serpihan perahu yang meledak.
“Cepat tuan, segera habisi mereka sekarang. Gunakan kekuatanku sekali lagi untuk menghancurkan sisa kapal yang lain. Selebihnya, tuan tahu yang harus dilakukan” seru roh harimau kemudian, membuyarkan keterkejutan Gentayu.
“Baiklah..” Gentayu segera berlari mendekat ke arah perahu-perahu yang terbakar. Tujuannya bukan pada perahu yang telah hancur dan terbakar, namun pada sisa perahu dan kapal lain yang masih utuh.
“Tinju Naga Api!” serunya sekali lagi.
Kembali seberkas sinar putih lebih besar dan lebih menyilaukan dengan deru suara lebih keras meluncur dengan kecepatan dua kali lebih cepat dibandingkan serangan pertama. Segera sisa kapal yang lain mengalami nasib lebih buruk. Namun para awak kapal yang menjadi korban lebih sedikit karena mereka telah menyingkir saat serangan pertama.
Gentayu segera bergerak cepat menjarah seluruh isi kapal yang masih selamat di ‘dermaga dadakan’ tersebut. Seluruh barang hasil jarahannya kemudian dipindahkan ke sebuah perahu yang memang sengaja disisakan tidak dihancurkan.
Menyadari pergerakannya, beberapa pendekar yang sempat berlarian menyelamatkan diri kembali dengan maksud untuk menghalau pemuda itu. Namun tentu saja, nyali mereka telah ciut sebelum sempat menyerang saat pemuda itu tanpa menoleh dan sambil melanjutkan penjarahannya kembali mengarahkan Tinju Naga Api kepada kerumunan pendekar aliran hitam tersebut.
‘WRRRRRRR.... WHUSSSSS.... BLARRRR...!!
Pukulannya menggetarkan tanah tempat para pendekar aliran hitam itu berdiri hendak menyerang, menyisakan sebuah lubang gosong 5 buah roda kereta dengan asap mengepul. Sementara para pendekar yang tadinya hendak menyerang terpental dengan tubuh gosong. Bau daging bakar segera menyeruak ke udara.
Setelah selesai menjarah dan perahunya telah terisi penuh. Gentayu segera melarikan perahunya ke arah hilir sungai.
“para penyerang itu pasti akan kaget saat tahu bahwa persediaan makanan dan harta benda mereka habis terbakar. Setidaknya, mereka harus merampok lagi kalau ingin makan atau mereka akan kelaparan. tuan!”
“Bukankah kalaupun kapal dan logistik mereka utuh mereka juga tetap akan merampok di sepanjang sungai ini? Biarlah. Setidaknya, peluang para pengawal saudagar yang lewat untuk menang dalam pertarungan lebih besar. Mereka lebih mungkin akan bisa bertahan menghadapi para pendekar kelaparan dan kelelahan sehabis bertarung. Dan tentunya, kalaupun para pengawal sudagar itu dikalahkan, hasil jarahan itu tetap tidak akan cukup untuk makan begitu banyak orang. Paling tidak, kita membuat mereka berkonflik berebut makanan”
Gentayu melaju bersama kapalnya yang berisi barang jarahan dalam kecepatan sedang. Layar yang digunakan sebagai pendorong kapal terkembang. Sesaat lagi malam akan segera datang. Pemuda itu merasa sangat kelelahan secara mental dan fisik. Terlalu banyak kematian hari ini. Terlalu banyak pertarungan. Dan akan banyak yang harus diperhitungkan di masa depan.
Perahu terus berlayar menyusuri sungai dalam gelapnya malam. Gentayu segera terlelap dan memasrahkan kapalnya pada angin dan layar kapalnya. Hingga saat menjelang fajar, perahu berhenti saat menabrak sesuatu. Tabrakan yang cukup keras hingga berhasil membangunkan Gentayu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!