Brian baru saja pulang dari perusahaan, lalu dia melajukan mobilnya karena hari ini adalah hari ulang tahun adiknya. Demi menepati janji kepada sang adik, Brian rela pulang lebih awal, meskipun dia masih memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan.
Brian melajukan mobilnya menuju Mansion Keluarga Stuart. Sebelum pulang ke Mansion, dia mampir terlebih dahulu untuk membeli hadiah. Saat dalam perjalanan, tiba-tiba hujan pun turun, dan jalanan menjadi sangat licin, apalagi macet yang sangat parah.
"Sial, kenapa harus macet sih," gerutunya. Dia terus menunggu hingga jalanan kembali normal.
Sementara itu, di kediaman keluarga Stuart, semua orang hendak merayakan ulang tahun Amelia. Mereka tinggal menunggu Brian saja.
"mah kenapa, Kak Brian belum datang?" Tanya Amelia.
"Sabar Sayang, mungkin Kak Brian sedang berada di jalan atau dia terkena macet."
"Kenapa, Kak Brian belum datang?" tanya Amelia.
"Sabar, sayang. Mungkin Kakakmu sedang berada di jalan atau dia terkena macet," jawabnya.
Jalanan kembali normal, dan Brian melajukan mobilnya. Namun, dari arah berlawanan, sebuah truk mengalami rem blong, dan Brian tidak bisa menghindari truk tersebut karena jaraknya sudah terlalu dekat.
Mobil milik Brian tertabrak oleh sebuah truk besar, menyebabkan kecelakaan yang serius.
Mobil Brian terhempas ke dalam Sungai, sementara truk yang menabraknya menabrak pagar pembatas jalan.
Amelia terus menunggu kakaknya datang, tapi entah kenapa dirinya merasa sangat cemas dengan kakaknya.
"Kak, kenapa kamu belum datang? Bukankah kamu sudah janji akan datang ke pesta ulang tahunku?" ucapnya dalam hati.
Sebuah telepon masuk ke ponsel seseorang, saat dia mengangkat teleponnya, dirinya langsung kaget dan shock.
"Apa?" ucap Samuel tak percaya.
"Ada apa, Kak Samuel? Kenapa wajahmu terlihat begitu kaget," ucap Amelia. Samuel adalah tangan kanan dari Brian, dia sudah mengenal Brian sejak berumur sepuluh tahun, karena saat itu Brian lah yang telah menyelamatkan hidupnya.
"Maaf, Nona muda. Tadi aku mendapatkan telepon bahwa ada sebuah kecelakaan, dan mobil yang mengalami kecelakaan sangat mirip dengan milik Tuan muda," ucap Samuel, memberitahukan kejadian tersebut.
Deg
Jantung Amelia seakan berhenti sejenak.
"Kakak, tidak mungkin itu Kakak Kan," jawab Kak Samuel. "Tidak mungkin itu Kak Brian, kan?"
"Saya belum tahu, Nona, tapi kita harus menyelidikinya."
"Ada apa, kalian berdua? Dan kenapa wajah kamu sangat sedih, sayang?" ucap Mamah Gracia.
"Mah, Kak Brian..." Sambil menangis, dia sepertinya tak bisa melanjutkan pembicaraannya.
"Katakan, apa yang terjadi dengan Kakakmu?" ucap Gracia.
"Kak Brian, dia, dia......."
"Iya, Kakakmu kenapa, sayang? Apa yang terjadi dengannya? Kenapa kamu menangis? Apa ada sesuatu dengannya?"
Amelia tidak bisa berkata apa-apa lagi, dia hanya bisa meneteskan air matanya saja.
Karena tak mendapatkan jawaban dari putrinya, Mamah Gracia bertanya pada Samuel.
"Samuel, apa yang terjadi dengan Brian?"
"Mohon maaf, Nyonya. Saya tadi baru saja mendapatkan telepon bahwa ada sebuah kecelakaan, dan mobil yang dikendarai sangat mirip dengan milik Tuan muda."
Deg.
Mamah Gracia kaget ketika mendengar hal tersebut, dirinya seakan tidak percaya.
"Apa benar, Brian yang mengalami kecelakaan?" ucap Mamah Gracia. Dia berusaha untuk lebih tenang.
"Saya belum tahu, Nyonya. Apakah yang mengalami kecelakaan Tuan muda atau bukan."
"Samuel, kamu harus menyelidikinya," ucap Mamah Gracia.
"Baik, Nyonya."
Samuel segera meminta rekaman CCTV dari kecelakaan tadi. Setelah seseorang mengirimkan rekaman kecelakaan tersebut, dirinya semakin kaget dan tidak percaya dengan kejadian tersebut.
"Ternyata benar, Tuan muda yang mengalami kecelakaan. Aku harus segera menyampaikan hal ini pada Nyonya besar dan Nona muda."
Samuel langsung menemui mereka berdua.
"Nyonya, ada hal yang harus disampaikan mengenai Tuan muda."
"Ada apa dengan Brian?" ucap David. Dia baru saja pulang dari tempat kerja dan akan ikut merayakan ulang tahun putrinya.
"Brian mengalami kecelakaan, Tuan. Mobilnya masuk ke dalam sungai, dan sampai saat ini dia masih belum ditemukan."
"Apa? Brian mengalami kecelakaan." David langsung pingsan ketika mendengar hal tersebut, sementara Amelia dan Mamah Gracia langsung menangis, meneteskan air mata.
Sementara itu, seorang pasangan tua sedang memancing di Sungai. Mereka berdua dikejutkan dengan sosok seseorang yang mengambang di sungai dan tidak sadarkan diri.
"Pah, ada mayat! Pah, cepat angkat," ucap Istrinya.
"Apa?" Suaminya kaget ketika melihat ada mayat di sungai, dan dia langsung mengambilnya. Tapi ketika dia berhasil mengambil mayat tersebut, dia merasakan masih ada denyut nadi walaupun kepalanya mengalami pendarahan.
"dia masih hidup mah, dia masih bisa bernapas."
"Dia masih hidup, Mah. Dia masih bisa bernapas."
"Sudah, Pah. Kita harus membawanya ke rumah," ucapnya.
Akhirnya, kedua pasangan tersebut membawa pria tersebut ke rumah.
Sesampainya di rumah, mereka berdua langsung menidurkannya di kamar, lalu suaminya segera mengobati pemuda tersebut.
Dengan sebuah pengobatan tradisional, dia mengobati luka pemuda tersebut.
"Bagaimana, Pah? Apa dia tidak apa-apa?"
"Kepalanya mengalami benturan, dia harus dibawa ke rumah sakit. Aku tadi baru saja menghentikan pendarahannya."
"Tapi bukankah di sini akses kendaraan sangat minim, apalagi kita memiliki hutang dengan juragan kaya. Bagaimana kalau kita membayar dokter nantinya?"
Mereka berdua semakin pusing, tapi suaminya tetap ingin membawa pemuda tersebut ke rumah sakit.
Dia pun langsung pergi ke rumah juragan kaya untuk meminjam uang demi mengobati pemuda tersebut.
Kini, orang tua tersebut sudah sampai di kediaman Juragan Kaya.
Dia meminta penjaga rumah untuk membuka gerbang rumahnya dan mengatakan bahwa ada seseorang yang ingin menemuinya.
"Tuan Wira, ada seseorang yang ingin bertemu dengan Tuan," ucap Pelayan tersebut.
"Siapa yang ingin bertemu denganku?"
"Sepertinya orang itu mirip dengan Pak Ujang."
"Suruh dia masuk."
"Baik, Tuan."
Pak Ujang langsung masuk ke dalam kediaman Tuan Wira. Kini, Pak Ujang sudah berada di hadapan Pak Wira.
"Ada apa kamu kesini, apa kamu ingin melunasi hutangmu?"
"Maaf, Tuan. Untuk itu, saya masih belum memiliki uang. Saya masih berusaha untuk mencarinya. Tapi saya disini ingin meminjam uang lagi, Tuan," ucap Pak Ujang.
Brakk!
Tuan Wira langsung membanting mejanya. Dia merasa sangat marah dengan Pak Ujang karena bukannya mengembalikan hutangnya, Pak Ujang malah meminjam uangnya lagi.
"Kamu bukannya mengembalikan hutangmu, malah meminjam uang lagi."
"Saya mohon, Tuan. Ini darurat, saya berjanji setelah ini aku pasti akan mengembalikan uangnya."
Pak Ujang terus memohon pada Tuan Wira agar diberikan uang untuk pengobatan pemuda yang dia selamatkan. Tetapi Tuan Wira tetap tidak mau meminjamkan uangnya.
Pak Ujang lalu pergi dari kediaman Tuan Wira dengan perasaan kecewa. Sampai di rumah, istrinya bertanya apakah berhasil meminjam uang dari Tuan Wira.
"Bagaimana, Pah? Apa Tuan Wira mau meminjamkan uang?" ucap Bu Anita.
Pak Ujang hanya menggelengkan kepalanya, dan Bu Anita paham bahwa Tuan Wira tidak mau meminjamkan uangnya.
~Bersambung~
Seminggu kemudian, pemuda tersebut membuka matanya. Pak Ujang dan Bu Anita sangat senang akhirnya pemuda tersebut sadar juga.
"Nak, apa kamu baik-baik saja?" ucap Pak Ujang.
"Aku di mana, dan siapa Tuan?" ucap pemuda tersebut.
"Kamu berada di rumah kakek, apa kamu tidak tahu apa yang terjadi denganmu?" ucap Pak Ujang, dan pemuda tersebut hanya menggelengkan kepalanya.
"Apa kamu tahu siapa namamu?" tanya Pak Ujang.
Pemuda tersebut hanya menggelengkan kepalanya. Saat dia ingin mengingat namanya, kepalanya terasa sangat pusing.
"Argh, sakit kepala, sakit."
"Nak, kamu kenapa?"
"Kepala saya sakit, Pak."
"Jika kamu tak mengingat namamu, lebih baik jangan dipaksakan."
"Baik, Pak."
"Bagaimana kalau aku kasih nama kamu saja?" ucap Bu Anita.
"Nama?"
"Aku akan memberi nama Bian untukmu," ucapnya.
"Bian? Nama yang bagus, aku suka nama itu."
"Baguslah kalau kamu suka, jadi mulai sekarang nama kamu Bian."
"Nak, apa kamu sudah merasa sembuh? Jika sudah, bagaimana kalau kita hari ini pergi memancing, nanti ikannya dijual di pasar."
"Mancing? Memangnya di sini ada Sungai, Pak?" ucap Bian.
"Ikut Bapak, pasti kamu akan tahu di sini ada Sungai."
"Baik Pak, kebetulan aku sudah sembuh dan ingin pergi ke luar."
Bian mengikuti Pak Ujang untuk segera pergi ke sungai. Sesampainya di sana, Bian sangat takjub dengan pemandangan tersebut.
Sungai yang jernih dan angin yang sepoi-sepoi membuat dirinya menjadi tenang. Bian menikmati pemandangan tersebut.
Bian mulai memasang umpan, kemudian dia melemparkan ke sungai. Awalnya Bian tidak bisa memancing, tapi setelah melihat Pak Ujang, akhirnya dia langsung paham.
Sambil menunggu umpannya dimakan ikan, Bian melihat dirinya sendiri di dalam sungai. Dia ingin sekali mengingat siapa dirinya sebenarnya, tapi selalu saja gagal.
Tiba-tiba, pancing milik Bian bergerak. Dia langsung menarik pancingnya, dan benar saja Bian mendapatkan sebuah ikan yang berukuran sedang, begitu juga dengan Pak Ujang.
"Ternyata di sini cukup banyak ya, Pak, ikannya," ucap Bian.
"Memang di sini sangat banyak, Nak."
Singkat cerita, mereka telah mendapatkan ikan yang sangat banyak, lalu mereka berdua pulang ke rumah untuk segera menjualnya ke pasar.
Sesampainya di rumah, Bu Anita kemudian menanyakan apakah mendapatkan ikan yang banyak atau tidak.
"Pak, apa bapak mendapatkan ikan yang banyak?"
"Hari ini, kita mendapatkan ikan yang banyak, Bu."
"Aku akan menyiapkan wadah untuk membawa ikan ke pasar."
"oh ya Bu, ini ikan untuk dimasak buat nanti malam."
Pak Ujang memberikan ikan yang ada di wadah lainnya karena mendapatkan ikan yang cukup banyak, dirinya ingin sekali memasak ikan.
"Baik Pak."
Setelah memindahkan ke wadah, Pak Ujang langsung pergi ke pasar bersama dengan Bian. Bian ingin sekali melihat pasar yang dimaksud oleh Pak Ujang.
Pak Ujang dan Bian pergi ke pasar, sementara Bu Anita menyiapkan bumbu-bumbu untuk memasak ikan.
Karena jarak dari sini menuju ke pasar sangat dekat, mereka berdua pergi dengan jalan kaki.
Sesampainya di Pasar, semua orang menatap wajah Bian, terutama ibu-ibu. Mereka berdua ingin tahu siapa pemuda tersebut.
"Siapa yang bersama Pak Ujang, dia sangat tampan?"
"Hidungnya juga mancung, ditambah lagi wajahnya putih."
Bian memiliki wajah yang putih dan hidung yang mancung, ditambah tinggi badan yang ideal, membuat semua wanita terpana kepadanya.
Bian melihat semua orang seperti sedang melihatnya, dia merasa sangat penasaran kenapa semua orang menatapnya.
"Pak, kenapa semua orang menatap wajahku? Apa ada yang salah dengan diriku?"
"Mereka menatap kamu karena wajah kamu sangat tampan, apalagi hidung kamu itu mancung," gumam Pak Ujang.
"Oh, mungkin mereka baru melihat kamu."
"Oh, begitu ya, Pak."
Pak Ujang sudah sampai di tempat di mana dia biasanya menjual ikan-ikannya.
"Pagi, Bu Lastri," ucap Pak Ujang.
"Eh, Pak Ujang, bagaimana pak, apa bapak mendapatkan ikan yang banyak?"
"Hari ini saya mendapatkan ikan yang banyak."
Bu Lastri pun menimbang ikan tersebut, lalu wajahnya menoleh menatap Bian.
"Pak Ujang, siapa pemuda itu?"
"Dia Bian, Bu."
"Nak Bian, perkenalkan dirimu pada Bu Lastri."
"Eh iya, Kek. Perkenalkan Bu, saya Bian."
"Bian? Memangnya kamu siapa Pak Ujang?"
"Kebetulan dia seorang mahasiswa dan dia sedang meneliti kehidupan di desa ini, Bu," ucap Pak Ujang. Dia tidak ingin Bu Lastri tahu siapa Bian sebenarnya.
"Berapa semuanya, Bu?" ucap Pak Ujang.
"Semuanya lima kilo dan ini untuk pembayarannya."
Bu Lastri memberikan uang senilai tiga ratus ribu rupiah. Pak Ujang yang melihatnya pun sangat kaget, sekaligus tak percaya, karena biasanya Bu Lastri tidak memberikan uang sebanyak ini.
"Bu Lastri, bukankah uang ini terlalu banyak?"
"Udah, nggak apa. Bawa aja Pak, lagian bapak udah capek-capek bawa ikan yang lumayan banyak ke sini."
Dia heran, apa ini gara-gara ada Bian di sampingnya.
"Baiklah Bu, saya pamit pulang."
Bu Lastri mengangguk dan memberikan senyuman pada Bian.
Bian dan Pak Ujang pulang ke rumah. Sesampainya di sana, Pak Ujang memberikan uang hasil penjualannya pada istrinya.
"Pak, kenapa uangnya banyak sekali?"
"Aku tidak tahu, Bu. Tumben Bu Lastri memberikan uang yang banyak, biasanya tidak."
"Pak, Bu, saya mau mandi dulu. Di mana kamar mandinya?"
"Di sebelah sana ada dapur dan kamar mandinya ada di belakang dapur."
Bian pun mengangguk, lalu dia berjalan menuju ke kamar mandi. Sesampainya di sana, dia melihat kamar mandi tersebut masih menggunakan alat-alat tradisional.
Sementara itu, Pak Ujang dan Bu Anita merasa yakin bahwa Bu Lastri memberikan uang yang banyak karena Bian.
"Mungkin karena Bian, Bu Lastri memberikan uang yang banyak."
"Iya Pak, aku juga sangat yakin. Apa Bu Lastri menyukai Bian?" ucap Bu Anita
"Hush, jangan ngawur kamu. Kenapa Bu Lastri bisa menyukai Bian? Dia kan baru saja datang ke sini."
"Siapa tahu Pak, apa lagi Bu Lastri adalah seorang janda di desa ini."
"Sudahlah, jangan bahas masalah itu lagi. Kita harus segera membuat makanan untuk nanti malam."
Singkat cerita, malam pun tiba, Bian berkumpul dengan Pak Ujang dan Bu Anita. Mereka menyantap ikan hasil buruannya tadi pagi.
"Bagaimana, Bian? Apa makanannya enak?" ucap Pak Ujang.
"Sangat enak, Pak," ucap Bian.
"Bagaimana kalau besok kita memancing ikan lagi?" ucap Pak Ujang mengajak Bian untuk memancing lagi.
"Boleh itu, Pak. Kebetulan aku senang bisa pergi memancing."
Pak Ujang dan Bu Anita merasa sangat senang melihat senyuman Bian.
Sementara itu, seorang wanita sedang merasa sangat cemas. Dia berkali-kali menghubungi kekasihnya, tetapi tidak dijawab sama sekali.
~Bersambung~
"Aduh, di mana sih dia? Kenapa telfonnya tidak diangkat?" ucap perempuan tersebut.
"Ayo, dong, angkat telfonnya."
Perempuan tersebut terus menelfon kekasihnya, tapi berkali-kali dia tidak mendapat jawaban.
Ternyata, laki-laki tersebut sedang berselingkuh dengan wanita lain.
Saat laki-laki tersebut membuka ponselnya, dia melihat ada puluhan telfon dari pacarnya.
"Ada apa, sayang?" ucap selingkuhannya.
"Ini pacarku yang menelfon," ucap laki-laki tersebut.
"Cepat, angkat telfonnya dan jangan buat dia curiga dengan kita," ucap selingkuhannya tersebut.
[Telepon masuk] ucap laki-laki tersebut.
[Halo sayang, ada apa? Kamu meneleponku] ucap laki-laki tersebut.
[Halo Dion, kamu di mana? Ada hal yang ingin aku sampaikan padamu.]
[Aku sedang di kantor, ada apa? Kita bisa bicara lewat telfon kan?]
"[Tidak, kita harus ketemu. Ini masalah tentang masa depan kita berdua.]" ucap perempuan tersebut.
"[Memangnya ada apa?]"
"[Sehabis kamu pulang kerja, kita harus bertemu di Cafe biasa kita ketemu.]"
Perempuan tersebut langsung menutup telfonnya.
"Apa apa sayang?" ucap selingkuhannya.
"Aku tidak tahu, dia menyuruhku untuk menemuinya, katanya menyangkut masa depan."
"Apakah kamu akan menikah dengannya? Dengar, ya sayang, aku tidak rela kamu menikah dengannya."
"Tenang saja, Sayang. Aku hanya mencintai kamu dan tidak ada wanita selain kamu."
"Kamu mending segera pergi ke Cafe dan temui wanita bodoh itu."
"Baik Sayang." ucap laki-laki tersebut lalu mencium bibir selingkuhannya.
Singkat Cerita, mereka berdua akhirnya bertemu.
Kini mereka berdua sudah duduk berhadapan.
"Apa yang ingin kamu bicarakan, Sayang?" ucap Dion kepada pacarnya.
"Aku Hamil!" ucapnya.
Deg.
Kata yang diucapkan oleh Pacarnya membuat Dion kaget, hatinya bergemuruh seakan tak percaya dengan semua perkataannya.
"Apa? Hamil?" ucapnya tak percaya.
"Iya, aku hamil. Hamil anakmu."
"Tidak, itu tidak mungkin. Mana mungkin kamu hamil? Aku yakin itu bukan anakku. Pasti anak laki-laki lain, kan?" ucap Dion.
"Apa yang kamu katakan? Selama ini aku hanya berhubungan denganmu dan aku tidak pernah berhubungan dengan selain kamu."
"Jangan bohong, aku yakin anak ini bukanlah anakku."
"Ini jelas anakmu, Dion. Kamu adalah ayah dari anak yang aku kandung."
"Tidak, aku tidak percaya. Lebih baik aku pergi dan aku tidak mau mengakui anak ini karena anak ini bukanlah anakku."
Dion langsung masuk ke dalam mobil lalu dia melajukan mobilnya. Sementara itu, Laura masih menangis di restoran tersebut.
Semua pengunjung Cafe yang melihat Laura menangis hanya memandangnya sekilas. Kemudian Laura pergi dengan perasaan yang berkecamuk.
Dirinya hamil anaknya Dion, tetapi Dion tidak mau mengakui bahwa ini adalah anaknya. Di dalam mobil, Laura menangis tersedu-sedu.
Laura pun kini sudah sampai di kamar. Dia terus menangis meratapi kesedihannya.
"Apa yang harus aku lakukan? Aku takut jika ibu atau ayah tahu aku hamil, dia pasti akan memarahiku." ucapnya.
Ibunya yang melihat anaknya sedih langsung mengetuk pintu kamar anaknya.
"Laura, buka pintunya. Ada apa denganmu? Kenapa kamu terlihat sedih?"
Laura berusaha menghapus air matanya agar tidak sedih sama sekali, kemudian dia membuka pintu kamarnya.
"Aku tidak apa-apa, Bu. Memangnya ada apa, Ibu datang ke kamarku?"
"Tidak ada apa-apa, Ibu hanya khawatir denganmu karena aku melihat kamu tadi terlihat sangat sedih."
"Aku tidak apa-apa, Bu. Tenang saja."
"Benar, kamu tidak apa-apa."
"Iya, Bu. Aku tidak apa-apa."
Sementara itu, Dion memukul stir mobilnya. Dia berteriak karena tak percaya bahwa Laura hamil anaknya.
"Kenapa? Kenapa bisa terjadi? Kenapa dia bisa hamil? Tidak, aku tidak akan mengakui bahwa itu adalah anakku. Karena aku hanya ingin memiliki anak dengan Sintia." ucap Dion.
Dion sampai di apartemen. Di sana, Sintia sudah menyambutnya. Dion menyuruh Sintia untuk memberikan barang-barangnya karena dirinya akan mengajak Sintia pergi ke luar negeri.
Padahal niatnya adalah ingin kabur agar suruhan keluarga Laura tidak mencarinya.
Pagi harinya, Bian bangun dari tidurnya. Dia segera menyiapkan alat-alat untuk pergi memancing.
Bian dan Pak Ujang akhirnya pergi ke Sungai untuk memancing ikan.
Singkat cerita, mereka berdua akhirnya mendapatkan ikan yang banyak dan mereka segera menjualnya ke Pasar.
Bu Lastri yang melihat Bian datang bersama dengan Pak Ujang langsung tersenyum ramah padanya.
"Selamat Pagi, Bu." ucap Pak Ujang.
"Pagi juga, Pak Ujang."
"Selamat Pagi, Bu Lastri." ucap Bian sambil tersenyum.
Melihat senyumannya Bian, Bu Lastri langsung meleleh hatinya. Walaupun Bu Lastri adalah Janda Namun, Bu Lastri tampaknya masih memiliki paras yang cantik.
"Pagi juga, Bian. Apa kamu sudah mulai terbiasa di sini?" ucap Bu Lastri.
"Iya Bu, aku sudah mulai betah di sini. Apalagi, semua warga di sini orangnya sangat baik."
Akhirnya, Bu Lastri memberikan uang hasil penjualan ikan milik Pak Ujang.
"Ini, uangnya Pak," ucap Pak Ujang.
Pak Ujang menerima uang pemberian dari Bu Lastri, lalu mereka berdua pamit pergi.
Di kediaman Laura, wanita tersebut masih saja menghubungi kekasihnya. Kembali, dia ingin meminta pertanggungjawaban atas apa yang telah diperbuat oleh laki-laki tersebut.
Namun, Laura tidak tahu bahwa Dion sudah pergi ke luar negeri bersama dengan selingkuhannya.
Dia meminta asisten papahnya untuk mencari keberadaan Dion. Akhirnya, asisten dari papahnya mencari informasi di mana Dion berada.
Setelah mengetahui hal tersebut, asisten tersebut langsung menghubungi Nona Laura.
"[Halo, Nona. Ini tentang Tuan Dion.]"
"[Ada apa dengannya? Apa kamu sudah tahu di mana Dion berada?]"
"[Menurut informasi yang saya dapat, Tuan Dion pergi ke luar negeri. Dia berangkat tadi malam.]"
"[Apa?]" Laura langsung menjatuhkan teleponnya seakan tak percaya.
"Kenapa? Kenapa kamu malah pergi meninggalkanku, dasar bajingan kamu, Dion!"
Arghh!
Laura terus berteriak sambil menjambak rambutnya sendiri. Dia benar-benar sangat frustasi. Laura pikir Dion sangat mencintainya dan setelah mengetahui bahwa Laura mengandung benihnya, dia akan bertanggung jawab. Tapi ternyata laki-laki tersebut malah pergi ke luar negeri, terlebih lagi, menurut informasi, dia pergi bersama dengan seorang perempuan.
Bodohnya Laura. Dia sudah memberikan segalanya kepada pria bajingan tersebut, mulai dari uang bahkan tubuhnya sudah dia berikan. Tapi yang dia dapat hanyalah sakit hati.
"Dion, aku bersumpah aku pasti akan membalas dendam atas apa yang telah kamu perbuat. Aku akan membuat kamu menderita."
Laura bangkit dari kamar. Langkah pertama adalah dia ingin mencari calon suami untuk anaknya. Tujuannya agar Dion sakit hati dengannya.
"Tunggu saja Dion. Aku pasti akan membuat kamu menderita, sangat menderita, dan kamu akan meminta maaf padaku atas kesalahanmu."
Tiba-tiba dia merasa mual dan Laura langsung pergi ke kamar mandi dengan tergesa-gesa.
~Bersambung~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!