Suami dan istri tengah berbincang bersama di ruang keluarga. Tampak dua anak laki-lakinya, sedang bermain bersama.
"Sayang, hari ini aku senang sekali!" ujar Hardi.
"Kenapa sayang?" tanya Embun dengan lembut.
"Aku ditawarin pekerjaan baru, aku akan menjadi fotografer seorang model yang terkenal di televisi."
"Oh, model yang namanya Sasa Ariani itu iya?" Embun teringat, dia sering melihat Sasa ada di buku majalah.
"Iya sayang, kamu izinin aku 'kan untuk menerima pekerjaan ini. Kalau aku sukses, yang bakalan cerah masa depan anak-anak juga sayang." Hardi berusaha membujuk Embun.
Embun mengangguk, dia adalah istri yang menurut dan menghormati suaminya. "Apa pun keputusan kamu aku akan mendukung, yang terpenting kamu bisa nyaman dengan pekerjaan kamu."
"Terima kasih iya sayang!" Hardi mengusap kepala istrinya itu.
Embun tersenyum sambil menatap suaminya. "Hmmm..."
"Mama, Papa, jalan bersama ayo." Ajak kedua Putranya, yang bernama Guntur dan Ahmad.
"Guntur, Ahmad, karena Papa lagi bahagia, maka kita jalan bersama ke tempat yang indah." Rayuan Hardi datang.
"Hore, hore!" Guntur dan Ahmad kegirangan dan melompat-lompat.
Keluarga itu benar-benar harmonis, jika mata memandangnya merasa iri. Embun dan Hardi sudah lama menjalin kehidupan rumah tangga bersama.
****
"MasyaAllah, ini taman bagus sekali iya Ma." Ucap Guntur.
"Iya sayang. Lihatlah bunga mawarnya bermekaran."
"Aku berharap kita akan terus bersama berempat, tanpa ada perpisahan kecuali kematian." tambah Ahmad.
"Iya, kita akan terus bersama insyaAllah sayang." jawab Embun.
"Papa sayang dengan kalian. Kita akan bermain bersama hari ini sepuasnya." sahut Hardi.
Hardi mengambil bola yang ada di taman, dan bermain-main bersama anak-anak dan istrinya. Hardi dan Embun melompat-lompat dan saling berpelukan, ketika bola masuk ke gawang yang dijaga Guntur dan Ahmad.
"Yah, kita kalah." Guntur melirik Ahmad.
Ahmad menepuk bahu Guntur. "Iya, walau pun kalah yang penting kita bahagia. Bisa main-main dengan Papa dan Mama di taman."
"Tapi masih ada satu kali kesempatan lagi untuk menang, semangat."
Ronde kesekian kali bola ditendang kembali, namun saat Guntur menendang bola, tiba-tiba bola melayang ke kepala seorang gadis muda nan cantik. Dia adalah Sasa Ariani.
"Haduh!" Memegangi kepalanya yang sakit.
Guntur yang ketakutan segera berlari ke arah mama dan papanya. "Papa, Mama, aku tidak sengaja menendang bola dan terkena wanita itu." Menunjuk Sasa yang sedang memegangi kepalanya.
"Sayang kok bisa sih, hati-hati mainnya. Biar Mama dan Papa yang menghampirinya."
Embun dan Hardi berjalan ke arah Sasa. "Mbak, maafkan tindakan anak kami yang telah melemparkan bola ke kepala mbak." ucap Embun.
Sasa yang menunduk segera melihat mereka. "Oh, tidak apa-apa. Ini tidak terlalu sakit." Tapi Sasa masih memijat kepalanya.
"Kamu Sasa Ariani 'kan?" tanya Embun.
"Iya benar Kak. Kok Kakak tahu?" tanya Sasa.
"Aku sering lihat kamu di majalah. Kamu model yang sering mensponsori iklan mie sedap itu 'kan?"
Sasa mengangguk. "Iya Kak." jawabnya, tersenyum ramah.
'Ternyata dia aslinya cantik, melebihi gambarnya yang sering aku lihat di majalah dan televisi.' batin Hardi.
"Sayang, kamu bilang ada tawaran untuk menjadi fotografernya Sasa 'kan?" tanya Embun pada Hardi.
"Oh, jadi kamu fotografer profesional yang asisten pribadiku bilang?" tanya Sasa, dengan mata berbinar-binar.
Sasa sudah lama ingin mempunyai potografer pribadi sendiri, karena dia akan menggunakan jasanya kapan pun dia mau.
"Iya Mbak, benar sekali. Dan setelah aku pikirkan dengan matang, aku menerimanya." jawab Hardi.
"Syukur Alhamdulillah. Baiklah, kalau seperti itu besok silahkan datang ke restoran Extra Lezat iya. Besok jadwal pemotretan ada di sana." Sasa memperbaiki jilbabnya, yang terbang terkena angin.
"Iya, insyaa Allah aku akan datang ke sana." jawab Hardi.
Keesokan harinya Hardi dan Embun bertemu dengan Sasa di restoran Extra Lezat. Di sana akan diadakan pemotretan, Embun ingin menemani suaminya dihari pertama bekerja.
"Ini kok kurang rapi iya." Sasa melihat jilbabnya yang berbentuk segi empat.
Embun mendekati Sasa yang tengah berkaca. "Sini aku bantuin, mau tidak?" tawar Embun dengan ramah.
Sasa hanya mengangguk. Embun memperbaiki jilbab Sasa hingga rapi.
"Make upnya berantakan tidak Kak?" tanya Sasa.
"Iya sedikit kurang rapi, sini biar kakak bantuin." Embun mengambil eyeliner di atas meja. Dia mulai memoleskan make up. Lipstik juga mulai dipoles ke bibir mungilnya.
Usia Sasa memang lebih muda dari Embun terpaut sekitar 8 tahun. Namun, Hardi memang terbiasa memanggil mbak kepada semua wanita yang baru dikenalnya.
Sasa menatap Embun penuh kekaguman. Dia merasa Embun wanita yang baik dan juga wanita sempurna, karena telah melahirkan dua orang anak laki-laki dalam kehidupan suaminya.
"Kamu ngapain melihat aku seperti itu?" tanya Embun.
"Aku suka saja sama Kakak. Sudah baik, cantik, dan pintar berdandan."
Embun tersenyum. "Kamu bisa saja sih Sasa. Terlalu berlebihan kamu."
"Tapi benar deh Kak, aku nyaman sekali dekat dengan Kakak. Dari awal kenal, sampai sekarang."
"Kalau kamu nyaman sama Kakak kita bisa berteman kok. Suami Kakak 'kan sekarang kerja dengan kamu."
Sasa tersenyum bahagia, ntah kenapa dia senang bisa bersama dengan Embun. Bercengkrama sampai tidak sadar dia sudah ditunggu, oleh Manager Periklanan.
"Mbak, manager periklanan sudah datang." sahut Hardi. Dia menyusul mereka di ruang dandan.
"Jangan panggil Mbak, panggil saja aku dengan Sasa. Aku jauh lebih muda dari Kakak." ujar Sasa.
"Iya Mbak, eh Sasa maksudnya. Maaf, aku lupa karena belum terbiasa." ucap Hardi, dengan gugup.
Embun dan Sasa saling pandang, dan melemparkan senyuman. Mereka keluar setelah Sasa sudah berdandan dengan rapi. Dia segera berdiri membelakangi kain, dengan latar belakang hutan yang dipenuhi oleh pohon-pohon besar dan juga bunga-bunga.
Cekrek!
Cekrek!
Bunyi potretan dari kamera Hardi, dia terus membidik gambar Sasa yang berfoto dengan berbagai gaya.
"Sambil memegang mienya dengan tersenyum, dan sedikit diangkat ke atas. Jangan terlalu kaku." Hardi memberikan arahan.
Sasa menuruti arahan dari Hardi. Dia terus saja merubah posisi, sesuai dengan jepretan kamera.
'Sasa cantik sekali, aku senang berteman dengan dia. Dia pantas menjadi adikku, dia juga baik. Aku nyaman saja bersamanya, apalagi dia baru lulus dari sekolah SMK.' batin Embun.
Semua orang yang ada di restoran melihat Sasa. Ada juga di antara mereka yang menggemari model cantik itu. Dia belum lama merintis karirnya, namun namanya sudah naik daun saja di jagat raya.
"Sudah selesai akhirnya." Sasa menghampiri Embun, sambil mengusap peluh di dahinya.
"Ini kamu minum dulu. Lihat sampai keringatan seperti itu, pasti lelah sekali." ucap Embun, sambil menyodorkan botol minuman.
"Hehe, Kakak bisa saja. Sudah biasa kok Kak, terimakasih iya." jawab Sasa, sambil menerima botol itu.
Embun yang sedang asyik bermain bersama Ahmad dan juga Guntur terkejut karena ponselnya berdering. Dia segera melihat ponselnya, ternyata panggilan video call dari Sasa.
"Assalamualaikum Kak." ujar Sasa, dengan sopan.
"Waalaikumus'salam Sasa." jawab Embun.
"Kakak lagi apa?"
"Lagi main sama Ahmad dan Guntur. Kalau kamu sendiri lagi ngapain?"
"Aku lagi duduk-duduk saja ini Kak."
"Oh, dengan siapa?"
"Sendirian. Jenuh juga rasanya Kak."
"Main saja ke rumah Kakak. Nanti kita bisa main bareng sama Guntur dan Ahmad."
"Boleh juga tuh Kak. Memangnya tidak mengganggu, kalau aku mendadak main." Sasa berbicara, sambil bercanda.
"Tidak apa-apa. Kalau kamu mau main, Kakak malah senang dong."
"Oke. Aku bersiap-siap dulu iya Kak." ujar Sasa.
"Iya, jangan kesorean loh mainnya." canda Embun.
Tak berselang lama, terdengar bunyi klakson mobil Sasa. Dia mengucapkan salam, dan masuk ke dalam rumah setelah dipersilahkan oleh Embun.
"Itu anak Kakak?" tanya Sasa. Dia menunjuk Ahmad dan Guntur, yang sedang bermain tinju.
"Iya, itu anak-anakku dan Mas Hardi." jawab Embun.
"Lucu sekali mereka. Berapa umurnya Kak?"
"Umurnya 5 tahun. Kamu duduk saja dulu di kursi, aku mau membuatkan air minum. Aku juga mau mengambil makanan." ucap Embun.
"Kakak jangan repot-repot. Aku hanya bermain saja kok."
"Tidak repot kok Sasa. Kakak sudah menganggap kamu seperti Adik sendiri. Apalagi sekarang kamu sudah menjadi rekan kerja Mas Hardi."
Sasa tersenyum, dia mengaitkan hiasan jilbab bunganya yang hendak jatuh. Ntah kenapa tiba-tiba lepas secara mendadak.
"Kakak apa kesibukan sekarang?" tanya Sasa.
"Kakak hanya mengurus rumah, sambil berjualan online." tutur Embun.
"Bisa dong kalau aku mau beli barang-barang di Kakak saja."
"Iya tentu bisa. Kakak mau ke dapur dulu iya."
Sasa mengangguk dan tersenyum. Menatap kepergian Embun yang menghilang dibalik tembok pembatas.
"Sasa, kamu ada di sini?" sahut Hardi, yang tiba-tiba muncul dengan membawa raket bulutangkis.
Sasa menoleh ke sumber suara. "Iya aku mau main di sini Kak. Aku merasa suntuk, jadi disuruh sama Kak Embun ke sini saja." jawabnya sambil tersenyum.
"Iya sudah, mendingan nanti main bulutangkis yuk! Kamu bisa tidak?" tanya Hardi.
"Iya, bisa Kak. Aku paling suka loh main bulutangkis." jawab Sasa.
Embun tiba-tiba muncul, dengan membawa nampan. Dia memperhatikan Sasa dan Hardi yang asyik berbincang.
"Hayo, pada ngomongin apa ini?" tanya Embun.
"Kami berbicara tentang bulutangkis. Nanti kami mau berolahraga bersama." terang Hardi.
Embun meletakkan nampan pada meja. Dia segera mendaratkan bokongnya di kursi sofa.
"Kalian kompak sekali. Bisa memiliki hobi yang sama." ujar Embun.
"Ini hanya kebetulan kok Kak." jawab Sasa.
"Tidak apa-apa, kalian memiliki hobi yang sama. Kalian 'kan bisa lebih kompak, sebagai rekan kerja." tutur Embun dengan santai.
"Betul juga yang kamu bilang Embun." jawab Hardi, sambil tersenyum.
"Ayo Sasa, kita makan dan minum dulu." ajak Embun.
"Suami sendiri tidak diajak, mentang-mentang sudah punya teman sekarang." ujar Hardi.
"Sudahlah, jangan cemburu buta kamu Mas." jawab Embun.
Sasa memakan roti dan meminum teh yang telah disuguhkan. Dia tersenyum melihat Embun, dan sebaliknya. Ahmad dan Guntur berlari-larian, lalu bergelayut manja pada lengan Hardi.
"Papa, kami sayang dengan Papa!" ungkap Ahmad.
"Jangan tinggalin kami iya Pa." rengek Guntur.
"Kalian kenapa mendadak menjadi seperti ini? Kalian pikir, Papa akan pergi kemana?"
"Kami hanya merasa, akan kehilangan Papa." jawab Guntur.
"Hahaha... anak papa lucu sekali. Papa akan tetap di sini bersama kalian." Hardi menggandeng kedua tangan anaknya.
Mereka menghampiri Embun dan Sasa, yang sedang asyik menyantap makanan. Sebuah roti lezat buatan Embun, bertengger di meja ruang tamu.
"Wuih, perutku menjadi lapar." ujar Ahmad.
Guntur memegangi perutnya. "Iya, aku juga menjadi lapar."
Mereka berdua berlari ke arah kursi sofa, segera mengambil makanan yang mereka mau.
"Ini enak sekali. Mama memang pintar, kalau membuat makanan." puji Guntur.
"Mama, memang cerdik. Cocok menjadi chef." tambah Ahmad.
"Kalau makan jangan banyak bicara. Baca doa dan hayati makanannya, sebagai bentuk rasa syukur." Sasa memperingati mereka.
"Sasa kamu bijak juga iya." puji Embun.
"Iya, Kakak cantik bijak." timpal Ahmad dan Guntur.
"Ah kalian bisa saja. Jangan terlalu memuji nanti aku terbang loh." jawab Sasa, dengan diiringi tertawa kecil.
"Ayo, kita main bulutangkis sekarang." ajak Hardi penuh semangat.
Mereka segera pergi ke halaman luar. Embun dan kedua putranya, hanya melihat dari jauh.
"Ayo kita main!" ajak Guntur.
"Nanti saja, kita lihat Papa dan Kakak itu bermain." jawab Ahmad.
Sasa yang melemparkan bulutangkis menggunakan raket terlebih dulu. Mereka saling lempar ke sana dan ke mari, dengan fokus. Tertawa bersama saat bulutangkis menyangkut, pada dahan pohon.
Cukup lama mereka bermain, sampai kedua nafas mereka ngos-ngosan. Hardi tampak antusias ketika permainan sedang berlangsung. Akhirnya mereka berhenti juga, menghampiri Embun yang sedang menjadi penonton.
"Kak, aku pulang dulu iya. Aku sudah capek, mau segera mandi." ucap Sasa.
"Apa tidak istirahat dulu?" tanya Embun.
"Nanti di rumah saja Kak istirahatnya." jawab Sasa.
"Iya sudah, kalau seperti itu segera pulang dan beristirahatlah." ucap Embun.
"Iya Kak. Aku pamit dulu. Assalamualaikum!"
"Waalaikumus'salam." jawab semuanya.
Embun memperhatikan punggung Sasa dari kejauhan. 'Sasa kelihatannya lebih baik dari aku. Dia anggun dengan berjilbab, dia juga mandiri. Sepertinya yang membuat lengkap, dia juga lumayan mendalami agama.' batin Embun.
"Embun sayang, kamu kenapa melamun?" tanya Hardi.
Masih tidak ada sahutan, hingga Ahmad dan Guntur berlari duduk dipangkuan mamanya.
"Mama!" panggil Ahmad.
"Iya sayang." jawab Embun. Dia tersadar dari lamunannya.
"Kenapa diam saja dari tadi?" tanya Guntur.
"Tidak apa-apa. Mama sedang memikirkan kalian."
"Hahaha mama lucu, 'kan kita ada di sini." jawab Guntur.
"Ayo kita masuk ke dalam rumah." ajak Hardi.
Mereka masuk ke dalam bersama. Waktu sudah sore, sudah saatnya untuk mandi dan menunaikan salat maghrib berjemaah. Seperti biasa, Hardi lah yang memimpin mereka menjadi imam dalam salat.
"Mama, kenapa kita harus mengaji setiap hari?" tanya Ahmad.
"Karena itu untuk bekal di akhirat nanti. Kalian harus menyukai kebiasaan ini iya." jawab Embun.
"Yang diucapkan oleh Mama kamu itu benar." sahut Hardi.
"Iya Pa." jawab mereka.
Ahmad dan Guntur mulai membuka Juz'ama, milik mereka masing-masing. Embun mengajari mereka dengan tekun dan sabar. Berharap mereka bisa menjadi anak yang shaleh.
'Seorang ibu, adalah madrasah pertama untuk anaknya. Seorang ibu juga tidak akan membiarkan anaknya, menjadi orang yang miskin ilmu di dunia. Dia pasti berusaha membimbing anaknya, semampu yang dia bisa.' batin Embun.
Sasa berjalan tanpa melihat sekelilingnya lagi. Dia sedang terburu-buru untuk segera sampai ke ruangan istirahatnya. Itu adalah Base camp milik Sasa Ariani.
"Aaaa!" Sasa tiba-tiba terpeleset.
Dia tidak sengaja tergelincir, namun tidak terjatuh karena ditangkap oleh Hardi. Mereka saling pandang-pandangan dengan lama.
'Ternyata Sasa cantik juga.' batin Hardi.
"Maaf Kak, aku tidak sengaja." Sasa memperbaiki jilbab pashmina, yang sedikit berantakan.
"Ini bukan salah kamu kok. Ini adalah salahku, harusnya aku yang minta maaf. Aku tidak bermaksud apa-apa, aku hanya ingin menolongmu yang hendak terjatuh." tutur Hardi.
"Terima kasih iya telah menolongku. Kalau Kakak tidak membantuku, mungkin aku sudah cidera karena terjatuh." ujar Sasa.
"Iya sama-sama Sasa." jawab Hardi.
Sasa segera berlalu dari hadapan Hardi. Namun pikiran Hardi tidak dapat berlalu, untuk melupakan Sasa yang cantik. Dia berwajah glowing, masih terbilang bening untuk diusianya yang masih muda seperti sekarang.
"Kenapa aku jadi kepikiran terus sama dia. Apa Sasa sudah punya pacar iya?" tanya Hardi, pada dirinya sendiri.
Sementara itu, Embun di rumah sedang memandikan Guntur dan Ahmad. Itulah kebiasaannya, mengurus rumah ketika suaminya sedang pergi.
"Mama, ampun! Jangan siram aku." canda Ahmad.
"Namanya mandi iya disiram, kalau dicelupin namanya oreo." sahut Guntur.
"Sudah cepat bersiap, kalian harus segera pergi ke sekolah." Embun memperingati mereka.
"Iya Ma, kami mau berganti baju dulu." Guntur meraih handuk, yang tergantung di kamar mandi.
Ahmad juga mengambil handuknya sendiri. Dia segera keluar dari kamar mandi.
"Eh, kita akan bermain petak umpet nanti." ujar Ahmad.
"Iya dong." jawab Guntur.
Setelah selesai bersiap-siap, mereka berdua berjalan ke ruang makan. Embun sudah menunggu mereka untuk makan bersama. Hardi terburu-buru jadi tidak ikut sarapan, karena sudah pergi dari tadi pagi.
****
"Sasa, aku boleh tidak minta nomor ponselmu? Kalau aku mau membahas tentang pekerjaan 'kan enak." ucap Hardi.
"Iya boleh." jawab Sasa.
Hardi memberikan ponselnya, yang sudah berada pada menu papan tombol panggilan. Sasa mengetikkan nomor ponselnya, lalu Hardi menyimpan nomornya ke dalam kontak.
"Kita makan siang bersama ayo." ajak Hardi.
"Kita berdua saja? Enak dengan yang lain juga." jawab Sasa.
"Yang lain juga kita ajak. Hardo, Harto, ayo kita makan siang."
Mereka mengangguk, segera pergi ke sebuah restoran untuk makan siang bersama.
"Sasa, kamu sudah lama tamat SMK?" tanya Hardi.
"Belum sih, aku baru satu tahun ini lulus." jawab Sasa.
"Kamu punya kemampuan, bagus bila dikembangkan lagi." sahut Harto.
"Dikembangkan lagi seperti apa?" tanya Sasa.
"Iya, seperti masuk dunia perfilman mungkin." usul Harto.
Sasa menusuk stik daging, yang ada di piring. Dia memikirkan usul dari mereka.
"Usul kalian bagus, tapi aku tidak ingin terjun dibidang itu. Ntah kenapa aku nyaman, dengan menjadi model." jawab Sasa.
"Sayang sekali, padahal kamu cantik." puji Hardi.
"Kakak bisa saja, lebih cantik Kak Embun." jawab Sasa.
Setelah selesai dengan pekerjaannya, Hardi pulang ke rumahnya. Dia turun dari mobil sambil membawa tas kerjanya.
"Embun, aku tadi membelikan kamu setangkai bunga mawar." ujar Hardi.
"Terimakasih iya sayang." jawab Embun.
"Papa sudah pulang?" sahut suara anak kecil.
Mereka adalah Ahmad dan Guntur.
"Iya sudah, kalian mau apa?" tanya Hardi.
"Kami berdua mau dipeluk Papa. Kami juga mau tidur, sambil dibacakan dongeng." jawab Guntur.
"Baiklah, kalau seperti itu. Jangan lupa untuk membaca doa sebelum tidur." ucap Hardi.
"Iya Pa, kami pasti akan mengikuti yang Papa perintahkan."
"Anak pintar dan berbakti. Mamanya 'kan cantik wajar saja." ucap Hardi, dengan perasaan bangga.
"Kamu bisa saja Mas." jawab Embun.
Drrrttt
Telepon Embun berbunyi, dia segera menggeser tanda berwarna hijau pada ponselnya.
"Halo Embun!"
"Siapa iya?" tanya Embun. Dia tidak mengenal orang tersebut, karena nomornya baru.
"Ini aku Bening. Kamu masih ingat tidak dengan aku?" tanyanya.
"Iya aku ingat. Kamu 'kan teman waktu aku sekolah SMA dulu." jawab Embun.
"Iya, itu kamu ingat. Sekarang kamu tinggal di mana? Aku ingin bermain ke rumahmu." ujar Bening.
"Oh, aku sekarang tinggal di jalan Melati. Kalau kamu rindu, main saja ke sini." jawabnya, sambil bercanda.
"Iya itu pasti, ngomong-ngomong lagi ngapain sekarang?"
"Aku sedang duduk bersama, dengan suamiku. Aku bersantai dengannya, juga kumpul dengan anak-anak." jawab Embun.
"Wah, keluargamu harmonis iya." puji Bening.
"Alhamdulillah. Kami sudah menikah selama sepuluh tahun."
"Lama juga itu Embun. Hati-hati diusia pernikahan yang sudah lama, biasanya akan muncul pelakor sebagai ujian." tutur Bening.
"Kamu kok bicara seperti itu Bening?" tanya Embun.
"Maaf iya, bukan bermaksud untuk menakut-nakuti. Tapi pada kenyataannya, memang banyak yang tukang merebut suami orang. Buktinya sekarang rumah tangga tetanggaku itu hancur, iya gara-gara pelakor." ujar Bening.
'Apa mungkin mas Hardi akan memasukkan orang ketiga dalam pernikahan kami. Kamu mikir apa sih Embun, temanmu jangan didengar. Mas Hardi tidak akan membuang diriku begitu saja. Ada Ahmad dan juga Guntur, yang membutuhkan kasih sayang.' batin Embun.
"Halo, apa kamu masih di sana Embun?" tanya Bening.
"Iya, aku masih di sini. Kamu bercandanya tidak lucu. Suamiku adalah orang yang setia."
"Oh seperti itu, aku matikan dulu iya teleponnya." Bening berpamitan.
"Iya Bening." jawab Embun.
Sambungan telepon terputus, namun ucapan Bening belum terputus dari pikiran Embun. Ntah kenapa, dia menjadi mendadak mengkhawatirkan pernikahannya.
"Kamu kenapa menjadi ditekuk seperti itu wajahnya?" tanya Hardi.
"Aku tidak apa-apa." jawab Embun.
'Aku harus menjaga suamiku. Aku tidak ingin ada yang merebutnya. Dia 'kan sering pergi dengan Sasa, aku suruh dia saja mengawasi kegiatan Mas Hardi.' batin Embun.
Dia segera mengirimkan pesan pada Sasa. Berharap akan ada balasan darinya. "Sasa, tolong kamu awasi Mas Hardi iya. Aku tidak ingin dia bermain dengan perempuan lain, selama aku tidak melihatnya."
Sasa membaca pesan masuk, yang dikirimkan oleh Embun. Dia bertanya-tanya sendiri, ada apa dengan kakak angkatnya itu.
Sasa mengetik huruf-huruf pada papan tombol. "Kakak, kenapa tiba-tiba menyuruhku untuk mengawasi Mas Hardi?" tanya Sasa.
"Aku tidak ingin nasib rumah tanggaku hancur." jawabnya.
"Iya Kak, aku akan mengawasinya. Kakak tenang saja."
"Baiklah, aku percayakan semuanya sama kamu. Terima kasih telah berniat membantuku."
"Iya Kak, sama-sama."
Embun merasa lega, ada yang akan mengawasi suaminya di luaran. Dia sudah percaya dengan Sasa, dia yakin adik angkatnya itu akan amanah.
"Kamu kenapa serius sekali, melihat layar ponsel?" tanya Hardi.
"Aku tidak apa-apa. Kenapa Mas Hardi menatapku curiga?" Embun balik bertanya.
"Siapa yang curiga? Aku bahkan biasa saja daritadi." jawab Hardi.
"Oh seperti itu." ucap Embun acuh.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!