NovelToon NovelToon

SATU CINTA, DUA BENUA

3x4 m² : Sai Anju Ma Au

Senja sudah berganti, usai sudah suara-suara ritual dari rumah-rumah agung. Berulang kali terdengar sholawat Nariyah dibacakan dari dalam masjid, begitu syahdu hingga mampu menghipnotis siapa saja yang mendengar.

Demikianlah tradisi masyarakat sudut Jakarta yang notabene-nya sarat nilai religius. Saat remaja seumurannya asyik beradaptasi dengan zaman, lain halnya dengan Syahrel.

Satu jam sebelum berkumandang suara seruan, Syahrel sudah bersimpuh dalam i’tikafnya, tertunduk berbisik masyuk dengan sahaja, sederhana dalam hidup.

Selepas adzan subuh Syahrel bersiap memulai aktifitasnya dengan jinjingan berupa tas yang terbuat dari rajutan tiram berisi koran sisa penjualan kemarin yang akan diretur.

Perlahan matahari merambat menembus pori-pori ventilasi. Bunda pun memulai aktifitas seusai sholat subuh, dimulai dengan menyapu pekarangan rumah.

Semalam hujan turun begitu deras disertai angin kencang, alhasil ia meninggalkan sampah dedauan dan ranting-ranting rapuh. Mereka hidup berdua, setelah lima tahun lalu sang ayah meninggalkan keduanya.

Kini hanya Syahrel yang melanjutkan mengais nafkah untuk sang Bunda, walau terkadang bunda sering diminta tetangga untuk mencuci pakaian. Tak seberapa besar upah bunda  sebagai kuli cuci, tetapi mereka begitu mensyukuri keadaan.

Satu hari penuh Syahrel memperoleh untung berkisar Sepuluh sampai Lima belas ribu rupiah. Syukur kalau masih ada sisa, bisa disisihkan untuk menabung.

Ya, inilah jalan hidup, walau keras harus dihadapi. Kehidupan mereka cukup bersahaja, di kamar 3x4 m², wajah kurus bersandar dalam kepenatan usai letih bertaut dengan debu dan peluh siang tadi.

Gemericik hujan tiba-tiba terdengar kian menderas. Acap kali ketika hujan datang, air hujan masuk ke kamar Bunda.

Segera Syahrel beranjak dari tempatnya bersandar, mengambil wadah penampung air, takut percikan air hujan membangunkan Bunda yang terlihat tertidur lelap .

“Kasihan bunda, letih kerja satu hari penuh mencuci pakaian,"gumam Syahrel dalam hati.

Adzan Isya baru terdengar, bergegas Syahrel menuju masjid. Hujan semakin malam semakin deras saja, diambilnya payung.

Cukup jauh jarak rumah ke masjid, sedikit khawatir ia meninggalkan bunda seorang diri. Mudah-mudahan usai sholat nanti bunda masih terlelap tidur.

Sepanjang jalan tak satu pun terlihat orang keluar rumah. Mungkin hujan yang deras membuat mereka enggan untuk keluar dan mereka lebih memilih berselimut atau berkelakar dengan keluarga dibandingkan basah terkena hujan hanya untuk sholat.

Ya, hal yang sedikit banyak dapat dimaklumi. Iqomah rampung dikumandangkan Fardi, sang mu’adzin.

Seorang pria berperawakan kekar dengan kepala berbalut sorban putih dan kerut wajah penanda usia yang renta, memimpin  sholat jama’ah malam ini.

Haji Arsyad bin Umar cukup disegani warga setempat, disamping murah hati, beliau terkenal sebagai saudagar barang berat dan produksi industri. Rumah megah dan mobil mewah tak membuat Haji Arsyad takabur.

Tak sedikit pun ia nampak menyimpan kesombongan yang dinilai tetangga, kemuliaan beliau sampai terdengar ke tetangga jauh sekalipun.

Bunda terkadang bercerita tentang rumah tangga Haji Arsyad, kehidupan dan adab serta adat di dalam rumah, santun dan menghargai yang tua dan sayang kepada yang lebih muda. Si Ayah mengerti apa yang diinginkan anak dan si anak pun penuh kerendahan hati serta santun terhadap orang tua.

Menjelang istirahat malam biasanya bunda bercerita, sambil Syahrel tertidur satu bantal dengannya. Bunda tahu semua hal tersebut lantaran ia pernah menjadi bagian dari karyawan bantu Haji Arsyad.

Usai menyelesaikan sholat Isya Syahrel pun bergegas pulang, khawatir bunda terbangun karena suara deras hujan. Hujan yang semakin deras membuat sebagian jalan tergenang air, selokan pun terlihat sedikit tersumbat lantaran debit air yang tak henti-henti.

Terkejut Syahrel saat memasuki pelataran rumah, ia terpana pada sesosok gadis belia yang tak ia kenal, berperawakan tinggi, rambut ikal terurai basah, mengenakan pakaian modern dibalut kalung batu safir. Gadis tersebut terapit sebuah ensiklopedia, menyingkap sedikit statusnya sebagai mahasiswi.

Ternyata gadis belia itu tak sendiri, ia ditemani seorang gadis lain, entah sahabat atau saudaranya yang tidak sepadan tingginya namun terlihat sama cantik.

“Maaf ya, numpang berteduh," ucap si gadis tinggi.

Syahrel membalasnya dengan senyum sedikit gugup dantergesa-gesa memasuki rumah. Rupanya dari dalam rumah bunda sudah terbangun, mengenakan mukena, rupanya beliau baru rampung shalat.

“Ada siapa di luar nak?"tanya bunda.

“Syahrel tak tahu siapa itu Nda. Ada dua orang gadis”.

Bunda mengintip dari balik gorden.

“Oh, itu putri dan kemenakan Pak Anggoro Rel”.

Bunda menghampiri keduanya, “Kalian putri Pak Anggoro kan?”

“Be, betul Bu," ucap mereka gugup.

“Kalau begitu sebentar, ibu ambil payung dulu. Malam semakin larut, takutnya orang tua kalian khawatir.”

"Terima kasih Bu,“ ucap gadis tinggi yang mengenakan tank top inside dengan empire touch dan flower creation di dada, berbalut jaket Younger berwarna putih, rambut panjangnya dibiarkan terurai. Keduanya terlihat bergegas meninggalkan pelataran rumah Ibu Aasyiah.

_________________¤¤¤_________________

00.45 WIB

Mata Syahrel belum jua terpejam, buku tulis dan ball point masih terapit di jemarinya. Ya, Syahrel memang sering menghabiskan waktu untuk menulis walau tak satu pun karyanya dimuat.

Mungkin karena Syahrel tak pernah mencoba untuk mempublikasikannya atau lebih tepatnya Syahrel menganggap karyanya belum layak untuk dipublikasikan.

Di hadapan Syahrel terdapat tiga buku yang tersususun rapih serta kamus bahasa Jerman.Teramat sering Syahrel tidur larut malam terkadang sampai subuh, hanya untuk membaca buku atau menulis. Sering pula ia membiarkan perutnya kosong tak terisi sewaktu begadang.

Sejenak ia sandarkan kepala di atas bantal usang. Sosok lunglai terbaring di atas tempat tidur, terlihat raut wajah yang letih dan mata yang terpejam begitu rapat.

Di kantung matanya ada setetes air mengalir dari sela kulit mata yang sudah mengeriput, letihnya bunda terlihat kala beliau tertidur. Tercermin bukti perjuangan tangguh, saksi perjuangan sejati seorang ibu.

Bagaimana pun Bunda adalah wanita yang hanya bersenjatakan air mata. Diperhatikannya bibir basah sang Bunda, dari situlah sejuta harapan itu terucap, secercah doa pengharapan beliau dilantunkan dari bibir layu.

Dari bibir itu pula teringat masa-masa kecil, tembang Sai Anju Ma Au sebagai penghantar tidurku masa itu.

Aha do Alana

Dia do bossirna hasian

Umbahen sai muruk ho tu ahu

Molo tung adong nasalah nahubaen

Denggan pasingot hasian

Molo hurimangi

Pambahenammi natua au

Nga tung maniak ate atekki

Sipata bossir soada nama i

Dibaekko mangarsak ahu

Molo adong na salah manang na hurang pambaenakki

Sai anju ma au

Sai anju ma au ito hasian

Sai anju ma au

Sai anju ma au ito nalagu

Sering beliau melantunkan syair itu untuk menemani tidurku, saat ayah masih menemani kelakar dan tawa kami, empat belas tahun yang lalu.

Empat Belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Selama itulah sang Bunda berjuang banting tulang guna membesarkan Syahrel seorang diri. Kadang terbersit sesal di hati Syahrel yang hampir merajut umur dewasa tetapi belum sempat membalas jerih payah Ibundanya.

Dahulu kehidupan mereka tak seperti ini. Ayah Syahrel bekerja pada sebuah perusahaan Jerman sebagai maintenance electrical, namun harta mereka habis terjual lantaran sang ayah jatuh sakit.

Ayah menderita selama satu tahun, semenjak beliau divonis mengidap leukimia atau kanker darah yang obatnya tak kunjung ditemukan. Selama setahun itulah ayah harus keluar masuk rumah sakit.

Terakhir ayah berobat jalan, lantaran persediaan uang sudah habis. Tabungan mereka untuk menunaikan kesempurnaan rukun Islam pun tak tersisa.

Ya, itulah manusia. Manusia hanya berencana, sedangkan skenario drama per babak hanya Tuhan yang memegang kendali. Usia Syahrel saat itu baru menginjak delapan tahun.

Kini hanya ruangan 3x4 m² dengan dapur yang hanya dipisah dengan sekat triplek sisa harta yang Ayah tinggalkan. Di sini, harapan demi harapan mereka rajut.

Semoga ada kehendak lain yang Allah

tunjukkan. Kami hanya berusaha semaksimal mungkin seperti manusia biasa. Di kala pagi, saat matahari merayap diiringi suara si jalu berkokok, kami berangkat mengais rezeki. Bunda memulai aktifitasnya berpacu dengan buih, sementara Syahrel, usai merapihkan masjid ia bergegas menjajakan surat kabar.

Sebelum berangkat menjajakan koran, Syahrel mencoba meringankan pekerjaan bunda menyapu pelataran rumah. Terlebih karena semalam hujan deras, pasti banyak ranting dan daun berserakan di sana.

Di sudut ruang, terlihat sebuah benda kecil dilengkapi klip ID, rupanya itu ID card. Oh,  Kartu Tanda Mahasiswa. Tercetak nama sang pemilik KTM, Andita Sastiani Sirait, mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi.

“Kartu ini mungkin sangat berarti, pasti wanita itu gelisah mencari ini,"gumam Syahrel dalam hati.

“Ah, kalau memang benar berharga, pasti si pemilik nanti mencarinya," bantah suara hati Syahrel yang lain.

Dibalik jendela terlihat seorang wanita yang hanya menatap seseorang lelaki dari kejauhan, lelaki tinggi dengan kemeja putih, dengan rambut yang selalu basah. Hidungnya mirip paruh Elang, sedang asiknya berbicara dengan kepala yayasan.

Mata Nabila terus memandang dari kejauhan, menangkap setiap gerak-gerik lelaki yang menurutnya tidak peka dengan perasaan yang ia rasakan.

"Cobalah sesekali kamu masuk ke ruang hati ku, Kakak akan temukan nama kamu di hati." Matanya memandang dan suara hati itu terus berbicara.

"Kalau tahu ujung-ujungnya seperti ini, aku iyakan saja sewaktu lamaran kemarin." Nabila menyesali kembali kejadian waktu itu, disaat keluarga Haji Syahrul memintanya untuk menjadi pendamping lelaki pewaris tunggal keluarga besar Haji Syahrul.

"Memang Ustadz Rozzi keren, cerdas dan cukup berwibawa." Suara itu mengejutkan Nabila yang sedari tadi memandang Onci dari balik ruang administrasi.

"Ya Allah Ustadz Burhan, ngagetin aja. Siapa juga sih yang memperhatikan Ustadz Ozi."

"Sudahlah Bila, jangan bohongi perasaan kamu. Kenapa kamu tidak terima lamaran Pak Haji waktu itu, saat ia meminta Bila untuk jadi calon istri Ustadz Ozi."

"Ustadz Burhan tidak tau, ada cerita sebelum kejadian itu."

"Kejadian apa?"

"Aaah bingung juga kalau aku ceritakan. Dan cukup Nabila saja yang tahu."

"Kalau Nabila nggak keberatan dan percayakan itu sama saya, siap kok jadi teman curhat Bila." Lelaki dengan janggot dan kumis tipis itu menawarkan diri untuk menjadi kawan berbagi cerita.

"Sebelum hari H, Kak Ozi menemui Nabila, dan meminta Bila untuk memberikan alasan kalau Bila belum siap untuk menikah. Dan Bila pun ikuti arahannya. Nabila kira memang Kak Ozi belum siap menikah, nyatanya?"

"Nyatanya? Muncul perempuan yan kemarin ibu haji kenalkan kepada kita bukan? Kalau Bila memang benar suka sama Ustadz Ozi, kenapa Bila tidak coba untuk mencuri perhatiannya."

"Bukannya mencuri itu dosa stadz? Kalau ada cara halal kenapa harus mencuri?"

"Hahaha...Bukan itu maksud saya Bil, tapi lebih kepada memperhatikan Ustadz Ozi dan bantu kerjaannya, sebentar lagi ada pembangunan gedung baru. Nah, cobalah bantu Ustadz Ozi, atau kamu bisa kasih dia isyarat bahwa Bila punya hati yang perlu ia perhatikan."

"Bila masih terlalu polos untuk melakukan hal itu stadz."

"Ah kamu belum mencoba sudah menyerah. Besok kan ada pengajian mingguan, coba saja Nabila juga ikut ta'lim dan pastinya ada Ustadz Ozi. Dan bukannya Nabila juga sering bertemu beliau? Karena kan Bila juga bagian dari staf administrasi. Nanti biar saya akan dorong Bila untuk menjadi sekertaris yayasan dengan begitu akan lebih sering bertemu dengan Ustadz Ozi dan Pak Haji. Ingat Bila! Semua butuh proses."

"Jadzakumullah ustadz, sudah mau membantu. Nabila ikuti prosesnya saja, lagi juga perempuan pilihan Ustadz Ozi lebih cantik dan cerdas keliahatannya."

"Yasudah Nabila cukup diam saja, pelan-pelan saya bantu. Kalau memang Nabila suka sama Ustadz Ozi."

"Nabila itu perempuan Ustadz, masa iya Bila yang langsung bicara ke lelakinya, tabu rasanya wanita mengungkapkan perasaannya lebih dahulu. Iya kan stadz?"

"Iya saya paham, tetapi apa salahnya jika seperti saran saya tadi, untuk diam-diam ambil perhatiannya."

"Tapi...Bila bingung Ustadz. Dan baru kali ini Nabila mengalami seperti ini."

"Yaudah nanti pelan-pelan saya bantu Nabila, agar Ustadz Ozi paham perasaan Nabila."

"Terimakasih Ustadz Burhan sudah mau bantu, mohon jaga rahasia ini ya Stadz?"

"Insyallah ane jaga."

Ustadz Burhan yang juga staf pengajar Bahasa Inggris memergoki Nabila sedang memperhatikan Onci dari kejauhan dan ia pun berhasil membuat Nabila terbuka tentang perasaanya. Ia pun ingin membantu Nabila untuk bisa mendapatkan Onci, yang tak lain adalah Ustadz Ozi atau Farurrozi.

_________________¤¤¤______________

Selepas sholat Dhuha, umi dan abah sudah menunggu Onci untuk sarapan pagi. Karena hari ini acara akan padat, sebelum Dzuhur persiapan pengajian mingguan sudah dilakukan oleh panitia pelaksana.

Pengajian mingguan akan diikuti masyarakat umum, orang tua wali murid, dan dihadiri oleh Habaib serta Kiayi-Kiayai besar.

Kebayangkan? Yang hadir ratusan bahkan ribuan orang memadati masjid nantinya. Bahkan ada jama'ah yang hadir dari luar daerah. Disamping Haji Syahrul merupakan mubaligh atau kiayai yang memiliki pergaulan yang luas, dan abah juga ketua alumnus pondok pesantren serta penceramah yang cukup berpengaruh.

"Ente jangan lupa hadir nanti Zi, dan ajak Thea untuk ikuti ta'lim. Kewajiban suami nanti itu mendidik istri dengan baik. Kalau sudah menikah, amanah yang awalnya dari orang tua akan beralih kepada suami. Dan bagaimana ente bisa daparkan istri soleha kalau ente sendiri tidak mensolehkan diri. Bagaimana ente bisa mendapatkan istri yang soleha seperti Aisyah, jika ente tidak menteladani Rasulullah."

___________________Catet!________________

Quote Abah :

"Bagaimana kita bisa mendapatkan istri yang soleha seperti Aisyah, jika kita tidak menteladani Rasulullah."

_________________________________________

"Iya Bah, Ozi paham dan mengerti. Habis sarapan Ozi ke sekolah sebentar dan menjemput Thea."

"Yasudah, jaga aurat dan jarak dengan lain mahram, takut ente nyetrum."

"Iya Bah."

"Abah tidak akan lupa, dan tolong ente atur biar abah bisa bertemu dengan orang tua Thea. Abah paling nggak suka, kalo urusan agama ente main-mainkan. Tinggal pilih, selesai hubungan ente dengan Thea atau segerakan sunah rasul, sempurnakan agama ente dan menikah, paham itu!"

Terkejut bukan kepalang dan suapan sarapan Onci terhenti di depan bibirnya, saat abah mulai mengintimidasi dan menekankan sebuah kalimat,"Abah paling nggak suka, kalo urusan agama ente main-mainkan. Tinggal pilih, selesai hubungan ente dengan Thea atau segerakan sunah rasul, sempurnakan agama ente dan menikah, paham itu!"

Abah tidak suka jika Onci mempermainkan urusan agama dan abah tidak segan-segan meminta Onci untuk tidak berhubungan dengan Thea, jika abah tidak segera di pertemukan dengan kedua orang tua Thea. Sekalipun abah dan umi berangkat ke negara Jiran Malaysia pun mereka siap.

"Ya Allah, kenapa urusannya jadi begini runyemnya ya?" ucap Onci dalam lamunan.

"Selesaikan sarapan ente, dan tolong kontrol persiapan acara, lalu jemput Thea."

"Iya Bah,.."

Selesai ia menyegerahkan sarapan paginya, Onci pun bergegas menuju sekolah, lalu menjemput Thea.

Ia mengampiri Ustadz Burhan yang sedang mengatur persiapan acara.

"Cang Roni, nanti tim hadroh jangan lupa disiapkan ya?" pinta Ustadz Burhan kepada panitia lainnya.

"Sound system pastiin jangan ada yang noise Yah Mang Endang?"

Aktifitas Ustadz Burhanuddin terhenti saat Onci datang dan mendekatinya.

"Assalamu'alaikum." Sambut Ustadz Burhan mendahului Onci mengucap salam.

"Wa'alikum salam. Apa lagi yang kurang stadz?" setelah menjawab salam, Onci pun mempertanyakan kesiapan acara kepada Ustadz Burhan.

"Sejauh ini sudah ok semua sih Stadz. Ente disuruh Pak Kiayi sambutan, sudah siap?"

"Sambutan? Sambutan apa maksud ustadz?!" Onci terkejut saat diminta Ustadz Burhan untuk sambutan dalam acara.

"Iya sambutan pembuka, yah paling perkembangan akademis yayasan saja."

"Astaghfirullah! Ane baru denger dari Ustadz Burhan aja. Abah tidak bicara apa-apa, padahal sarapan pagi bareng."

"Kemarin malem beliau telepon ane untuk masukan nama ustadz Ozi untuk sambutan."

"Apa lagi maunya abah? Pake acara disuruh sambutan." Ucap Onci dalam hati, yang kesal dengan ulah Abah. Yang justru diam-diam memasukan namanya dalam acara.

"Kalo begini bisa mati berdiri gw!"

Bersambung >>>>

*Onci semakin tidak mengerti dengan sikap abah, yang selalu saja membuatnya keram otak, mulai dari ancaman sampai ia tidak mengerti, kenapa dengar kabar dari orang lain kalau hari ini Onci diminta sambutan di acara yang sebegitu besarnya, nyaris tak ada persiapan apa-apa. Terlebih ia harus menjemput Thea, ngajar sekolah minggu.

Agghhhrrrr!

Hari yang menyebalkan bagi Onci, kita tunggu apa yang terjadi di hari Minggunya Onci*.

__________⭐⭐⭐⭐⭐________

Para pembaca yang baik...

Terimakasih atas apresiasinya yang sudah mau singgah di karya kami, dengan meninggalkan komentar, Like 👍, Vote serta memberikan penilaian ⭐⭐⭐⭐⭐ serta menjadikan novel ini, novel favorit yang anda baca, dengan menekan ❤.

Dengan begitu kami akan berpikir keras untuk membuat karya yang menghibur.

Jangan lupa juga untuk singgah di novel-novel kami :

📒 Jodo Pilihan Abah

📒 Ibu, Izinkan Aku Menjadi Pela*ur

📒 Petaka Youtuber

See you next, in my created....

Thanks A Lot

Mirip Sinetron

Di ujung jalan nampak seorang gadis membawa payung dengan mengenakan rompi beraksen bolong berbalut  t-shirt kecil dengan lengan terbuka, ia berjalan begitu elok. Syahrel tak berkedip, memperhatikan dengan jelas apakah gadis itu Dita atau bukan.

Semakin mendekatinya, semakin tak menentu perasaan Syahrel. Apa yang harus diucapkannya terlebih dahulu kalau-kalau dia berhadapan dengan Dita?

“Mmm, Dita yah? Semalam KTM kamu ketinggalan," kata pertama.

"Ah, terlalu to the point," bantah Syahrel dalam hati.

“Mmm, mau mencari bunda yah?” kata ke dua.

"Umpatnya di hati, terlalu kasar dan tidak

gantle," bantahnya lagi.

Tanpa Syahrel sadari Dita sudah di depan mata.

“Cowok, ini payung yang aku pinjam semalam, thanks ya,"ucap Dita.

“I, iya," balasnya gugup.

“Bilang ke nyokap  makasih juga,"sela Dita.

Dita pun berlalu dengan senyum. Rangkaian kata yang disiapkan Syahrel berantakan susunannya, sampai tak sadar KTM yang mau diberikan tak sampai di tangan Dita, dengan keberaniannya Syahrel mengejar Dita.

“Ini milik kamu bukan?” tanya Syahrel sedikit memberanikan diri.

“Oh, betul. Aduh, kalau nggak ada KTM ini aku nggak bisa ikut praktikum nanti. Thanks banget ya!”

“Siapa nama kamu?” Dita mengulurkan tangannya.

“Panggil saja Syahrel," jawabnya sedikit gugup.

Panas dingin Syahrel dibuatnya, terlebih saat kulit telapak tangan Dita menyentuh kasarnya tangan Syahrel. Sedikit minder, tapi apa boleh buat, semua terlanjur terjadi.

Matahari sudah terasa menyengat di atas pusaran kepala, Syahrel hampir lupa kalau ia harus berjualan. Kalau gara-gara Dita dia lupa kerja, mau makan apa nanti.

Dengan perasaan yang beda dibandingkan hari-hari sebelumnya, Syahrel sedikit bergairah menjajakan koran dan mengirim ke rumah pelanggannya dari pintu ke pintu. Hampir tiga puluh rumah yang berlangganan koran dengan Syahrel.

Sampai juga Syahrel di rumah langganannya yang terakhir, di rumah inilah Bunda bekerja sebagai kuli cuci atau bahasa kerennya pramuwisma harian. Tapi hari ini Bunda terkulai letih di rumah dan tidak bekerja untuk sementara waktu. Kasihan juga bunda, umurnya sudah memasuki kepala lima, semestinya sudah pensiun kerja.

Rumah tempat bunda bekerja amat mewah, pintu gerbangnya dihiasi ornamen ular naga, tiang penyangganya pun nampak kokoh serta memiliki halaman luas. Mobil mewah si empunya rumah menambah simbol betapa kaya rayanya sang pemilik rumah.

Dugaanku, inilah yang bunda maksud rumah Pak Anggoro, seorang legislator, wakil rakyat. Tapi mengapa Dita sebegitu sederhananya? Karena yang kutahu Dita selalu mondar mandir ke kampus tanpa memakai fasilitas yang dimiliki orang tuanya.

Sungguh hal yang jarang ditemukan di zaman seperti ini, seorang mahasiswi di universitas mewah yang uang registrasinya saja memakai mata uang asing, harus rela kepanasan dan berdesakan di dalam bus. Hal yang aneh, tapi nyata.

Selang sepuluh menit setelah Syahrel memikirkan sosok Pak Anggoro dan Dita, tiba-tiba pria yang dalam lamunan Syahrel muncul dari pintu rumah. Pria itu kelahiran Sumatera Utara empat puluh lima tahun silam. Ia berperawakan tinggi dan gagah dengan rambut agak ikal.

Sepatu serta pakaiannya lebih dari layak, ia menenteng note book di tangan.  Dari raut wajahnya tercermin wataknya yang keras.

Pria itu lalu masuk ke dalam mobil dinas yang sudah siap satu jam lalu sebelum keberangkatannya.

Kecupan kecil menutup salam pengganti untuk istrinya, Nyonya Rosdiana Anggoro. Sungguh terlihat harmonis keluarga Pak Angroro. Mobil dinas itu pun segera melaju, meninggalkan halaman rumah yang begitu luas.

Mercy New Eyas seri delapan berwarna silver melaju di hadapan Syahrel, tiba-tiba mobil itu berhenti dan nampak Pak Anggoro melambaikan tangan ke arah Syahrel.

“Koran!!!” teriaknya. Syahrel menghampiri mobil mewah itu menggunakan sepeda usang miliknya.

“Zona Olah Raga,"ucapnya sambil mengeluarkan uang pecahan sepuluh ribu rupiah. Dihelanya tangan Syahrel saat memberikan kembalian.

“Ambil untuk kamu," Anggoro berlalu dengan mimik wajah angkuh seolah tidak membutuhkan uang recehan.

Dalam hati Syahrel bergumam, “Beda banget sama Dita yang murah senyum.”

Sejurus mata terus memandang, mobil sang wakil rakyat pun menghilang. Akhirnya rampung juga tugas Syahrel pagi ini, tetapi masih ada pekerjaan yang sudah menanti. Kini pedal sepeda harus ia kayuh ke jalan protokol. Di sana terdapat kios ukuran 3x2 m² yang disewa Syahrel, tempat ia meneruskan ikhtiarnya.

Puluhan media cetak tersusun rapih dengan headline news yang hampir sama topiknya. Semua mengangkat kasus perselingkuhan anak petinggi negara yang terlibat cinta segitiga, demikian adanya sepintas rumor yang beredar.

Sudah menjadi hal yang lumrah dalam kehidupan, acap kali manusia tergoda dengan amanah yang diembannya. Kasus bukanlah hal yang baru dalam kasus pada umumnya.

Yakinlah, ayat Tuhan yang tak termaktub dalam kitab sakti agama apa pun juga, pembahasan yang menjadi sunnatullah adalah tentang satu fenomena Allah menguji hambanya dengan tiga hal yakni harta, tahta dan wanita.

Jauh sebelum kasus tersebut menjadi buah berita, di dalam sejarah pun jelas terbukti bagaimana ketiga hal tersebut merusak harmonisasi norma yang ada, disamping dari pribadi yang diberikan ujian tersebut.

Kita baca kembali sejarah Qorun, sang hartawan yang menjadi angkuh karena hartanya. Konon tak mampu juga manusia memikul kunci gudang hartanya sampai-sampai puluhan gajah dan kuda dikerahkan.

Namun pemberian Tuhan untuknya menjadikan ia lupa akan fitrah manusia sesungguhnya.

Belum lagi cobaan tahta atau kekuasaan yang Tuhan berikan untuk Fir’aun, pengaruhnya begitu besar bagi Mesir dan Semenanjung Sinai.

Tetapi apa yang Tuhan karuniakan untuknya membuat dia ingkar akan fitrah dan tempat kembalinya kelak. Dengan angkuhnya dia berucap Ana Robbukumul’ala. Kemudian lihatlah bagaimana keangkuhannya menenggelamkan ia dalam kelemahan yang menyadarkan dirinya sebagai manusia biasa dan mengakui akan adanya kekuatan yang Maha dari segala Maha.

Tapi sayang kesempatan itu berakhir saat bibirnya beriman di penghujung kematiannya. Amantu Bi Robbi Musa Wa Harun.

Masih di tanah peradaban, kecantikan Cleopatra menghantarkan peperangan antara Juliuz Caesar dan Bruthus karena dipicu perebutan sang ratu sejagat. Ingat pula bagaimana wanita menundukkan hati seorang Adam A.s, yang memakan buah khuldi atas bujukan Hawa. Atau cerita balada seorang Laila membuat gila Qais dalam Laila Majnun.

Kini hal serupa terjadi pada Syahrel, sosok Dita merubah keseharian seorang pengurus

masjid ini. Di sela kekosongan, dalam keramaian, kesederhanaan Syahrel teringat oleh Dita. Kalau bukan karena payung, tidak ada lagi alasan untuk bertemu Dita. Masa iya Syahrel harus menyamar sebagai teman kampus? Itu sangat tidak mungkin.

Senja terlihat teduh dalam peraduannya di Ufuk Barat, mega merona merahnya seperti bibir gadis-gadis senja di Yogyakarta. Remuk badan usai bekerja seharian terbalut sujud dalam fardu penuh syukur. Sepiring nasi  dan seteguk air melepas haus dan lapar.

Satu hari bekerja, baru menjelang senja Syahrel merasakan nikmatnya sayur lodeh dan tempe orek buatan bunda. Lengkap sudah kesempurnaan nikmat yang Tuhan berikan hari ini.

Dilihatnya Bunda seorang diri di tepi tempat tidur, terkadang matanya menerawang.

“Hal apa yang menggangu pikiran Bunda?" tanya Syahrel dalam hati. Dihampirinya Bunda dengan suka cita.

“Ada apa Bunda?”

Sedikit kaget, Bunda langsung berusaha mengubah rona muka. Bunda pun menjawab pertanyaan Syahrel.

“Tidak ada apa-apa nak. Oh iya, putri Pak Anggoro sudah mengembalikan payung?” Nampak sekali usaha bunda untuk mengalihkan pembicaraan.

“Sudah Bunda,  pagi tadi.”

“Bunda pikir belum dikembalikan, biar besok sekalian bunda ambil.”

“Bunda, Syahrel mau tanya sedikit. Apa Dita itu anak kandung Pak Anggoro?”

Kini giliran Syahrel yang mengalihkan pembicaraan.

“Kenapa? Kamu suka ya?” tanya Bunda.

“Bukan begitu Bunda... Kalau Syahrel lihat, lain sekali watak dan perangai Dita dengan ayahnya. Dita begitu sederhana. Syahrel lihat di KTMnya, Dita itu kuliah disalah satu universitas internasional. Setahu Syahrel kuliah di situ bayar uang semesterannya saja pakai mata uang asing. Tapi kenapa Dita rela kepanasan dan berdesakan di dalam bus? Itu yang membuat Syahrel bertanya apa Dita anak kandung  Pak Anggoro karena watak papanya berseberangan jauh dengan anaknya.”

( Bukan 18 + ) Jangan Nyesel

“Tak perlu kamu pikirkan hal itu. Pasti ada kemiripan dengan watak ayah atau ibunya yang mungkin jatuh kepadanya. Macam-macam saja pikiran kamu!" sedikit tinggi nada bunda berbicara.

“Jangan-jangan benar dugaan Bunda, pasti kamu bermain rasa dengan Dita,"tambah Bunda.

“Ah, itu kan perasaan Bunda saja. Perasaan Syahrel yang sebenarnya mana mungkin Bunda tahu,"Syahrel sedikit membela diri.

“Ingat nak, kita tidak sederajat dengan mereka.”

“Maksud bunda?” tukas Syahrel tegas.

“Kamu perhatikan keseharian kita, makanan kita. Kalau kamu menaruh hati pada Dita, mau kamu kasih makan apa?” bunda sedikit tertawa, lalu tersedak dengan batuknya.

“Aku kasih dia makan lem kayu. Biar sekali makan, seminggu baru terbuka lagi mulutnya, hahaha,"kelakar Syahrel.

“Bisa saja kamu mengelak,"jawab bunda sambil tersenyum.

“Mendiang Ayahlah yang memberi Syahrel sifat seperti ini.”

Bunda terdiam, mengenang masa lalu. Melihat senyum Syahrel membuatnya rindu akan sosok mendiang suaminya.

“Maaf Bunda, jadi bikin Bunda sedih,"Syahrel lebih mendekat di lutut bunda.

“Tak apa nak. Bunda jadi teringat mendiang ayah. Saat bunda melihat kamu berkelakar memang mirip dengan almarhum ayah.”

“Ya iyalah bunda, Syahrel kan anaknya...”

“Istirahatlah Bunda, hampir jam sebelas malam. Besok bunda harus beraktifitas lagi, jangan bunda pikirkan almarhum ayah, sudah tenang dia di alam sana,"tambah Syahrel.

“Sudah makan kau nak? Jangan biarkan perutmu kosong, angin malam sangat berbahaya bagi tubuh,"tanya Bunda  memasukkan pakaian ke dalam almari.

“Syahrel belum lapar Bunda.”

Bunda mengenakan selimut, Syahrel masih terdiam dan bersandar pada dinding kamar. Mengapa seharian ini nama Dita selalu diucapnya? Apa Syahrel sedang jatuh cinta? Atau ini hanya perasaan sesaat? Matanya menatap kosong, diambilnya kamus Indonesia-Jerman.

Suka sekali Syahrel menghapal kosa katanya, mungkin karena mendiang ayah pandai berbicara bahasa asal lahirnya idealisme Nazi tersebut.

Dalam pikiran dan hatinya menjurus pada teka-teki sosok gadis berperawakan tinggi itu. Akalnya bermain, ambisi membutakan statusnya.

Dari dulu Syahrel memang selalu berpendapat bahwa cinta tak mengenal derajat. Bukan status atau derajat yang penting baginya.

Kini yang terbesit di pikiran Syahrel hanyalah bagaimana ia bisa jumpa Dita esok pagi. Malam ini, dia biarkan khayalnya berimajinasi tentang gadis itu. Lupakan sejenak hafalan bahasa Jerman dan dunia tulis menulisnya, tak sabar rasa hati menanti matahari terbit esok hari.

Dipaksanya mata untuk terpejam. Detik jarum jam memutar berganti menit, berlalu hampir satu jam.

Syahrel berusaha untuk memejamkan mata tetapi tak juga bisa tidur. Kebiasan Syahrel tidur di atas jam dua pagi lama kelamaan menjadi candu untuknya.

Tak seperti malam-malam sebelumnya, kali ini bulan merayap lambat seolah hendak mengejeknya. Rasa hati ingin pagi itu cepat datang.  Kodrat lelaki dewasa yang normal jatuh kepadanya.

Perlahan matanya terpejam.....

Tak ada angin tak ada hujan, siang itu tiba-tiba Dita muncul di kios Syahrel dengan pakaian santai; t-shirt oblong dan celana hot pants. Membuat mata lelaki normal ternganga dan jakun naik turun.

“Astaghfirollahal’adzim," hati kecil Syahrel berucap berkali-kali.

Mau nolak tapi ada di depan mata, dibilang rezeki tapi dosa. Keringat dingin mengucur keluar dari pori-pori, detak jantung berdebar tak menentu, aliran darah mengalir deras begitu cepat,  jantung pun berpacu. Dahsyat!

“Ada majalah fashion?” suara Dita mengejutkan Syahrel.

Sejenak Syahrel terdiam.

“A, ada,"diambilnya majalah yang terpajang rapih di meja kios.

“Berapa harganya?" tanya Gadis itu

“Tiga puluh lima ribu," jawab Syahrel pasti.

“Kalau majalah sport berapa harganya?” Dita bertanya sambil memegang majalah yang dimaksud.

“Lima belas ribu,"jawabSyahrel singkat.

“Koran Sketsa Nusantara?”

“Dua ribu lima ratus.”

“Aku ambil tiga, jadi berapa?”

“Lima puluh dua ribu lima ratus.”

Dita memberikan selembar lima puluh ribuan, Syahrel mengambil uang kembalinya dari saku celana, jemarinya belum terangkat dari saku.

“Kembalinya ambil," seloroh Dita.

“Oh iya, nama kamu siapa?”tanya Dita sebelum beranjak dari kios.

“Syahrel.”

“Ada nomor yang bisa aku hubungi?”

“Ada, (021) 58179919,"begitu cepat Syahrel mengucapkannya.

“Ya sudah, kalau aku mau pesan koran biar aku hubungi ya?”

“Beres...”

Syahrel senang bukan kepalang, pucuk dicinta ulam tiba. Hari-hari berikutnya menjadi satu penantian untuk Syahrel, berharap Dita kembali lagi atau menghubunginya.

Satu dua hari tak nampak kedatngan Dita di kios. Syahrel menghibur diri, menjejalkan ratusan kemungkinan ke pikirannya.

“Mungkin lagi sibuk kuliah," keluh hatinya.

“Atau ada kesibukan lain?”kalimat itu selalu diulangnya.

Sesekali Syahrel memperhatikan jalan yang dilalui Dita saat ia pertama kali singgah di kios. Diulangnya terus, berharap sosok Dita datang kembali.

Tidak lama, handphone jadul miliknya berdering, sulit Syahrel mengangkat handphone karena *keypad-*nya sudah terpendam sehingga harus dicolok dengan ujung ballpoint atau lainnya.

“Halo, ini siapa?”Syahrel memulai pembicaraan.

Harapan itu muncul lagi, suara gadis di kupingya itu, benar suara Dita. Rupanya Dita bukan memesan koran atau majalah, melainkan meminta Syahrel menemani Dita membeli make up dan baju untuk ke kampus karena baju yang dikenakan sehari-hari sudah warnanya pudar warnanya.

Nanti sore mereka janji bertemu di kios koran dan berharap ini menjadi hari yang indah dan rasa cinta itu bersemi di kedua hati. Dita berpenampilan seperti mahasiswi kampus pada umumnya yang tidak kolot dengan style dan fashion terbaru.

Kali ini Dita mengenakan long t-shirt dipadu press jeans dan sepatu high heels, cantik memukau. Lain halnya dengan Syahrel, pakaiannya sederhana, jauh dari sederhana. Tetapi Dita tidak risih dengan penampilan Syahrel yang apa adanya.

Sesampainya di sebuah mall yang cukup familiar di kawasan Jakarta Selatan, tempat yang dituju Dita adalah fashion store dan toko sepatu. Usai berbelanja kebutuhannya, Dita menuntun Syahrel ke sebuah kafé mewah. Syahrel diajak makan malam ke tempat yang belum pernah ia datangi.

Dua lilin menyala di meja yang penuh ukiran ornamen candi dan pura. Dinding kafé berbalut nuansa air terjun, cahaya lampu bulat berwarna putih menggantung di atas air terjun tersebut. Romantis betul suasana saat itu. Mata mereka pun saling beradu pandang, detak jantung berirama tanda cinta. Dengan sedikit malu, tangan Dita menghampiri dan menggapai tangan Syahrel.

Sofa yang mereka duduki diabaikan karena Dita memilih duduk berdampingan dengan Syahrel. Syahrel mulai bercucuran keringat, belum pernah ia duduk sedekat ini dengan lawan jenis. Tubuh Dita yang harum membuat jantung Syahrel berdetak tak menentu.

Saat tubuh mereka merapat, genggaman tangan menjadi semakin erat. Bibir Dita perlahan mendekat dan terus berusaha mendekat. Bibir yang begitu merah teram itu menghampiri bibir Syahrel. Naluri lelaki normal Syahrel muncul.

Tanpa belajar lagi bibir Syahrel pun mendekat ke bibir Dita. Jarak antara kedua bibir sebatas satu sentimeter, suasana kian bertambah romantis dan hangat. Sekonyong-konyong suara wanita tua merusak suasana, suara itu tak asing, seperti suara bunda memanggil Syahrel. Bukan hanya itu, sentuhan tangan kasar pun terasa di pundak Syahrel.

“Rel, Rel, bangun Rel, sudah masuk waktu subuh!" suara bunda sontak membuyarkan mimpi indah Syahrel.

Syahrel pun terbangun seraya mengucap istighfar dan doa bangun tidur. Terlalu asyik rupanya ia dengan mimpinya.

Subhanallah, begitu indah mimpi yang diberikan Tuhan. Andai ini benar terjadi, seperti inikah rasanya nanti?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!