NovelToon NovelToon

Jogja, Kamu & Kenangan

Bait Pertama

Punya kenangan apa kamu di kota Jogja? Pacarmu, jantung kotanya, panoramanya, budayanya, kulinernya atau setiap jalan di kota ini yang membuatmu rindu untuk kembali dan kembali lagi ke kota yang memiliki julukan kota gudeg, kota pelajar serta kota perjuangan yang masih terus mempertahankan sekuat tenaga budaya dan konsep tradisionalnya.

Kota ini wajib kamu kunjungi untuk belajar sejarah dan budaya yang begitu melekat dan mengakar di sini. Museum Keraton Yogyakarta tempatnya serta museum yang menjamur di seputar jantung kotanya. Museum Sonobudoyo, museum benteng Vredeburg, atau museum kereta kencana yang bisa kamu akses secara murah meriah.

Datanglah ke magnet kota ini. Malioboro, pusat pemerintahan, pusat perbelanjaan dari yang konsep paling murah, sederhana, antik, unik, dan mahal. Kamu bisa menemukan apa yang kamu inginkan bahkan jodoh jika beruntung.

Luangkan waktumu dan bersabarlah, jangan terburu-buru melangkahkan kakimu meski daya pikirmu tak sabar ingin segera menuntaskan misi mu mengenali kota ini.

Rasakan setiap suasananya, duduklah di bangku yang tersedia dan minumlah air putih lalu tersenyumlah. Nikmati ributnya geliat ekonomi dan aktivitas di sini dengan suka cita, rasakan udaranya namun jangan terlalu dekat dengan tempat mangkal alat transportasi tradisional ‘andong’ karena bau kencing kuda akan menyengat dan masuk ke hidungmu.

Jika itu terjadi tanpa sempat kamu menyangkanya mulailah berjalan. Kunjungi tempat yang kamu inginkan sejak tadi. Biasanya jika kamu dari luar kota, kamu akan memasuki gerai-gerai yang menjajakan kuliner dan pakaian otentik sebagai bukti resmi pernah mengunjungi jantung kota ini dan mengabadikan momen lewat kamera ponselmu atau ingatanmu yang tajam.

Tetapi bagi aku yang sudah biasa mengunjungi Malioboro sejak aku kecil. Gerai makanan cepat saji dan makanan kekinian menjadi pilihan. Pokoknya suka-suka kamu, asal kamu bahagia dan kantongmu cukup untuk membelinya semua bebas kamu nikmati.

Dan ketika perut sudah kenyang hati pun tenang. Duduklah sebentar lalu

berjalanlah ke arah Selatan, kamu bisa berkunjung ke pasar Beringharjo sebagai pasar terbesar di kota ini. Kamu bisa mencari batik dengan beragam model dan motif, tempat kulakan sandang paling diminati, sebagai bonus kamu masih bisa menawarnya. Sekali lagi itu kalau beruntung. Pun seperti kebanyakan pasar pada umumnya, kamu bisa mencari kebutuhan rumah tangga termasuk rempah-rempah bahkan barang secondhand di sudut-sudut yang biasanya jarang di kunjungi warga luar kota. Barang-barang secondhand itu seolah hanya di peruntukan untuk orang-orang antik yang menyukai harga miring dan sudah biasa ke sana. Sebagai pilihan kedua untuk ekonomi kelas menengah ke atas kamu bisa ke Mirota Batik yang berhadapan dengan pasar Beringharjo langsung.

Ada pula pasar klitikan di sampingnya, buka setiap malam. Rata-rata kaum pria penjualnya dan pengunjungnya. Tidak dianjurkan bagi perempuan, cantik dan menarik datang sendiri. Kamu tahu maksudnya kan?

Tiba di Titik Nol kilometer, perempatan jalan ini tidak pernah sepi. Pemuda-pemudi duduk berdampingan, merangkai masa depan, mendebatkan perasaan atau bergerombol dengan teman-teman, sanak saudara sambil berfoto-foto pada titik ikonik tempat ini. Plang nama-nama jalan yang memiliki background bangunan cagar budaya yang digunakan sebagai kantor perbankan.

Katakanlah yang sejujurnya kepadaku punya kenangan apa di kota Jogja? Maniskah, pahitkah, biasa saja, atau memang inilah tempat kelahiranmu dan kota orang terkasihmu. Sama kalau begitu. Di kota ini aku tumbuh dan memulai hidupku sejak tahun 1994 di salah satu kabupatennya namun sejak aku berusia dua puluh lima tahun aku meninggalkannya dengan tangis yang berderai-derai. Hati yang patah dan berkabung.

“Ras...” Dominic melongok ke kamarku, “Belum tidur?” tanyanya sambil mengusap-usap kepalanya dengan handuk kecil. Badannya menyebarkan aroma wangi sabun mandi hingga menyingkirkan sejenak bau pesing dari litter box kucingku di pagi hari yang mendung.

Gerimis menemani kekosongan hatiku di kota Malang, di rumah Dominic, rumah sahabatku. Aku mengenalnya semasa menghabiskan masa kuliah di universitas negeri di kotaku. Maklumlah bapak dan ibuku pengusaha kost-kostan, dan Dominic adalah penghuninya. Dia menemaniku setiap kali keinginanku untuk mendaki gunung memuncak dan kemarin kami habis membuang waktu dengan cara yang salah. Mendaki gunung Lawu ketika awan senang melinangkan air hujan pagi hingga siang menjelang tanpa jeda.

Tubuhku kini lesu, kakiku kaku tapi lembaran-lembaran pertama di warsa dua ribu dua puluh tiga tidak bisa kosong. Aku Rastanty Adena, selamat berkenalan denganku, aku sedang beristirahat di kamarnya. Dominic yang bijaksana sekaligus ugal-ugalan, teman terbaikku setelah Pranata Pamungkas tiada, kekasihku yang masih menggetarkan hatiku setiap kali aku mengingatnya.

Semua usaha seolah percuma untuk melupakannya padahal sudah ujung Indonesia aku datangi, puncak gunung Rinjani aku sambangi, bahkan menghilang dari kota kelahiranku sendiri, Jogja. Namun tetap saja namanya seperti rumah. Memanggilku untuk pulang, untuk tinggal, untuk singgah tanpa pamit.

“Durung, piye?” ( Belum, kenapa? ) tanyaku, dicekik rasa penasaran saat Dominic berlalu tanpa penjelasan. Meski tak lama dia kembali datang, sudah memakai kaos dan membuang handuknya di kasur.

“Kita dapat undangan dari Setyo, dia mau nikah sama Putri, anak bem FIP. Keren yo?”

Mataku menatap layar ponsel yang disodorkan kepadaku. Bibirku manyun. Undangan pernikahan Setyo dan Putri berbentuk digital, tanggalnya tertera seminggu lagi. Itu waktu yang sangat singkat untuk menyiapkan hatiku yang masih terserang badai yang membuatku enggan kembali ke Jogja.

“Kampus dan angkatan kita juga ngadain reuni, Ras. Enak lho ini, kita bisa jalan-jalan di dalam kampus lagi. Ketemu Pranata dalam imaji, kamu kangen to sama dia.” bujuk Dominic dengan maksa.

“Sudah berapa kali aku ngomong, jangan bahas-bahas Pranata lagi, Dom. Tambah susah aku move on! Tega yo sampean.” ucapku heran.

"Makanya kamu ini harus sekali-kali ngombe kopi biar ngerti hidup ini pait, nggak cuma es jeruk, es teh, es krim. Mau mu cuma yang manis-manis terus enak terus.” balas Dominic berapi-api.

“Pokoknya kita ke Jogja, mau atau nggak mau. Pokoknya kamu harus pulang. Kamu juga masih punya bapak dan ibu, tega yo sampean move on sampai-sampai lupa sama bapak ibumu.” kritik Dominic sadis.

“Janccuk, malah tekan bapak ibuku lho!” Aku menutup wajahku dengan bantal dan meremasnya dengan keras. Tutur mulutnya tidak salah, aku pergi meninggalkan bapak ibuku setelah lubang di hatiku menganga. Hari-hariku berlanjut tanpa pernah kehilangan langit mendung di atas kepalaku. Senyumku palsu dan angin pun tak mampu menyingkirkannya.

“Pranata!!!!”

Belum juga kutemukan hari yang cerah. Meski matahari menghanguskan kulitku, aku sungguh cinta padanya dan aku sungguh lupa caranya jatuh cinta setelah dia tiada. Aneh, tapi nyata.

Pranata Pamungkas... Kalian ingin tahu bagaimana dia membuatku begitu terlena? Tunggu dulu, aku bernapas dulu sebelum aku berani mengatakan yang sebenarnya kurasakan. Kuharap kamu bersabar sebab lembaran ini baru bait pertama.

...🖤...

Bait Kedua

Satu persatu pakaian aku jejalkan ke dalam tas ransel merah semi carrier yang biasa aku gunakan untuk backpacker-an. Aku memilih menjadi travel blogger untuk mendasari alasanku selalu pergi dan pergi lagi ke pelosok negeri yang akan membuatku jauh dari rumah.

Aku merasa bersyukur, marahku pada Pranata menguatkan aku untuk terus melangkah bahkan berlari menjauh dari semua tempat yang sudah kami datangi bersama.

Aku bertahan pada tempat yang berbeda, jumlah finansial yang tidak pasti dan orang yang selalu berbeda-beda setiap harinya. Baik dan buruk, mereka memberi banyak pengalaman.

Sempat aku bersikap tidak percaya diri. Namun Pranata mengajariku untuk lebih berani bertanya dan mengangkat dagu ketika orang merendahkan ku dulu ketika rambutku masih di kepang dua. Andai saja aku bisa seangkuh dirinya sewaktu dimarahi dosen. Aku pasti baik-baik saja sekarang. Namun nyatanya aku masih menggali dan berusaha menguburmu di bait kedua ini, Pranata.

“Kalau aku nggak punya duit, aku akan menghitung bintang dan memikirkan lokasi mana yang cocok aku datangi untuk ngamen nanti, Rasta.” Pranata tersenyum lebar sambil menggenggam batu dan melemparkannya ke kali.

“Memangnya kamu bisa nyanyi?” tanyaku waktu itu, di kawasan kota Jogja bagian utara, daerah Pakem, di warung bakso setelah kami mengunjungi taman nasional gunung Merapi, taman wisata Kaliurang yang berudara sejuk.

Pranata menyeringai. “Rasta, Rasta. Tak cubit sini pipimu yang mirip pantat bayi ini.” Pranata menjentikkan jarinya dengan tengil di depan wajahku seolah menggampangkan ucapanku.

Tanpa sadar. Aku mengusap pipiku, masih terasa tangannya yang berbau oli dan gemuk. Tapi bau oli pun terasa wangi kalau cinta, bau badan pun sedap di hirup waktu rindu. Sebab ada dua macam situasi yang sanggup menggerai dan membangkitkan kenangan. Tempat dan aroma.

“Ngapain hayo sentuh-sentuh pipi, inget disentuh-sentuh Prana pasti.” ucap Dominic tiba-tiba.

“Jancukk ganggu terus gaweanmu.” gumamku sambil terus menjejalkan pakaianku yang tak seberapa. Pikirku habis kondangan sambil makan-makan gratis, lanjut reuni, terus ketemu bapak ibuku langsung pergi. Jadi kutinggal sebagian bajuku yang masih banyak di kamar sahabatku tercinta serta kucingku yang sedang unyu-unyunya.

“Tapi benar to kamu keinget Prana? Ealah, kapan move on! Onone isuk dele sore tempe kamu, Ras!” Dominic menutup jendela kamar yang kubuka lebar-lebar.

“Biarin.” Aku memanyunkan bibir. Dominic bilang aku plin-plan seperti istilah peribahasa Jawa itu. Cepat sekali berubah, pagi bilang ini, sore bilang itu. Orang bilang tipikal isuk dele sore tempe ini susah dimengerti, maunya tidak tentu, niatnya apalagi. Sama sepertiku. Aku niat berlari, tapi jiwaku mengorek jejak Pranata dalam setiap aroma dan tempat yang terjaga di ingatanku.

Dominic menggeser litter box dan kandang kucing keluar kamarnya sementara aku mematut diri di cermin oval. Kusam, pipiku tidak semulus pantat bayi seperti yang Pranata katakan. Ada bekas jerawat serta wajah gosong yang membuatku semakin tidak semangat datang reuni. Ya Tuhan, aku susah tertidur nyenyak sejak undangan itu menghantuiku. Kantong mataku terlihat dan secangkir kopi di pagi hari justru membuat jantungku berdebar-debar.

“Gak usah dandan, Ras. Udah cantik kamu itu.”

Aku menoleh dengan cepat, pipiku berkedut-kedut mendengar pujian Dominic, kesambet apa dia memujiku cantik. Aku menuntaskan memberi wajahku sun screen dan sedikit lip balm. Aku takut bapak ibuku kaget melihatku seolah habis mengelilingi matahari.

“Janji lho kamu, Dom. Nanti waktu ketemu teman-teman, kamu harus bilang aku sudah lupa Pranata! Apalagi kalo ada Hetty, awas yo kamu ngomong aku masih nangis terus kehilangan Prana.” ancamku sambil menggendong tasku.

Dominic memejamkan mata sembari menjulurkan lidah.

“Aku bukan Prana yang bisa kamu atur-atur, Ras! Ingat to aku ini Dominic Prambudi. Lagian memangnya mereka masih ingat Prana, mbok kamu itu jangan GR! Belum tentu lihat kamu terus bahas-bahas Prana dan kisah cintamu.”

Aku menirunya memejamkan mata sembari menjulurkan lidah. Gede Rasa itu perlu sebagai ancang-ancang menghalau situasi yang tidak diinginkan.

“Kemarin kamu maksa aku terus buat balik Jogja, sekarang aku nggak boleh minta satu permintaan aja?” keluhku sedih. “Nanti kalau Prana nggak tenang gimana? Tambah sedih aku, Dom!”

Dominic menarik gagang pintu sembari menatapku malas.

“Kamu yang bikin dia nggak tenang, kelamaan move on!” Dominic memasang wajah muram lalu menghela napas. “Dah ayo keluar, sopir bapakku udah siap nganter ke stasiun.” pintanya setelah kami mendengar suara klakson dari halaman rumah.

“Kita nggak naik motor aja?” sahutku mempercepat langkah, mengikuti Dominic ke ruang keluarga setelah menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa.

Orang tua Dominic berkumpul di sini, mereka tersenyum sembari mengulurkan tangan.

“Mau kemana lagi sudah bawa-bawa backpack?” tanya Marisa, ibu Dominic seorang bule, sementara Prambudi adalah nama belakang keluarga ayahnya.

“Jogja, mama. Pulang kampung.” Dominic merangkul leherku hingga kepala kami bersentuhan. Aku terpaksa menyunggingkan senyum bahagia walau benakku ingin sekali menginjak kakinya. Dominic adalah sahabatku, suka duka, lapar kenyang, sedih bahagia, sudah kami lewati bersama. Dan hidup yang memang membutuhkan pasangan atau sahabat sewaktu senja mendatang janganlah sampai kami menjadi pasangan hidup. Secara refleks kenyamanan ini tidak ingin aku pertaruhkan karena cinta.

“Mau reuni sekalian kondangan, Tant, Om. Tapi pasti aku balik sini lagi kok. Tante dan om masih menerima kedatangan ku to?” tanyaku, bisa gawat kalau sampai nggak punya rumah singgah lagi. Sudah makan enak, gratis, WiFi dua puluh jam full, kucingku makannya royal canin, hmm...

“Masih dong, kenapa kalian tidak menikah saja? Toh Pranata pasti setuju dua sahabatnya bersama sampai tua.” bujuk Marisa.

Aku dan Dominic langsung bertatapan sambil meringis. Patah hatiku belum usai Tante, kataku dalam hati.

Dominic menjentikkan jarinya. “Gimana kalo besok mama dan papa ngelamar Rastanty di Jogja?”

Kuinjak kaki Dominic cepat-cepat. “Buru-buru banget lho.” selorohku lalu meringis. Kurang ajar ini orang, bercanda nggak tepat waktu.

Dominic tersenyum lebar sambil menjentikkan jarinya. “Belum saatnya, mam. Ntar Dominic atur dulu.”

Aku dan Dominic mencium punggung tangan mereka yang memasang ekspresi maklum pada kisah kami berdua.

“Pergi dulu om, Tante. Nanti aku bawain gudeg dari Jogja.” janjiku sebelum memakai sepatu di teras rumah. Mereka mengiyakan tetapi lebih mengingatkan untuk memulai hidup baru.

Sejenak tatapanku tertuju pada mata Dominic.

“Awas kamu jatuh cinta sama aku!” ancamku sambil menjawil hidungnya.

“Prei kenceng, Ras!” Dominic memutar matanya. “Dah masuk mobil, nanti ketinggalan kereta kita.”

Mau tak mau aku masuk ke mobil yang biasanya dulu Dominic gunakan untuk keliling Jogja bersamaku dan Pranata. Menyembulkan lagi kenangan yang tertinggal di mobil ini saat Pranata berdarah-darah.

...🖤...

Bait Ketiga

Stasiun Malang Kotabaru pukul delapan pagi. Kami terburu-buru melintasi sky bridge stasiun ini setelah memandangi dari jauh tiga gunung yang pernah kudaki bersama Dominic. Gunung Panderman, Gunung Buthak dan Gunung Kawi. Ketiga gunung itu sedang berselimut kabut seperti senyumku yang terbungkam oleh tangan-tangan yang membekapku ketika aku menjerit histeris melihat Pranata yang berlumur darah di tengah jalan.

Aku berhenti, lututku lemas. Kakiku ingin kembali ke rumah Dominic, bersembunyi di sana selama mungkin sampai ada yang mengetuk hatiku dan membawaku terbang kembali.

Dominic menyaut kemasan pop mie dari tanganku seraya membuangnya bersama kemasan kopinya ke tong sampah.

“Beli makanan, Ras. Aku ke toilet bentar. Kebelet banget, parah!”

Belum sempat kujawab permintaannya, Dominic lari kocar-kacir meninggalkan aroma tak sedap dari pantatnya yang mengeluarkan bau comberan di tengah orang-orang yang datang dan pergi di stasiun. Aku mendengus lalu kembali ke pujasera, membeli makanan dan minuman untuk perjalanan yang cukup lama di dalam kereta. Sehabis membayar, kakiku buru-buru melangkah ke peron setelah mendengar pengumuman jika kereta api Malioboro ekspress segera melaju, memohon penumpang yang belum menjejakkan kaki ke gerbong kereta segera merapat.

Kepalaku menengok berulang kali ke arah toilet dan ke sembarang arah, di mana Dominic, anjayyyy, aku mendengus sewaktu petugas kereta api menanyakan tujuan keberangkatanku. Air wajahku pasti sangat lumutan dan kebingungan sekarang sampai-sampai dia harus mempertanyakan kemana tujuanku seolah aku cuma kesasar.

Aku tidak hanya kesasar, aku terpaksa. Aku sangat-sangat enggan berada di sini mas. Apa wajahku ini kurang tersiksa?

Aku membunuh kebingunganku dengan menatap tempat terakhir aku melihat Dominic.

“Jogja, mas. KA Malioboro ekspress.” ucapku menyebut nama kereta yang akan kutumpangi selama nyaris delapan jam nanti.

“Buruan masuk, Mbak. Lima menit lagi pintunya ditutup sama masinis!” katanya cemas mewakiliku perasaanku.

“Temenku masih di toilet, mas. Dia mencret. Ah.” Tanganku ditarik paksa oleh petugas kereta hingga kakiku menjejak gerbong kereta, aku terperangah hingga sedetik yang tak cukup bagiku menarik napas pintu kereta tertutup.

“Asem!” desisku jengkel. Aku memberengut menatap petugas kereta yang mengeluarkan napas lega, bahkan ia sempat memastikan tak ada orang yang terburu-buru mengejar kereta.

“Temenku ketinggalan mas,” kataku lemah.

“Kalau teman Mbak tidak siap waktu kereta hampir jalan, sudah dipastikan teman Mbak tidak ingin berpergian. Dia hanya bermaksud mengantar.” ucapnya santun namun begitu nyelekit terdengar.

“Mosok sih Dominic tega nyuruh aku pulang ke Jogja sendirian!” Aku langsung menempelkan wajahku di kaca untuk memastikan Dominic mengejar kereta yang mulai meninggalkan peron diiringi suara klakson yang menderu-deru. Dominic tidak ada, sepasang mataku yang menghangat tidak menemukannya.

Aku sulit membayangkan akan kehilangan kebersamaan dengan Dominic di reuni nanti atau kondangan Setyo dan Putri. Aku tak bisa bersembunyi di balik keceriaannya yang membuatku terlena untuk senyum-senyum saja. Dimana kamu, Dom?

Tanganku mengepal dan memukul kaca kereta. “Maksudmu apa, Dom! Kenapa niat burukmu tersaji dengan lembut dan menjijikkan. Kentutmu mambu.”

Aku melangkah dengan lunglai mengikuti petugas kereta api yang hendak menunjukkan tempat dudukku. Suara-suara yang silih berganti kudengar tak kuhiraukan. Kecepatan kereta yang mulai bertambah tak membuatku goyah. Aku terpuruk di jalur yang membawaku pulang ke tanah kelahiranku seorang diri tanpa Pranata, tanpa Dominic, tanpa semangat tak seperti sebagian orang slalu membawa antusiasme yang membara ketika hendak berkunjung ke Jogja.

Aku merenungi perjalananku dalam diam. Di tempat dudukku, kelas ekonomi yang harusnya tetap seru bersama Dominic. Obrolan receh yang tidak henti-hentinya hingga membuat perjalanan tidak terasa lama. Tak disangkanya dia hanya mengantarku ke stasiun, menyuruhku pulang ke rumahku seorang diri. Mengunjungi kenangan yang tidak bisa aku lupakan sekuat apapun aku mencobanya. Aku menyerang kenanganku sendiri tanpa dukungannya.

Oh andai aku seperti kera sakti, nakal, brutal membuat semua orang menjadi kesal. Tapi aku hanyalah si gugur bunga, hamba ditinggal sendiri, tiada lagi pelipur lara nan setia yang menemani kesendirian ini. Adakah kesempatan untukku bahagia. Sepasang bola mataku memandang pemandangan di luar. Prana, aku kembali. Tapi aku harus bagaimana?

Tanganku mengambil laptop dari tas semi carrierku. Aku memangkunya sambil menarik napas, kutahu perjalanan ini akan tetap sampai pada tujuan.

Bagaimana Jogja sekarang, kudengar kota istimewa mulai luntur rasa nyamannya sebab klitih ada dimana-mana. Sebab banyak perhotelan yang kian menjamur dimana-mana sampai keluar kampanye sosial yang dilakukan anak muda termasuk Pranata.

“Jogja Ora Didol.” ( Jogja tidak dijual )

Aku mengerjap. Tapi bagaimana senja di atas parkir Abu Bakar Ali. Bagaimana suasana alun-alun kidulnya?

Satu persatu pertanyaan muncul dalam benakku dan jariku tak tahan untuk segera mengetik keyboard dengan sepuluh jari. Tak sedikit tempat yang aku datangi bersama Pranata di Jogja, kenangan pahit dan manis hingga semakin kuingat, semakin tak tahan aku menjatuhkan air mata. Dadaku sesak, Prana. Sesak sekali sampai aku sulit bernapas. Katakan siapa yang salah, cintamu, cintaku, cinta kita?

Sejenak aku menatap ke luar jendela.

“Tidak ada yang salah, Rastanty. Cinta kita ini lucu sampai bapakmu tidak tau aku dan kamu ini pacaran!”

“Yakin?” sahutku dulu, “lucunya dimana, aku sama kamu ini aneh!”

Pranata tersenyum sembari memetik gitarnya. Mendendangkan lagu yang sekarang menemani perjalanan ini meski sampai detik ini aku tidak mengerti lucunya cinta kami di mana.

Pranata hanya pernah bilang, tak kulihat pesona di Jogjakarta sampai Dominic mengantarku ke kost-kostan bapakmu dan melihatmu menyapu halaman sambil tersenyum hangat menyapaku.

...🖤...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!