NovelToon NovelToon

Game To Heaven

Gen 1 - Paradise Land

Amtown, Throntopia.

2023

"Pernahkah anda bermimpi untuk hidup layaknya manusia purba? Yang hanya perlu makan, tidur, dan bernapas, tanpa ada seorangpun yang menghakimi karena anda adalah seorang pengangguran?"

"Hidup yang nyaman layaknya di surga. Tak perlu memikirkan hal lain selain menikmati segala hal yang ada di dunia?"

"Harta kekayaan? Hubungan bebas? Tempat yang indah dan nyaman?"

"Mungkin, semua itu dulu hanya bisa dicapai dengan usaha dan kerja keras."

"Tapi zaman telah berubah! Apa yang tidak mungkin, bisa diwujudkan dengan kecanggihan teknologi yang ada."

"Paradise Land! Mungkin menjadi salah satu tempat impian bagi anda sekalian. Tempat ini adalah surga buatan pertama di dunia dan merupakan satu-satunya tempat yang selama ini kalian gadang-gadang sebagai tempat yang nyaman untuk di tempati."

"Berkat ilmuwan nomor satu di negara kita, yaitu profesor Kurt. Kita sekarang bisa melihat bagaimana indahnya surga tempat impian kita."

"Paradise Land, menjadi tempat yang menyediakan segala yang anda inginkan. Apapun yang anda minta, semuanya akan terwujud di tempat ini. Bahkan anda tidak perlu repot-repot mencari uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari."

Pria itu bicara dengan sangat bersemangat sembari menampilkan beberapa gambar dari tempat yang sedang dibicarakannya.

Layar LED besar yang terpampang di tengah-tengah kota itu seperti biasanya menyita perhatian semua orang yang berjalan di sekitar sana.

Kali ini bukan karena iklan fashion atau berita tentang pembunuhan berantai yang beberapa Minggu terakhir ini tengah ramai diperbincangkan, melainkan tentang tempat yang beberapa jam terakhir namanya mencuat ke permukaan di media sosial.

Paradise Land. Entah darimana asal tagar di media sosial itu berawal. Tapi yang pasti, hanya dalam hitungan jam saja, tagar itu langsung mencuat hingga menjadi trending topik di seluruh penjuru Throntopia. Bukan hanya di dalam negeri, bahkan beritanya sudah menyebar sampai keluar negeri.

Nama tempat itu sudah berhasil menyita perhatian khalayak ramai di seluruh penjuru dunia.

Bahkan orang-orang mulai penasaran dan berusaha mencari tahu mengenai tempat yang katanya diciptakan oleh seorang profesor nomor satu di Throntopia.

Namun tidak ada seorangpun yang tahu dimana tempat itu berada hingga akhirnya orang-orang berspekulasi itu hanyalah berita bohong semata.

Sampai kemudian, siaran berita pagi ini benar-benar menggegerkan semua orang di seluruh dunia yang penasaran akan Paradise Land.

"Semua tempat yang anda sekalian lihat pada gambar-gambar barusan adalah beberapa tempat di Paradise Land yang kami dapatkan dari profesor Kurt secara langsung. Beliau juga telah mengkonfirmasi bahwa tempat itu memang benar adanya, dan memang beliau sendiri yang menciptakan."

"Saya tahu mungkin ini adalah sebuah berita tiba-tiba yang tidak bisa kalian percaya begitu saja. Bahkan mungkin di antara kalian semua masih ada yang merasa ragu, tapi penasaran di saat yang bersamaan mengenai tempat ini 'kan? Maka dari itu, kami mengundang secara eksklusif, profesor Kurt secara langsung ke studio."

Kamera yang semula menyorot pada si pembawa acara seketika beralih ke arah pintu masuk. Tak lama, seorang pria tinggi berkulit putih dengan tubuh tegap berbalut jas hitam—melangkah masuk dengan seulas senyum diwajahnya.

Ia melangkah menghampiri Olsen si pembawa acara.

...*...

Drap! Drap! Drap!

Langkah kaki terdengar memecah keheningan di antara trotoar yang kala itu semua orang sibuk memperhatikan berita yang sedang disiarkan secara langsung.

Ketika orang lain sibuk pada layar LED besar, beda halnya dengan Angelina yang memilih terus berlari tanpa menghiraukan sekeliling.

Gawat! Gawat! Aku terlambat! pekiknya dalam hati, dengan wajah pucat yang tampak jelas menunjukkan kepanikannya.

Pakaian kantornya yang semula rapi seketika berubah berantakan setelah dirinya terus berlari tanpa henti menuju tempat kerjanya.

...*...

"Demi menjawab rasa penasaran para pemirsa yang menyaksikan siaran langsung ini, saya selaku pembawa acara ingin mewakilkan pertanyaan yang mungkin sampai saat ini masih terus membayang-bayangi semua orang di luar sana. Apakah benar, tempat ini ada, prof? Maksud saya—Paradise Land. Apakah benar, tempat ini ada? Karena seperti yang anda tahu, semua orang di zaman ini tidak akan percaya sebelum narasumbernya sendiri yang mengklarifikasi." Olsen bertanya padanya.

"Ya, seperti yang sudah saya katakan ketika tim redaksi menanyakan hal serupa pada saya. Jawabannya adalah 'iya.' Tempat ini memang ada. Paradise Land memang ada, dan saya yang menciptakannya. Sebenarnya ini adalah proyek rahasia yang telah saya buat selama kurang lebih lima tahun lalu. Pada awalnya saya memang berencana untuk mempublikasikan tempat ini setelah mendapatkan izin dari pemerintah. Tapi tampaknya karena beberapa masalah yang saya dan tim dapatkan beberapa bulan lalu, tempat yang masih saya rahasiakan ini seketika terungkap pada publik sebelum waktunya…"

"…Saya sangat menyayangkan hal ini, karena kelalaian tim saya. Namun walaupun begitu, saya pikir nasi sudah menjadi bubur. Dan karena semua orang sudah terlanjur tahu, maka saya pikir tidak ada pilihan lain selain segera memamerkan penemuan saya ini."

"Sungguh, ketika saya mendengar mengenai Paradise Land di sosial media ini. Saya sempat tidak percaya bahwa tempat ini ada. Sampai tim redaksi dari stasiun televisi kami bergerak cepat dan berusaha untuk menemukan kebenaran yang ada, saya baru mempercayainya. Sebelumnya, bolehkah kami tahu apa yang mendasari anda membuat proyek seperti ini? Mengapa anda berusaha untuk membuat sebuah penemuan berupa surga buatan? Darimana ide itu pertama kali berasal?"

"Yang mendasari saya membuat proyek ini sekaligus ide awal penemuan saya ini dimulai adalah ketika saya beberapa waktu lalu mengunjungi kerabat saya yang tampak sangat stres dan tertekan karena masalah yang dia hadapi. Saking tertekannya, bahkan beberapa kali dia berusaha untuk mengakhiri hidupnya dengan berharap ingin hidup di surga yang katanya adalah tempat paling indah di alam semesta. Saya berulangkali berusaha mencegahnya, namun pada akhirnya dia benar-benar meninggal karena melompat dari lantai tiga puluh apartemennya. Sejak saat itu, saya mulai berpikir bahwa di zaman sekarang tingkat stres dan tekanan hidup orang-orang mulai meningkat, dan kemungkinan seseorang mengakhiri hidupnya secara paksa juga semakin besar. Maka dari itu saya berpikir keras, sampai akhirnya terciptalah penemuan ini."

"Sungguh cerita yang sangat memilukan. Saya turut berduka atas kepergian kerabat anda."

"Tidak apa-apa, aku yakin dia sudah tenang di surga sana." Kurt tersenyum simpul.

"Baiklah, mati bahas hal lain. Saya tidak ingin suasananya menjadi canggung. Bolehkah saya lanjutkan?"

"Tentu. Silahkan, apa lagi yang ingin anda tanyakan?"

"Ini mengenai tempat Paradise Land sendiri. Banyak orang yang penasaran, termasuk saya. Mengenai dimana tempat ini berada," katanya.

...***...

Gen 2 - Diamond card

"Ini mengenai tempatnya sendiri. Banyak orang yang penasaran mengenai keberadaan tempat ini, termasuk saya sendiri. Apakah anda bisa jelaskan?"

Kurt tersenyum penuh arti. Air mukanya mendadak berubah ketika mendengar pertanyaan selanjutnya yang baru saja dilontarkan oleh Olsen.

"Mengenai hal itu, saya tidak bisa mempublikasikannya secara langsung. Hanya saya yang tahu pasti dimana letak lokasi itu berada, dan saya tentunya tidak akan memberitahu lokasi pastinya pada publik."

"Maaf?" Olsen tak mengerti.

"Ini membingungkan 'kan? Setelah ini, anda pasti ingin bertanya kenapa saya membuat Paradise Land dan memamerkannya sementara saya tidak memberitahukan pada semua orang mengenai lokasinya 'kan?"

"Ya, saya penasaran. Apakah Paradise Land hanya sebagai tempat tinggal terbatas? Apakah ini milik anda pribadi?"

Kurt menggelengkan kepalanya pelan. "Saya tetap membuka Paradise Land untuk publik. Tapi tidak sembarang orang bisa tinggal di Paradise Land."

"Maksud anda, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa tinggal di sana?"

"Benar sekali."

"Wah, setelah mendengar ini. Saya semakin merasa kalau tempat ini memang tempat eksklusif, haha…"

"Tentu saja. Saya memang berencana untuk membuat tempat ini seeksklusif mungkin."

"Jika boleh tahu, bagaimana kriteria orang-orang yang boleh tinggal di Paradise Land? Apakah ada kriteria tertentu agar orang-orang diluar sana bisa tinggal di Paradise Land? Jika memang ada, saya ingin memantaskan diri." Olsen kembali terkekeh dengan kalimat sarkasnya.

Kurt ikut terkekeh pelan sambil kemudian menjawab, "saya tidak mematok kriteria apapun untuk seseorang bisa masuk. Tapi, ada satu hal yang membuat seseorang bisa tinggal di Paradise Land."

"Apa itu?"

"Diamond Card."

Olsen mengerutkan kening begitu mendengar kalimat Kurt barusan.

"Saya memilih dan menyeleksi secara langsung orang-orang yang layak tinggal di Paradise Land. Dan setiap orang yang saya anggap pantas, akan mendapatkan sebuah undangan berupa Diamond Card."

"Wah, benarkah? Apakah seistimewa itu? Ah, saya benar-benar iri. Kalau seperti ini, akan sangat kecil kemungkinan bagi saya untuk mendapatkan surat undangan itu, haha…"

"Tentu saja. Selain itu, saya hanya menyeleksi sepuluh orang saja di antara ribuan atau bahkan jutaan orang."

"Huh? Astaga, benarkah? Ini lebih mengejutkan lagi. Tapi, kenapa anda sangat membatasi akses masuk ke Paradise Land?"

"Saya hanya ingin mengetes seberapa puas mereka dengan hasil temuan saya. Maka dari itu, saya memberikan akses terbatas."

"Oh, begitu rupanya… saya mengerti. Selain itu, hal ini juga karena Paradise Land baru saja melalui tahap uji coba 'kan?"

"Benar sekali."

"Kalau begitu, kapan anda akan mulai menyeleksi? Apakah anda sudah punya tanggal pastinya siapa saja yang akan mendapatkan diamond card itu?"

"Dalam satu Minggu ke depan, saya akan mengirimkan surat undangan pada sepuluh orang terpilih dari beberapa negara berbeda."

"Sungguh? Wah, luar biasa. Pasti ini akan sangat di nanti-nanti oleh para pemirsa, dan pastinya banyak orang yang berharap mendapatkan undangan itu seperti saya, haha… semoga saja kalian semua beruntung."

"Ya…"

Pip—

Davin mematikan layar televisi besar di ruangannya itu. Ia menaruh remote control di tangannya ke atas meja lalu menghampiri kursi kebesarannya.

"Aku kira proyek macam apa yang membuat semua orang begitu heboh, ternyata hanya sebuah proyek aneh yang tak menarik sama sekali," gumamnya pelan sambil mengalihkan fokusnya pada berkas yang baru saja dibawanya.

"Lagipula siapa yang percaya dengan tempat seperti itu? Tidak mungkin Paradise Land seindah itu. Aku yakin, tempatnya pasti membosankan."

Sekali lagi, ia bergumam sambil mengalihkan fokusnya pada semua pekerjaan yang ia miliki.

Tok-tok!

Suara ketukan pintu membuat fokusnya seketika beralih ke arah datangnya suara. Wanita yang menjadi sekretarisnya itu seketika melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya.

"Saya ingin memberikan beberapa berkas yang baru saja selesai," katanya begitu tiba dihadapannya.

...*...

Tap! Tap!

Pria itu melangkah dengan beberapa orang dibelakangnya. Mereka terus berjalan menyusuri koridor menuju ruang kendali. Di sana, mereka akan bertemu dengan salah satu rekan kerja yang sudah menunggu sejak tadi.

Ceklek!

Pintu dibukanya perlahan. Ia melangkah masuk, dan segera menghampiri Kurt yang sejak tadi menunggunya bersama dengan anak buahnya yang lain.

"Bagaimana?" tanya Walt, membuat fokus Kurt seketika beralih pada pria yang baru saja datang itu.

"Semuanya sudah siap seperti rencana kita."

"Benarkah? Tidak ada kendala sama sekali 'kan?"

"Tentu saja tidak ada. Semuanya berada dalam kendali. Aku sudah menyeleksi setiap orang yang akan tinggal di Paradise Land, dan aku sudah mengirimkan semua diamond card kepada para penerimanya."

"Sungguh? Jadi, siapa saja yang kau pilih? Apa aku boleh melihatnya?"

"Kenapa tidak?" Kurt memberikan jalan agar Walt bisa mendekat ke arah meja dimana anak buahnya terduduk di depan layar komputer.

Setelah berbincang beberapa hal, anak buahnya lantas menunjukkan gambar-gambar yang menjadi target mereka.

Ada sepuluh orang yang tampak di layar komputer dihadapannya mereka itu. Tiga diantaranya adalah seorang wanita, dan sisanya pria.

Rata-rata dari mereka usianya sudah menginjak dua puluhan.

"Mereka semua adalah kandidat yang cocok untuk tinggal di Paradise Land."

...*...

"Kau pokoknya harus menemui dia. Mama sudah memintanya untuk menunggu di kafe light dekat kantormu, maka dari itu kau harus mendatanginya. Jangan sampai membuatnya menunggu!" Kalimat itu terdengar penuh tekanan. Davin yang mendengarnya seketika berdecak sebal.

Ini sudah ketiga kalinya sang ibu berusaha untuk menjodohkannya dengan wanita yang bahkan sama sekali tak dikenalnya.

Sudah seminggu berlalu sejak siaran langsung yang menghebohkan dunia itu tayang.

Sejak hari itu juga, entah kenapa banyak sekali masalah yang membuat Davin tertekan. Mulai dari urusan kantor yang tak kunjung habis, masalah dalam proyek yang dikerjakan, bahkan sampai masalah yang diciptakan oleh ibunya sendiri yang bersikeras memintanya untuk segera menikah.

"Aku sudah bilang tidak mau! Apakah mama tidak mengerti? Aku tidak ingin menikah dengan wanita yang tak aku kenal."

"Mau sampai kapan kau terus melajang seperti ini? Usiamu semakin lama semakin bertambah, dan kalau kau tidak segera menikah. Nanti kau keburu tua."

"Aku tidak peduli!"

"Davin!"

"Kalau mama terus memaksaku, lebih baik aku melajang hingga tua. Kalau perlu sampai aku mati!"

"Hey! Jaga bicaramu. Mama tidak ingin kau seperti itu!"

"Pokoknya keputusanku sudah bulat!"

Pip—

Davin benar-benar lelah meladeni ibunya yang terus memaksanya untuk segera menikah.

Davin melemparkan ponsel dalam genggamannya ke atas meja. Ia menyandarkan tubuhnya sambil memijat pelipisnya yang terasa pening.

"Kepalaku rasanya akan pecah. Kalau seperti ini, bisa-bisa aku stres dan berakhir mati muda," gumamnya lirih.

"Huft~ andai saja aku bisa pergi sejauh mungkin…"

...***...

Gen 3 - Undangan

Ciittt…

Pria itu menghentikan motornya di depan kantor K-Company. Ia melangkah turun dengan membawa paket yang berisikan alamat kantor itu.

Tiba di lobi kantor, ia segera menghampiri resepsionis.

"Anda yang bisa saya bantu, pak?" Wanita yang berdiri di belakang meja itu tersenyum ramah padanya.

"Saya datang kemari untuk mengirimkan paket untuk pak Davin. Apakah benar, beliau bekerja di sini? Di lantai lima belas?"

"Oh, benar. Pak Davin adalah pemimpin perusahaan ini."

"Syukurlah saya tidak salah alamat."

"Kebetulan pak Davin saat ini sedang sibuk, bagaimana kalau paketnya anda titipkan pada saya saja? Nanti saya akan hubungi sekretaris pak Davin untuk turun dan mengambil paketnya untuk diserahkan langsung pada pak Davin."

"Baiklah. Kalau begitu, tolong serahkan, ya…"

"Baik."

Pria pengantar paket itu menyodorkan sebuah amplop kecil berwarna putih dengan sebuah stempel bulat di sudut bawah bagian depan amplop. Stempel itu memiliki lambang Ginkgo di tengahnya.

"Kalau begitu saya permisi." Si pengantar surat itu berlalu keluar kantor.

Sepeninggalannya, si resepsionis segera menghubungi Lune untuk memberikan amplop itu pada Davin.

...*...

"Kau harus dandan yang cantik! Mama yakin dia akan cocok untukmu, sayang."

"Ma, aku 'kan harus pergi kerja. Siang ini juga aku ada meeting penting dengan klien. Tidak mungkin aku menemuinya."

"Kau pasti bisa! Lagipula janji temunya saat jam makan siang di kafe light. Jadi kau bisa datang 'kan?"

"Apa? Kafe itu jauh dari kantorku, ma… mana mungkin aku pergi ke sana hanya untuk makan siang dengan pria yang bahkan tak aku kenali sama sekali? Lagipula bagaimana caranya kita bisa bertemu sedangkan kita saja belum pernah bertemu sekalipun?"

"Kau bisa menghubunginya!" Wanita yang menjadi ibunya itu menyodorkan ponselnya yang tadi direbut paksa dari tangannya.

Angelina menunduk menatap nomor telpon yang baru saja di simpan mamanya di kontaknya.

Di kontak itu, tertulis Calon suamiku. Dengan tanda love di ujung namanya.

"Sekarang ayo bersiap!"

Kejadian tadi pagi itu mendadak terngiang dibenaknya. Kejadian ketika ibunya secara paksa memintanya untuk datang ke kafe light guna menemui pria yang akan dikenalkan padanya.

Angelina menghela napas panjang.

Padahal aku sudah menolaknya berkali-kali. Tapi, untuk apa aku di sini?

Angelina mengepalkan tangannya erat. Ia benar-benar tidak tahu kenapa dengan dirinya.

Sejak tadi pagi, dia terus ngotot tidak ingin menemui pria yang akan dijodohkan dengannya. Tapi siangnya, entah apa yang terjadi. Dia malah tiba-tiba datang dan mengambil duduk di salah satu kursi kosong yang ada di kafe light. Kafe yang dimaksud oleh ibunya.

Sepertinya aku benar-benar sudah kehilangan akal. Kenapa aku harus datang ke sini, sementara aku tidak ingin menemuinya?

Angelina mengalihkan perhatiannya pada jam yang melintas di pergelangan tangan kirinya.

Sudah lebih dari lima menit dirinya menunggu, dan pria yang di tunggunya sama sekali tak menampakkan diri.

"Aku sudah menunggunya di sini selama lima menit, tapi kenapa dia belum datang juga?"

"Padahal kalau aku perhatian, jarak antara kantornya dan kafe ini tidak jauh. Mungkin hanya akan memakan waktu dua sampai tiga menit saja untuk bisa sampai di sini."

"Apakah jangan-jangan dia tidak akan datang?"

Angelina merogoh kantongnya. Mengeluarkan ponselnya.

Wanita itu terdiam sembari memperhatikan nomor yang tertera di kontaknya.

"Apa aku telpon saja? Dan tanyakan apakah dia sudah tiba?"

"Ah, tidak. Rasanya tidak enak kalau aku menelponnya lebih dulu. Kesannya aku seperti orang yang terlalu berharap bisa bertemu dengannya. Lebih baik aku tunggu sebentar lagi saja, kalau dia tidak kunjung datang, aku akan pergi," gumam Angelina. Wanita itu seketika tersadar akan tulisan yang tertera pada nama kontaknya.

Ia bergidik—geli sendiri jadinya.

"Arghh! Benar-benar menggelikan! Kenapa mama harus menamai kontaknya seperti ini?!"

Angelina segera mengganti nama pada kontak pria itu.

...*...

Pria itu terus melangkah menghampiri meja yang sejak tadi di duduki seorang wanita di sana. Kursi yang dia duduki berada tak jauh dari jendela, sehingga membuatnya bisa dengan mudah mengenalinya.

"Maaf!" kata pria itu, membuat fokus Angelina beralih dari ponselnya.

"Ya?" Angelina mendongak. Untuk sesaat, ketika beradu pandang dengan pria yang baru tiba itu—Angelina berpikir bahwa dia mungkin saja adalah pria yang sejak tadi ditunggunya. Tapi asumsinya buyar ketika seragam yang dikenakan pria itu benar-benar diluar dari bayangannya.

"Apakah benar, anda Angelina?"

"Ya… ada apa?"

"Saya membawa surat untuk anda. Silahkan di terima." Pria itu menyodorkan amplop putih dengan stempel di sudut bawah bagian depannya.

"Surat? Dari siapa?"

"Alangkah baiknya anda cek sendiri pengirimnya."

"Oh…" Angelina mengalihkan atensinya pada amplop yang kini digenggamnya.

"Saya permisi." Pria itu berlalu meninggalkan dirinya seorang.

Benar-benar aneh. Baru kali ini aku lihat ada pengantar paket yang mengirimkan surat sampai ke kafe.

Tunggu. Tapi darimana pria itu tahu aku ada di sini?

Angelina mengecek alamat pengirim dan penerimanya. Tapi tak ada sedikitpun informasi yang di dapatnya mengenai siapa orang yang mengiriminya surat itu, atau alamat surat itu harus dikirimkan.

Yang tertulis di sana hanya nama penerima, dan nama itu memang tertulis namanya.

"Aneh," lirihnya dengan penuh tanya.

...*...

"Pak, ada yang mengirim surat untuk bapak." Lune menyodorkan surat yang baru saja diambilnya di resepsionis lobi.

"Surat? Dari siapa?"

"Saya kurang tahu. Tidak ada informasi mengenai pengirimnya sama sekali, hanya ada alamat kantor ini dan nama bapak yang tertulis di sana."

Davin meraih amplop yang diberikan Lune padanya barusan.

"Baiklah, terima kasih sudah mengambilkannya."

"Baik, pak." Lune membungkuk sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkan ruang kerjanya.

"Surat apa ini? Kenapa ada yang mengirimiku surat?" Davin menatap amplop di tangannya untuk sesaat sebelum akhirnya membuka surat itu secara perlahan.

Begitu dibuka, Davin bisa melihat sebuah kartu di dalamnya.

Ukuran kartu itu hampir sama seperti kartu kredit miliknya.

Ia menarik benda itu keluar hingga dirinya bisa merasakan tekstur pada bagian belakang dimana logo yang serupa pada stempel depan.

Logo berbentuk bulat dengan gambar Ginkgo di tengah-tengah, dan inisial HG di bagian bawahnya.

Davin membalikkan kartu itu. Dari logonya, ia bisa melihat dengan jelas berlian asli yang berkilauan. Berlian itu tak lain digunakan sebagai stempel yang menempel pada kartu tersebut.

Ia mengusapnya sekali lagi. Rasanya sulit dipercaya ketika ia melihat ada berlian menempel pada stempel kartunya.

"Ini berlian asli?" Davin mendekatkan benda itu, memperhatikan lebih dekat agar semuanya terlihat jelas.

"Ini benar-benar asli," gumamnya pelan.

Davin kembali membalikkan kartu ditangannya.

...***...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!