"Namanya Selena. Umur 26 tahun lulusan University of Cambridge. Pekerjaan konsultan keuangan di___" Leo menjelaskan secara detail isi berkas CV keempat yang dibacakannya. Bukan rekruitmen untuk mencari calon sekretaris baru, tapi seleksi untuk calon pacar Akbar, bossnya. Inisiatif itu pun bukan dari Akbar. Melainkan dari ibunya Akbar. Mengingat si sulung itu di usia yang akan menginjak 33 tahun, masih saja belum punya calon istri.
Akbar dengan malas-malasan mendengarkan diiringi menguap panjang. Serasa sedang dibacakan dongeng mungkin. Hingga berefek mengantuk. Sudah empat berkas CV dibacakan Leo dan ia hanya membuka lembar demi lembar dengan menatapnya sekilas. Ingin sekali membantah dengan menoyor bahu asistennya itu agar menyudahi presentasi. Tapi mengingat ultimatum Sarmila, Mama tercinta yang merepet di kala tadi sarapan pagi. Mau nggak mau ia manggut-manggut karena pasti Leo harus memberi laporan pada Mama Mila.
"Next....namanya Loly." Leo menyerahkan berkas kelima ke tangan Akbar. Sementara ia akan membacakan dari Tab yang ada di pangkuannya. Masih ada sekitar delapan tumpukan berkas yang belum dibuka.
"Ah, ngantuk gue. Udah aja kalau Mama nanya, lagi diseleksi. Lo kenapa mesti bacain satu persatu segala. Kerjaan di meja numpuk tuh. Ini malah presentasi yang nggak penting." Akbar mendecak kesal. Memilih merubah posisi menjadi telentang di sofa ruang kerjanya itu, tanpa rasa bersalah.
Leo menghela nafas. “Bar, kalau bukan tugas dari Tante Mila, gue juga ogah kali. Lo tau nggak, Tante Mila sampe bisik-bisik nanya, katanya jangan-jangan Akbar punya pacar cowok. Soalnya tiap punya pacar gak ada yang bertahan lama. Gue jawab maybe yes maybe no,” ujarnya diiringi tawa lepas sampai puas. Di kala sedang berdua seperti sekarang ini ia dan Akbar bersikap layaknya sahabat, mengesampingkan wibawa.
Akbar terperanjat bangun dari tidurannya. Ia mendengkus kesal. Sejak memutuskan hubungan dengan Vero yang merupakan pilihan Mama Mila, ia belum lagi memiliki pacar. Lebih banyak tinggal di Singapura mengurus perusahaan keluarga di sana yang mengalami pailit. Hingga dalam kurun waktu dua tahun lebih, perusahaan tersebut pelan tapi pasti berangsur sehat. Baru dua bulan ini ia kembali ke perusahaan miliknya sendiri di Jakarta. Yang selama ditinggalkan dipercayakan pada Leo, sahabat sekaligus asistennya.
“Eh, jangan salah ya. Gue jadi jomblo itu pilihan bukan nasib. Ngapain nikah buru-buru hanya demi menghindari pertanyaan tiap Lebaran ditanya kapan nikah. Kalau cuma ngejar status doang, seorang Akbar Pahlevi Bachtiar tinggal tunjuk jari pengen cewek cantik dari kalangan apa, model or singer or anak konglomerat di negeri ini. Cetek itu. Tapi gue sangat menghormati kesakralan nikah. Mending jadi JOMAT dulu dah sampai ketemu cewek yang klik dengan hati.” Jelas Akbar tanpa beban.
“Apaan jomat?!” Leo mengerutkan keningnya. Ia meneguk kopi yang tersisa di gelasnya sembari menatap Akbar.
“Jomat, jomblo terhormat. Istilah dari si Ami itu. By the way, kabar Ami sekarang gimana ya? Udah SMA mungkin ya? Masih centil gak ya?” Akbar berbicara sendiri dengan sorot mata berbinar. Tiba-tiba teringat bocah narsis yang kalau tersenyum lebar baru kelihatan memiliki dua lesung pipit yang manis. Ia segera mencari nomor kontak Ami. Mendadak ingin menghubunginya. Namun beberapa kali dihubungi, nomornya tidak aktif.
“Nomer Ami udah gak aktif. Ganti nomor mungkin ya.” Akbar mendesah kecewa. Melempar dengan asal smartphone dengan logo apel digigit itu ke samping tempat duduknya.
“Ganti nomer kali. Minta aja sama Rama. Mau aku teleponin?” Tawar Leo. Bersiap membuka layar ponselnya.
Akbar menggeleng. “Gak usah. Besok agenda ke Tasik sekalian aja silaturahmi ke Enin sama mampir ke rumah makan Dapoer Ibu. Kangen sama menunya sekalian silaturahmi sama Bu Sekar. Kali aja ketemu Ami juga.”
Leo mengangguk. “Jadi ini gimana? Mau lanjut dengerin presentasi kandidat nyonya Akbar gak nih? Gue bakal disidang Tante Mila kalau gak ngasih laporan menyenangkan.” Ia kembali pada pembahasan seleksi calon pacar.
“Pilih buat lo aja deh. Lo mau nambah bini, kan?” Akbar tersenyum menyeringai. Ia bangkit dari duduk dan membuka jasnya.
“Semprul kau. Bini gue satu aja gak bakalan habis.” Sarkas Leo dengan bersungut-sungut. Ia sudah menikah dengan gadis pujaannya bernama Tasya, satu setengah tahun yang lalu. Kini sang istri sedang hamil usia tiga bulan.
Akbar hanya menanggapi dengan tertawa. Ia melonggarkan dasinya dan menggulung lengan baju sampai ke sikut.
“Lo mau kemana? Kita lanjut bahas project aja.” Leo mengernyit melihat Akbar seperti akan pergi. Sementara beberapa berkas di meja, terhampar berantakan.
“Apa sih, posesif banget. Gue mau setor. Mau nemenin, sayang?” Akbar mencolek dagu Leo diiringi kedipan mata.
“Amit-amit jabang bayi.” Leo bergidik dan menggosok-gosok dagunya serta bersikap ingin muntah. Ia melempar punggung Akbar yang berjalan menuju pintu kamar mandi dengan sebuah bantal sofa. Ditanggapi Akbar dengan tertawa lepas.
***
Huft, lega. Ami mengusap perutnya usai buang air kecil yang sudah ditahan sejak di dalam kelas. Ditahan karena sedang tanggung menyelesaikan ulangan Bahasa Indonesia. Kini gadis berseragam putih abu-abu itu berjalan cepat menuju kelasnya, kelas X MIPA 3. Karena waktunya pergantian jam pelajaran. Pelajaran terakhir, Biologi.
“Mi, Pak Yaya gak akan masuk. Ada halangan mendadak. Dan gak ada tugas. Daripada boring, kita konser yuk, Mi!” Ucap Marga yang berdiri di luar pintu kelas seolah sengaja menunggu kedatangan Ami.
“Gasss.” Ami menjentikkan jari dan mengajak Marga masuk.
“Guys, Pak Yaya gak masuk. Sambil nunggu jam pulang, kita konser aja biar gak ngantuk. Siap, guys?” teriak Ami yang berdiri di depan white board memberi komando.
“Gass!” kompak teman sekelasnya bersuara. Semua orang tahu konser seperti apa yang dimaksud Ami. Bisa dibilang gak ada Ami gak rame. Karena siswi yang memilih bangku di baris ketiga dan paling belakang itu pandai menyatukan semua murid satu kelas tanpa ada pengelompokkan alias genk-genk seperti yang ada di kelas lainnya. Mau orangtuanya kaya atau biasa, anak seorang pejabat pemerintahan atau anak penjual gorengan, semuanya berbaur dan akur.
“Lagu apa, Mi?” teriak Vino yang sudah siap bertalu meja.
“Lagu Chrisye aja judul Anak Sekolah. Ayo bagian paduan suara, cari liriknya di Mbah!” Ami menerima uluran sapu injuk dari temannya. Karena ia berdiri di depan menjadi pemimpin dalam bernyanyi. Sapu digunakan sebaga mic nya.
“Oke, siap-siap! Kamera…roll….action.” teriak Marga yang menjadi seksi dokumentasi.
Bukan aku tak tertarik
Dengan kata rayuanmu
Saat matamu melirik
Aku jadi suka padamu
Tiap kali kau bermanja
Gemetar rasa di dada
Ingin kubisikkan cinta
Tapi hati ini malu jadinya
Engkau masih anak sekolah, satu SMA
Belum tepat waktu 'tuk begitu-begini
Anak sekolah datang kembali
Dua atau tiga tahun lagi
Dengan riang, Ami dan sepuluh orang lainnya yang berkerumun di bangku depan, menyanyi bersama. Ada dua orang yang bertalu. Yang lainnya menonton saja dari bangku masing-masing. Namun kemudian suara menjadi senyap seketika. Menyisakan Ami yang masih semangat bernyanyi di depan kelas, melanjutkan nyanyi solo.
Wo-wo-wo-wo
Ah-ya-ya-ya-ya, ya-ya
Wo-wo-wo-wo
Ah-ya-ya-ya-ya, Pak Yaya
Ami terkikik karena mempelesetkan kata terakhir dengan sebutan na
ma guru biologi sekaligus wali kelasnya itu.
“Lanjut lagi, guys. Malah pada diem.” Protes Ami yang melihat teman-temannya kembali duduk di bangku masing-masing.
Bukan mendapat jawaban, tapi malah semua orang menunduk dan menahan tawa. Dari bangku belakang tempatnya duduk, ia melihat teman sebangkunya menunjuk dengan dagu ke arah pintu. Ia pun menoleh ke sebelah kiri dan terkejut.
“Eh, ada Pak Yaya.” Ami mengangguk dan tersenyum. Ia segera berlari sembari membawa sapu injuk.
“Mau kemana, Rahmi? Kembali ke sini!” Pak Yaya memanggil Ami yang sudah duduk di bangkunya.
Ami menurut. Sembari berjalan, menyempatkan mencubit setiap bahu teman-teman yang dilewatinya karena sudah kompak membiarkan terciduk oleh sang guru. Ia pun berdiri di samping Pak Yaya.
“Rahmi alias Ami Selimut, kamu tahu sekarang pelajaran siapa, kan?” Pak Yaya melipat kedua tangan di dada. Ini adalah semester dua. Sebagai wali kelas, ia sudah mengenal semua anak didik kelas X MIPA 3 yang berjumlah 34 orang itu. Termasuk Rahmi yang terkenal dengan nama tenar Ami selimut, adalah murid pintar dengan peringkat rangking satu. Dan bulan kemarin mewakili sekolah menjadi juara satu pertandingan silat tingkat SMA dan sederajat se Priangan Timur.
“Tahu, Pak. Sekarang pelajaran Bapak. Tapi kata Marga, Bapak gak masuk, ada halangan. Jadi daripada ngantuk, kita nyanyi-nyanyi, Pak.” Sahut Ami sejujurnya. Kemudian menatap Marga dengan tajam yang terlihat cengar cengir.
"Awas lho ya, Marga satwa!” Ancam Ami yang tersirat dari pelototannya.
“Marga, maju ke depan! kamu dan Ami berdiri di samping white board!”
Ami merasa cukup senang karena Marga pun terkena hukuman.
“Kalian berdua berdiri selama dua jam pelajaran, kecuali bisa menjawab pertanyaan Bapak, boleh duduk.” Tegas Pak Yaya.
Ami dan Marga bersamaan mengangguk.
“Pertanyaan soal Animalia. Siapa yang bisa jawab lebih cepat, acungkan tangan.” Pak Yaya memperbaiki posisi kacamatanya sebelum memberikan soal. “Ubur-ubur termasuk hewan apa dan jelaskan ciri-cirinya.”
Ami sigap mengangkat tangannya dengan percaya diri. “Ubur-ubur termasuk hewan Coelenterata. Cirinya, tubuh bersel banyak, mempunyai tentakel, tidak mempunyai anus. Untuk berkembang biak, hewan ini melalui fase hidup asek sual sebagai polip atau tunas yang menempel di dasar laut, dan sek sual sebagai medusa yang berenang bebas.”
“Kamu boleh duduk!” Ucap Pak Yaya. Itu artinya jawaban Ami benar.
Ami mengangguk dan tersenyum lega. Menyempatkan menoleh ke arah Marga sembari memeletkan lidah.
“Marga, satu pertanyaan lagi. Kalau nggak bisa jawab, tetap berdiri di sini!” Tegaas Pak Yaya.
Dan faktanya, Marga tidak bisa menjawab pertanyaan dari Pak Yaya. Alhasil mendapat sorakan dari teman sekelasnya dan harus berdiri sampai jam pelajaran berakhir.
Bel pelajaran terakhir berbunyi. Waktunya pulang. Kelas pun mulai gaduh oleh ******* kelegaan dari mulut sebagian murid.
“Anak-anak, sebentar. Bapak lupa menyampaikan pengumuman.” Pak Yaya meminta atensi semua murid yang sedang membereskan buku pelajaran ke dalam tas.
Suasana hening kembali. “Besok akan ada tamu ke sekolah kita. Sengaja diundang oleh komite. Beliau ini donator terbesar sekolah kita. Seorang CEO muda dari Jakarta. Pemilik hotel Seruni yang ada di Tasik kota. Beliau akan menyapa di satu kelas tiap tingkat. Dan untuk kelas X diwakili oleh kelas kita. Tetap jaga kebersihan dan kekompakan kelas kita ya! Biar selalu jadi kelas teladan.” Jelasnya mengakhiri jam pelajarannya.
“Siap, Pak.” Sahut semua murid dengan kompak.
Pak Yaya keluar kelas lebih dulu. Marga berjalan dengan lunglai ke kursinya. Dan mendapat tertawaan teman sebangkunya.
“Ga, gimana rasanya senjata makan tuan?” Ledek Ami yang kemudian melambaikan tangan meninggalkan ruangan kelas, tidak menunggu jawaban Marga. Ia berjalan beriringan bersama Zaskia, teman sebangkunya.
“Kia, pulangnya bareng aku aja. Nanti dianterin sampe depan lampu merah ya.” Ami selalu menawarkan tumpangan untuk Kia yang tidak pernah jajan di kantin. Selalu membawa bekal. Itu karena uang sakunya hanya cukup untuk ongkos naik angkot pulang pergi.
“Nggak usah, Mi. Aku naik angkot aja.” Kia merasa tidak enak selalu menumpang di mobilnya Ami.
“Kamu mah nggak enakan bae. Ayo lah biar aku ada teman ngobrol di jalan.” Ami menarik tangan Kia menuju mobil yang sudah datang menjemputnya. Pilihannya sekolah di SMA Al Barkah di kota Tasikmalaya, mengharuskannya berangkat jam enam pagi dari Ciamis setiap harinya. Beruntung ibunya dan kakaknya yang di Jakarta, selalu mendukung keinginannya selama dalam hal positif.
“Mang Kirman, kemon!” Ami memanggil sopir keluarga yang setiap menjemput selalu menunggu di bangku di bawah pohon kersen yang teduh. Namun tiba-tiba ponsel di dalam tasnya berbunyi. Ia merogohnya. Nama ‘kak Anggara’ tampil di layar.
“Hallo, Kak Angga.” Ami menjawabnya sembari menuju mobil warna putih yang ia tahu dulunya dikirim kakak ipar dari Jakarta dengan BPKB dan STNK atas nama Sekar Sari, ibunya.
“Mi, udah pulang belum? Kak Angga di parkiran depan sekolah nih.” Sahut Anggara di ujung telepon.
“Ini baru mau pulang, Kak. Di parkiran dalam. Ada apa, kak?” Ami urung naik ke dalam mobil, menunggu sahutan.
“Oke. Tunggu di luar mobil ya. Kak Angga masuk.”
Panggilan pun terputus. Ami meminta sopir dan Kia menunggunya sebentar. Tak lama ia melihat seorang pria tegap berseragam coklat menuju ke arahnya dengan menenteng paper bag dan kantong kresek putih. Ia tersenyum tipis. Percaya diri akan mendapat bingkisan.
“Mi, nitip oleh-oleh Medan buat Teh Aul ya. Kak Angga gak bisa datang langsung ke rumah soalnya sekarang ada tugas Patwal ke Jakarta. Ini ada donat madu buat Ami, pas barusan lewat tokonya.” Ucap Anggara sambil menyerahkan dua tentengannya.
“Asiap. Makasih donatnya, Kak.” Ami tersenyum lebar.
“Sorry ya nggak bisa lama. Rekan nunggu di mobil. Bye, Ami.” Anggara melambaikan tangan dan segera berlalu pergi dengan langkah lebar.
“Bye, Kak. Yaelah cepet banget telat jalannya Pak Pol.” Ami bicara sendiri karena yang diajak bicara sudah menjauh dan menghilang di keluar gerbang. Dengan penasaran ia mengintip isi paper bag besar untuk kakaknya itu.
Nggak Kak Panji, nggak Kak Angga, ngasih hadiah buat Teh Aul nggak kaleng-kaleng. Lah aku, dari dulu dikasihnya donat madu. Mentang-mentang cemilan favorit aku. Kali-kali ada yang ngasih epon kek. Ini tabungan belum cukup juga buat beli si epon terbaru. Ya gimana mau nambah sih ya, tiap minggu digesek terus.
“Neng Ami, pulang sekarang?”
Suara Mang Kirman mengembalikan kesadaran Ami yang mengintip isi paper bag sambil melamun.
...🎀🎀🎀...
Assalamu'alaikum Bestie,
Terima kasih sudah bersabar menanti karya terbaru keenam aku di NT. Semoga cerita ringan ini menghibur ya.
Untuk pembaca baru, disarankan membaca dulu KALA CINTA MENGGODA (KCM) karena BAJC adalah sekuel dari KCM.
Gasss taburan kembang dan guyuran kopinya. Jangan lupa like dan vote nya.
Happy Reading!
"Ami, makasih ya. Mang Kirman, makasih ya." Ucap Kia begitu mobil berhenti saat lampu merah menyala. Dari lampu merah, ia hanya butuh berjalan sekitar 50 meter di trotoar, lalu masuk ke dalam gang. Di situlah rumahnya.
"Sama-sama, Kia. Awas turunnya kaki dulu ya!" Ami memperhatikan teman sebangkunya yang bersiap membuka pintu mobil. Mang Kirman yang menyahut sapaan Kia terdengar terkekeh.
"Nggak. Mau ngegelinding aja." Kia menanggapi guyonan Ami yang setiap hari selalu menciptakan tawa itu. Ia melambaikan tangan begitu sudah di luar mobil.
"Neng Ami, langsung pulang atau jajan dulu?" Tanya sopir yang sudah mengabdi di keluarga Ibu Sekar lebih dari setahun itu. Kegiatannya terutama mengantar belanja ke pasar induk atau mengantar pesanan konsumen Dapoer Ibu.
"Langsung pulang aja, Mang. Aku udah punya donat. Nanti Mang Kir dibagi deh." Ami beralih membuka akun medsosnya selama perjalanan menuju rumah.
Tiba di rumah langsung menuju lantai dua karena ibunya belum pulang dari pengajian. Ami sudah mempunyai kamar sendiri. Menempati kamar bekas kakak pertamanya. Kamar yang paling luas yang ada di rumah itu. Dengan jendela menghadap pemandangan jalan raya. Karena semua orang belum pada pulang, ia memutuskan mandi saja sekalian lanjut menunaikan sholat ashar.
"Amiiiii." Itu teriakan Aul yang baru pulang menyurvei bangunan baru. Ia membuktikan kecintaannya pada usaha kuliner dengan mengelola usaha rintisan yang ada sehingga mampu menabung laba yang banyak. Akan menjadi penerus ibunya mengembangkan sayap Dapoer Ibu. Sebentar lagi Dapoer Ibu 2 dengan konsep cafe, akan segera grand opening. Masih berlokasi di Ciamis, sebelum kawasan Alun-Alun.
Ami membuka pintu masih dengan berbalut mukena. "Apa, Teh?"
"Ada titipan dari Kak Angga, kan?" Aul menaikkan satu alisnya.
"Eciee, tau aja ada hadiah dari Ayang." Goda Ami sembari masuk lagi ke dalam kamar dan membuka mukenanya diikuti oleh Aul.
"Mi, jangan bilang gitu. Entar keceplosan di depan Kak Panji jadi teteh yang nggak enak." Tegur Aul.
"Makanya teteh buruan pilih atuh kasian. Jangan...kau menggantungkan hubungan ini, kau tinggalkan aku tanpa sebab, maunya apa, ku harus bagaimana. Kasih....." Ujung-ujungnya Ami malah bernyanyi dengan penuh penjiwaan di hadapan Aul yang duduk di tepi ranjang.
Aul tidak merasa dinasehati, malah tertawa-tawa. Geli dengan tingkah si bungsu yang tetap saja kelakuannya tidak berubah. Sejak Zaky kuliah di Singapura dan kini masuk semester tiga dengan biaya 100% dari Papi Krisna, penghuni rumah hanya tinggal tiga perempuan saja. Ditambah satu orang ART.
"Diam ya, bocah mah mana paham urusan orang dewasa." Aul siap beranjak keluar dengan menenteng paper bag pemberian Anggara itu.
Ami merentangkan tangan, menghalangi jalan. "Eit, kata siapa bocah. Bentar lagi aku sweet seventeen. Itu artinya bocah udah bisa bikin bocah," ujarnya sambil terkikik.
"Hus, belajar dulu yang bener. Awas ya kalau pacaran!" Aul menyentil kening Ami. Sekali menggelitik pinggang adiknya itu, jalan keluar pun terbuka.
"Teteh, Ibu udah pulang belum?" Teriak Ami menatap Aul yang mulai menuruni tangga.
"Udah." Suara Aul terdengar sudah jauh.
"Ih, kenapa gak bilang. Kan aku pengen oleh-oleh snacknya." Gerutu Ami bicara sendiri. Bergegas menyusul menuruni tangga sambil bernyanyi-nyanyi,
Engkau masih anak sekolah, satu SMA
Belum tepat waktu tuk begitu begini
Anak sekolah datang kemari
Dua atu tiga tahun lagi
Ami mencari Ibu Sekar yang ternyata ada di kamar sedang berganti pakaian. Ia langsung saja berguling di ranjang yang dulunya dipakai tidur berdua dengan ibunya itu.
"Bu, dapat snack nggak? Aku liat di meja nggak ada." Ami menatap ibunya yang sedang menyisir rambut di depan meja rias. Sudah berganti baju daster. Sejak dulu, berburu buah tangan ibunya tiap pulang pengajian adalah kesenangan tersendiri. Suka penasaran dengan isinya.
"Tadinya dapet. Tapi ada nenek yang nggak kebagian, punya Ibu dikasihkan aja. Kasian. Nenek itu juga buat oleh-oleh cucu, katanya sampe suka nungguin di teras. Ami mah nggak dapat snack masih mampu beli, kan?" Bu Sekar duduk di tepi ranjang menatap Ami.
"Iya nggak apa-apa. Aku punya donat madu dari Kak Angga. Tadi pulang sekolah ketemu di parkiran. Kak Angga nitip hadiah buat Teh Aul." Ucap Ami santai. Rambut panjangnya diuraikan ke samping bahu agar tidak kusut.
"Ibu kenapa liatin aku senyum-senyum gitu?" sambung Ami menatap heran ibunya.
"Ibu masih nggak nyangka, Ami udah gede aja. Perasaan baru kemarin segini, sekarang udah segini." Bu Sekar memperagakan ketinggian badan dengan tangan ke bawah lalu berganti naik mendongak.
"Kurang, Bu. Cantik dan imutnya harus disebutin juga." Protes Ami yang berguling hingga beralih tiduran di pangkuan Ibu. Tetap saja masih suka bermanja.
"Iya. Anak bungsu Ibu makin cantik dan selimut. Hati-hati dalam bergaul ya, Neng. Harus pintar pilih teman. Jangan sampe kebawa arus." Ibu mengusap-usap rambut Ami penuh sayang.
"Asiap, Bu komandan." Ami memberi hormat dengan mengangkat tangan. "Eh, nyebut komandan jadi ingat Pak Happy. Bu, Pak Happy masih ada? Perasaan udah lama nggak datang lagi ke sini," sambungnya mendadak terkenang pernah menjahili dengan memberi tebak-tebakan.
"Hm, Ibu dengar sih tinggal di Jerman." Dada Bu Sekar mendadak berdesir. Gara-gara pertanyaan Ami. Nama yang sudah dikubur itu malah tergali lagi. Padahal sudah lama putus komunikasi. Pergi pun tanpa pamit. Hanya tahu informasi dari orang lain saat tak sengaja menguping obrolan saat menghadiri acara di gedung Bupati.
***
Akbar menuruni tangga dengan menenteng koper kecil. Mengenakan hoodie serta celana pendek yang terkesan santai. Rencana kunjungan kerja ke Tasik selama dua hari. Ingin memantau hotelnya secara langsung. Sekaligus memenuhi undangan ke sekolah SMA IT Al Barkah, sebagai motivator.
Sudah ada Leo menunggunya di ruang tengah. Sedang berbincang dengan Mama Mila. Sudah pasti sedang membicarakan seleksi calon pacar, tebaknya.
"Mam, Akbar berangkat ke Tasik sekarang." Akbar sengaja mempersingkat waktu agar pembahasan yang membuat panas kuping itu disudahi.
"Nanti dulu, Akbar. Duduk!" Perintah Mama Mila.
Mau tidak mau Akbar menurut. Duduk di samping Leo yang kentara melirik sambil tersenyum tipis.
"Leo bilang CV belum dibaca semua. Kenapa? Dilihat aja dulu fotonya, Bar. Orang tuh pertama kali bisa tertarik karena visual. Dari tertarik jadi suka, lalu jadi cinta. Mama kan janji nggak akan jodohin lagi. Gantinya ya itu. Masa sih dari semua CV nggak ada satu pun yang menarik. Anak Mama yang ganteng ini normal, kan?" Mama Mila mulai ceramah.
Akbar menyikut pinggang Leo yang kentara membekap mulut menahan tawa. "Iya, Mam. Pulang dari Tasik, Akbar akan pelajari lagi ya. Boleh pamit sekarang, Mam? Biar nggak terlalu malam," ujarnya diiringi memasang senyum manis agar ibunya itu selesai merepetnya.
"Rama anaknya udah mau dua. Adikmu bentar lagi nikah. Kamu kapan, Bar?" Mama Mila rupanya belum puas menceramahi anak pertamanya itu. Jawabannya di luar ekspektasi.
"Kalau Mama kapan mau pulang ke Singapore? Kasian Papa kesepian. Mana di sana ceweknya seksi-seksi. Mama nggak takut Papa ada yang godain?" Tanya Akbar dengan memasang wajah dan senyum jahil. Ibunya itu sudah seminggu ini mengunjunginya. Rumah besar dua lantai ini adalah rumah keluarga. Bahkan rencananya masa tua kedua orang tuanya itu akan kembali tinggal di Jakarta.
"Issshh, Akbar. Kalo orang tua ngomong tuh dijawab." Mama Mila menggeram gemas. Tangannya mencakar bantal sofa yang ada di pangkuannya. "Papa nggak mungkin selingkuh. Udah Mama ancam bakal disunat lagi. Udah ah, Mama mau vc an sama Papa. Sana kalau mau berangkat. Mudah-mudahan ada mojang Tasik yang nyantol." Ia akhirnya ketakutan juga karena ucapan Akbar. Teringat hari ini belum berkomunikasi dengan Papanya anak-anak.
Akbar tersenyum lebar. Menang. Ia beranjak pindah dan memeluk Mama Mila penuh sayang, meskipun akhir-akhir ini ibunya itu menjadi cerewet. Ia maklum. Kekhawatiran sang ibu sebagai bukti rasa sayang padanya.
"Hati-hati di jalan ya. Jangan ngebut." Mama Mila mengecup kening Akbar.
Leo pun berpamitan dengan mencium tangan Mama Mila.
Pintu garasi bergeser dengan sendirinya hanya dengan menekan tombol. Tiga mobil mewah dan dua motor gede terparkir rapih. Sepeda terpajang di dinding menggunakan pengait khusus. Lengkap mulai dari jenis mountain bike, road bike, juga sepeda lipat.
"Kita pakai mobil mana, Bro?" Tanya Leo. Semua mobil terlihat bersih dan kinclong.
"Si kuning aja. Sekalian test drive di tol Cipularang." Sahut Akbar sambil mengambil kunci Lamborghini di kotak khusus yang menempel di dinding. Dan hanya bisa dibuka dengan password. Mobil sangar yang sangat kinclong itu baru dibelinya dua bulan yang lalu.
" Sini kuncinya!" Leo membuka tangan menunggu lemparan kunci.
"Gue yang nyetir. Pengen gas pol di tol." Tegas Akbar. Tak ingin dibantah.
"Gue aja yang nyetir, Bar. Karna tau lo bakal ngebut. Kalo nggak ngasih itu kunci, gue nggak jadi ikut!" Leo keukeuh memaksa diiringi ancaman.
Akbar menatap dengan sorot protes. Mendengkus kesal. Tak urung melemparkan kunci yang sigap ditangkap Leo.
"Gue ngerasain mental after married itu beda. Udah nggak pengen nongkrong sampe malam, lebih senang quality time berdua. Termasuk nggak berani lagi kebut-kebutan karena ada yang tercinta di rumah, nunggu kita pulang dengan selamat." Ucap Leo begitu mobil sudah melaju di jalan raya terdengar bijak.
"Begitukah?" Akbar menoleh dengan tatapan keraguan.
Leo mengangguk. Pandangannya tetap fokus ke depan. Cukup menyetir dengan kecepatan sedang. Tak dipungkiri godaan ingin mengggeber mobil sport dengan kecepatan maksimal 345 km/jam itu sangat kuat. Tapi bisa dikalahkan oleh mental yang menjadi ciut, takut. "Entar deh lo bakal ngalamin sendiri," ujarnya dengan yakin.
"Beda nih calon Bapak. Lo sekarang jadi dewasa kalo ngomong. Biasanya besok gimana nanti." Akbar tertawa meledek.
Leo hanya nyengir. Teringat kelakuan nakalnya dulu.
Mobil berhenti di depan gerbang sekolah. Ami bergegas turun dan berucap terima kasih kepada Mang Kirman. Ibunya tegas dalam membuat aturan. Sebelum usia 17 tahun belum boleh memakai motor ke sekolah. Apalagi membawa mobil, meski sudah bisa menyetir pula. Intinya, harus memiliki SIM dulu.
"Ami!"
Ami memutar tubuh mendengar panggilan suara laki-laki di belakangnya. Ia mengulas senyum yang memperlihatkan dua lesung pipinya. "Hai, Emon," sapanya begitu teman seangkatan beda kelas itu mendekat.
"Almond, Mi. Bukan Emon. Untung aja senyummu manis, jadi aku nggak bisa marah." Protes Almond. Murid berparas tampan blasteran Arab itu, mensejajari langkah Ami memasuki gerbang sekolah. Sama-sama berangkat sekolah diantar sopir.
"Maklum, Mon. Lidah sunda mah begini susah nyebut Almond, enaknya Emon." Ami terkikik.
"Nah, itu bisa."
"Itu kan contoh. Kalau pas bicara bakalan spontan manggil Emon." Ami dan Almond memasuki koridor kelas dan sama-sama berbelok ke kiri menaiki tangga. Berbaur dengan murid lainnya.
"Up to you, Mi. Cuma Ami doang yang boleh manggil gitu. Kalo orang lain, gua eh aku akan marah." Sahut Almond yang merupakan asli Jakarta. Selesai menaiki tangga, sama-sama berjalan di lorong kelas lantai dua yang merupakan jajaran kelas XI dan Lab Kimia serta Lab Komputer.
Ami hanya tertawa. Kini berjalan lagi menaiki tangga menuju lantai tiga. Tempat berjajarnya kelas X dan Lab Matematika. Sementara laboratorium lainnya ada di lantai dasar. Sesekali ia bertegur sapa dengan teman lainnya. Berbeda dengan Almond yang cuek dan terkesan introvert.
"Tau nggak, Mi." Almond melanjutkan mengisi perjalanan dengan berbincang santai.
"Nggak." Sahut Ami, menoleh sekilas.
"Aku belum tamat, Mi." Almond mendengkus kesal. Membuat Ami tertawa lepas.
"Aku tuh awalnya ngambek sama Mami dan Abi. Masa disuruh lanjutin skul di Tasik, di kampung. Gengsi dong gua kan anak gaul Jakarta. Alasan mereka karena takut kebawa arus pergaulan bebas. Secara tetangga rumah ada anak SMP kelas sembilan yang hamil dan gak jadi ikut ujian karena harus lahiran. Dua bulan pertama aku ngerasa stres, ngerasa dibuang, nggak betah skul di sini. Tapi setelah kenal sama kamu, aku jadi betah sekolah di sini."Jelas Almond panjang lebar dengan nada serius.
"Kamu lagi curhat, Mon?" Ami menoleh dengan wajah tanpa dosa.
Sontak Almond menghentikan langkah yang diikuti pula oleh Ami. "Bukan. Aku lagi baca puisi," ujarnya dengan ketus.
Ami terkikik. "Pantesan cewek yang pengen deketin pada takut. Kamunya galak gini."
"Lagian kamu salah, Mon. Ralat dulu, Tasik tuh bukan kampung. Kota kecil yang udah modern. Mall nya Si Anak Singkong aja ada di Tasik. Bisa jadi ortu mu pengen kamu jadi anak soleh. Dapat pendidikan agama yang bagus. Soal pergaulan bebas, sekarang mah nggak di kampung nggak di kota. Soalnya kita punya gadget. Bisa meniru jika kita nggak kuat basic agama." Sambung Ami kali ini serius.
"Kamu benar, Mi. Setelah aku ikhlas sekolah di sini, baru sadar pendidikannya bagus, fasilitas juga lengkap kayak skul di Jakarta. Aku baru gabung ikut ekskul Rohis. Seru juga."
"Eh, awas salah niat, Mon. Masuk Rohis jangan karena ada aku, ya!" Ami memicingkan mata.
"Tapi emang iya sih." Almond nyengir kuda. Sontak ia kabur ke arah kelasnya saat Ami akan menoyor bahunya.
Ami hanya mendecak. Hal pertama yang dilakukan saat masuk kelas adalah melakukan absensi finger print, antri bersama teman-temannya.
***
Dua jam pelajaran pertama sudah selesai. Terdengar kehebohan dari luar kelas. Sontak di dalam kelas Ami pun penasaran dan melongok dari jendela.
"Ada apaan sih?" Tanya Kia pada Ami yang sedang memasukkan buku ke dalam tas. Berganti mengambil buku pelajaran Biologi.
"Nggak tau." Ami menggedikkan bahu.
"Woyyy, ada mobil Sultan baru datang. Sini pada kepoin." Sonya berseru heboh dari ambang pintu. Hampir semuanya berlarian ke luar. Ternyata murid kelas lain pun sudah pada berdiri berjajar di depan pagar tembok. Didominasi murid perempuan, semua melongok ke bawah. Sebagian mengabadikan dengan kamera ponsel.
"Oemji, itu artis bukan sih. Ganteng banget."
"Ya Salam, aku mau dong jadi makmumnya."
"Njirrr. Badannya keren-keren. Kayak di iklan R Men."
"Tuh yang salaman duluan sama Kepsek, aku suka, aku suka."
Dan banyak lagi komentar - komentar siswi yang menjadikan objek di parkiran itu sebagai bahan rumpian. Diiringi tawa cekikikan. Tak lama, murid kelas lain masuk kembali ke kelas karena guru sudah datang.
"Tamu itu bukan sih yang dibilang Pak Yaya kemarin?" Tanya Marga yang kembali masuk ke kelas karena dua orang yang turun dari mobil sport itu diajak memasuki ruang kepala sekolah.
"Bisa jadi. Soalnya Pak Yaya sekarang belum datang." Sahut Sonya yang kembali duduk di bangkunya.
"Mi, kamu nggak keluar sih. Ganteng-ganteng lho orangnya. Terutama yang pake kacamata hitam. Huhuhu keren bingit." Ucap Kia yang kembali duduk di samping Ami.
"Lagi tanggung, Kia. Ini baru beres bales chat dari Teh Aul." Ami menyimpan kembali ponsel dalam mode silent ke dalam tasnya.
Kia tidak jadi melanjutkan cerita. Kegaduhan di dalam kelas mendadak senyap. Itu karena kedatangan Pak Yaya.
"Anak-anak, tamu yang kemarin Bapak bilang, sudah datang. Sebentar lagi akan datang ke kelas kita dulu, didampingi Pak Muhtar. Beliau akan memberikan motivasi. Tolong jangan ada yang main hape, semuanya harus silent. Silakan nanti kalau mau bertanya, ajukan pertanyaan yang sopan. Paham?" Jelas Pak Yaya.
"PAHAM, PAK." Semua murid serempak menjawab.
Sementara itu Akbar dan kepala sekolah bernama Pak Muhtar berjalan beriringan menyusuri koridor. Leo memilih menunggu di ruang kepala sekolah sambil mengerjakan tugas kantor. Sepanjang jalan Pak Muhtar bertindak seolah guide yang menjelaskan semua fasilitas yang terlewati. Hingga keduanya pun tiba di depan kelas X MIPA 3.
"Assalamu'alaikum." Akbar masuk dengan berucap salam diiringi mengumbar senyum. Rasa percaya diri tersirat di raut wajah tampannya yang klimis karena habis bercukur kumis dan jambang. Jam terbang dalam memimpin rapat besar atau kecil, bergaul dengan berbagai kalangan dan berbagai forum, membuatnya tak merasa tegang.
Kompak seluruh murid menjawab salamnya. Hampir semua siswi saling pandang dengan teman sebangkunya diiringi sorot kekaguman dan senyam senyum penuh arti.
Dari bangku paling belakang, Ami melebarkan mata dengan wajah terkesiap. "Kak Akbar? Iya gitu?!" ucap batinnya. Dan segera menutup wajah dengan buku. Merasa tak percaya dan tak menduga. Karena lama tak bertemu dan tak ada komunikasi. Ada rasa girang di hati. Namun senyumnya ia sembunyikan di balik buku.
"Mi, itu yang aku bilang tadi yang pake kacamata hitam. Bener kan keren? Ganteng, kan?" ucap Kia berbisik.
"Ho oh keren bingit. Ganteng kayak gini mah gak akan seperti lagu Rossa." Sahut Ami tak kalah berbisik.
"Maksudnya, Mi?" Kia mengerutkan kening. Atensinya menjadi terlihat ke teman sebangkunya itu.
"Pudar." Sahut Ami enteng. Meski berbicara dengan Kia, namun pandangannya tak pernah lepas menatap lurus ke depan kelas.
"Hihihi, dasar Ami." Kia menoyor bahu Ami. Satu tangannya membekap mulut, menahan tawa.
"Sstt, diem. Lagi mulai perkenalan tuh." Bisik Ami lagi. Masih tetap menyembunyikan wajah di balik buku.
"Anak-anak, sebelumnya Bapak mau memperkenalkan dulu tamu kita. Namanya Akbar Pahlevi Bachtiar. Bisa dipanggil Kak Akbar. Beliau ini merupakan salah satu deretan CEO muda yang ada di Indonesia. Penemu dan pendiri startup Pulangpergi. Bahkan startup nya ini sudah mendapat gelar unicorn."
"Sudah sering dengar kan aplikasi pulangpergi? iklannya seliweran di tv. Pulangpergi membantu masyarakat untuk mudah mendapatkan tiket pesawat, penginapan dan layanan lain saat akan melakukan liburan atau berpergian. Selain itu beliau ini memiliki jaringan hotel juga sebuah mall di Jakarta."
"Kenapa Bapak uraikan kesuksesan Kak Akbar dengan rinci? Supaya menjadi inspirasi untuk kalian semua generasi muda, agar terbakar semangat belajar demi meraih cita-cita."
"Nah, mari kita dengarkan apa dan bagaimana kunci rahasia sukses dari seorang CEO muda bernama Kak Akbar ini. Waktu dan tempat dipersilakan." Pak Yaya mengakhiri opening nya. Ia menuruti permintaan Akbar yang tidak ingin diperkenalkan sebagai donator terbesar sekolah.
Ruang kelas hening. Tidak ada yang bersuara. Semua terpusat kepada sang bintang tamu yang tampan menawan dalam balutan kemeja putih slimfit dan celana chinos krem.
"Selamat pagi adek-adek nu gareulis dan karasep." Akbar mulai menyapa dengan menyisipkan kata bahasa sunda. Wajah yang tenang diiringi senyum penuh keramahan. Sontak semua menjawab serempak dan semangat.
"Sudah tidak perlu perkenalan lagi ya. Karena sudah dijelaskan oleh Pak Yaya."
"Nomer hape sama ig nya belum Kak." celetuk siswi dari bangku jajaran tengah. Sehingga menimbulkan riuh bersahutan berucap membenarkan.
"Oke." Akbar mengangguk dan tersenyum. Ia menuju white board dan menuliskan akun ig nya. "Untuk contact person ada di bio ya. Atau DM juga bisa," sambungnya sambil kembali berdiri di tempat semula.
"Baik, adek-adek. Sebelum lanjut pada materi, izinkan saya mengucapkan terima kasih kepada komite sekolah yang sudah mengundang saya. Ini adalah sebuah kehormatan buat saya bisa bersilaturahmi ke sekolah penuh prestasi ini, Pak." Akbar menatap silih berganti kepada Pak Muhtar dan Pak Yaya. Yang dibalas keduanya dengan senyum dan anggukkan.
"Sebenarnya saya ini bukan seorang motivator. Hanya saja saya berdiri di depan adek-adek semua untuk sharing ilmu." Ucap Akbar yang kini berdiri tegak seorang diri di titik tengah.
"Kalau ditanya sama saya, apa kunci keberhasilan dan apa yang akan membuat kita selalu bisa berada di top level performance. Kunci yang pertama adalah LAWAN DAN KALAHKAN DIRI SENDIRI. Kita sudah tau apa saja kekurangan kita. Nah, lawan dan ubah itu."
Semuanya seolah terbius oleh pemaparan Akbar yang tegas berucap dan bahasanya enak didengar. Hampir gestur semua murid melipat kedua tangan di meja.
"Kedua, KERJA KERAS DAN DEDIKASI. Khusus kalian pelajar, go...benar-benar fight. Gaspol. Nggak ada ampun. Jangan buang waktu dengan berleha-leha kebanyakan rebahan."
Beberapa murid nampak ada yang mencatat poin kunci keberhasilan. Termasuk murid di bangku paling belakang.
"Ketiga adalah PERBAIKI HUBUNGAN DENGAN ALLAH. Tingkatkan ketakwaan kita. Perkuat ibadah. Perbaiki niat."
"Dan kunci yang keempat, KONSISTEN, ISTIQOMAH, DISIPLIN. Ini satu paket. Pastikan perbaikan, perubahan, dan kebaikan itu kita pertahankan sekuat tenaga. Nggak usah banyak teori! Stop scroll media sosial! Kejar mimpimu! Taklukan dunia! Siap semangat adek-adek?" Akbar mengepalkan tangan ke udara dengan intonasi membakar semangat.
"SIAP SEMANGAT, KAK!" Kompak semuanya menyahut. Entah siapa yang mulai, semua murid memberi standing aplause.
Akbar tersenyum lebar. "Seperti yang saya bilang, nggak usah banyak teori. Jadi itulah empat kunci yang saya pegang dan praktekkan. Semoga bermanfaat buat adek-adek generasi Z ini. Kalau ada yang mau bertanya, silakan. Jangan malu-malu, harus berani ya." Ia memberi kesempatan sesi tanya jawab.
Satu orang siswa mengacungkan tangan dan berdiri. Akbar menyuruhnya untuk perkenalan dulu.
"Namaku Vino. Tidak ada pertanyaan sih, Coach. Hanya mau mengucapkan terima kasih karena sharing Kakak simple tapi sangat bernilai. InsyaAllah ini menjadi motivasi buat kami belajar lebih sungguh-sungguh dan meluruskan niat yang tadinya datang ke sekolah itu banyak terpaksanya. Mengingat sistem absennya pakai finger print jadi nggak bisa titip absen. Hehehe. Sekali lagi terima kasih banyak Kak untuk coaching and sharing, today." Ucap Vino menutup dengan sedikit membungkukkan badan sebagai tanda hormat.
"Bagus. Saya lihat Vino ini ada bakat jadi pemimpin di lembaga legislatif. Kita aminkan ya!" Ucapan Akbar kompak diaminkan seisi kelas.
"Next, siapa lagi yang mau bertanya? Oke, yang di belakang dulu ya." Akbar memberi kesempatan siswi yang mengacungkan tangan di belakang. Sepertinya pemalu. Karena berdiri sambil menutup wajah dengan buku. Tapi kemudian saat buku diturunkan....
Lho, mirip Ami. Benarkah itu Ami?
Akbar menyembunyikan rasa terkejutnya yang sekilas menghiasi wajah. Kembali dengan bersikap tenang dan profesional.
"Perkenalkan namaku ada dua, Kak. Kakak mau tau namaku yang mana nih?" Tanya siswi yang tak lain adalah Ami.
Kalau Ami sudah bicara, seisi kelas langsung gaduh oleh kekehan. Padahal orangnya belum menyampaikan tanya. Tapi entahlah, pikiran semua orang sudah traveling bakal ada sesuatu yang menggelikan.
"Boleh, perkenalkan saja dua-duanya." Akbar tersenyum simpul.
"Nama asliku Rahmi Ramadhania. Kalau nama bekennya Ami Selimut, Kak. Mau tanya...."
Akbar menahan rasa ingin tertawa dengan cara menahan nafas. Ini bukan situasi dan kondisi yang pas untuk menyapa Ami yang sepertinya tidak berubah narsisnya. Ia pusatkan atensi penuh pada gadis cantik dan imut berkerudung putih itu.
"Kak, kalau tanggal 28 Oktober itu diperingati hari sumpah apa, kak?" Tanya Ami dengan tenang dan serius.
"Sumpah Pemuda." Akbar mantap menjawab.
"Nah, kalau tanggal 29 nya sumpah apa, Kak?" Ami melemparkan pertanyaan kedua.
Akbar mengerutkan kening. "Waduh, saya mungkin buta pelajaran sejarah. Memangnya tanggal 29 nya hari sumpah apa? ujarnya menyerah.
"SUMPAH AKU SUKA KAMU." Ami cengengesan sambil mengacungkan dua jari membentuk simbol V.
Benar kan, dugaan teman-teman sekelas Ami. Bayangkan saja bagaimana riuhnya tawa satu kelas saat ini. Termasuk wali kelas dan kepala sekolah, terkekeh menahan tawa sambil geleng-geleng kepala.
Sementara Akbar menggosok-gosok pangkal hidungnya dengan wajah yang memerah dan senyum meringis. Satu kata, dia SPEECHLESS.
...****************...
Yang belum follow ig, yuk follow : @authormenia Biar tidak ketinggalan update karena kisah AmBar akan disertai foto or video klip mereka di igstory aku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!