NovelToon NovelToon

Apa Yang Terjadi 2

1

Vie mulai menulis novel, secara tak sengaja di suatu hari yang sangat melelahkan. Dia dan kawan-kawannya yang diteror oleh banyak tugas pun mengeluh, mengharapkan waktu istirahat yang panjang dan berkesan. Waktu berleha-leha dan bermesraan dengan bantal guling kesayangan mereka yang memeluk lembut saat mereka berusaha bangun dan mulai mengerjakan lagi tugas-tugas mereka.

Dari keinginan kecil tersebut, mereka berempat secara ajaib berpindah dan menjadi empat tokoh penting dalam novel yang Vie tulis. Memang Vie yang terlalu malas berpikir itu membuat karakter dari dirinya dan juga kawan-kawannya. Alhasil, Vie pun menjadi penjahat yang selalu dia gemari. Ah, Vie memang seleranya cukup aneh. Saat ditanya ingin menjadi apa, dia lebih suka berperan sebagai antagonis dari pada protagonis. Alasannya cukup sederhana, dia malas menjadi orang baik yang biasanya selalu disakiti, mending jadi orang jahat yang bisa dengan bebas melakukan apa pun ya kan.

Tapi jangan berburuk sangka, Vie di dunia nyata adalah sahabat yang sangat baik. Bahkan bisa dibilang kelewat baik, saking baiknya dia bisa memberi semangat dengan cara yang paling menyebalkan. Tapi cara itu terbukti cukup ampuh untuk mengembalikan mood kawan-kawannya.

...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...

"Ada apa ini?" gumam Vie dengan tampang kesal tingkat dewa, membuat para pelayan takut mendekati gadis itu. "Aku sudah mencoba beberapa kali setelah itu, tapi tak ada satu pun yang berhasil!" katanya masih berupa gumaman tak jelas.

Pelayan yang bertugas di sekitar Vie menjadi ketar-ketir sendiri, takut kalau mereka dijadikan sasaran pelampiasan kekesalan sang nona. Nona mereka sepertinya bisa langsung membunuh seorang pelayan rendahan seperti mereka hanya dengan satu tatapan mata saja.

Salah satu pelayan memberi isyarat pada rekannya yang berada di ruangan yang sama dengannya. Pelayan itu menyenggol lengan kawannya, lalu mengisyaratkan melalui mata agar mereka cepat-cepat keluar sebelum terkena masalah. Pelayan satunya menerima isyarat dengan baik, dia mengangguk lalu pergi dari ruangan tadi tanpa suara, meninggalkan Vie sendirian di sana.

"Huft, sungguh aku ketakutan setengah mati," keluh pelayan tadi setelah berhasil ke luar dan menjauh dari ruangan yang ditempati nona mereka.

"Aku juga, bahkan bernapas pun rasanya sangat sulit tadi," timpal pelayan satunya berbisik pelan. Takut kalau-kalau ada telinga yang mendengar dan menyampaikan apa yang dia katakan kepada nona majikannya.

"Sebenarnya ada apa dengan nona kita?" bisiknya tak paham. "Tak biasanya nona bertingkah seperti ini," katanya lagi dengan suara semakin lirih. Mempertanyakan sesuatu tentang majikan adalah hal yang tak diperbolehkan, makanya pelayan ini bersuara sekecil yang dia bisa agar tak ada yang mendengar selain rekan kerja yang dia ajak bicara sekarang.

"Aku juga tak paham," kata lawan bicaranya yang rupanya sama bingungnya dengan dirinya. "Saat ingin membuat masalah pun, nona kita tak pernah seperti ini," lanjutnya mengingat-ingat kebiasaan nona yang terlalu dimanja di keluarga ini. Yah, apa lagi alasannya kalau bukan karena dia adalah satu-satunya nona di sini. Makanya nona mereka bisa bertingkah semaunya dan membuat masalah di mana saja seenaknya, di belakangnya banyak orang yang akan menyelesaikan masalah yang dibuat oleh nona mereka itu.

"Apa mungkin nona sedang jatuh cinta?" tebak salah satu di antara mereka dengan raut wajah tak percaya.

"Ey, mustahil musim semi menyentuh hati nona kita," kata pelayan satunya mengibaskan tangan. Nona mereka tak akan pernah jatuh cinta, kalau ada itu hanyalah perasaan obsesi yang disalah artikan.

"Tak ada yang mustahil, selama ada hati, cinta bisa menyelinap tahu?!" sanggah pelayan satunya yang tiba-tiba seolah berubah menjadi ahli dalam bidang percintaan.

"Tapi itu tak berlaku untuk nona kita yang terkenal jahat," bisik lawan bicaranya membantah dengan fakta yang semua orang ketahui. "Mari kita bekerja saja, bukan urusan kita juga dengan apa yang sedang nona lakukan!" lanjutnya mengakhiri pembicaraan.

"Kamu benar, tapi kita harus berhati-hati jika di dekat nona. Siapa yang tahu apa yang akan nona lakukan pada kita kalau dia terlampau kesal," timpal pelayan satunya dengan tubuh bergidik takut. Kedua pelayan itu pun berpisah, kembali mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing.

...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...

"Aku gak bisa begini terus," kata Vie melirik ke luar, menatap langit yang luas melalui balkon. "Bagaimana aku bisa memecahkan masalah kalau hanya aku sendiri yang berpikir?" kata gadis itu, dia harus bertemu dengan ketiga temannya dan berbicara tanpa diganggu siapa pun. Bukankah ada pernyataan yang mengatakan kalau dua kepala lebih baik untuk menyelesaikan suatu masalah. Nah, mereka kan ada empat orang,otomatis empat kepala lebih baik dari pada dua kepala bukan. Intinya, semakin banyak orang yang ikut berpikir dan mencari solusi, maka semakin cepat masalah yang dihadapi terselesaikan.

"Apa aku undang saja mereka ke sini?" tanya Vie bergulat dengan pikirannya, memilih mana cara yang paling baik dan tak terlalu diperhatikan oleh orang-orang untuk dia lakukan.

"Huh, aku kan penjahatnya, mengapa aku harus memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentangku?!" kata gadis itu menarik salah satu sudut bibirnya, membentuk seringai yang penuh dengan kesombongan, seolah menatap remeh semua orang.

Vie bangkit dari duduknya, dia sudah menata pikirannya. Mengapa beberapa hari ini dia sibuk berpikir tentang ini dan itu, padahal dia hanya harus bertindak dan berbuat semaunya seperti yang biasa dia lakukan selama ini. Gadis itu berjalan dengan santai, mengambil bel kecil yang sengaja diletakkan di atas meja. Tangannya yang halus dan lembut menggoyangkan bel yang baru saja dia ambil. "Anda memanggil, nona?" kata salah seorang pelayan memasuki ruangan yang sejak tad ditempati Vie untuk berpikir ria.

"Ya," balas gadis itu.

Si pelayan menghela napas lega, nona majikannya terlihat lebih baik dari pada kemarin-kemarin. Raut wajah nonanya menunjukkan kesombongan dan kemalasan seperti biasanya. "Ada apa, nona?" tanya pelayan itu disertai senyum sopan. "Apa anda ingin disiapkan cemilan?" lanjutnya menebak tapi masih dengan nada yang sopan.

"Tidak," balas Vie cepat. "Bawakan aku kertas dan pena," titah gadis itu kemudian.

"Baik, nona. Akan segera saya siapkan!" kata pelayan tadi langsung berlalu pergi setelah membungkuk sopan.

Tak berapa lama, barang yang diminta Vie segera disiapkan. Gadis itu mengambil selembar kertas, menulis beberapa waktu hingga tak terasa dia sudah menulis di tiga kertas yang berbeda. Setelah memasukkan kertas-kertas yang baru saja ditulisi ke amplop, Vie kemudian menyegel amplopnya. Ah, rupanya nonanya sedang menulis surat, tapi dia tak tahu kepada siapa surat itu ditujukan.

Vie tersenyum tipis, terlihat seperti seringai jahat di mata pelayan yang ada di depannya. "Kirimkan ke alamat yang aku tulis!" kata gadis itu memberi perintah, tak lupa dia memberikan imbalan yang menurutnya cukup sebagai pengganti kata terima kasih.

Mata pelayan itu membelalak lebar melihat siapa yang akan menerima surat dari nonanya ini, dia menjadi ragu tapi juga tak berani mempertanyakan perintah dari nonanya. Bisa-bisa dia mati di tempat tanpa seorang pun yang tahu.

"Ba, ba, baik, nona," kata pelayan itu menjaga ekspresi wajahnya agar tak terlihat takut, tapi gagal karena tangannya pun sudah gemetaran dengan sangat hebatnya, menandakan kalau dirinya sedang takut dan bingung di saat yang bersamaan. Vie tak peduli, dia hanya mengangguk seraya terus menatap pelayan di depannya. Membuat si pelayan semakin ketar-ketir dibuatnya.

2

Vie yang terbangun dan masih di tempat yang sama menjadi sedikit frustasi. Dia bertanya-tanya mengapa kali ini mereka tak berhasil kembali padahal mereka melakukan hal yang sama seperti sebelumnya untuk bisa kembali. Tapi berapa kali pun dia mencoba, tak ada satu pun dari percobaan itu berhasil. Vie dibuat uring-uringan, dia sibuk mempertanyakan siapa di antara mereka yang tak ingin kembali dan tak berharap saat itu. Hanya itu yang bisa gadis itu pikirkan sebagai alasan mengapa mereka tak bisa kembali ke dunia nyata.

Sibuk berpikir dan uring-uringan, rupanya melakukan Vie malah membuat para pelayan takut untuk berada di dekatnya dalam waktu yang lama. Sebenarnya mereka hanya takut kalau mereka akan terkena masalah saat Vie seperti ini, makanya mereka berusaha menjauh kalau memang tak diperlukan.

Sibuk berpikir, Vie menyadari kalau dia penjahat yang tak terkalahkan. Gadis itu pun memutuskan untuk berbuat semaunya seperti biasa, buat apa berpikir yang rumit-rumit, padahal dia bisa langsung bertanya dan menyelesaikan masalah mereka nanti saat bertemu.

Berdasarkan hasil putusan barusan, Vie pun menulis tiga surat. Setelah selesai menulis, Vie pun menyuruh pelayan di depannya ini untuk mengantarkan ke alamat yang dia tuliskan. Pelayan itu membelalakkan matanya, dia ragu tapi takut untuk mengatakan apa pun. Akhirnya dia hanya bisa pasrah dan menuruti perintah dari nonanya.

"Beginilah aku seharusnya!" kata Vie bangga pada dirinya sendiri. "Bos penjahat yang tak terkalahkan?!" kata gadis itu lagi. Suara tawa menggema, membuat pelayan yang baru saja ke luar dari ruangan yang sama dengan Vie semakin yakin kalau nonanya itu sedang merencanakan sesuatu yang sangat jahat untuk ketiga orang yang akan menerima surat yang ada di tangannya ini.

"Semoga kalian bertiga dilindungi oleh dewa!" ucap si pelayan dengan setulus hati, berharap ketiga nona ini tetap selamat meski bertemu dengan nonanya yang jahat melebihi iblis sekali pun.

...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...

Waktu berlalu, meja dan kursi sudah ditata rapi di taman belakang. Di sana pemandangannya cukup indah menurut Vie, ada sebuah danau kecil yang sangat jernih dan beberapa bunga liar yang dibiarkan tumbuh dan sengaja dirawat untuk mempertahankan pemandangan asri.

"Kalau tamuku sudah datang, bawa mereka kemari!" titah Vie memeriksa sejauh mana persiapan telah dilakukan. "Dan jangan ada yang mendekat! Atau kalian akan tahu akibatnya?!" kata gadis itu sebelum pergi, dia sengaja meninggalkan ancaman agar bisa berbicara dengan leluasa tanpa takut akan ada telinga yang mencuri dengar. Dua pelayan mengikuti Vie, mereka akan membantu gadis itu mengganti pakaian nantinya. Sebenarnya Vie juga lelah terus-menerus berganti pakaian, entah berapa kali sehari dia berganti. Mau bertemu dengan tamu saja harus berganti pakaian dan bersiap lagi. Lebih enak di dunianya yang asli, dia bisa ke mana-mana memakai pakaian yang sama.

Sepeninggalan Vie, para pelayan yang masih di tempat sibuk bergosip ria. "Apa nona kita ingin berbaikan dengan ketiga nona muda yang beliau undang?" kata salah satu pelayan menebak niat sang nona.

Pelayan lain mengangkat bahu, wajahnya terlihat mengernyit ragu mendengar tebakan dari rekan kerjanya itu. "Entahlah, aku tak bisa menebak apa yang akan nona kita lakukan!" katanya menghela napas. Dia merangsak maju, kemudian berbisik sangat-sangat pelan. "Mungkin saja nona kita berniat untuk melenyapkan ketiganya tanpa saksi mata di tempat ini," katanya melirik ke arah danau. Walau danau itu merupakan danau kecil, tapi danau yang dia lihat itu sangat dalam dan cukup untuk membuat seorang nona bangsawan yang memakai pakaian berlapis mati lemas karena tenggelam.

"Ey, mustahil nona kita bisa sejahat itu," kata lawan bicaranya tak percaya.

"Apa yang tak bisa nona kita lakukan?" kata pelayan satunya yakin dengan apa yang dia katakan. Nona mereka terkenal sangat jahat, tapi tak pernah mendapat hukuman sekali pun. Bahkan kurungan untuk tetap berada di kamar dan mengintrospeksi diri pun tak pernah nona mereka dapatkan dan jalani. Melihat keyakinan dari kawannya, pelayan yang satunya pun mau tak mau ikut terpengaruh. Dia pun mengangguk setuju walau masih sedikit meragu. Meski sang nona jahat, tapi nonanya tak pernah sampai berniat melenyapkan nyawa seseorang. Hal paling jahat yang sering nona mereka lakukan adalah mempermalukan lawan bicaranya dengan menggunakan kata-kata, atau malah menekan lawannya dengan kekuasaan yang jelas tak bisa dikalahkan oleh siapa pun juga.

"Kerjakan saja tugas kalian!" ucap sebuah suara menyela. "Hati-hati, jangan sampai apa yang kalian gumamkan sampai ke telinga nona?!" kata suara itu lagi. Rupanya salah satu pelayan yang lebih senior mengingatkan dua juniornya yang terlihat asik membicarakan majikan mereka. Meski apa yang mereka katakan sebagian besar adalah fakta, tapi tetap saja salah membicarakan majikan mereka di belakang sang majikan yang telah memberikan mereka gaji dan pekerjaan.

"Maafkan kami!" kata pelayan itu menunduk dalam.

"Kami akan lebih berhati-hati menjaga lisan agar tak terkena masalah!" tambah yang satunya terdengar menyesal. Dia sesaat lupa kalau dirinya hanyalah pelayan yang makan gaji, tak sepantasnya dia dengan begitu ringan membicarakan tentang tuan mereka.

"Lakukan pekerjaan kalian! Aku akan melihat nona sebentar," kata pelayan senior yang menegur keduanya.

"Baik!!!" kata keduanya serempak, lalu melanjutkan pekerjaan mereka tanpa banyak bicara lagi. Keduanya menutup mulut mereka dengan dapat, begitu pun dengan pelayan lain yang mendengar teguran barusan. Rupanya si pelayan senior sengaja menegur dengan suara cukup keras, itu dilakukan agar para pelayan yang ada di sana mendengar dan tak lagi membicarakan nona mereka di belakang seperti barusan.

"Nona memang jahat, tapi akhir-akhir ini nona berperilaku cukup manis dan tak membuat masalah," kata pelayan senior itu bergumam. "Ha-ah, mengapa tak ada yang menyadari perubahan nona kami?" lanjutnya seraya mendesah pelan.

"Nona, ini saya," kata pelayan tadi mengetuk pintu kamar Vie.

"Masuk saja!" balas Vie dari dalam.

"Semua sudah selesai, nona," kata pelayan itu sambil membungkuk sopan.

"Dan tamunya?" tanya Vie yang masih dirias.

"Mungkin sebentar lagi mereka akan sampai," balas si pelayan dengan nada sopan, terdengar suaranya tercampur dengan nada senang, mungkin sang pelayan mengira nonanya ingin memulai pertemanan makanya sampai-sampai sang nona punya pemikiran untuk mengundang nona bangsawan untuk berkunjung ke kediamannya.

"Siapkan semua, jangan sampai ada yang kurang!" kata Vie sambil melambaikan tangannya dengan ringan. "Dan ingatkan mereka semua untuk meninggalkan aku beserta tamuku begitu mereka sudah tiba di tempat!" lanjut gadis itu mengingatkan.

"Baik, nona!" kata si pelayan sebelum pamit undur diri, dia harus memeriksa sekali lagi semua persiapan, dia juga harus mengingatkan semua pelayan untuk jangan mendekat ke arah sang nona begitu nona mereka bersama dengan para tamunya.

"Semoga semua berjalan lancar dan nona mendapatkan teman dan menjadi semakin baik!" ucap si pelayan penuh pengharapan.

3

Vie mengundang ketiga temannya ke kediamannya, para pelayan yang mempersiapkan pertemuan itu pun sedikit bergosip dan menebak kalau nonanya ingin melenyapkan para tamu dengan cara ditenggelamkan di danau. Apa lagi alasan sang nona membuat pertemuan di tempat terbuka di dekat danau seperti ini kalau buka untuk tujuan melenyapkan seseorang.

Belum lagi nona mereka juga memerintahkan untuk meninggalkan dirinya dan para tamu sendirian, tak boleh ada pelayan yang mendekati mereka semua. Apa lagi itu namanya kalau bukan untuk mengurangi kemungkinan adanya saksi mata yang tertinggal dan tak sengaja melihat kejahatan yang sedang dia lakukan.

...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...

"Kuharap perjalanan kalian ke sini lancar tanpa kendala," kata Vie sambil terus melangkah ke depan, mendekati ketiga tamunya yang sudah menunggu. Dia baru saja selesai bersiap dan turun kembali ke mari.

"Sama sekali tak ada kendala, Nona Embross," kata Miu membalas diakhiri dengan senyum tipis.

"Justru kami yang berterima kasih sudah diundang untuk berkunjung ke kediaman anda yang seindah rumo yang beredar ini," sahut Indi menimpali ucapan kawannya barusan.

Vie menempati kursi yang kosong, dia tersenyum simpul. Tentu saja senyum yang terlihat sangat licik di mata pelayannya yang masih ada di sekitar situ. "Saya yang berterima kasih karena kalian semua bersedia datang," kata gadis itu. Tangannya memberi isyarat agar pelayannya segera meninggalkan tempat ini. "Padahal saya mengundang kalian secara dadakan!" katanya lagi sambil melirik para pelayannya yang bergerak dalam diam tanpa suara meninggalkan tempat pertemuan mereka.

Setelah yakin tak ada mata dan telinga satu pun yang tersisa, Vie menghela napas panjang seraya menutup matanya. "Bukankah seharusnya kita sudah pergi dari sini?" tukas gadis itu dengan suara yang terkesan dingin, tak lupa tatapan matanya yang berubah menjadi sangat tajam begitu dia membuka matanya.

"Harusnya begitu!" kata Miu menimpali. "Anehnya kita berempat masih berada di sini," kata gadis itu masih dengan air muka yang teramat tenang. Padahal dia sudah ditatap setajam itu, tapi masih saja dirinya bisa begitu tenang menjawab ucapan Vie.

"Aku juga heran? Kenapa kali ini gagal?" sambung Indi mengernyitkan keningnya. Jelas dia sedang memutar otaknya untuk memikirkan apa yang menjadi penyebab mereka tak bisa kembali seperti yang terakhir kali mereka lakukan.

"Apa ada yang harus kita selesaikan dulu baru kita diperbolehkan untuk kembali?" celetuk Lili.

"Aku malah berpikir ada di antara kita yang ragu untuk kembali dan lebih memilih untuk berlama-lama bersantai di sini," kata Vie sambil terkekeh pelan, terdengar seperti tuduhan yang ditujukan untuk ketiga orang lainnya.

"Aku gak segila itu, ya?!" kata Lili sambil menggebrak meja karena merasa tersinggung. "Walau aku sering mengeluh, tapi aku gak mau hidup di sini selamanya!" kata gadis itu lagi.

Indi mengangguk setuju. "Aku juga, walau aku benci dengan segudang tugas yang menanti, tapi aku gak pernah kepikiran untuk melarikan diri dan terus tinggal di sini," kata gadis itu dengan tatapan terluka, dia sedikit sakit hati mendengar kawannya sendiri bicara seperti barusan.

"Aku paham karakter kamu memang dibuat sejahat mungkin, tapi jangan terlalu mencurigai kami bertiga," kata Miu angkat bicara. "Kami pun bisa curiga kalau kamu yang malah gak mau balik lagi karena bisa dengan bebas berperan sebagai penjahat tanpa ada kendala sama sekali?!" lanjut gadis itu masih menatap santai seorang Vie yang terkenal jahat dan berdarah dingin di sini.

Vie tertawa pelan, tawa yang membuat orang yang mendengarnya merinding ketakutan. "Aku? Gak mau kembali hanya karena alasan konyol seperti itu?" kata Vie menarik sebelah bibirnya ke atas, membentuk seringai kecil di wajahnya. "Buat apa? Semua itu tak penting bagiku?!" kata gadis itu mendengus pelan.

"Bukankah kamu sangat mencintai peran seperti itu?" desak Lili yang rupanya masih kesal.

Indi mengangguk membenarkan ucapan sahabatnya barusan. "Benar, kamu bahkan membuat cerita seperti ini dan berperan sebagai penjahat satu-satunya dan tak terkalahkan!" kata gadis itu menambahkan bensin ke dalam nyala api, agar semakin banyak bukti yang memberatkan. Bukannya dia mau menuduh, tapi dia terlalu sakit hati karena dituduh-tuduh seperti tadi, padahal dia tak melakukan apa pun.

"Lama-lama ini akan menjadi pertengkaran para nona bangsawan, nona-nona!" kata Miu mengingatkan. Menjadi yang paling tenang, tentu saja sudah tugasnya untuk mengingatkan agar mereka tidak bertengkar dan membuat masalah. "Di saat seperti ini harusnya kita memikirkan berbagai cara untuk bisa kembali!" lanjutnya sambil tersenyum kosong. "Bukannya malah adu mulut dan saling menuduh," katanya lagi seraya menatap satu-persatu Sabahat secara bergantian.

"Fyuh, aku hanya kelewat kesal," aku Lili sambil membuang napas kasar.

Indi menunduk dalam. "Maaf, aku sedikit sakit hati mendengar apa yang dituduhkan padaku," katanya mengaku.

Miu tersenyum menatap ke arah Vie. "Saya harap, Nona Embross memaklumi kedua kawan saya," ujar Miu. "Mereka hanya ingin anda merasakan apa yang mereka rasakan saat anda menuduh kami," lanjut gadis itu menunduk singkat satu kali.

"Lupakan!" balas Vie menanggapi. "Aku yang salah sudah berpikir berlebihan dan kurang percaya seperti barusan?!" lanjut gadis itu tetap dengan wajah datar andalannya. "Seperti yang kalian katakan, aku penjahat! Mau tak mau, pikiran yang aku miliki selalu saja kebanyakan bersifat negatif!" tambah gadis itu mengakui dirinya bersalah meski tidak secara langsung mengakunya.

Setelah terdiam cukup lama, akhirnya Vie kembali berbicara. "Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya gadis itu.

"Mari kita mencoba untuk meminta lagi!" kata Miu membalas dengan cepat.

"Harapan adalah satu-satunya cara untuk kembali, seperti sebelumnya yang kita lakukan," tambah Indi sambil menganggukkan kepalanya pelan.

"Mari mencoba sebanyak mungkin sampai benar-benar berhasil!" kata Lili ikut bersuara.

Vie tertawa sinis. "Tahukah kalian berapa kali aku mencoba dalam sehari setelah percobaan kita yang gagal?" ucap gadis itu melemparkan pertanyaan tanpa berharap ada yang tahu jawabannya. "Banyak! Tak terhitung! Aku bahkan sudah lupa sebanyak apa aku mencoba dan semuanya tak berguna?!" kata gadis itu mendengus tak suka. "Cari cara lain selain permohonan, harapan, atau pun do'a!" kata Vie menyampaikan pendapatnya, tentu saja yang terdengar seperti ancaman bagi telinga yang mendengar langsung.

Keempatnya saling menatap dalam diam, bukannya mereka tak tahu kebenaran yang baru saja temannya itu katakan. Mereka juga telah banyak mencoba, tapi mereka tetap saja masih terus di dalam novel dan belum juga kembali. Padahal mereka khawatir kalau-kalau keluarga mereka mencari karena mereka terlalu lama tak pulang. Tapi kalau begini, bagaimana mereka bisa kembali meski mereka ingin.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!