NovelToon NovelToon

Kakak Biologis Love Story

Pahlawan Kesiangan

Pengenalan sedikit tentang pemeran utama.

Ara, seorang gadis yang paling suka dengan hal-hal yang romantis. Bahkan sekecil apa pun hal tersebut, ia sangat menyukainya.

Ia sangat mudah tersentuh, dan memiliki kelembutan terhadap siapa pun yang ia jumpai. Ia juga sangat mudah menangis, jika ada sesuatu yang menyakiti hatinya.

Keadaan fisiknya, ia tidak terlalu cantik seperti kebanyakan gadis lainnya. ia juga tidak terlalu putih, tidak terlalu tinggi, tidak terlalu perfect seperti mereka yang menjadi idaman semua laki-laki.

Namun, Ara sangat beruntung. Ia mempunyai seorang teman dekat. Sangat dekat. Walaupun, hanya Ara yang menganggapnya seperti itu.

Semua berawal waktu mereka masih kecil. Banyak sekali bocah lelaki yang menggangunya, karena ia terlahir dari rahim seorang wanita panggilan.

Entah siapa ayahnya, ia hanya bisa bertanya-tanya dalam hati saja.

Karena keadaan yang aneh itu, ia selalu diejek, bahkan selalu menjadi korban bully mereka yang tidak menyukainya.

Akhir-akhir ini, ibunya sakit-sakitan. Ia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya dan juga untuk biaya berobat ibunya.

Pekerjaan untuk anak bocah sepertinya, hanyalah sebagai pembantu rumah tangga. Upah yang ia dapatkan tidak lebih dari harga dua bungkus nasi.

Ara tidak mengerti, kenapa temannya itu sampai rela ikut di-bully bersamanya, dengan teman-teman yang lain, hanya karena membelanya saja.

Padahal, Ara sama sekali tidak ingin ia terlibat dengan masalah yang Ara derita.

Ara sangat terharu dengan sikap heroiknya itu.

Saat kejadian itu, Ara sudah menginjak usia 12 tahun. Ya! Sebentar lagi, ia akan lulus sekolah dasar.

Siang itu, mereka –orang yang tidak suka dengan Ara– terus mengejar Ara dari arah sekolah, sampai perbatasan hutan yang tak jauh dari rumahnya.

Tak ada yang bisa ia lakukan, selain terus berlari untuk menghindari mereka.

“Jangan lari kamu, dasar anak haram!” teriak beberapa anak laki-laki yang mengejarnya, karena ingin sekali mengerjainya.

Ara tidak paham, ‘Kenapa mereka selalu ingin memukulku? Apa mereka tidak pernah diajarkan untuk selalu menghargai orang lain?’ batin Ara, yang merasa sangat bingung memikirkannya.

“Aaaaaah!!”

Ara terjatuh tersungkur seketika, karena kakinya yang tersandung sesuatu. Kedua kakinya tidak bisa digerakkan dengan normal. Ia terkapar lemas di atas tanah, dengan air mata yang sudah bercucuran di kedua belah pipinya.

Ara bahkan tidak sanggup untuk bangkit kembali, atau sekadar memandang ke arah mereka.

Beberapa anak yang mengejarnya tadi, sudah berhasil berdiri di hadapannya. Mereka tersenyum miring, sembari menyedekapkan tangannya.

‘Apa yang salah dariku? Aku sama sekali tidak mengganggu mereka. Kenapa mereka selalu saja menggangguku?’ batin Ara, yang tak kuasa menahan tangis.

“Kamu gak bisa ke mana pun lagi sekarang!” ucap bengis salah seorang dari mereka.

Tubuhnya tiba-tiba saja menggigil, gemetar karena terlalu takut dengan ancamannya.

“Dasar anak haram! Kenapa kamu gak punya malu, sih? Masih aja bangga karena udah bisa jadi juara kelas! Yang harusnya juara kelas tuh aku! Anak haram seperti kamu tuh gak boleh disebut sebagai murid terbaik!” makinya.

Ara hanya diam sembari menangis tersedu. Tidak ada yang bisa ia lakukan lagi, selain meratapi nasibnya.

‘Aku juga tidak ingin menjadi pusat perhatian! Tapi, semua guru di sekolah selalu memuji kecerdasanku. Harus bagaimana lagi aku menghadapi mereka?’ Ara hanya bisa membatin mendengar caci maki mereka itu.

Pandangannya kembali menajam ke arah Ara, “Selain jadi anak haram, memangnya kamu bisu? Oh, atau tuli karena tidak bisa mendengar ucapan aku tadi?” Kata-katanya terlalu kasar, untuk anak seusia 12 tahun.

Ara hanya memandangnya dengan tatapan sendu, tak bisa melakukan apa pun lagi.

“Iya! Gara-gara kamu, aku jadi gak dikasih uang jajan selama satu bulan, karena nilai aku lebih jelek daripada kamu!” sahut bocah lainnya, yang membela perkataan temannya.

“Itu karena kamu aja yang terlalu bodoh! Makanya kamu gak bisa saingin dia,” ucap asal laki-laki itu. Mereka semua terlihat geram mendengar celotehan bocah ini.

Seorang anak laki-laki dengan membawa boneka di tangannya, pun datang dengan tiba-tiba. Ia berdiri kokoh di hadapan Ara saat ini.

Mata Ara membulat sempurna, saat melihatnya pertama kali. ‘Ada yang membelaku? Padahal, aku sama sekali tidak mengenal dia. Dia juga terlihat asing sekali bagiku,’ batin Ara keheranan.

Bocah nakal itu sama sekali tidak menyukai, sosok yang sedang mereka hadapi itu.

“Kurang ajar kamu!” Ia tidak terima dengan perkataan bocah itu.

Bocah pahlawan itu terlihat sudah tidak bisa menahan diri lagi. Ia terlihat menatap sinis ke arah mereka.

“Pergi, atau aku panggil ayah sama bunda buat marahin kalian!” bentaknya.

Terlihat reaksi takut dari mereka. Ara sangat tersentuh, karena bocah lelaki itu dengan beraninya mengusir mereka, demi untuk melindunginya.

“Awas kamu!” geram bocah nakal itu, kemudian segera pergi bersama dengan teman-temannya yang lain.

Ara masih melihat ke arah bocah penyelamatnya itu, ‘Dia sangat menggemaskan! Laki-laki yang membawa ke mana pun bonekanya itu, membuatku ingin sekali mencubit pipinya,’ batin Ara gemas.

Ara bangkit, dan dengan segera menghampirinya. Tatapan matanya menunjukkan sikap yang dingin. Sama sekali berbeda dari sikapnya waktu sedang membelanya tadi.

Ara menundukkan kepalanya, ‘Aku takut, dia memarahiku karena aku, dia jadi ikut menanggung getahnya,’ gumamnya dalam hati.

Ia menaruh tangannya di atas kepala Ara, sembari mengusapnya pelan. Mata Ara membulat. Ia sangat terkejut dibuatnya.

“Jaga diri baik-baik.”

Tatapan mata Ara seakan terbuka, pupil matanya melebar dan mulai membuat genangan air lagi.

Bocah itu tidak memedulikan Ara, dan lantas pergi meninggalkannya. Ara mulai menangis kecil. Ternyata, masih ada orang yang memedulikannya.

Saking senangnya Ara, bahkan ia belum sempat bertanya nama bocah itu. Namun, ia sudah pergi berlalu begitu saja meninggalkan Ara.

Ara mulai menyeka air matanya yang mulai mengalir di pipinya.

***

Malam hari tiba. Seperti biasa rutinitasnya hanyalah mengerjakan PR dan belajar.

Di sela mengerjakan PR, ia teringat dengan laki-laki yang menolongnya tadi. Tak sadar, ia sampai membuat satu senyuman di pipinya.

‘Dia siapa ya? Kok dia mau nolong aku, sih? Aku ‘kan cuma anak haram! Kenapa dia mau temenan sama aku? Aku bahkan belum tau namanya,’ batin Ara linglung.

Setelah dipikir kembali, itu semua sudah tidak penting! Sekarang, saatnya Ara memberikannya hadiah terima kasih, karena telah menolongnya.

‘Aku janji kalau aku ketemu lagi sama dia, aku akan kasih dia permen,’ tambahnya sembari tersenyum, kemudian mengerjakan PR-nya lagi.

Keesokan harinya, Ara melewati sekumpulan orang-orang itu lagi. Namun, tidak ada yang berani untuk mem-bully dirinya lagi kali ini.

Ara berpikir dalam hati, ‘Itu karena pahlawannya kemarin.’

Pertemuan Kembali

Ara tersenyum sembari menggenggam sebuah permen lollipop besar, yang sudah ia siapkan untuk bocah heroik itu.

Pandangannya terus ia edarkan di sekitar jalan itu, mencari keberadaan lelaki yang sudah menolongnya.

‘Kemarin, kamu ada di sini ....’ Ara menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk mencari keberadaan bocah yang sudah menolongnya kemarin.

‘Kamu di mana ...,’ batin Ara yang terus-menerus memanggilnya. Padahal, dirinya tak tahu sama sekali namanya.

Ara tidak bisa menemukannya saat ia berangkat ke sekolah. Jadi, ia berniat mencarinya saat pulang sekolah nanti.

Ara pun melangkahkan kakinya menuju ke sekolah.

Kemudian saat Ara pulang dari sekolahnya, Ara melihat dia. Benar-benar melihatnya. Namun, dia baru saja memasuki sebuah mobil yang terparkir rapi di hadapannya.

Ara bingung, ‘Kenapa dia terlihat diam seperti tidak senang?’ batinnya.

Ara kembali melihat laki-laki yang menolongnya kemarin, dari kejauhan. Ia terlihat sedang memandang kosong ke arah depan, sembari memegang bonekanya.

Mata Ara sudah tidak tahan lagi ingin menangis, ‘Kenapa dia seperti itu? Apa yang baru saja terjadi padanya?’ batinnya bertanya-tanya tentang keadaan lelaki itu.

Perlahan mobil itu beranjak pergi. Ara tak sengaja melihat ia, yang juga sedang melihat ke arah Ara.

Ara hanya diam mematung, sambil memegang permen yang ingin ia berikan padanya.

Perlahan, air matanya jatuh, ia mulai menangisi kepergian bocah itu.

Terlihat tatapan dingin dari bola matanya. Namun Ara sangat tahu, Ilham sedang tidak baik-baik saja.

‘Aku berharap, aku bisa bertemu denganmu kembali. Di mana pun itu, kapan pun itu,’ batinnya penuh harap.

Sepeninggalannya, hari-hari Ara jalani dengan keadaan baik-baik saja. Tidak ada yang mengganggunya lagi sejak saat itu.

Pada sebuah kesempatan, ibu tiba-tiba saja memberikan secarik kertas padanya. Ia berpesan pada Ara untuk tidak membacanya, sampai sang ibu tiada.

Ara yang masih setengah tidak paham, hanya bisa menuruti apa yang ibunya katakan.

Sampai saatnya tiba, Ara benar kehilangan ibunya. Ia memeluk tubuh ibu –yang melahirkannya– yang sudah terbaring kaku.

Air mata berjatuhan, deraian air mata sudah tak terbendung lagi.

Tidak ada lagi orang yang bisa ia jadikan tempat bersandar. Tidak ada sanak saudara yang mengetahuinya.

Lagipula, yang Ara dengar dari cerita ibunya, ibunya itu sudah lama dibuang oleh neneknya, karena ibunya hanya mempermalukan keluarga mereka saja.

Kini, Ara benar-benar hanya sendiri. Dengan mengumpulkan keberanian, ia pun membaca secarik kertas yang ibu berikan padanya sebelum akhirnya, ibu meninggalkannya untuk selamanya.

Kertas itu hanya bertuliskan sebuah alamat rumah, yang mungkin saja ibu persiapkan untuknya, untuk berjaga-jaga kalau saja beliau meninggalkan Ara selamanya.

Tanpa pikir panjang, Ara memantapkan langkahnya, bergegas menuju alamat yang tertera pada kertas ini dan meninggalkan kampung halamanku.

Sakit, memang sakit. Namun, inilah yang harus ia jalani sekarang.

***

Saat ini, usia Ara sudah menginjak 17 tahun. Hanya butuh waktu 1 tahun lagi untuk ia bisa menyelesaikan sekolahnya.

Ara turun dari bis antar kota, menuju pintu keluar terminal. Ada banyak sekali orang berlalu-lalang di sini. Kehidupan di kota sangat sesak. Ara tidak tahu akan betah atau tidak jika ia terus di sinis.

“Panas banget ...,” lirihnya, sembari menyeka dahinya yang berkeringat, menggunakan punggung jemarinya.

Ara mulai melangkah menuju mobil angkutan umum, yang ada di depan terminal untuk melanjutkan perjalanan.

Di hadapannya kini, ada seorang sopir yang sedang menunggu penumpang. Ara mengeluarkan kertas tersebut, lalu mengulurkannya ke arah sopir tersebut.

“Ke daerah ini bisa gak, Pak?” tanya Ara pada sopir angkot tersebut, sembari memberikan secarik kertas yang ia pegang.

Sang sopir mengambilnya, lalu membaca tulisan yang tak terlalu bagus itu, secara perlahan.

Setelah meyakinkan dirinya, sang sopir pun menatap mantap ke arah Ara.

“Oh, bisa! Masuk aja!” Mendengar sopir yang mengatakan seperti itu, Ara pun langsung masuk ke dalam angkutan umum itu.

Beberapa saat menunggu, tak lama kemudian, banyak sekali orang yang masuk ke dalam mobil ini, sehingga membuat penuh seisi angkutan ini.

Ara yang duduk di tengah-tengah, merasa sangat risih karena semua orang yang berada di sebelahnya, adalah laki-laki. Rasa was-was muncul di pikiran Ara, ia merasa sangat tegang saat ini.

‘Duh ... mudah-mudahan gak terjadi apa pun,’ batinnya mengaduh.

Tak lama berselang, angkutan ini pun jalan menuju tempat tujuan. Guncangan demi guncangan sering terjadi saat perjalanan.

Seseorang mengusik ketenangan Ara, membuatnya merasa risih dengan perbuatan laki-laki, yang berada di sebelah kanannya.

Tangannya kedapatan mencuri-curi, dan mulai meraba area pinggang Ara. Ia menutup mulutnya dan tak berani berteriak. Ia tidak bisa melakukan apa pun, dan hanya bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi.

Akan tetapi, semakin lama lelaki itu semakin terang-terangan meraba Ara. Ara pun semakin tidak keruan harus berbuat apa.

“Ehh Siti? Apa kabar?” sapa laki-laki yang berada di pojok hadapan Ara.

Ara pun mendadak bingung, ‘Siti? Siapa itu?’ batinnya.

“Ehh ....” Ara sama sekali tidak mengerti, jawaban apa yang harus ia berikan pada lelaki itu. Ara pun hanya melontarkan senyum kecil padanya.

“Loe Siti, ‘kan?” tanyanya sekali lagi, Ara hanya bisa menyeringainya tak enak.

“Hehe, aku Ara,” ucapnya membenarkan perkataan yang salah.

Wajah lelaki itu seperti sedang menahan kesal.

‘Apa yang salah denganku? Aku hanya mengatakan namaku dengan jujur padanya. Apa dia masih saja ingin marah padaku?’ batin Ara kebingungan karenanya.

“Oh iya! Siti Arahma, ‘kan? Yang sekolah di sekolah 73 itu?” ucapan laki-laki itu semakin lama semakin melantur saja. Ara meraba lehernya, tak mengerti dengan yang ia maksudkan.

‘Apakah dia salah mengenali orang?’ batin Ara lagi, yang sudah benar-benar tidak mengerti dengan keadaan.

“Gue Reza. Masa loe gak kenal sih sama gue?” ucapnya, semakin memaksa Ara untuk menerimanya.

Mendadak Ara menjadi sangat takut, ‘Apakah ini modus perampokan atau penculikan yang baru?’ Ara langsung menjaga tasnya yang hanya berisi beberapa baju, agar ia tidak bisa merampasnya dengan mudah.

‘Aduh aku harus jawab apa nih?’ batin Ara terus-menerus merasa bingung.

‘Tidak bisakah dia pergi dari hadapanku?’ Ara menatapnya lagi, masih dengan tatapan bingung.

“Eh, boleh tuker tempat duduk gak? Di sini panas,” pintanya.

Seketika pikiran Ara pun terbuka, dengan apa yang dia maksudkan. Namun, Ara bersikap seolah-olah ia tidak tahu maksudnya.

‘Oh ... aku paham maksudnya dia,’ batinnya.

Tanpa berpikir panjang, Ara pun bangkit dan langsung bertukar tempat duduk dengannya.

Sekilas, Ara melirik ke arah laki-laki yang berniat jahat padanya tadi. Terlihat laki-laki itu berubah muka menjadi masam. Ara menghela napas panjang, karena ia merasa sangat lega.

Istana

Ara sangat beruntung bertemu dengan pria yang dengan akal cerdiknya malah menolongnya. Walaupun, ia sama sekali belum mengenalnya.

Diperhatikan raut wajahnya, ‘Sepertinya, aku tidak asing dengan wajah oriental ini? Apa aku pernah melihatnya di suatu tempat?’ batinnya yang berpikir keras dengan seseorang yang ada di hadapannya itu.

Matanya membulat sempurna, ‘Ah! Sepertinya, ada sedikit kemiripan dengan anak yang menolongku dulu. Tapi, aku sama sekali tidak mengetahui siapa namanya,’ batinnya.

Lelaki tampan itu menyadari saat Ara memperhatikannya. Ia membalas pandangan Ara dengan tatapan yang terlihat sama, seperti sorot mata yang dimiliki anak itu.

Pupil mata Ara mendadak membesar, ‘Aku yakin, bahwa dia yang sudah menolongku dulu!’ batinnya dengan penuh keyakinan.

Lelaki itu memandang ke arah sopir, “Kiri, Pak!” teriaknya tiba-tiba, membuat Ara terkejut seketika.

Sopir itu segera memberhentikan kendaraannya, dan lelaki itu pun turun dari angkutan umum ini.

“Neng, yang di belakang, sudah sampai. Boleh turun di sini,” ucap sopir angkot tersebut.

Ternyata, Ara satu tujuan dengannya. Ara sangat terkejut dan langsung mengikuti ia turun.

Ara pun memberikan beberapa lembar uang receh pada sopir angkot itu, kemudian ia mengikuti langkah pria tadi.

Tiada niatnya untuk membuntutinya, tetapi memang tujuan merekalah sama. Ara harus berterima kasih lebih dulu padanya, karena sudah menolongnya tadi.

Ara pun mengikutinya sembari merogoh kantung celananya, untuk mengambil beberapa bungkus permen, untuk diberikan padanya. Namun, langkahnya yang panjang dan cepat, sampai Ara pun tidak bisa mengejarnya.

“Awwwww ....” Ara tak sengaja menabrak tubuhnya, karena tiba-tiba saja, ia menghentikan langkahnya.

Lelaki itu menoleh ke arah kanan, tetapi masih tetap pada posisi yang sama, tidak membalikan tubuhnya.

“Jaga diri,” gumamnya singkat.

Ada gejolak keras di hati Ara, saat ia mengucapkan kalimat itu. Ucapannya mengingatkan Ara dengan seseorang yang ia duga, adalah lelaki ini.

‘Apa betul dia orangnya?’ batin Ara merasa kebingungan.

Lelaki itu pergi dengan cepatnya, sampai Ara pun tidak bisa mengikutinya. Itu karena ia terlalu cepat, untuk langkah Ara yang kecil.

Akhirnya, Ara kehilangannya lagi.

Padahal, Ara ingin sekali memberikannya beberapa permen untuk sekadar berterima kasih padanya.

“Cepet juga jalannya,” ucap Ara yang terengah-engah, akibat mengikuti langkahnya.

Ara pun menghentikan langkahnya, untuk mengatur napasnya sejenak.

“Aku belum sempet bilang terima kasih ke dia,” lirih Ara dengan kesal, yang benar-benar sudah kehilangannya lagi.

Mau diapakan lagi? Takdir mereka memang sudah seperti itu adanya.

Ara pun kembali memasukkan permen itu ke saku celananya. Kali ini, ia kembali gagal untuk memberikannya hadiah.

Matanya kembali membulat, “Tapi akhirnya, aku tau namanya! Dia ....” Ara berpikir sejenak dan mengingat kembali, siapa namanya tadi. “Reza,” sambungnya, yang lantas tersenyum.

Karena hari sudah semakin sore, sejenak Ara melupakan soal Reza dan mencari alamat yang ibunya berikan padanya.

Dilangkahkan kakinya ke arah tujuan, tetapi ia sama sekali tak tahu rumah siapa yang akan ia tuju. Yang jelas, ibunya hanya memberikan secarik kertas yang beralamatkan tempat yang akan ia tuju saat ini.

Ara sama sekali tidak tahu, apa tujuan ibunya memberikan alamat ini padanya.

‘Ya sudah, lihat saja nanti,’ batin Ara.

Tak berapa lama, Ara pun sampai pada suatu perumahan yang cukup elite untuk seukuran orang kampung sepertinya.

Ara terdiam sesaat, sembari melepaskan pandangan sejauh mata memandang. Ia mendekati perlahan ke arah pagar rumah itu.

Dengan rasa penasaran yang tinggi, Ara mengetuk pagar dengan perasaan was-was dan juga takut. Namun, tidak ada yang membukakan pagar untuknya.

Ara merasa penasaran, ‘Apakah tidak ada orang di rumah sebesar ini?’ batinnya bertanya-tanya.

“Gak ada orang mungkin, ya?” lirih Ara bertanya-tanya.

Ara melihat-lihat ke sudut dinding. Terlihat tulisan bertuliskan kata “Bel” dengan tanda panah ke kanan.

‘Apa itu tandanya, aku harus memencet bel?’ batinnya, dengan kening yang mengerut bingung.

Ara menghela napasnya dengan panjang, “Aku gak pernah mencet bel sebelumnya,” lirihnya merasa takut.

Tiba-tiba saja teringat sesuatu yang lucu di benaknya, sampai ia tersenyum tipis, sembari menahan tawanya.

“Oh ya, waktu aku main petak umpet, teman-teman aku ‘kan pernah mainin bel rumah pak Kades. Hehe,” lirihnya, dibarengi tawa kecil, karena mengingat kejadian saat ia masih kecil.

Akhirnya, Ara pun memberanikan diri untuk memencet bel rumah ini.

Jemarinya ia mainkan saking groginya, “Gimana ya? Aku lupa ...,” lirihnya.

Ara menekan dengan keras bel itu sampai bel itu berbunyi.

Ara melangkah sedikit mundur karena terkejut mendengar suara bunyi bel tersebut.

“Ehh ... bunyi euy ....” Ara tersenyum karena bisa dengan mudahnya memencet bel ini.

Lagi-lagi ia teringat dengan masa lalunya di kampung halamannya.

“Biasanya mah, pak Kades langsung marah kalo ada yang pencet bel rumahnya. Malahan kita semua langsung kabur pas pak Kades keluar pintu. Heheh ... jadi kangen kampung,” lirih Ara kembali, yang tertawa kecil mengingat kejadian lucu, saat ia masih tinggal di kampung halamannya.

Ara sudah menunggu lama sekali, tetapi tak ada seorang punyang datang untuk meresponnya.

“Apa aku pencet lagi kali ya belnya?” Ara dengan rasa penasaran yang tinggi, berpikir untuk menekan bel untuk yang kedua kalinya.

Bel kedua pun telah ia bunyikan. Ara menunggu dengan saksama, seseorang yang akan membukakan pintu untuknya.

Kesabarannya membuahkan hasil. Tak berapa lama, ada seseorang dari balik pagar yang datang menghampiri ke arahnya.

“Maaf mbak, di sini tidak menerima sumbangan,” ucapnya yang lembut, tapi cukup menyakitkan hati Ara.

Ada sedikit rasa kesal dan sedih di hatinya. Akan tetapi, Ara berusaha sabar dan menahan amarah. Ia pun memaksa dirinya untuk tersenyum pada lelaki ini.

“Maaf, Pak. Saya Ara yang datang dari kampung. Saya mau tanya, apa benar ini alamat yang ada di kertas ini?” tanya Ara, lalu menyodorkan kertas kepadanya.

Ia menerima kertas tersebut dan melihat tulisan yang tertera di dalamnya.

Setelah membacanya, lelaki itu sontak mendelik kaget dan merasa tak enak dengan Ara.

“Oh ... maaf, Non! Saya gak tau kalau ini Non Ara. Saya Ujang, penjaga rumah ini, Non!” ucapnya dengan nada yang terdengar seperti nada bersalah.

Ara hanya bisa tersenyum simpul padanya, ‘Tak apalah ... lagi pula, ia tak mengetahuinya,’ batinnya.

Ia membukakan lebar-lebar pintu pagar rumah ini, “Mari masuk, Non!” ajaknya dengan tutur yang sangat sopan di hadapan Ara.

Ara mengangguk kecil, dan ia pun dibawa masuk oleh lelaki tersebut.

Sepanjang jalan mereka masuk menuju rumah ... oh bukan! Ini lebih condong disebut istana yang megah. Istana ini sangat jauh perbandingannya daripada rumah Ara yang dulu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!