NovelToon NovelToon

Bertahan Sakit Berpisah Sulit

Bab 001: Menemukan Ayah si Jabang Bayi

Dengan perasaan kacau Likta pulang, dia meminta cuti beberapa hari dari tempat kerjanya. Tubuhnya begitu lelah, siklus haid yang tak normal membuat Likta tenang. Namun, ditampar keras oleh kenyataan ketika dokter mengatakan bahwa kehamilannya sudah terhitung dua belas minggu.

Likta terduduk lemas sepulang dari klinik, ke mana dia akan bersembunyi kalau sudah begini. Menemukan ayah si jabang bayi, jelas tidak mungkin. Bahkan dia tidak mengenal pria itu sama sekali, tetapi entah bagaimana seperti ada daya tarik tersendiri ketika pertama kali melihatnya. Dan, melewati tiga hari bersama, masa ter ... tidak tepat rasanya menyebut terindah karena semua datang begitu tiba-tiba dan mengejutkan.

Kilas balik malam menggelora itu berputar di kepala, setiap inti sel tubuh Likta berdenyut gelisah. Seakan-akan panasnya pergulatan canggung itu masih tertinggal. Dia tercenung membayangkan ditinggal begitu saja keesokan harinya, kalau dipikir-pikir memang suatu kebodohan. Tanpa tahu nama, dirinya rela memberikan sesuatu yang paling berharga.

Rasa kecewa terhadap diri sendiri menggelayuti hati, Likta jelas tidak mengharap menjalani masa kehamilan tanpa suami. Sedari awal, dia memang tak beniat menuntut apa pun kepada pria itu, tetapi bayi yang berada di dalam kandungan berhak tahu siapa ayahnya.

Sudah tiga hari ini Likta datang ke tempat-tempat yang mungkin didatangi pria itu, tetapi hasilnya nihil bahkan petugas hotel tidak mau memberi data apa pun mengenai reservasi malam itu.

“Ta, kok, nyantai? Enggak kerja?” tanya Farida, adik dari almarhumah ibu Likta. Dia meletakkan seteko besar es teh lengkap dengan sepiring pisang rebus.

Farida menghempaskan tubuh di sebelah Likta, meraih remot lantas mencari acara gosip di televisi. Berita terbaru mengenai artis-artis papan atas mulai bergulir, mulai dari kasus KDRT sampai kabar membahagiakan datang dari model yang sedang naik daun—Violacea.

“Capek, Te.” Likta menjawab sambil menuang es teh, dia jarang sekali minum-minuman dingin, tetapi ini rasanya lain. Ada semacam keinginan yang susah ditolak.

“Wah, jangan-jangan hamil, nih," gumam Farida.

Mendengar penuturan sang tante, sontak Likta menyemburkan es teh dari mulut hingga terbatuk-batuk.

“Pelan-pelan minumnya,” kata Farida tanpa menoleh. “Kalau bukan ada apa-apa, jarang sekali ada artis memutuskan menikah di saat karir lagi meroket.” Lanjut mengomentari acara yang ditonton.

Likta hendak pergi sebelum terhenti melihat calon suami Violacea, dia pun kembali duduk. Matanya menatap lekat-lekat wajah menawan pria bernama Tiarnan. Sang pembicaraan mengatakan bahwa keduanya akan melangsungkan pertunangan terlebih dahulu di Bali.

“Pantes buru-buru, calonnya ganteng gitu, dan tau enggak Likta, Tiarnan itu masuk dalam sepuluh orang terkaya se-Asia. Selama ini jarang tampil di TV, maklum tinggalnya di luar negeri. Eh, tau-tau kepincut artis dalam negeri. Cocok ya mereka?” cerocos Farida tanpa koma, sedangkan dada sang keponakan berdetak kian cepat, sesak tiada terkira. “Eh, Ta, diajak omong juga, malah diam aja.”

“Hah?”

“Lah, enggak nyambung, makanya sesekali nonton berita biar gak kuper,” ujar Farida selagi tangan menyambar pisang rebus.

Likta tidak mengacuhkan perkataan Farida, berjalan linglung menuju ke kamar. Merebahkan tubuh di atas kasur dengan posisi kaki menggantung. Sekarang apa? Bagaimana bisa? Sekuper itukah dia, sampai tidak mengenali orang yang tidur dengannya? Segala pertanyaan berkecamuk di dalam pikiran.

Seberkas cahaya melintas, jemari Likta merasakan sentuhan lembut sedingin es. Samar-samar terdengar bisikan di telinga. “Papa harus tau.”

Likta terlonjak dari tidurnya, dia sedang bermimpi, apa itu tadi suara hatinya? Mungkin Ayon—ayahnya—punya solusi untuk masalah ini. Ah, tetapi mustahil, hubungannya dengan sang ayah jauh dari kata baik. Yang ada nanti memiliki julukan baru, selain anak pembawa sial bertambah wanita murahan.

“Brielle, dia mungkin bisa bantu.” Tanpa mengulur waktu, Likta bergegas keluar dari kamar. “Te, aku mau ke rumah Brielle dulu,” pamitnya.

“Ya, pas pulang jangan tangan kosong.”

“He'eh.”

Jarak dari rumah Farida ke rumah Brielle hanya membutuhkan waktu lima menit. Likta mematikan mesin tepat di pelataran rumah, lalu melepas helm dan mengarahkan kaki ke depan pintu.

“Bri, buka pintunya, aku di luar ... oke.”

Selang semenit pintu kayu itu terbuka. “Tumben absen?”

“Aku—nanti kuceritain.” Likta menyerobot wanita bertubuh lebih besar darinya itu. Di dalam, dia menceritakan semuanya dan membuat Brielle kena serang jantung dadakan.

“Gila! Tau enggak itu salah? Fatal! Ada dua solusi, gugurkan atau temui bapak anak itu.” Brielle mondar-mandir di ruang tamu. Sesekali menutup wajah dengan kedua telapak tangan.

“Mana bisa gugurin, dia enggak salah dan gimana caraku nemuin bapaknya,” ucap Likta lemah.

“Ya, masa mau hamil tanpa suami? Berangkat, aku yang bayarin tiketnya. Gak peduli itu orang bakal percaya atau enggak urusan belakang.”

Setelah keputusan dibuat, Brielle mengantarkan Likta ke bandara keesokan harinya. Namun, sayang tidak bisa menemani sang sahabat.

Berbekal informasi dari media sosial Likta menuju ke tempat digelarnya pesta pertunangan Violacea dan Tiarnan.

Karena tidak bisa masuk tanpa undangan Likta menyelinap lewat pintu darurat, dia berjalan tenang di antara beberapa petugas hotel dan para penanggungjawab acara.

Sampai ketika tiba di tempat yang lebih sepi, Likta melihat punggung lebar seseorang yang sedang duduk sendirian. Percikan rasa rindu menguatkan dugaan Likta bahwa pria itu adalah ayah dari anaknya.

Orang itu berdiri, berbalik badan hendak pergi hingga diam terpaku di tempat. Terkejut akan kehadiran Likta, wanita yang ingin dia lupakan untuk selamanya. “Sadar, Tiarnan, ini ilusi!” ucapnya kepada diri sendiri.

Sisi lain dari dalam diri Tiarnan bergetar hebat sampai teringat malam pertama bertemu dengan Likta yang tampak begitu rapuh.

Waktu di mobil malam itu, sebuah pesan masuk melalui ponsel Tiarnan, tidak ada tulisan, hanya gambar seorang wanita—mungkin gadis—sesuatu menyentak bagian terdalam Tiarnan. Seperti hidup, Likta tersenyum tulus di sana, binar ceria terpancar jelas di matanya. Bagaimana bisa, orang berparas selembut ini sanggup mencuri sesuatu yang bukan menjadi haknya.

Dengan penuh keyakinan, Tiarnan memerintahkan supir menuju tempat tinggal Likta. Seolah-olah takdir mengaminkan, wanita itu terlihat berjalan sambil membawa koper tidak terlalu besar. Seperti saat ini, sekarang dan persis di depan matanya. Hanya saja kali ini berbeda, Likta tidak mengusap pipi dengan ujung telapak tangan. Luka lebam tidak menodai wajah eloknya.

Tiarnan begitu terganggu oleh air mata Likta saat itu, akan pergi ke mana pada larut malam? Menemui para lelaki hidung belang atau pria yang dia dapatkan dari merebut milik orang? Melihat itu, berbagai pertanyaan berputar-putar di dalam benak Tiarnan.

Lebih dari lima menit Tiarnan menunggu dan mulai tidak sabar. Kala itu, dia berjalan cepat menuju ke arah Likta. Dan, seekor kucing melintas lebih dulu di depan wanita itu. Suara Likta mengalun lembut, merayu makhluk berbulu itu supaya tidak takut. Anehnya, seperti memiliki bakat khusus keduanya seolah-olah bercengkerama. Begitu penuh perhatian Likta merawat kucing itu, setelah puas dimanjakan si kucing mendengkur nikmat dalam buaian jari-jemari lentik Likta.

“Bisa bicara sebentar?” Likta membuyarkan lamunan Tiarnan.

“Kamu siapa?” ucap Tiarnan, keinginan hati tetap tinggal lebih mendominasi daripada nada bicaranya yang kasar. Dia kembali mendudukkan diri, kendati pikiran terus memprovokasi untuk pergi.

“Maksudmu? Kamu belum terlalu tua untuk melupakan semua kedekatan kita, sampai malam canggung itu terjadi! Aku hamil.”

“Pembohongan.” Tiarnan menolak pengakuan Likta.

“Aku punya bukti,” ucap Likta mantap, lalu mengambil amplop putih dari dalam tas jinjing. Dia lempar benda itu di atas pangkuan Tiarnan.

“Siapa yang tau kamu tidur dengan laki-laki lain setelah aku.” Tiarnan merasakan kegetiran ketika kalimat terkutuk itu keluar dari bibir. Dia membuka amplop pemberian Likta dengan tangan gemetar. “Lagipula kita sepakat tidak menganggap serius hubungan sepintas lalu.”

“Memang, sebelum ada bayi di dalam perutku, dan kupikir kamu harus tau. Yah, tapi kalau kamu enggak mau mengakui aku bisa merawatnya sendiri dan jangan coba-coba mengambilnya suatu saat nanti dariku.”

Kelopak mata Tiarnan melebar, lalu memasukkan kembali hasil pemeriksaan kehamilan Likta ke dalam amplop.

Dan, dua reporter keluar dari persembunyian. “Apa benar wanita ini hamil anak Anda?”

Tiarnan bersicepat meraih Likta ke dalam pelukan, melindungi wanita itu agar wajahnya tidak muncul di koran mau pun jejaring sosial.

“Bagaimana dengan pertunangan Anda?”

“Batal, tidak ada pertunangan!” jawab Tiarnan cepat, sambil menghindar.

Bab 002: Ini Bukan Sinetron atau Kisah Novel

"Om Frits, di mana Tiarnan?" tanya Violacea kepada calon ayah mertuanya. "Acara akan dimulai sebentar lagi." Model papan atas itu mengerucutkan bibir saat tidak menemukan keberadaan calon suaminya. Memang sedari awal, dia tahu Tiarnan menolak pertunangan ini, enggan menjalin komitmen. Namun, karena desakan orang tua barulah menerima.

"Tadi pamit ke toilet, sebentar lagi juga datang,” jawab Frits, kemudian menyesap sedikit cairan kuning jernih.

Kilatan lampu kamera beberapa awak media menyilaukan mata ketika seorang pria jangkung melangkah santai menuju ke tengah-tengah ruangan. Dia adalah Dave produser sukses yang telah berhasil memproduksi jutaan film kelas dunia, dan sekaligus pemilik agensi modeling ternama.

Roman wajah Violacea terlihat tegang, kegugupan seolah-olah menjalari sumsum tulang. Dia mengulas senyum kaku, lidahnya terasa kelu.

“Apa kabar, Pak Frits?” Dave menjabat tangan pria paruh baya itu.

Telapak tangan Frits menggenggam dengan mantap, sedangkan tangan satunya konstan menepuk pundak Dave. “Amat baik, silakan menikmati acaranya, maaf, saya tinggal dulu.” Lalu menghampiri salah seorang tamu.

"Sayang, kenapa mengabaikan teleponku?" Dave berbisik di telinga Violacea setelah kepergian pria paruh baya itu, kemudian mundur selangkah. "Kamu kira bisa kabur dariku?" Dia sendiri tahu bahwa setelah menikah dengan Tiarnan—Violacea tidak perlu lagi menjadi model. Sudah tak lagi membutuhkan dirinya, ibarat kata habis manis sepah dibuang.

"Memang, sebentar lagi kontrak kerjaku sudah habis," tegas Violacea sambil melirik sekitar, takut kalau-kalau ada yang dengar.

Senyum Dave tersungging miring, ada banyak cara untuk memasukkan burung ke dalam sangkar. “Coba saja, dan jangan salahkan aku kalau rekaman kemesraan kita jadi gosip terpanas sepanjang masa!”

“Siapa yang percaya, itu hanya editan,” bantah Violacea, kendati ketakutan menerjang, dia tidak menampik kedekatan mereka yang jauh dari kata biasa-biasa saja. Demi meraih puncak karir, Violacea rela mempertaruhkan segalanya.

“Kita lihat saja, Sayang, cepat atau lambat kamu akan kembali kepadaku.” Dave mengambil gelas dari nampan pelayan yang baru lewat. “Tunggu sampai uang berbicara.”

“Tiarnan lebih kaya darimu, Dave!” Violacea hendak pergi setelah mengecam, tetapi dengan gerakan cepat Dave berhasil mencengkeram lengannya. Hangat telapak tangan pria itu meremangkan bulu roma. “Lepaskan, banyak kamera di sini.”

Dave melepas genggaman begitu melihat manajer Violacea berjalan tergesa-gesa, dia pun pergi dari sana. Menyelinap di antara para tamu.

"Violacea, beberapa wartawan ingin bertemu," ujar Arysha manajer sekaligus sahabat baik Violacea. Napasnya terlihat putus-putus karena terburu-buru, peluh membasahi kening. Wajah tampak sedikit merah, menyimpan sesuatu yang salah.

"Apa lagi? Urus, dong, Ar. Aku enggak mau diganggu dulu. Nanti juga aku menemui mereka bareng Tiarnan," sahut Violacea sembari menelisik seluruh ruangan, tetapi di antara para tamu tidak ada sosok yang dicari-cari. “Aku lagi males, kenapa juga turuti semua mau mereka. Kan, aku artisnya.”

“Ini penting—”

“Iya, memang acara ini penting, kalau mereka gak sabar ya udah suruh pulang aja,” potong Violacea, dia saat ini sedang pusing memikirkan ancaman Dave, sekarang ditambah rengekan reporter yang ingin wawancara.

“Menyebalkan! Bersikap baiklah, Violacea, atau kamu mau diganyang netizen? Dan, masalah ini tentang Tiarnan, dia—” Belum rampung menjelaskan, Arysha di serobot salah satu reporter.

“Kak Violacea, apa benar pertunangan Kakak dibatalkan?”

“Hah?” Wajah merona Violacea pucat pasi, pertanyaan macam apa ini? Apa Dave sudah bertindak lebih jauh? Dia menoleh cepat ke kanan-kiri, Dave mengulas senyum simpul sembari menaikan gelas tanda bersulang. Sumpah serapah bercokol di dalam hatinya, mengapa menjadi serumit ini.

“Violacea,” bisik Arysha.

“Apa Dave mengatakan sesuatu kepada para reporter waktu sampai tadi?” Violacea ikut mengecilkan suara, sebab segerombolan awak media mulai berdatangan.

“Dave? Apa hubungannya?” Alis Arysha mengerut. “Ada wanita yang mengaku hamil.”

“Hamil?” Tanpa sadar Violacea berbicara keras, kaget.

“Jadi benar ya, Kak Violacea, bahwa pertunangan batal karena wanita itu hamil anak Tiarnan?” celetuk salah satu reporter. “Apa, Kak Violacea, sudah tau sebelumnya?”

“Maaf, ya, teman-teman, sepertinya ini salah paham. Mana mungkin Tiarnan menghamili seseorang? Pasti wanita itu terlalu terobsesi sama Tiarnan, ini jebakan. Sekian dulu, ya, kita akan klarifikasi, permisi.” Bersama Arysha, Violacea menghindar dari sorotan kamera, menembus kerumunan orang-orang yang ingin tahu kebenarannya.

“Di mana Tiarnan?” Perut Violacea serasa melilit, mual tidak karuan, kepalanya pun berdenyut-denyut seperti balon yang sebentar lagi pecah.

“Aku enggak tau.”

Bak menghilang di telan bumi, tidak ada yang tahu Tiarnan berada di mana. Memisahkan diri dari huru-hara, menjelma makhluk tak kasatmata. Membaur dalam kegelapan, kegelisahan, dan rasa kecewa terhadap diri sendiri. Bahkan wanita yang saat ini bersamanya, diam membisu di sudut sofa.

Tiarnan sedang merenung, menatap tajam ke kejauhan. Akan tetapi, tidak benar-benar melihat panorama matahari terbenam yang membiaskan cahaya kuning kemerah-merahan, dua burung liar terbang melintasi awan, menukik tajam seolah-olah menantang ombak yang bergelung-gelung membentur karang. Momen paling Tanya suka semasa hidupnya.

Sungguh pahit ketika mengingat kembali kenangan akan Tanya, mestinya tidak pergi secepat ini. Untuk sesaat Tiarnan menutup kelopak mata, semoga adik perempuannya tenang di alam sana. Oh, astaga. Berani sekali meminta demikian, sedangkan dendam Tanya belum terbalaskan. Malah diperparah oleh kecerobohan Tiarnan, menghabiskan malam bersama wanita yang mestinya dibuat sengsara. Dan, anehnya, detik ini juga, dia ingin mereguk kembali pengalaman itu. Merasakan aroma segar Likta, ketika saling mengeratkan rengkuhan.

Tiarnan berbalik badan, menatap lekat-lekat wajah muram Likta. Dia masih bisa mengingat jelas semua kenangan bersamanya, beruntung kamar hotel yang keduanya gunakan tidak terbakar oleh gelora asmara kala itu.

“Maaf, memang gak seharusnya aku kemari,” ucap Likta lirih, dia mendongak ke arah Tiarnan. Memberanikan diri memulai obrolan. “Sebelum berangkat temanku sudah siapkan tiket pulang juga, jadi kamu enggak perlu khawatir—”

“Enggak perlu khawatir, katamu? Setelah kekacauan terjadi.” Tiarnan menggeleng, lalu menghindari sorot mata lembut Likta, berputar cepat ke arah pantai. Dia tidak sanggup menolak daya pikat wanita itu, siang-malam membayangi tanpa tahu kapan menghilang. “Apa ini hanya sandiwara?”

“Untuk apa aku bersandiwara? Enggak ada untungnya.” Nurani Likta begitu tertusuk tajamnya tuduhan Tiarnan. “Penilaian mu terhadapku sangat buruk, seandainya saudaramu yang diperlakukan seperti ini gimana? Coba pikirkan!”

“Dia sudah tidak ada di dunia ini dan itu karena—” Tidak sekarang, belum saatnya Likta tahu kenapa sampai terjebak sekandal dengannya, Tiarnan mengusap wajah kasar.

“Aku turut berdukacita, maaf telah menyinggung hal itu. ” Perkataan Likta terdengar tulus. “Sekarang apa yang bisa aku lakukan? Apa mengklarifikasi semua melalui media sosial membantu?”

“Terlambat, semua sudah terjadi, Violacea wanita terhormat, dia tentunya kecewa.” Tiarnan diam setelah mengatakan demikian, bermeditasi selama setengah jam hingga menemukan titik terang. “Kita menikah, tapi—membuat perjanjian hitam di atas putih.”

“Ini bukan sinetron atau kisah novel, aku enggak mau!”

“Keras kepala, terserah kalau mau hamil tanpa suami dan anak itu lahir tanpa ayah.” Tiarnan beranjak dari ruangan.

Bab 003: Nyaris Saja Luluh Lantak

Tiga hari lalu, Tiarnan meninggalkan Likta sendiri di bungalo mewah yang terletak tidak jauh dari pantai Senggigi. Satu-dua pelayan datang silih berganti menyiapkan segala keperluan. Makanan yang disajikan saat sarapan, makan siang, dan malam selalu berubah-ubah. Semua terasa begitu lezat dan nikmati. Bukan hanya urusan perut yang diperhatikan, Tiarnan secara khusus mendatangkan beberapa potong baju hasil rancangan desainer ternama.

“Gimana?”

“Apanya?” Likta balik tanya.

“Baca, kamu coret apa-apa yang menurutmu salah.” Tiarnan meletakkan map kertas berwarna biru dan terlihat begitu tebal, membungkus berlembar-lembar kertas bertuliskan sederet perjanjian yang diketik dengan sangat hati-hati.

“Mau ke mana?” tanya Likta begitu menyadari Tiarnan berbalik badan.

“Mandi, mau ikut?” Tiarnan melihat pipi Likta merona setelah mendengar pertanyaan jailnya. Dan, seketika itu jantungnya memompa lebih cepat. Cairan yang mengalir di pembuluh darah berdesir panas, tetapi dia meyakinkan diri bahwa ini disebabkan oleh kebencian, bukan kebutuhan biologis yang ingin tersalurkan. “Aku tidak suka membuang-buang waktu, jadi buat keputusan selagi aku menyegarkan diri.”

Tanpa berkata-kata, Likta mengambil map di meja dan Tiarnan pergi ke kamar mandi. Begitu pria itu pergi, dia menyandarkan punggung. Menghirup oksigen banyak-banyak untuk melembapkan paru-paru. Tawaran Tiarnan barusan membuatnya sesak, hampir saja dirinya meminta napas buatan.

Isi surat perjanjian itu tidak ada yang salah, semua menguntungkan bagi Likta. Namun, ada dua poin yang melukai harga dirinya. Dia berkedip cepat dua kali sambil menatap langit-langit ruang tamu. Mengingat apa yang terjadi, jelas dia sudah tidak berharga lagi. Mengotori diri dengan noda yang takmungkin bisa hilang meski menggunakan kekuatan seribu tangan.

“Sudah?”

Map di pangkuan Likta terjatuh, kenapa akhir-akhir ini dia mudah sekali terkejut. Padahal suara Tiarnan tidak keras, cenderung dalam dan lembut. “Kamu keterlaluan.”

Mendengar ucapan Likta, tangan Tiarnan yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk terdiam. “Maksudnya?”

“Test DNA, kamu masih mengira aku menipu!" ujar Likta, sebelum ditanggapi dia mengimbuhkan, “Kalaupun terbukti bayi ini bukan anakmu, aku mau aja cerai, tapi enggak dengan uangmu. Aku sanggup membesarkan anak ini dengan jeri payahku sendiri.”

“Bagus kalau kamu sadar,” sahut Tiarnan ketus. “Ayo, kita harus ke Jakarta sekarang, aku sudah mempersiapkan semua.”

“Aku harus siap-siap.”

“Tinggal aja, nanti orangku yang urus.” Tiarnan bersedekap, mengamati penampilan Likta. Wanita itu memakai celana jeans yang dipadukan dengan kaus ukuran jumbo yang merosot di salah satu bahu, sehingga memperlihatkan kulit pucatnya. Rambutnya di gelung longgar, dia terlihat seperti gadis belia yang belum siap memiliki bayi. “Bukannya aku udah kirim beberapa baju, kenapa tidak dipakai?”

“Terlalu mahal.”

“Aku mau kamu pakai salah satunya sekarang.” Karena malas berdebat, Tiarnan bergegas pergi.

Sepuluh menit berikutnya, Likta keluar dari kamar, tampak manis dan anggun dengan gaun terusan yang bagian roknya tumpang tindih di depan, hampir menyerupai bunga tulip terbalik. Rambutnya masih sama, beberapa helai membingkai wajah bulatnya.

“Hello, aku sudah siap.” Telapak tangan Likta melambai karena Tiarnan terlihat bengong.

“Oke, yuk!” Tiarnan memimpin langkah menuju halaman belakang bungalo.

Kini giliran Likta yang menganga, kelopak matanya tidak berkedip selama beberapa detik. Tidak heran orang-orang memberi julukan Tiarnan—bocah miliuner—ini buktinya, pesawat jet yang bisa mengangkut sebanyak-banyaknya sembilan belas orang, tidak termasuk awak pesawat digunakan sebagai akomodasi perjalanan. Saking takjubnya, dia tidak menyadari pria itu menaiki tangga, sehingga tertinggal agak jauh.

“Ayo!”

Setelah masuk ke badan pesawat, Likta mengira panjang kabinnya mencapai kurang lebih sekitar 14,63 meter, sangat luas dan lega. Dia pun duduk di salah satu kursi.

Jarak tempuh dari Bali ke Jakarta tidak membutuhkan waktu lama, bahkan Likta belum sempat menyelonjorkan kaki. Setibanya di lokasi, Tiarnan menuntun langkahnya menuju mobil.

Kendaraan bermotor roda empat itu membawa keduanya ke kantor urusan agama dan catatan sipil, melaksanakan sekaligus mencatatkan pernikahan supaya sah secara hukum dan agama.

Meski sah menjadi suami-istri, hubungan keduanya tidak kunjung membaik, bahkan hampir seminggu ini Tiarnan mengabaikan Likta. Membiarkan wanita itu seorang diri di apartemen yang mewah dan sunyi. Memang ada asisten rumah tangga, tetapi selalu pulang pada sore hari.

“Aku kesepian, Bri, memang, sih, serba kecukupan. Tapi, aku udah kayak wanita simpanan tau enggak?” gerutu Likta sambil menikmati salat buah. Telepon genggamnya menggunakan mode pengeras suara. “Dia super suuuibuk banget,” katanya dipanjang-panjangkan.

“Itu salahmu sendiri, siapa suruh melewati batas,” balas Brielle. “Kamu kesambet setan apa, sih, waktu ngelakuin hal itu?”

“Sudah kubilang, semua terjadi gitu aja,” ucap Likta lemah, yang dia tahu saat itu hanya kecocokan satu sama lain. Ibarat kupu-kupu jantan dan betina, takut keburu mati kalau tidak segera bercinta.

Ketika kesunyian melanda Brielle bersuara. “Eh, Likta, kamu masih di sana, kan?”

“Iya, masih, Bri. Oiya, Tante sama Om ku nyariin, gak. Kemarin izin cuma dua-tiga hari, kan?” Meskipun tidak yakin bakal kembali lagi ke rumah sang tante Likta bertanya. Sedikit pun, dia tidak pernah membayangkan pulang dalam kondisi hamil, terlebih tanpa suami. Ini aib keluarga, bencana baginya.

“Iya, Tante Farida tanya pas ketemu di pasar.” Ada kesenjangan waktu selama sepuluh detik. “Likta?”

“He'eh.”

“Saranku, kamu jangan terlalu mikir terlalu dalam. Nikmati apa yang ada, jangan ada apanya,” ucap Brielle sambil menyanyikan kalimat kedua dengan suara fals maksimal.

“Cerdas!” pungkas seseorang yang amat Likta rindukan kehadirannya, Tiarnan tampak menakjubkan bersandar di kosen.

“Likta, eh, Likta!” Suara Brielle masih terdengar, menarik kesadaran yang nyaris terbang.

“Ya, Bri. Udah dulu, ya, nanti aku telepon lagi. Daah.” Sesudah memutus panggilan, Likta menurunkan kedua kaki yang bersila di atas sofa. Dia berdeham dua kali guna menetralkan keterkejutan dan kepanikan, bertanya-tanya sudah berapa lama Tiarnan berdiri di sana. Menguping pembicaraannya dengan Brielle.

“Papa mau ketemu sama kamu,” kata Tiarnan, datar. “Paparazi berhasil mendapatkan foto kita saat keluar dari catatan sipil.”

Likta terduduk lemas, gimana kalau om-tantenya sampai tahu, walaupun saat itu memakai masker cepat atau lambat akan terbongkar juga. Bisa jadi sudah diberitahu sang ayah. “Papamu pasti marah.”

“Aku sudah menjelaskan semuanya, Papa bisa mengerti, beliau menginginkan penerus keluarga. Sekarang bersiap-siaplah.” Tiarnan menaikan sebelah alisnya, Likta tak kunjung beranjak dari duduknya. “Tunggu apalagi?”

“Iya, iya.”

Likta yang biasa tampil apa adanya tidak membutuhkan waktu lama untuk berdandan. Dan, anehnya semua tampak sempurna di mata Tiarnan.

“Mau ngapain lagi?” tanya Tiarnan, geram.

“Maskerku ketinggalan.”

“Biarin!”

“Kalau ada paparazi?” Rupanya Likta mewarisi sikap keras kepala Ayon, ayahnya.

Karena kesal Tiarnan menarik istrinya lebih dekat, satu tangan berada di pinggul Likta. Tubuhnya saling bertumbuk, dia merasakan daya tarik yang sukar dihindari, perlahan menunduk dan ... nyaris saja luluh lantak di dalam kelembutan bibir Likta.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!