Di suatu tempat, tidak tahu dimana letaknya, apa sebutannya, yang jelas nampak sebuah hamparan rumput hijau yang empuk, dikelilingi tumbuhan-tumbuhan dan bunga-bunga yang cantik, dan mengalir sebuah sungai yang jernih airnya, terbaring seorang gadis cantik berambut panjang. Saking empuknya helaian rumput di sana, gadis itu sampai tak merasakan sesuatu menusuk tubuhnya. Gadis dengan wajah lugu itu terpejam dengan tenang. Benda persegi modern di sampingnya memutarkan alunan musik piano yang menenangkan. Sebuah ponsel canggih yang dilengkapi dengan pengeras suara. Gadis itu nampak begitu lelap tidurnya dengan iringan tersebut. Seperti lagu penghantar tidur.
Insting gadis itu tiba-tiba muncul. Terdengar suara kaki yang perlahan menjauh. Gadis itu membuka matanya. Menegakkan tubuhnya. Dilihatnya seorang wanita yang telah “punya usia” berjalan membelakanginya, meninggalkannya perlahan.
“Ibu,” panggil gadis itu dengan mata berkaca-kaca.
Wanita yang dipanggil menoleh ke belakang sejenak, memberikan senyum terbaiknya-mungkin senyum terakhir yang gadis itu lihat-, lalu lanjut melangkah, mendekati sebuah jembatan panjang yang tak nampak ujungnya jika dilihat dari mata si Gadis.
“Ibu!” teriaknya lagi dengan rasa takut yang semakin menguasai, Rasa takut ditinggalkan, rasa takut kesepian, rasa takut tak bisa hidup tanpanya.
Kali ini wanita itu tak memberi kesempatan berpandangan. Ia terus berjalan menyusuri jembatan itu yang entah akan membawanya kemana.
“IBUUUU!!!”
Gadis yang diketahui bernama Fina itu berteriak di atas kasur tidurnya, dengan posisi sudah terduduk dan baru saja tersadar dari mimpinya. Teriakannya itu memancing bapaknya, satu-satunya orang yang kini tinggal seatap dengannya, mendatangi kamarnya dengan perasaan gelisah melingkupi dada.
“Hey, kamu kenapa?” tanya Bagus, nama Pria dengan kumis yang kian melebat itu. Bagus mendekap bahu putrinya, mencoba memberikan ketenangan.
“Gak pa-pa, Pak.” Fina menggeleng. Mencoba tegar. Padahal, akhir-akhir ini ia sedikit kesulitan mengambil napas segar. Ya, dia sedang tidak baik-baik saja. Tapi itu tak mengapa.
...****...
Pagi menyambut. Matahari memancarkan serabut. Udara dingin terselimuti tipisnya kabut. Semua orang punya tujuan yang sama untuk hari-hari yang mereka miliki. Yaitu bahagia. Namun tak sedikit dari mereka yan tengah berjuang mungkin sedang berjuang melewati hari-hari yang terkadang menjadi sangat menantang. Fina menjadi salah satu dari orang itu.
Gadis yang baru menginjak usia awal kedewasaan itu, yaitu 17 tahun, sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Wajahnya tampak tak bersemangat. Perasaan cemas di sekujur tubuhnya menjadi sensasi pertama yang ia rasakan dalam menngawali hari. Fina menelan satu pil obat penenang untuk menghentikan gemetar di tubuhnya.
Fina diagnosa memiliki gangguan kecemasan sosial. Sebutan kerennya, social anxiety disorder. Hal ini yang mengakibatkan Fina begitu takut melangkah keluar rumah, terlibat dalam keramaian, hingga berkomunikasi dengan orang lain. Ada beberapa faktor yang mendorong kecemasan sosialnya itu. Diantaranya seperti pemikiran buruk orang-lain terhadapnya, cemas akan penolakan, dan yang paling menyeramkan, perasaan bersalah atas kondisi mentalnya yang sedang tidak baik-baik saja. Semua pemikiran Fina dipengaruhi oleh adanya stigma di lingkungan masyarakat prihal kesehatan mental yang sangat tak manusiawi.
“Fin, sudah rapi? Yuk berangkat.” Bagus yang telah mengenakan helm dan jaket kulit, bergegas untuk kerja, muncul di ambang pintu kamar Fina.
Fina hanya terangguk datar. Ia segera mengambil ranselnya kemudian beranjak keluar kamar bersama bapaknya. Mereka mengendarai motor bebek sederhana. Jalanan lancar jaya pagi ini. Tak butuh waktu lama untuk Fina tiba di sekolah.
Fina mencium punggung tangan Bapak yang sudah mulai berkerut sesampainya mereka di depan gerbang sekolah. Ia segera beranjak memasuki area sekolah dengan kaki yang masih sedikit gemetar. Efek obat penenang mungkin belum sepenuhnya bekerja. Mungkin juga tak sepenuhnya mengikis total rasa cemas dalam diri Fina. Hanya sekedar meredakan.
Keadaan sekolah sudah cukup ramai. Siswa-siswi yang baru berdatangan langsung menuju kelasnya masing-masing. Sejak tadi Fina mencoba mengatur napasnya sebaik mungkin. Mencoba membangun afirmasi positif dalam dirinya.
"Gak ada yang salah dari diri lo, Fina. Its OK to not be OK, gumam Fina dalam benaknya.
Sayangnya, kejadian tak mengenakan menimpa Fina di koridor. Beberapa orang tengah berkumpul di sana dengan aktivitas masing-masing. Ada yang sedang mengobrol bersama teman, belajar dan bergosip. Semua terhenti sejenak dari dunianya dan memusatkan perhatiannya ke arah satu gadis yang sedang berjalan begitu kaku melewati mereka, yaitu Fina.
Langkahnya tampak ragu. Wajahnya tampak kusut. Seolah sedang menempuh jalanan berhantu.
Tatapan orang-orang di sepanjang koridor seperti seekor srigala yang hendak menerkamnya. Tatapan-tatapan penuh intimidasi seolah ada yang salah dari gadis itu. Fina semakin dikuasai kecemasan. Ia melihat komplotan siswi berbisik-bisik sembari meliriknya. Dengan ekspresi tak enak. Ia mendengar juga suara seseorang melemparkan kata-kata yang sama tak enaknya.
“Dia aneh banget.”
“Dia kenapa sih? Kayak ada masalah yang berat banget.”
“Auranya suram banget. Kasian,”
Perasaan cemas menjulur hampir ke seluruh aliran darah Fina. Napasnya menjadi sesak. Otot-ototnya menegang, sampai ia merasakan nyeri di beberapa titik. Terutama di bagian lehernya. Raut wajah takutnya semakin terlihat kentara.
Sekejap kemudian, sesuatu menariknya keluar dari dunia halusinasinya, kembali ke realita. Fina tertegun. Langkahnya terhenti sejenak di koridor. Realitanya, tak ada satu orang pun yang memperhatikannya. Mereka sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Mengobrol sama teman, belajar dan bergosip.
Musuh bebuyutannya: Kecemasan. Ternyata tak semudah itu ditaklukan.. Fina mempercepat langkahnya, menuju kelas, sebelum ia hilang
kesadaran lagi.
...***...
Kecemasan itu terus mengikutinya. Dimana ada orang, disitu ada kecemasan. Fina selalu merasa setiap gerak-geriknya diperhatikan, seolah sedang diintai oleh agen mata-mata. Selama jam pelajaran di kelas berlangsung, Fina hanya diam. Duduk mematung di kursinya. Kalau ada tmnnya melemparkan pertanyaan kepadanya, dia hanya menjawab singkat, secukupnya. Fina tak mau mengambil resiko. Ia hanya fokus pada pernapasannya agar pikirannya tetap terjaga.
“Fina,” pangil Bu Anita yang mendapati Fina larut dalam lamunan.
Fina tersentak. Rasa cemas langsung menyerang tubuhnya secara serbuan saat namanya dipanggil.
“Dari tadi melamun terus. Mikirin apa, sih?” Bu Anita melontarkan kecurigaannya.
Fina menggeleng express. Ia buru-buru mengelak.
“E-enggak, Bu. Aku cuma pengen ke toilet.” Fina tergagap-gagap. Ia segera mencari pelarian ke toilet.
Paling tidak, Fina bisa bernapas tanpa tersenggal untuk beberapa menit selama di toilet. Toilet sepi. Hanya ada dia dan bayangannya di cermin besar tempat mencuci tangan.
Fina menatap wajahnya di hadapannya dengan datar. Gadis yang malang, batinnya. Tidak Fina! Seharusnya kamu mengganti kata-katamu dengan “Gadis yang hebat”.
Fina melihati bayangannya sendiri lamat-lamat. Wajah itu... Wajah yang akhir-akhir ini kehilangan sinarnya. Kehilangan senyumnya. Entah jatuh dimana. Ia hanya bisa berharap seseorang menemukannya dan mengembalikannya padanya.
“Apa aku aneh?” Fina bergumam sendiri memandang sosok di depannya.
“Apa aku gila?” Nada bicaranya begitu dingin. Sangat mengiris hati jika didengar langsung oleh telinga. Tatapannya sayu. Siapapun yang melihatnya, pasti akan merasa iba.
Suara dua orang yang sedang mengobrol terdengar sayup-sayup.Perlahan suaranya semakin membesar seperti hendak menuju dimana tempat Fina berada. Fina cepat-cepat memasang kembali jiwanya, seolah beberapa detik lalu hanya ada kehampaan yang mengisi raganya.
Ia mencuci mukanya. Sensasi dingin meresap ke pori-pori wajahnya. Dua orang sumber suara tadi tiba di dalam toilet. Salah satu masuk ke bilik, satunya lagi menunggu di samping Fina, merapikan rambutnya di hadapan cermin. Fina meninggalkan tempat itu. Napasnya kembali tersenggal.
Bel pulang sekolah berbunyi. Siswa-siswi berhamburan. Rasanya, Fina ingin langsung tiba di rumah tanpa perlu melewati gerombolan manusia. Kebiasaannya adalah, dia selalu menunggu di kelas dengan membaca buku hingga keadaan sekolah sudah cukup sepi dan ia bisa pulang tanpa kecemasan. Teman sebangkunya sudah hafal ritual Fina, jadi ia tak perlu bertanya lagi kenapa Fina tak juga bangkit dari kursinya. Fina tak begitu dekat dengan teman sebangkunya. Bahkan mereka jarang mengobrol.
Fina meregangkan sedikit lehernya sebelum ia membuka bukunya. Lehernya terasa kaku karena sepanjang hari otot-ototnya bekerja begitu aktif. Fina memutarkan kepalanya. Setelah dirasa enakan, ia langsung menyambar buku bacaan yang sudah ada di mejanya.
30 menit sepertinya dirasa cukup. Keadaan sekolah sudah mulai kondusif. Fina menutup bukunya. Ia berjalan keluar kelas. Kecemasannya sedang dalam kontrolnya. Tetapi, diagramnnya bisa naik dan turun kapan saja.
Di koridor yang sudah lumayan sepi, kaki Fina mengerem di depan sebuah kunci motor dengan gantungan hamburger yang tergeletak sembarangan di lantai. Sepertinya seseorang menjatuhkannya tanpa sadar. Fina mengambil kunci motor itu. Wajahnya tak memberi ekspresi apapun. Tetap datar. Tak ada raut kebingungan atau sejenisnya.
Saat ia sedang mengamati kunci motor itu, terlebih pada gantungannya yang sangat menarik perhatiannya, tiba-tiba suara berat seseorang menyahut.
“Nah, itu dia hamburger gue,” terang cowok itu. Cowok tampan berbadan atletis dengan tubuh tinggi dan kulit putih. Perawakannya seperti anak orang kaya yang berasal dari kota besar. Sangat terurus. Ya, benar. Bapaknya seorang pengusaha sukses. Pantas saja.
Cowok itu mendekati Fina dengan mata berbinar. Pandangannya tertuju pada benda yang dipegang Fina. Ia merebut benda miliknya dari tangan Fina dengan senyum yang merekah, membuat aura ketampanannya semakin memancar.
“Thanks, ya...” Cowok itu memberikan senyum terbaiknya.
Fina tak tahu harus bersikap seperti apa. Yang ia tahu, ia tak mau punya urusan dengan orang-lain.
Fina masih mematung di tempatnya. Sedangkan cowok itu sudah menyebutkan namanya. “Win,” katanya menjulurkan tangan, mengajak berkenalan. Nama yang bagus. Sesuai dengan penampakannya.
Fina hanya membalas dengan senyuman kaku. Hanya sebagai formalitas. Tangan cowok itu dianggurkan. Ia berjalan melewati tubuh bagus cowok itu, meninggalkannya.
Win tampak menahan malu mengetahui uluran tangannya di tolak mentah-mentah. Ia mengepalkan tangannya, sedikit kecewa. Win berbalik menyusul cewek itu dengan berlari kecil.
“Hey... Mau gue antar pulang? Sebagai tanda terima-kasih udah nemuin hamburger gue.” Hamburger yang dimaksud adalah kunci motornya. Kini, langkah mereka berjalan beriringan.
“Gak perlu, makasih.” Fina menolak. Berusaha sesopan mungkin. Hatinya tak pernah nyaman jika di dekati dengan orang asing. Apalagi cowok. Lebih-lebih cowok yang penampakannya sempurna seperti yang baru saja mendatanginya. Ia merasa minder.
Kedua kalinya Win mendapat penolakan dari Fina. Ia harus menelan bulat-bulat kenyataan itu. “Oke...,” katanya pasrah.
Win yang sudah mengenakan jaket hitam bomber karena berencana ingin pulang, sengaja memperlambat langkahnya, membiarkan Fina berjalan sendiri. Cewek itu nampak tak suka dengan kehadiranntya. Begitu pikirnya. Win melirik ke kaca jendela kelas, bercermin. Apa dia kurang ganteng? Batinnya berkata begitu.
Akhirnya Fina tiba di rumah. Rasanya lega sekali. Beban yang dipikulnya seakan mencair dalam sekejap. Akhirnya ia bisa bernapas dengan mulus dalam waktu yang lama. Pegal-pegal di sekitar lehernya pun dalam 5 menit kedepan diperkirakan akan lenyap.
Fina membanting tubuhnya ke kasur. Menatap atap kamarnya. Hari yang berat. Tapi ia telah berhasil melewatinya. Seperti hari-hari sebelumnya yang telah berlalu. Sekarang ia ingin memperbarui ulang semua sistem tubuhnya. Otot-ototnya, pikirannya dan seluruh inderanya.
Fina menyetel musik relaxing dari ponselnya. Alunan indah dari permainan piano memberikannya kedamaian. Ia taruh benda itu tepat di samping tubuhnya. Ini merupakan ritual Fina yang selalu ia lakukan ketika jiwa raganya sedang berantakan. Rasanya, seluruh tubuhnya terprogram ulang. Cara jitu ini disebut meditasi.
Fina memejamkan matanya. Fokusnya tertuju pada dentuman piano yang membawanya tenggelam ke alam bawah sadar. Seluruh tubuhnya, sedikit demi sedikit menerima energi baru. Kalau kata band Banda Naira; yang patah tumbuh, yang hilang berganti.
...***...
Seorang Pria tampan berusia sekitar 23 tahunan turun dari mobil Avanza silver di sebuah rumah sakit di Ibu Kota. Pria itu tampak penuh wibawa dengan tubuh terbalut jazz putih. Dia adalah seorang dokter? Auranya terpancar sangat kuat. Kriteria pria bijaksana, berpendidikan, mandiri bisa dilihat hanya dari penampilannya.
Pria itu berjalan menyusuri rumah sakit. Satu tangannya tersembunyi di balik kantong celananya, membuat pesonanya semakin berhamburan. Beberapa pengunjung rumah sakit mengulas senyum terbaiknya, menyapa dokter tampan itu. Sang dokter tersenyum balik. Ramah sekali. Senyumnya meneduhkan. Sebuah senyum yang bisa membawa ketentraman dan perdamaian. Suster-suster di sana tak mau kalah. Ikut-ikutan menyapa. Beberapa darinya menyebutkan nama. Sok dekat.
“Siang, Dokter Gerald”
“Siang, suster-suster.” Gerald balik menyapa.
Pria itu memasuki lift. Naik ke lantai 8, letak kantornya berada. Senyumnya masih mengembang di bibirnya, menyapa orang-orang di dalam lift. Ia tak pelit akan itu. Padahal andai senyumnya itu dibanderol harga, pastilah nominalnya sangat mahal.
Lift terbuka. Tiba di lantai 8. Gerald bergegas keluar. Tiba-tiba langkahnya terhenti sejenak. Senyumnya menghilang dalam sekejap. Tak sengaja ia dapati seorang anak kecil perempuan manis sedang memainkan pesawat kertas yang di lipat-lipat. Gerald memandang pesawat mainan yang dilayangkan ke udara oleh anak itu. Ia teringat sebuah kenangan. Pastilah kenangan itu sangat berarti baginya sampai dunianya rasanya berhenti sejenak untuk beberapa detik. Gerald kembali memasang senyumnya, Langkahnya berlanjut, memasuki ruangannya. Di badan pintu ruangan itu tertera sebuah papan nama. “Ruang psikologi”. Pria dengan aura baik itu adalah seorang psikolog?
***
Langit gelap seperti kanvas yang ditumpahkan warna hitam. Bintik-bintik cahaya dari bintang-bintang berhamburan. Bulan menggantung di tengah pasukan bintang.
“Drrrt...,” sebuah dering memecahkan lengangnya ruangan. Sedikit memalukan mengetahui dering tersebut berasal dari dalam perut Fina.
Fina cemberut. Melihati perutnya yang mengomel meminta makanan. Malam hari memang waktu paling menggoda untuk mengemil. Tetapi sayangnya, di kulkasnya tak ada sesuatu yang bisa ia makan. Stok makanannya sudah habis. Fina harus sedikit menantang dirinya untuk keluar membeli makanan di supermarket, jika dia memang ingin memanjakan perutnya. Untuk orang dengan kecemasan sosial sepertinya, perlu perjuangan untuk sekedar ke supermarket.
Fina menyambar hoodie berwarna pink yang mengantung lembut di dinding kamarnya. Warna pink adalah warna kesukaannya. Dia memang sangat feminim.
Fina berjalan keluar rumah dengan kumpluk di kepalanya. Sudah seperti pengintai. Udara segar malam hari menyambutnya. Fina masih bisa menikmati suasana saat ini. Sebelum kecemasannya datang dan ia mendadak lupa cara bernapas.
Fina tak mau berlama-lama di supermarket. Ia langsung memasukkan makanan-makanan kemasan yang sudah dicatat di otaknya sejak masih di rumah ke dalam keranjang. Fina bergegas menuju kasir. Mengantri. Tubuhnya mulai kaku. Gilirannya tiba. Ia mengeluarkan semua barang belanjaannya ke meja kasir dengan gugup. Wajahnya tertunduk, tak kuasa menatap Mbak Kasir meski sesama perempuan dan ia tak mengenalnya.
“Ada lagi?” tanyanya.
“Enggak, Mbak.” Fina menjawab secukupnya dengan ekspresi kaku. Mbak Kasir berlanjut dengan menawarkan produk diskonan. Fina menjawab masih dengan jawaban yang sama.
Setelah melakukan transaksi pembayaran, Fina dengan gerakan cepat balik kanan dan--
Brak!!!
Belanjaannya di dalam tote-bag terurai berantakan di lantai. Ia menabrak seorang cowok yang mengantri tepat di belakangnya.
“Sorry.. Sory...” Cowok itu meminta maaf. Padahal jelas itu kesalahan Fina yang terburu-buru dan tak melihat dengan baik lantaran kumpluk yang menghalangi matanya.
Fina melepaskan kupluk sialan dari kepalanya itu dan memungut barang-barang belanjaannya di lantai. Cowok itu ikut membantu. Antrian berikutnya maju lebih dulu, mengambil giliran orang yang Fina tabrak.
“Gak pa-pa.” Fina memasukkan barang-barangnya kembali ke dalam tote-bag. Ia mendongak, menatap orang yang baru saja ditabraknya. Alangkah terkejutnya ia mengetahui kalau orang itu adalah orang yang sama yang ia temui di sekolah kemarin sore. Win.
“Elo?” Win sama terkejutnya. Pertanda apakah mereka dipertemukan lagi di sini.
Fina membisu.
“Si-si Hamburger.” Win nampaknya bisa membaca kebingungan Fina meskipun cewek itu hanya menunjukkan tampang datar. Ia menunjuk-nunjuk dirinya sendiri, mencoba mengingatkan Fina dengan kejadian di sekolah kemarin sore.
Fina ingat. Cowok itu tampak lebih tampan dengan pakaian santai dari saat mereka bertemu di sekolah. Sederhana. Hanya menggunakan crewneck dan celana pendek. Tetapi, entah mengapa pakaian sederhananya itu membuat pesonanya semakin memikat.
Fina masih dengan prinsipnya, yaitu bersikap apatis. Setelah mengangkut semua barang belanjaannya, ia langsung bergegas pergi dengan hanya meninggalkan satu kata singkat. “Makasih.” Maksudnya, makasih karena Win sudah membantu merapikan barang-barangnya.
Win yang melihat Fina pergi begitu saja kali ini tak mau hanya diam. Win tak mengerti mengapa cewek itu tampak menghindar darinya? Apa ada yang salah dari Win?
Win yang tadinya berniat membeli minuman kaleng, mengurungkan niatnya, menaruh kembali minuman itu dengan asal di meja kasir dan mengejer Fina sebelum ia kehilangan jejaknya.
“Apa yang salah dari gue?” tanya Win membuat gerakan kaki Fina terhenti. Napas cowok itu memburu, kelelahan mengejarnya.
“Apa gue terlalu sok-asik sampai mengusik lo?” Win berkata lantang pada Fina yang berjarak 4 meter di depannya.
“Lo yang nemuin kunci motor gue. Walaupun gue tahu itu gak sengaja. Apa berlebihan kalo gue pengen mengenal lo?” sambungnya lagi.
Seperkian detik hening. Suara angin menderu. Fina bungkam sesaat. Merenung. Mercerna perkataan Win baik-baik. Lalu, akhirnya ia angkat bicara, memecahkan keheningan.
“Kita udah gak punya urusan lagi.” Hanya itu balasan Fina. Singkat. Padat. Jelas. Menohok.
Fina meninggalkan Win yang masih terpaku di jalanan lengang. Cowok menghembuskan napas kasar mendengar kalimat yang dikeluarkan Fina barusan.
***
SMA Bina Antaraga sedang memasuki jam istirahat untuk kelas 12. Kantin seperti biasanya selalu ramai. Para pedagang banjir rezeki. Kursi-meja dihuni tanpa sisa. Salah satu meja ditempati oleh Win dan gengnya. Hingar-bingar semakin terasa karena adanya mereka.
“Lo liat cewek yang di sana? Gila cakep banget. Cantik, badannya bagus, kulitnya mulus.” Dery berbisik pada Hersa sembari menunjuk salah satu adik kelas mereka yang mengantri membeli makanan. Tak sopan memang, asal tunjuk begitu saya. Diantara teman-teman Win yang lain, Dery yang paling genit soal cewek. Mata keranjang. Playboy. Apapun sebutannya, itulah Dery. Padahal, dia sudah punya cewek. Dia sangat beruntung mendapatkan tipikal cewek penyabar seperti pacarnya saat ini.
“Serah lo. Gue gak mau punya masalah sama Letta.” Hersa acuh. Nada bicara cowok itu terkenal dingin dan datar. Dia teman Win yang paling pendiam dan tak suka cari masalah. Sedangkan Letta, itu nama pacarnya.
“Cewek mulu bahasannya! Gue bilangin pacar-pacar kalian baru tau rasa!” Ahdan mencelutuk. Dia adalah anggota terakhir di komplotan mereka. Cowok berkulit coklat yang sebenarnya kalau dilihat-lihat masih ada sisi manisnya. Seperti Win, dia masih jomblo. Tapi, Win tak selama Ahdan menjomblo. Ahdan terakhir pacaran sejak saat SMP. Dan itupun hanya bertahan satu minggu.
“Sirik aja lu, Mblo! Makanya, cari pacar! Si Bando Kuning kan ada tuh.” Dery menunjuk cewek yang mengenakan bando kuning dengan dagunya yang sedang duduk di meja seberang tepat di belakang punggung Ahdan.
Si Bando Kuning adalah sebutan untuk Yola. Anak IPS-2 yang selalu menggunkan bando berwarna kuning. Dia punya banyak koleksi bando, semuanya warna kuning. Dia terobsesi dengan warna kuning. Kartun favoritnya adalah Spongebob. Buah favoritnya adalah nanas. Semua yang berwarna kuning, dia suka.
Ahdan menoleh ke belakang, ke arah si Bando Kuning. “Idih, ogah! Mending gue jomblo. Daripada nanti gue tinggal di rumah nanas Spongebob.” Celetuk Ahdan yang tanpa sadar suaranya masuk ke telinga Yola.
Yola menghembuskan kepulan napas menyerupai asap seperti banteng, mendengar ada yang membicarakannya. “Eh Sawo! Kalo mau ngomongin orang tuh liat-liat dulu! Lantang suara lo sama jarak lo ke dia sinkron, kagak?! Lo kira gue budeg, hah?!” semprot Yola nyaring. Cewek itu kalo bicara memang selalu ketus. Apalagi kalau marah. Karakternya yang berisik, banyak omong dan kasar sudah menjadi ciri khasnya.
“Lo kalo ngomong ngaca dulu! Jarak 2 meter ngomong kayak ke orang jarak 10 meter.” Ahdan tak mau kalah. Bersungut-sungut.
“Biarin! Lagian, ya. Mana mau gue tinggal seatap sama lo, Sawo... Sawo...,” ucap Yola mengungkit kembali prihal rumah nanas Spongebob. Sawo itu adalah ejekan khusus yang dibuat Yola untuk Ahdan. Karena kulit Ahdan berwarna sawo matang. Secara tak sadar, mereka sudah melakukan hal romantis, karena sudah saling memberikan nama panggilan.
“Nah loh, ribut... ribut...” Derry mengompori.
Di suasana yang bising ini, isi kepala Win justru terasa kosong melompong. Hanya ada satu orang yang menempati ‘ruangan’ itu. Fina. Entah mengapa, Win selalu memikirkan cewek itu. Tumbuh goresan di hatinya ketika ucapan Fina kemarin malam terputar kembali di kepalanya. Kita udah gak punya urusan lagi.
“Win, are you OK?” tanya Hersa yang duduk tepat di sebelahnya. Teman satunya itu nampak bisa menebak ada benang-benang kusut yang memenuhi kepalanya. Dari tadi Win tak terdengar suaranya. Hamburger yang ia pesan pun hanya digigit satu kali dan sisanya dijadikan bahan tontonan. Padahal kalau soal hamburger, Win bisa menghambiskannya hanya dengan dua-tiga gigitan.
Win tersadar dari lamunannya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, seperti orang baru bangun dari mimpi. “Im OK.” Win menggigit kembali hamburgernya yang sudah mulai dingin. Hersa menepuk-nepuk pundak Win. Sedangkan kedua temannya yang lain masih sibuk adu mulut dengan kubu sebelah.
Win menyadari kenyataan baru setelah terpekur memikirkan Fina beberapa detik lalu. Mulai dari perasaan ingin terus bertemu cewek itu, perasaan tak sesak pada saat cewek itu mencampakinya, bayang-bayang wajah cewek itu yang selalu muncul di kepalanya, sepertinya dapat disimpulkan bahwa Win sedang jatuh hati padanya.
Gak ada urusan lagi? Ada. Karena sekarang gue suka sama lo. Dan itu menjadi urusan gue. Kalau gue suka, gue harus dapatin. Win membatin, seolah membalas ucapan Fina kemarin malam.
***
Seperti yang Win katakan, kalau ia suka, ia harus mendapatkannya. Artinya, Win akan terus mengejar Fina hingga ia menggapainya. Win sudah kepalang jatuh cinta.
Sepulang sekolah, Win kembali ke tempat pertemuanya dengan Fina. Tempat kunci motor dengan gantungan hamburgernya ditemukan oleh cewek itu. Koridor. Tepatnya sebelum tangga naik dan di depan ruangan laboratorium.
Siswa-siswi berlalu. Ini sudah 15 menit sejak bel pulang dibunyikan, namun cewek yang Win nantikan tak kunjung melintas. Win sudah mulai lelah. Apa Fina tidak melalui jalan ini? Mungkin saja ia mengambil jalan lain untuk tiba di gerbang sekolah. Sekolah mereka luas sekali.
Win melirik jam di tangannya. Duduk lemas di tangga sembari menopang pipi. Wajahnya nampak mengantuk, tapi ia terus memaksa melotot, memasang tatapan jeli, tak melewatkan satu siswi pun yang berlalu.
Win memutuskan untuk menunggu sekitar 10 menit lagi. Ia tak peduli meskipun sejak tadi orang-orang yang melintas melihatinya ganjil yang sedang duduk melamun sendirian di anak tangga.
Win menahan kantuknya. Ia mendongak, Matanya yang mulai menghilang ia picingkan tatkala seorang cewek melintas menjinjing tote-bag berwarna putih-Anak jaman sekarang tak menggunakan tas gengdong untuk sekolah-Bukankah itu si Penemu Kunci motornya? Win buru-buru membenarkan posisi tubuhnya dan langsung mengejar cewek tersebut.
Win menahan pergelangan tangan cewek itu. Membuatnya tertahan. Cewek itu menoleh ke belakang. Win menguap, menunjukkan betapa lamanya ia menunggu cewek itu di sini. Wajah mengantuknya terlihat kentara. Menyerupai orang mabuk.
Fina menautkan alisnya. Mau apa lagi dia? Bukankah sudah Fina katakan kalau ia tak punya urusan dengannya.
Win rupanya tak salah orang. Cewek itu benar-benar Fina. Meskipun matanya tersisa segaris karena mengantuk, tetapi ia tak pernah keliru akan rupa cewek itu.
“Kenapa lama banget, sih?” protes Win seolah mereka benar-benar punya urusan sekarang. Cowok itu sudah kembali berenergi. Matanya sudah kembali utuh.
Win tak tahu sama sekali soal ritual sepulang sekolah Fina yang ia lakukan setiap hari. Ia jadi menunggu 30 menit pasca kepulangan mereka.
“Bukan urusan lo.” Fina berkata seperti biasanya, singkat tapi menyakitkan. Ia mencoba melepaskan cengkraman tangan Win yang menghambatnya.
Fina kembali melangkah, mencoba menghindar. Tetapi tiba-tiba Win mendahuinya dan merentangngkan tangannya di hadapannya.
“Gak boleh!” larang Win mentah-mentah.
Fina semakin heran melihat aksi Win. Siapa dia melarang-larangnya?
“Minggir,” Fina mencoba mengambil langkah ke sisi kanan, namun Win menggeser tubuhnya mengikuti pergerakan Fina.
“GAK!” tegasnya. “Gue udah di sini selama 30 menit cuma buat nunggu lo, dan lo mau pergi gitu aja?”
“Gak ada yang nyuruh!” Fina tak peduli dengan perkataan Win.
Fina bergerak ke sisi kiri, namun lagi-lagi Win menghalanginya. Fina mulai kelelahan menanggapi sikap cowok itu yang kekanak-kanakan.
“OK, sekarang mau lo apa?” Fina menghembuskan napas gusar.
“Gue mau lo pulang bareng gue!” Win semakin melunjak.
Tentu saja Fina menolak. Ia menghadang rentangan tangan cowok itu dengan paksa, membuat Win nyaris kehilangan keseimbangan. “Bangun!”
Win kehilangan cewek itu. Ia harus menerima kenyataan kalau ia diabaikan lagi. Dia gagal lagi. Win merasa tak ada harapan. Tapi, ini Win. Dia tak punya kata menyerah dalam kamus hidupnya. Win akan mencoba lagi. Suatu saat, Fina akan luluh kepadanya! Win menjamin.
***
Kelas XII IPA-1-kelas Win-sedang memasuki pelajaran bimbingan konseling. Untuk anak-anak SMA, biasanya Bimbingan Konseling menjadi pelajaran yang paling tak disegani oleh cowok-cowok. Tapi, entah mengapa, untuk hari ini telinga Win terpasang dengan baik mendengarkan penerangan gurunya.
“Biasanya, orang-orang yang sedang mengalami masa-masa sulit dalam hidupnya, akan diterpa krisis kepercayaan diri. Seperti menarik diri dari keramaian, enggan bersosialisasi dan mereka sering menghabiskan waktunya di tempat-tempat sepi untuk berdamai dengan dirinya sendiri,” tutur Bu Risma dengan suara lembutnya.
Entah mengapa, yang ada di pikiran Win saat ini adalah Fina. Menarik diri dari keramaian? Enggan bersosialisasi? Dan tempat sepi? Ketiganya sangat menggambarkan karakter Fina yang tak pernah ia temui di kantin dan selalu menghindar untuk berkomunikasi dengannya. Bagaimana kalau Fina menjauhinya bukan tanpa alasan? Bagaimana kalau hari-harinya belakangan sedang terasa berat? Otak Win meng-kringting. Pikirannya bercabang.
Mereka sering menghabiskan waktunya di tempat-tempat sepi untuk berdamai dengan dirinya sendiri.
Otak Win terus dihantui kalimat Bu Risma bagian itu. Tempat sepi. Satu hal yang ada di kepala Win ketika mendengar tempat sepi di sekolahnya adalah rooftop.
Bimbingan konseling berakhir. Pelajaran selanjutnya adalah Matematika. Win cupu dalam bidang tersebut. Dia memutuskan untuk bolos dan angkat kaki dari kelas sebelum guru matematikanya datang. Kemana lagi Win akan menuju selain rooftop? Win akan memastikan apakah dugaannya benar, atau ia hanya menolak kenyataan kalau ada satu cewek yang tak terpikat olehnya.
Win melangkah menaiki anak tangga, satu demi satu. Ia tiba di rooftop.Win sedikit terkejut, dugaannya benar. Seorang cewek berdiri di sana. Menatap pemandangan perkampungan dari atas gedung sekolah. Berdiri tegak. Anak-anak rambutnya menari-nari terbawa angin.
Win melangkah mendekati Fina. Fina nampaknya sadar ada suara langkah kaki mendekatinya. Ketenangannya terusik. Fina membalikkan badan. Mereka berdua saling berpandangan.
Seperti biasa, wajahnya selalu tak suka tiap kali melihat Win menguntitnya. Ia sudah mengambil ancang-ancang untuk menghindar. Win masih bungkam memandang cewek di depan matanya. Mencerna kembali perkataan Bu Risma saat di kelas. Tentu keberadaan Fina di sini bukanlah kebetulan belaka.
Fina berjalan menyalip tubuh Win, hendak meninggalkan rooftop. Namun Win langsung menahan pergelangan tangannya, membuat langkah Fina terhenti.
“Kalo lo jawab pertanyaan gue, gue gak akan ganggu lo lagi. Kenapa lo selalu menghindar?” tanya Win dengan serius. Instingnya berkata ada hal yang Fina sembunyikan darinya.
Seperkian detik lengang. Suara angin menelisik. Kedua wajah mereka sama-sama datar. Tak ada lelucon untuk saat ini. Win masih mengunci erat tangan Fina. Mereka saling membelakangi.
“Lebih baik menghindar, sebelum hilang.” Fina akhirnya menjawab pertanyaan Win yang selalu dia lontarkan kepadanya.
Cewek itu menghempaskan tangannya ke udara, melepaskan cengkraman Win. Win membiarkan Fina pergi. Win masih terpekur di tempat. Sendirian, dilanda kebingungan. Selang beberapa detik, sifat kekanak-kanakannya kembali muncul.
Win memberantaki rambutnya dengan frustasi, merengek. Ia tak bisa menangkap maksud cewek itu. Lebih baik menghindar, sebelum hilang. Mengapa harus puitis sekali? Metafora, atau apalah itu, otak Win tak sanggaup mencernanya. Nilai Bahasa Indonesia dia memprihatikan. Win sudah bertaruh untuk tidak mengganggunya lagi, tetapi kenapa jawabannya harus semacam itu?
...***...
30 menit berlalu sejak jam pulang sekolah untuk kelas 12. Fina baru saja keluar dari gerbang. Ia tak pernah melupakan ritual itu: Menunggu di kelas sampai sekolah senyap demi menghindari guncangan di tubuhnya.
Ojek online yang telah di pesannya berhenti di depannya. Abangnya menyebutkan nama, memastikan tak salah ambil penumpang. Fina mengangguk, lanjut mengambil helm yang di sodorkan abang tersebut.
Ojek tersebut melesat dengan kecepatan sewajarnya, membiarkan penumpang menikmati udara sore hari yang kebetulan sedang tak banyak polusi. Si pengemudinya seolah sudah punya prediksi kalau Fina sedang tidak di kejar waktu. Roda motor itu begitu santai meliuk-liuk.
Abang Ojek mengambil sisi kiri, karena selanjutnya ia akan mengambil rute kiri di perempatan jalan. Lampu merah menyala. Kendaraan terpaksa berhenti. Beraris rapi. Hening tanpa suara klakson, seolah para pengemudinya sudah mengerti.
Di trotoar jalan, ada seseorang yang menyodorkan brosur ke arah Fina. Fina meraihnya. Fina membaca isi brosur itu. Akan diselenggarakan sebuah penyuluhan bertema: Generasi Sehat Mental di salah satu Mal.
Fina membalikkan kertas tahan air itu. Memandangnya tanpa bereaksi apapun. Wajahnya datar seperti biasa. Acara itu dibuka untuk umum. Siapapun boleh menghadirinya. Bintang tamunya Dokter Psikolog muda berprestasi lulusan studi di Australia. Cukup terkenal di kalangan anak muda karena ketampanannya. Mereka menyebutnya Si Dokter Tampan. Di bagian bawah sisi kiri brosur tersebut terpampang foto dokter tersebut, seharusnya Fina mengerti mengapa julukan itu di berikan kepadanya.
Fina terus menggenggam brosur dengan foto si Dokter Tampan itu sampai ke rumah.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!