Afifah membuka mata, rasa pusing menyergap kepala nya karena tiba-tiba mendengar suara yang tak seharusnya ada. Afifah mencoba mengumpulkan lagi kesadarannya. Menyingkirkan rasa pusing yang membuatnya enggan bergerak.
Afifah memijit lipisnya untuk membuat nyeri di kepala berkurang. Ia mencoba bangun, pandangannya serasa kabur. Suara lenguhan panjang itu terdengar lagi. Wanita cantik berusai 26tahun itu mencoba menajamkan pendengarannya lagi.
"Uuuhhh.... Aaahhhh....."
Itu bukan lagi suara lenguhan, tapi Desssahan seorang wanita bersahutan dengan suara samar seorang pria. Afifah mengumpulkan lagi kesadarannya. Memastikan suara itu sungguhan suara manusia. Dalam pikirannya yang kalut dan takut, Afifah justru memikirkan pasal hantu. Apalagi, tiba-tiba terbangun di tengah malam seperti ini.
Tubuh Afifah bergidik ngeri, membayangkan sehantu kuntilanak di rumahnya yang tak begitu besar itu. Afifah menajamkan lagi pendengarnya.
Suara Desssahan itu berasal dari kamar sebelah, yakni kamar milik Putri, adik iparnya. Yaa, Afifah memang tinggal di sebuah kota Semarang. Bersama sang suami bernama Arga dan adiknya putri. Putri yang masih kuliah memutuskan tinggal seatap dengan Afifah dan Arga demi menghemat biaya.
Afifah tak masalah, melihat seberapa sayang dan dekatnya Putri dengan kakaknya. Walau terkadang timbul rasa cemburu karena melihat kedekatan kakak beradik Itu. Tapi apalah daya, Afifah harus terus memaklumi. Karena mereka memang kakak beradik.
Afifah yang ketakutan saat itu mulai memberanikan diri turun dari ranjangnya. mengesampingkan rasa pusing yang mebdera. Ia berjalan perlahan menuju pintu kamar. Dengan dada yang dah Dig dug, Afifah menyentuh handel pintu, menekannya ke bawah menarik pintu agar terbuka.
"Bismillahirrahmanirrahim.." gumam Afifah dalam hati. Memberanikan diri untuk mencoba keluar untuk melihat keadaan.
Afifah takut, namun, ia harus lakukan. Karena ialah orang tertua di sini. Ya, malam itu, Afifah memang hanya berdua dengan putri. Lantaran Arga sang suami sedang dinas malam di pabrik tempatnya bekerja.
Afifah melongok melihat dari celah pintu kamarnya. Menyapukan pandangan matanya ke setiap sudut ruang yang remang oleh minimnya pencahayaan. Afifah menelan ludahnya kasar. Lalu membulatkan tekat melangkah keluar dari kamarnya. Berjingkat dan menempelkan telinga di daun pintu kamar Putri.
Suara dessaahan itu makin terdengar jelas setalah sempat tak terdengar tadi. Jantung Afifah berdetak kencang. Tiba-tiba tubuhnya serasa lemas dan kaku.
"Janggaaann... Aaaahhh...."
Suara dessahaan itu semakin membuat Afifah di Landa kebingunan. Pikiran-pikiran buruk terus berkelana di kelapanya.
"Putri... Apa yang terjadi? Siapa yang berada di kamarnya? Kenapa dia mendessaah seperti seorang yang sedang bercinta? Tidak mungkin..."
Afifah makin di buat ketakutan. Afifah memeluk tubuuhnya sendiri. "Apa yang harus kulakukan?"
Afifah kembali mendengar suara putri. Merasa iba dan berpikir jika seseorang sedang melecehkan adik iparnya. Afifah bergerak dengan sendirinya, berjalan ke dapur dan asal menyaut teplon yang tergantung lalu membawa ke kamar putri.
Afifah harus bersiap dan menyelamatkan putri."maling! Pasti ada maling yang menyusup. Kurang ajar sekali!"
Afifah bergumam pelan dengan diliputi rasa marah dan takut bersamaan. Namun, keinginannya menyelamatkan putri saat itu lebih besar.
"Putri! Semoga masih sempat..."
Afifah membuka kasar pintu kamar putri, Afifah mengangkat telponnya tinggi-tinggi. Amarah di dadanya melihat siluet seorang pria yang sedang memompa tubuh wanita di atas ranjang. Tangan Afifah bergerak secara reflek menekan saklar di samping pintu.
"Astaghfirullah!!"
Mata Afifah membelalak sempurna melihat apa yang ada di depan matanya...
Kedua tersangka dalam pergumulan itu langsung menoleh ke arah pintu yang tiba-tiba terbuka dengan lampu yang juga menyala. Sontak pria dan wanita itu langsung mencari kain untuk menutupi tubuh polos mereka dari Afifah.
Prang! Teplon yang ada di tangan Afifah pun langsung jatuh ke lantai dan menimbulkan bunyi kencang yang dramatis di tengah-tengah kehancuran hati Afifah. Niat hati ingin memukul pencuri, tapi yang didapatkan oleh Afifah justru pemandangan yang begitu menyayat hati.
"Sial!" geram sang pria dengan suara lirih. Terbongkar sudah kebusukan yang selama ini disembunyikan oleh Afifah.
Ya, sosok pria dan wanita itu adalah orang-orang yang sangat dikenal oleh Afifah. Sang wanita adalah pemilik kamar tersebut, Putri, dan sang pria yang bergumul dengan putri tak lain ialah suaminya sendiri, Arga.
Tak hanya Afifah saja yang terkejut, kedua tersangka yang dipergoki oleh Afifah juga ikut terguncang. Putri dan Arga yakin, mereka sudah memberikan obat tidur pada Afifah, tapi ternyata wanita itu tidak meminumnya.
Dan sekarang inilah akibatnya! Afifah tidak meminum obat tidur pemberian mereka dan dua pasangan bejat itu tetap melakukan aksi mereka bercinta di rumah yang sama dengan tempat yang ditinggali oleh Afifah.
"MAS ARGA!" pekik Afifah kencang hingga rasanya bangunan rumah kecil yang mereka tempati akan roboh karena teriakan Afifah yang begitu histeris menyaksikan perselingkuhan antara suaminya sendiri dengan sang adik.
"A-afifah?" panggil Arga tergagap dengan wajah gugup di depan sang istri.
Ya, seharusnya pria itu dinas malam hari ini. Tentunya dinas di tempat kerja. Tapi apa yang ditemukan oleh Afifah? Pria itu justru dinas di kamar adik Arga sendiri, Putri.
"Mas Arga sudah gila? Apa yang Mas lakukan di sini?" tanya Afifah dengan manik mata memerah, menahan amarah. Hati wanita mana yang tidak akan meraung saat melihat tubuh suaminya sendiri bertautan dengan gadis yang ternyata adalah adik dari suaminya sendiri. Dengan kata lain, dua manusia bejat itu melakukan hubungan sedarah atau inces.
"Ini yang Mas sebut dengan dinas malam? Dinas di kamar adik Mas sendiri? Apa Mas sudah tidak waras? Lihat lagi siapa gadis yang kamu tiduri Mas! Gadis itu adikmu sendiri, Mas!" pekik Afifah mencoba menyadarkan sang suami yang sudah melewati batas norma masyarakat yang berlaku.
Meniduri adik sendiri? Siapa orang yang tidak akan mengutuk perbuatan bejat seperti itu? Semua orang pasti jijik mendengar hubungan yang sudah melanggar hukum tata krama di masyarakat ini.
Putri dan Arga terdiam sejenak. Mereka sibuk mencari penutup untuk tubuh mereka, sementara Afifah berteriak kencang untuk menyadarkan kakak beradik yang sudah kehilangan akal sehat itu.
"Menjijikkan! Kalian masih manusia, kan? Apa kalian hewan? Sebejat apa pun kamu, seharusnya kamu memilih lagi wanita yang akan kamu tiduri, Mas!" pekik Afifah sembari memukul-mukul bahu sang suami yang membungkam mulut rapat-rapat.
"Singkirkan tangan kamu dari Mas Arga!" sentak Putri mulai membuka suara.
Bukannya merasa bersalah dan malu di depan Afifah karena sudah ketahuan berselingkuh dengan Arga, Putri justru berani meninggikan suara di depan Afifah. Tangis Afifah pun makin kencang. Bukan hanya tangis kesedihan yang ia luapkan, tapi juga tangis yang bercampur dengan kemarahan.
"Kamu benar-benar tidak tahu malu, ya? Kamu tidak terima aku menyentuh suamiku sendiri? Ini suamiku, Putri! INI SUAMIKU!" sungut Afifah hingga membuat seisi rumah pun penuh dengan suara teriakan Afifah.
"Tidak tahu malu? Siapa yang tidak tahu malu di sini? Kamu atau aku? Siapa yang lebih dulu mengenal Mas Arga? Aku atau kamu? Siapa yang lebih dulu berhubungan dengan Mas Arga? Kamu pikir hubunganku dengan Mas Arga baru terjalin satu-dua hari ini saja?" cetus Putri begitu teganya menguak fakta pahit yang begitu menusuk ke hati Afifah.
Bangkai busuk yang selama ini terpendam rapat akhirnya diungkap sendiri oleh sang pelaku. Sudah pasti hubungan Putri dan Arga telah terjalin lama, hingga kakak beradik itu berani melaju hingga hubungan ranjang tanpa mempedulikan status mereka yang merupakan kakak dan adik kandung yang tumbuh dan dibesarkan di keluarga yang sama.
Keberadaan Afifah sepertinya hanya dianggap angin lalu oleh pasangan tidak waras yang hanya mengedepankan napsu itu. Wanita itu ternyata sudah dibodoh-bodohi oleh suami dan juga adik iparnya sendiri selama ini.
"Dengarkan aku dulu, Afifah!" ujar Arga mencoba menenangkan dua wanita yang berteriak memperebutkan dirinya.
"Dengar apa, Mas? Kamu pikir aku bisa berpikir jernih sekarang? Kamu pikir aku bisa tenang saat aku melihat suamiku enak-enak dan bersama dengan wanita lain di dalam kamar? Di mana otak kamu, Mas? Aku tidur di ruangan sebelah dan di ruangan ini ... kamu bercinta dengan wanita lain?" omel Afifah tak habis pikir dengan suaminya yang sudah tertangkap basah, tapi masih mencoba mencari pembenaran dan tak memperlihatkan penyesalan sedikitpun di depan wanita yang sudah dikhianati.
"Afifah, tenang dulu! Berikan aku kesempatan untuk berbicara! Jangan asal menuduh dan berteriak seperti ini kalau kamu belum tahu cerita jelasnya!" pinta Arga. Arga masih berusaha bersikap lembut pada Afifah, tapi sepertinya Putri tak ingin lagi berpura-pura di depan kakak ipar yang sudah merebut pria yang ia cintai itu.
"Cerita jelas apa? Cerita jelas tentang hubungan terlarang yang kalian lakukan? Kamu pikir aku sudi mendengarnya?" timpal Afifah.
"Hei! Kamu pikir kamu manusia paling suci, hah?" sahut Putri.
"DIAM KAMU, ANAK KECIL! AKU SEDANG BERBICARA DENGAN SUAMIKU!" sentak Afifah pada Putri.
"Apa hakmu berteriak padaku? Kamu hanya wanita yang digunakan untuk menutupi hubunganku dan Mas Arga! Hanya karena selembar kertas yang menuliskan status kamu sebagai istri Mas Arga, kamu sudah merasa hebat? Kamu sudah merasa memiliki pangkat lebih tinggi dariku?" balas Putri dengan beraninya pada kakak ipar yang lebih tua darinya.
"Urat malu kamu sudah putus, ya?" sinis Afifah pada sang adik ipar.
"Cukup, Afifah! Sudah malam! Apa kamu tidak malu berteriak dan membuat keributan seperti ini?" omel Arga.
Astaga! Seharusnya merekalah yang lebih malu dengan perbuatan mereka. Namun, apa yang terjadi di sini? Justru mereka melakukan pembelaan dengan menyalahkan sikap Afifah. Kekecewaan Afifah benar-benar sudah mencapai puncak.
"Dunia pasti sudah gila karena orang-orang seperti kalian! Pria bejat memang cocok dengan wanita bejat!" cetus Afifah sudah telanjur kehilangan kesabaran.
"Jaga mulut kamu, ya!" geram Putri.
"Kamu yang harusnya menjaga kelakuan di sini! Kenapa aku tidak boleh membanggakan statusku? AKULAH ISTRI SAH DI SINI! Tentu pangkatku jauh lebih tinggi dari WANITA PELAKOR seperti kamu!"
Afifah mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Hatinya yang rapuh dibuat hancur seketika oleh sang suami yang begitu ia percaya selama ini.
"Aku kecewa, Mas!"
Dini hari, Afifah, Putri, dan juga Arga duduk di ruang keluarga setelah ketiganya mulai bisa menenangkan diri usai adu mulut yang panjang di antara mereka. Afifah mencoba menghadapi hal ini dengan kepala dingin dan memberikan kesempatan pada Putri dan Arga untuk memberikan penjelasan mengenai hubungan terlarang yang dijalin oleh kakak beradik itu.
"Coba jelaskan! Apa yang sebenarnya terjadi? Aku berhak tahu, kan?" cetus Afifah mulai membuka perbincangan.
Putri terus melirik Afifah dengan tatapan tidak suka, sementara Arga berusaha merangkai kata untuk memberikan penjelasan yang diinginkan oleh Afifah. "Apa saja yang ingin kamu tahu?" tanya Arga.
Afifah menghela napas. Berat rasanya untuk mengorek hubungan gelap antara suaminya dengan sang selingkuhan. Namun, Afifah harus tahu cerita lengkapnya. Bagaimana dan kenapa hal memalukan yang melanggar norma bisa terjadi dan menghancurkan rumah tangganya.
"Sejak kapan Mas berhubungan dengan adik Mas sendiri? Sudah lama? Jauh sebelum Mas mengenalku? Jauh sebelum Mas menikah?" tanya Afifah sembari menahan amarah.
Arga tak bisa mengelak lagi. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah mengungkapkan kebenaran. Toh, Afifah juga sudah telanjur tahu. Lebih baik Arga bongkar saja semuanya di depan Afifah.
"Sudah lama, Afifah. Jauh sebelum aku mengenalmu, aku memang sudah menjalin hubungan istimewa dengan adikku," ungkap Arga.
Hancur! Sakit sekali rasanya saat tahu suami yang ia cintai selama ini ternyata memiliki wanita idaman lain.
Putri melempar senyum penuh kemenangan di depan Afifah. Meskipun nama Afifah yang tercatat di berkas pernikahan bersama Arga, tapi tetap saja hanya nama Putri yang terpatri di hati Arga.
"Apa kubilang? Kamu bukan apa-apa di sini, Mbak! Akulah pemilik hati Mas Arga yang sebenarnya!" ujar Putri tanpa tahu malu di depan istri sah.
"Aku hanya ingin mendengar penjelasan dari suamiku! Sebaiknya kamu diam!" timpal Afifah pada sang adik ipar yang sudah menjadi pelakor dalam rumah tangganya.
"Apa lagi yang ingin Mas katakan? Apa Bunda tahu?" tanya Afifah kembali menahan tangis.
Arga terdiam sejenak begitu ia mendengar Afifah menyinggung Bunda Siti, yang merupakan ibunya dan juga Putri. "Bunda ... tidak tahu!" jawab Arga sembari menggelengkan kepala.
"Aku menutupinya dari Bunda. Tidak mungkin aku mengatakan hal ini pada Bunda," sambungnya.
"Lalu Mas menggunakan pernikahan kita untuk menutupinya? Dan Mas membawa adik Mas tinggal bersama kita agar Mas bisa melanjutkan kelakuan bejat Mas bersama dengan adik Mas?" sungut Afifah sembari menggelengkan kepala. Afifah masih tak percaya, selama ini ia sudah masuk ke dalam perangkap pria laknat yang sudah kehilangan akal sehat dan dimanfaatkan untuk menutupi kelakuan bejat sang suami.
"Kenapa? Tidak terima? Seharusnya akulah yang tidak terima di sini! Kamu sudah menjadi orang ketiga dalam hubunganku dan Mas Arga! Siapa yang seharusnya marah di sini? Aku atau kamu?" sentak Putri pada Afifah.
"Aku menjadi orang ketiga? Aku sudah menyelamatkan kalian dari sanksi sosial, dan kamu menganggap aku sebagai orang ketiga?" tukas Afifah. "Apa semua pelakor memang tidak tahu diri?"
"Siapa yang pelakor di sini? Aku atau kamu?" balas Putri.
"Sudah!" pekik Arga mencoba menenangkan situasi kembali.
Meskipun hatinya tetap tertaut pada Putri, tapi sebenarnya Arga mulai membuka hati untuk Afifah. Setelah satu tahun lamanya membangun bahtera rumah tangga bersama, bohong kalau Arga tidak memiliki rasa sedikitpun pada Afifah. Namun, tentunya rasa cinta Arga ke Putri jauh lebih besar dari rasa cinta Arga ke Afifah.
"Afifah, sekarang kamu sudah tahu semuanya. Aku tidak akan menutupi apa pun lagi darimu," cetus Arga.
"Apa yang kurang dariku, Mas? Kamu sudah menikah denganku, apa kamu tidak bisa menghentikan hubungan terlarang ini dengan adikmu?" tanya Afifah.
"Kamu suami yang baik, Mas. Sejak awal pernikahan kamu selalu memberikan perhatian dan bersikap layaknya seorang suami yang bertanggung jawab di depanku. Kamu penuhi semua kewajibanmu baik nafkah lahir maupun batin. Kamu sudah menjadi suami yang baik, Mas. Tidak bisakah kamu akhiri hubungan gila ini?" tanya Afifah mulai putus asa menghadapi jalan buntu di pernikahannya dan juga Arga.
Memang selama ini Arga selalu bersikap baik dan romantis. Mungkin karena itulah, Afifah tertipu dan tak tahu kelakuan bejat sang suami di belakangnya, meskipun Afifah sudah curiga dengan sikap Arga ke Putri yang terlalu berlebihan untuk ukuran kakak dan adik.
Arga juga menjalankan tugas sebagai suami dengan baik. Nafkah pun tak pernah telat, meskipun di akhir bulan seringkali Afifah harus nombok dengan merogoh koceknya sendiri. Namun, semuanya Afifah lakukan dengan ikhlas dan berharap ia bisa membina rumah tangga bahagia bersama dengan suami tercinta.
Tapi apa yang ia dapatkan? Justru pengkhianatan di depan mata yang disajikan oleh suami yang ia percaya.
"Maaf, Afifah. Aku mencintai Putri. Bahkan jauh sebelum kita bersama," ucap Arga makin membuat hati Afifah terkoyak hebat.
Sejak awal memang Arga dan Putri sudah menunjukkan kedekatan tak wajar. Kini terjawab sudah kalau kedua manusia laknat itu memang memiliki hubungan terlarang.
Afifah sudah mengikhlaskan sang suami yang harus menanggung biaya kuliah sang adik di Kota Semarang. Afifah juga mengerti dan memberikan izin untuk Putri tinggal bersama mereka dan dirawat oleh sang suami. Tapi lihat apa balasan yang diberikan oleh Putri?
"Cinta? Mas, hal yang Mas sebut cinta itu salah! Mas masih ingin melanjutkan hubungan gila seperti ini? Apa Mas sama sekali tidak peduli dengan perasaanku? Itu bukan cinta, Mas! Itu nafsu!" timpal Afifah.
"Apa yang kamu tahu soal hubunganku dan Mas Arga? Kamu tidak tahu apa pun soal kisah kami, jadi jangan sok menggurui!" sahut Putri.
"Aku hanya mencoba menasihati. Apa kalian tidak pernah merasa kalau perbuatan kalian ini salah? Kalian tidak merasa malu pada diri kalian sendiri, terlebih kamu, Mas Arga! Kamu tidak malu pada istrimu ini?" tandas Afifah sembari menatap sang suami dengan tatapan dingin.
"Malu? Kenapa harus malu? Kami saling mencintai, Mbak! Sebaiknya kamu tidak menghalangi kami!" tegas Putri masih bersikeras membawa-bawa nama cinta dalam hubungan mereka yang jelas-jelas salah dan melanggar norma yang berlaku di masyarakat.
"Kamu juga seorang perempuan 'kan, Putri! Bagaimana kalau kamu ada di posisiku? Apa kamu akan diam saja dan membiarkan suamimu tersesat di jalan yang salah?" sungut Afifah.
"Kamu sendiri juga perempuan, Mbak! Bagaimana kalau kamu jadi aku? Kamu bisa merelakan pria yang kamu cinta bersama dengan orang lain? Kamu pikir hanya kamu yang tersakiti di sini? Akulah yang paling tersakiti di sini, Mbak!" ungkap Putri berlagak seperti korban dan tak mau mendengarkan saran dari Afifah.
"Kalau aku jadi kamu? Aku akan pergi mencari pria lain kalau aku jadi kamu! Aku masih punya rasa malu dan aku masih punya harga diri. Aku tidak akan mengambil suami orang lain, karena aku masih waras. Jangan jadikan cinta sebagai alasan tindakan bejat, Putri! Yang salah itu bukan cinta, tapi diri kamu sendiri yang tidak bisa mengarahkan cinta pada orang yang benar!"
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!