“Oh terus sayang... fas ter baby...” Lea men de sah dengan nafas te re ngah di sebuah kamar yang dipenuhi puluhan cahaya lilin kecil remang-remang.
“Kau suka seperti ini sayang?”
“Hm i like it. More than please.” Ucapnya tanpa membuka mata. Permainan Refan berhasil membuatnya melupakan rasa kecewa karena sang tunangan terus mengabaikannya di hari yang menurutnya paling spesial, hari kelahiran.
“Perintah diterima Nona.” Ucapnya sambil menyeringai. “Gue harap lo nggak nyesel, Lea. Lo yang minta yah!” lanjutnya.
“Just do it baby!” jawab Lea dengan penuh keyakinan.
“Lo yakin bakal kita lanjutin disini? Kalo tunangan lo datang gimana?”
Ck! Lea berdecak keras. Ia lantas duduk dan tersenyum kecut. “Ridwan maksud lo? Dia lebih mentingin game si a lan itu dari pada gue.”
“Ini udah lewat dari janji temu gue sama dia. Seperti biasa dia pasti nggak datang. Gue seneng lo ada disini, kita lanjutin. Biar gue yang ambil alih dari sini.” Lea mengedipkan matanya dengan genit. Kedua tangannya perlahan melepas pakaian yang dikenakan Refan.
“Lo emang cewek paling pengertian, Lea. Be go aja si Ridwan punya tunangan kayak lo malah lebih mentingin game nya.” Refan me ma gut habis bibir tebal Lea. Tangannya kembali aktif kesana kemari memberi sentuhan-sentuhan melenakan untuk gadis itu.
“Kalo bukan karena dia anak orang kaya gue juga ogah. Siapa yang mau tunangan sama orang kayak dia? Ganteng tapi dingin, nggak ada perhatiannya sama sekali.”
Dua manusia yang tengah terbakar gairah terus berpacu dengan surga dunia yang mereka bangun, hingga tak sadar pintu telah terbuka dan seseorang menonton apa yang mereka lakukan di atas ranjang.
Ridwan, lelaki dua puluh tujuh tahun itu hanya tersenyum samar kemudian berlalu meninggalkan kamar tunangannya. Buket mawar putih besar yang hendak ia berikan pada Lea berakhir di tangan petugas front office yang berjaga malam itu.
Ridwan kembali ke rumahnya dengan bersenandung senang alih-alih bersedih karena mendapati tunangannya berselingkuh. Sejak awal ia memang sama sekali tak berminat untuk berurusan dengan yang namanya cinta, ia hanya ingin fokus menjadi profesional gamers. Tapi sang mami terus menjodoh-jodohkan dirinya dengan rekan-rekan bisnis sang suami karena merasa was-was Ridwan terus jomblo sementara kakaknya sudah memiliki dua orang anak.
“Ya ampun Mami!” Ridwan terlonjak kaget karena begitu membuka pintu Mami Jesi berdiri di depan pintu dengan baju putih dan wajah mengenakan masker dengan warna senada sedang lampu rumah mereka di matikan. “Bikin jantungan aja!”
“Gimana? Lea suka nggak sama surprise yang kamu kasih?” tanya Mami Jesi.
“Hm.” Ridwan hanya berdehem pelan kemudian berjalan melewati maminya.
“Hm hm ham hem aja terus! Kalo mami nanya dijawab yang bener!”
“Jangan bilang kalo kamu nggak nemuin Lea?” tebak Mami Jesi karena putranya memang sering kali mangkir untuk bertemu calon istrinya. Sejak awal perjodohan hingga berhasil sampai tunangan, putranya memang teramat cuek. Mami Jesi merasa beruntung karena Lea selama ini bisa menghadapi Ridwan dengan sabar, tak pernah marah meski Ridwan terus mengabaikannya. Mami Jesi berharap gadis yang dimatanya begitu polos dan lugu itu bisa meluluhkan Ridwan hingga akhirnya tumbuh benih-benih cinta diantara keduanya.
“Aku nemuin dia kok, sesuai permintaan Mami.”
“Terus gimana? Dia suka sama kado yang kamu bawa?” tanya Jesi, “Pasti suka lah yah? Itu kan berlian limited yang khusus mami pesan.” Lanjutnya menjawab sendiri.
“Kamu itu kebiasaan sayang, nanya sendiri dijawab sendiri.” Suara itu sontak membuat Ridwan menoleh, rupanya sang papi juga berada di ruang tamu.
“Papi belum tidur?” tanya Ridwan basa basi yang kemudian menyalakan lampu dan duduk di depan Papi Rama.
“Mana bisa Papi tidur kalo Mami kamu malah ronda nungguin kamu pulang. Supaya kita semua bisa cepat tidur, langsung aja kamu jawab pertanyaan si Mami. Papi udah ngantuk banget ini.” Keluh Papi Rama.
“Jadi gimana Lea suka kan? Besok ajak Lea makan malam disini. Mami nggak mau denger alasan kamu ada latihan apalagi pertandingan game!” ucap Jesi.
“Besok aku nggak ada latihan apalagi pertandingan, besok jadwal aku kosong.” Jawab Ridwan. “Tapi aku nggak mau ngajak Lea makan malam di rumah kita, Mam.” Lanjutnya.
“Kenapa? Kalian ribut? Kamu bikin masalah lagi?” cerocos Jesi.
“Nggak, Mi. Aku ngerasa nggak cocok aja sama dia. Aku mau pertunangannya dibatalin aja.”
“Ridwan! Batalin! Satu bulan lagi kalian nikah malah mau dibatalin? Kamu jangan bercanda!” Mami Jesi sedikit menaikan intonasinya.
“Aku serius, Mi.” Jawab Ridwan.
“Ridwan ini udah tengah malam, jangan bercanda kayak gitu. Nggak lucu!” sentak Jesi.
“Kalo kamu berani batalin pertunangannya berarti kamu udah siap dipecat dari kartu keluarga!”
Ridwan tersenyum santai dan beranjak dari duduknya. “Ya pecat aja, Mi. Suka-suka Mami. Ntar kalo udah dicoret dari kartu keluarga mami, aku tinggal nebeng aja ke kartu keluarganya Kak Lengkara. Beres.” Ucapnya kemudian buru-buru pergi ke kamar sebelum sendal sang mami melayang ke kepalanya.
.
.
.
Segini dulu perkenalan dari Ririd.
Baru eps 1 dia udah mau di pecat aja dari KK
Jangan lupa tinggalin like sama komen.
Votenya juga para kesayangan😘😘
ini lapak baru Ririd yah jangan lupa subcribe karena yang lama bakal aku hapus dan full up disini, berhubung yang lama levelnya anjlog gara-gara kelamaan nggak up bulan lalu. jangan sampe g like, komen apalagi vote gaes...soal d eps terakhir bakal ada give away😎
Dari dalam kamar Ridwan bisa mendengar Mami Jesi yang sedang ngoceh-ngoceh di luar sana, bisa dipastikan telinga Papi Rama pasti sudah panas. Seolah tak peduli dengan keramaian di ruang tamu, Ridwan memilih mengambil earphone dan memasangkannya di telinga. Kedua jarinya mulai asyik dengan benda pipih yang menyala di kegelapan kamar.
“Kak Ridwan tega banget nggak datang di ulang tahun aku. Aku laporan ke Mami Jesi loh besok.” Notifikasi chat masuk dari Lea yang muncul di bagian atas layar membuatnya geram. Tepat jam dua belas malam dan membuat karakter yang sedang ia mainkan mati.
Ridwan tak membalas chat tersebut seperti biasanya. Ia hanya tersenyum ilfeel sambil mengubah setelan ponselnya ke mode game sehingga tak ada yang bisa menganggu kesenangannya. “Gue diemin selama ini, gue kira tuh anak beneran lugu kayak kata Mami. Eh taunya covernya doang lugu aslinya kelewat suhu.” Batin Ridwan.
Selama menjalin hubungan dengan Lea dirinya memang tak pernah ambil pusing. Sekedar menuruti keinginan Mami Jesi supaya tak terus-terusan berisik. Pertunangannya dengan Lea pun termasuk singkat karena setelah dua minggu berkenalan ia langsung menyetujui keinginan sang Mami. Cinta? Entahlah, selama ini Ridwan hanya ingin membuat mami nya bahagia saja. Ia menurut karena Kakaknya saja hidup bahagia dengan lelaki yang dipilihkan Mami Jesi sejak mereka masih sangat kecil.
Di mata Mami Jesi, Lea adalah gadis super lugu, polos dan baik. Ditambah latar belakang gadis itu dari keluarga yang lumayan ternama dan salah satu patner bisnis suaminya. Masalah popularitas keluarga bukan merupakan alasan Mami Jesi memilih Lea sebagai calon menantunya, pengalaman dikhianati sahabat dan mantan pacarnya dulu membuat Mami Jesi super hati-hati. Melihat tidak adanya ambisi keluarga itu terhadap kekayaan yang membuat Jesi memilih keluarga Lea menjadi calon besannya.
Sampai adzan subuh berkumandang barulah Ridwan mengakhiri permainan game onlinenya. Ia lantas shalat kemudian memejamkan matanya sebentar. Kurang tidur setiap hari bukan hal baru untuknya, sejak SMP dirinya memang sudah kecanduan game online. Bahkan piala dan sertifikat penghargaan atas kemenangan game nya lebih banyak dibandingkan prestasinya di bidang akademik.
Pagi harinya Ridwan bergabung ke meja makan tepat waktu, meski tidur pagi tapi tak ada sejarahnya seorang Ridwan bangun kesiangan. Rahasianya tentu saja dengan tidur siang yang teratur.
“Udah bangun kamu?” sapa Papi Rama begitu putranya datang.
“Mami kan udah bangun dari tadi, Pi. Kok pake nanya sih. Ini kopinya.” Mami Jesi meletakan kopi hitam tanpa diaduk pesanan suaminya.
“Makasih, Mi. Papi ngomong sama Ridwan bukan sama Mami.”
“Ridwan? Siapa Ridwan? Mami nggak kenal tuh.” Ketus Jesi sambil mengisi piring Papi Rama dengan lauk pauk. Meski matanya jelas-jelas menatap Ridwan dengan kesal tapi ia berlaku seolah anaknya tak ada disana.
“Ya ampun Mami… Ridwan anak kita lah.” Jawab Papi Rama. “Kasihan banget kamu nggak dianggap, Rid. Makanya nurut sama Mami lah. Pusing papi tuh ngimbangin kalian berdua.”
“Hm.” Ridwan hanya mengangguk sambil menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.
“Hm Hm Hm aja terus.” Sela Mami Jesi. “Sebentar lagi Lea sampe sini, kamu harus minta maaf karena nggak datang semalem.”
“Bisa-bisanya kamu bohongin Mami, bilang kalo semalem kesana. Pasti semalem mentingin game kan makanya nggak peduli sama tunangan sendiri yang ulang tahun?”
“Kamu tuh nyari perempuan yang kayak gimana lagi, Ririd?” saking kesalnya Mami Jesi jadi menggunakan nama panggilan kecil yang biasa dilontarkan anak pertamanya saat ribut dulu.
“Bukannya bersyukur udah Mami pilihin calon istri seperti Lea. Kurang apa coba dia? Kamu cuekin abis-abisan aja tetep sabar, nggak minta putus. Kalo Mami di posisi Lea pasti nggak mau deh tunangan sama laki-laki yang menomor satukan HP. Lama-lama HP nya Mami buang deh, kalo nggak Mami bilang ke Kak Ardi supaya kamu tuh nggak dibolehin gabung di perusahaan game nya! Biar tobat nggak main game mulu! mau kayak gitu?” ancam Mami Jesi.
“Kamu itu sebenernya mau sampe kapan main game terus? Kamu nggak mikir apa perusahaan Papi ke depannya gimana?”
“Kamu itu! Huh bisa darah tinggi Mami kalo kayak gini terus.”
“Sabar-sabar, Mi. Minum dulu.” Papi Rama yang sudah terlatih menahan emosi semenjak menikahi istrinya dulu merasa menghadapi Ridwan yang sulit diatur belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dirinya dulu saat menghadapi Mami Jesi. Meski putranya irit bicara tapi ia yakin keinginan Ridwan untuk membatalkan pertunangan karena memiliki alasan tersendiri.
“Pokoknya Mami nggak mau tau, nanti kamu harus minta maaf sama Lea. Bisa-bisanya tunangan ulang tahun nggak datang.” Tegas Mami Jesi. “Mau taruh dimana muka Mami nanti? Malu sama calon besan.” Lanjutnya.
Ridwan meletakan sendoknya, meski Mami nya sejak tadi ngoceh-ngoceh Panjang lebar tapi ia dan Papi nya tetap melahap sarapan dengan santai hingga habis. Ridwan meneguk habis air putih di gelasnya kemudian mengelap bibirnya dengan tisu.
“Mami nggak perlu malu, yang harus malu justru keluarga Lea. Bukannya nggak mau nurut sama Mami, aku tau semua orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya, termasuk Mami.” Ucap Ridwan.
“Nah itu kamu tau! Mami cuma mau yang terbaik buat kamu. Makanya nurut jangan bikin Mami pusing.” Ucap Jesi.
“Tapi Lea bukan yang terbaik, Mi. Dia itu…. Huh!” Ridwan menghembuskan nafasnya kasar. Rasanya hanya akan buang-buang tenaga jika menjelaskan pada Mami Jesi tanpa bukti. Mami nya sudah sangat menyayangi Lea.
“Dia kenapa?” tanya Mami Jesi. “Nggak usah alesan aneh-aneh. Lea udah datang tuh.” Lanjutnya menunjuk gadis bergaun navy yang baru saja masuk ke ruang makan.
Seperti biasa Lea menyapa kedua orang tua Ridwan dengan ramah dan penuh sopan santun. Ketika gadis itu duduk di sampingnya, Ridwan langsung beranjak pergi tanpa menoleh. Rasanya jijik sekali melihat kelakuan bejad Lea yang tersembunyi dibalik wajah lugunya.
“Ridwan! Duduk!” panggil Mami Jesi.
“Aku udah selesai sarapan, Mi. Aku ada urusan.” Pamit Ridwan.
Mami Jesi makin geram, ia segera menyusul putranya. “Mami tinggal dulu sebentar.” Ucapnya pada Lea.
Takut putra dan istrinya kembali ribut, Rama ikut menyusul ke depan. Dan benar saja ibu dan anak itu kembali cek cok. Mami Jesi dengan ocehan non stopnya dan Ridwan yang santai bersandar di mobil sambil melihat kedua tangannya di dada.
“Karam, bilangin deh ini anaknya susah banget diatur!” kesal Mami Jesi.
“Pi, aku punya alasan.”
“Iya punya alasan tapi nggak masuk akal. Masa Lea dibilang selingkuh? Nggak mungkin kan, Pi? Anak polos kayak gitu. Tiap hari cuma di rumah jarang keluar.” Ucap Mami Jesi yang tak terima.
“Wajahnya doang yang polos, Mi. Aslinya…”
“Aslinya apa? Mami nggak percaya kalo nggak ada bukti. Paling cuma akal-akal kamu aja biar nggak jadi nikah kan?” sela Mami Jesi.
Ridwan memutar bola matanya, jengah. Dia benar-benar menyesal kenapa tak merekam kelakuan be jad Lea semalam.
.
.
.
jangan lupa like sama komen nya sebelum lanjut gaes😘😘
“Bangun, Rid! Udah malem lo nggak mau pulang?” Davin, lelaki yang sejak bersahabat dengannya menggoyangkan bahu Ridwan. Sudah tiga hari Ridwan nebeng tidur di kosan nya gara-gara malas pulang ke rumah, setiap hari Mami Jesi terus membahas Lea dan berharap mereka segera menikah.
Ridwan membuka matanya yang sayu, jelas terlihat ia ingin terlelap lebih lama lagi. “Males gue. Nginep semalam lagi aja yah?”
“Nggak, balik sana. Gue takut kebawa-bawa ntar nggak cuma lo doang yang diusir dari perusahaan Pak Ardi, gue juga ikutan.” Jawab Davin.
“Lagian nih lo nginep udah tiga hari, kalo nambah sehari lagi bisa-bisa dikira gue curang sama ibu kost. Ini kamar kan cuma buat satu orang. Gue juga nggak mau dikira jeruk makan jeruk!” Davin bergidig ngeri mengucapkannya.
Ridwan tertawa, “jeruk enaknya di jus dari pada dimakan langsung.”
“Dasar! gue ke depan dulu nyari makan. Lo mau langsung pulang apa makan dulu?”
“Makan lah. Titip yah, sekalian bayarin. Gue lagi miskin.” Jawab Ridwan sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal sama sekali. Mami nya benar-benar keterlaluan, selain membuatnya di keluarkan dari perusahaan Ardi, dirinya juga dibuat miskin. Katanya sih harus mau mulai bekerja di perusahaan Papi Rama dan memperlakukan Lea dengan baik, barulah semua fasilitasnya dikembalikan. Namun alih-alih menuruti keinginan sang Mami, Ridwan malah mengungsi di kosan Davin dan menjadi beban sahabatnya.
Ck! Davin berdecak lirih. “miskin dibikin sendiri. Udah enak-enak jadi anak sultan malah ningkah.” Cibir Davin sebelum pergi mencari makan.
Setelah Davin kembali dengan membawa dua bungkus nasi padang, “seadanya.”
“Ini udah lebih dari cukup. Gue urusan makan nggak ribet. Makasih yah.” Ridwan mulai melahap makanannya.
“Rid, gue bukannya keberatan lo disini. Cuma ini kan masalah penting, kenapa lo nggak jelasin baik-baik sih ke Tante Jesi? Gue yakin Tante Jesi pasti bisa ngerti deh.” Ucap Davin.
“Dikira gue diem doang apa? Udah gue jelasin tapi emang dasar Mami gue tuh! Ngeyel banget dah kalo nggak ada bukti.”
“Papi lo gimana?”
“Papi sih percaya sama gue, dia paling ngertiin gue deh. Kalo Mami susah, nggak tau harus gimana lagi. Gue mesti nyari bukti kemana lagi yah? Pengen bayar orang buat ngikutin si Lea tapi gue lagi miskin.” Jelas Ridwan.
“Masa ia gue nikah sama bekas orang. Amit-amit dah.” Lanjutnya.
“Kalo gue jadi Tante Jesi juga nggak percaya sih si Lea kayak yang lo ceritain, itu anak keliatan lugu banget. Tapi beneran dia main gila?”
“Beneran lah, masa lo mau ikut-ikut kayak mami sih nggak percaya sama gue!”
“Lagian kenapa nggak lo rekam aja sih. Sekarang tuh orang-orang kalo ada apa-apa langsung di vidio, kalo nggak minimal di foto lah.”
“Boro-boro pengen ngerekam vidio atau foto? Denger suaranya aja gue udah jijik, apalagi pas lihat mereka.” jawab Ridwan.
“Gue yakin tuh cewek udah sering kayak gitu deh, pantesan kalo gue cuekin aja nggak ngaruh apa-apa ternyata emang punya yang lain. Untung aja kemaren gue sempetin datang ke itu hotel, kalo nggak bisa-bisa gue beneran lanjut sampe nikah sama dia.”
“Udahan lah males gue bahas masalah ini. Gue cabut dulu yah, makasih buat semuanya. Ntar kalo udah jadi sultan lagi gue traktir deh.” Pamitnya.
“Yo santai aja.” Balas Davin.
Ridwan berjalan perlahan di trotoar sambil memikirkan cara keluar dari masalahnya, hingga ia berhenti di sebuah jembatan dan menatap aliran air yang cukup deras di bawahnya. Tangannya mengeluarkan ponsel dan membaca puluhan chat masuk dari Mami dan tunangannya yang so polos tanpa dosa.
“Mas jangan bunuh diri!” teriakan seorang gadis membuatnya menoleh. Dengan cepat gadis berambut panjang itu menariknya dari sisi jembatan.
“An jir HP gue!” gerutu Ridwan, melihat ponselnya yang terjun bebas ke sungai di bawah sana.
Gadis yang masih terengah sambil memegang tangan Ridwan itu menatapnya, “semua masalah bisa diselesaikan baik-baik, Mas. Jangan bunuh diri!”
Ridwan menepis kasar tangan gadis itu, tapi si gadis kini justru memegang kedua tangannya dengan erat.
“Lepasin!” Ridwan menepisnya lagi dengan lebih kasar. “siapa juga yang mau bunuh diri? Gara-gara lo asal tarik HP gue malah jatuh.”
Zoya, gadis itu mengerjapkan kedua matanya. “Beneran nggak bunuh diri kan?”
“Nggak lah!” sentak Ridwan.
“Haduh kalo gitu maaf, Mas. Aku kira Mas nya mau bunuh diri, abis dari jauh aku liat Mas nya lontang lantung sendiri terus berenti di jembatan sepi kayak gini. Mana pake buka HP jadi aku kira Mas nya lagi ngetik pesan sebelum bunuh diri gitu.” Jawabnya jujur.
“Sampe barang-barang aku tinggalin disana loh biar bisa cepet lari kesini.” Lanjutnya sambil menunjuk tas besar yang tergeletak di sisi jalan.
“Nggak nanya!” ketus Ridwan.
“Iya, Mas nya nggak nanya tapi aku ngejelasin gitu supaya nggak ada salah paham. Niat aku kan baik.” Ucap Zoya.
“Bodo amat.” Ridwan jadi makin kesal.
“Sekali lagi aku minta maaf, Mas.”
Ridwan tak menjawab, ia berlalu pergi begitu saja.
“Mas beneran kan nggak bakal bunuh diri?” tanya Zoya yang terus mengikuti Ridwan. “Ya ampun Mas nya diem aja. Jangan-jangan Mas nya masih ada niat bunuh diri yah?”
“Mas, patah hati boleh tapi jangan bunuh diri.” Lanjutnya yang mengira lelaki jangkung di depannya itu baru saja diputuskan pacarnya karena penampilannya yang lumayan acak-acakan. “Bunuh diri itu dosa loh, Mas.”
Ridwan berhenti sejenak dan menatap gadis yang sejak tadi mengikutinya sambil ceramah tak kalah panjang lebar seperti mami nya di rumah. Gadis yang tingginya hanya sebahunya itu balas menatapnya.
“Kenapa Mas?” tanya Zoya.
“Anak kecil mending pulang, cuci kaki, cuci tangan terus tidur! Jangan ngikutin gue!” usir Ridwan yang kemudian berjalan lebih cepat meninggalkan Zoya.
“Aku bukan anak kecil, Mas.” Teriak Zoya yang berlari menyusulnya. “Aku mau ngikutin Mas nya, mastiin Mas nya nggak bunuh diri. Apa aku anterin pulang aja? Mas rumahnya dimana?”
Ridwan mengembuskan nafasnya kasar, “cewek gila.” Batinnya.
.
.
.
biasa like komennya yah para kesayangan😘😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!