Seorang gadis berusia 20 tahun berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit. Wajahnya terlihat sangat khawatir. Tanpa peduli penampilannya yang kumal karena habis bekerja, dia langsung berlari saat mendapat telpon dari rumah sakit.
"Bagaimana keadaan adik saya, dok?" Tanyanya pada dokter yang baru saja keluar dari ruangan adiknya.
"Kondisi adik anda semakin memburuk. Kita harus segera melakukan operasi untuk transplantasi ginjalnya."
"Transplantasi ginjal?" Gumamnya pelan. "Be-berapa biaya nya, dok?"
"Saya tidak tahu jelas berapa biayanya. Melakukan transplantasi ginjal membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Anda bisa tanyakan bagian administrasi."
Gadis itu terdiam dengan air mata menetes. Sepertinya harapan untuk bisa menyembuhkan adiknya sangat kecil.
"Kak Anta!"
Seorang gadis yang masih berusia 15 tahun berlari ke arahnya, dengan seragam sekolah yang masih menempel. Gadis itu langsung memeluk Kakaknya.
"Ada apa, Kak?" Gadis itu menatap wajah Kakaknya.
Gadis bernama lengkap Annanta Ayudia itu mengusap air matanya cepat, lalu memaksa senyum pada adiknya.
"Kakak tidak apa-apa, Tiara. Kamu tidak perlu cemas seperti ini."
Tiara yang tidak percaya dengan ucapan Kakaknya langsung menatap dokter yang masih saja berdiri disana.
"Apa yang terjadi, dok?" Tanya Tiara. Anta yang juga menatap dokter menggeleng agar dokter tidak memberitahu adiknya mengenai hal tersebut.
"Kamu bisa tanyakan pada Kakakmu. Saya permisi." Ucap sang dokter.
"Iya, dok. Terima kasih."
Tiara yang masih belum puas karena belum mendengarkan cerita sebenarnya menatap Kakaknya dengan tatapan menuntut penjelasan. Anta hanya bisa menarik nafas, kemudian menceritakan semua yang terjadi.
"Jadi... Ki-kita harus punya banyak uang baru bisa melakukan operasi pada Rizky?"
"Iya," Jawab Anta lirih. Ia tidak bisa menahan air matanya saat mengingat bagaimana hidup adiknya jika dia tidak membayar semua biaya tersebut.
"Kaak... Kita harus bagaimana, Kak? Hiks... Aku nggak mau kehilangan Ricky."
"Kamu tenang saja. Kakak akan usahain uangnya. Jangan khawatir." Jawab Anta dengan suara serak karena tangisnya.
"Tapi, Kakak mau cari uang dimana? Biaya operasi ginjal tidak sedikit, Kak. Kemana kita akan dapatkan uang itu?"
"Kakak akan berusaha." Tekad Anta bulat. Dia akan melakukan apapun agar adiknya itu sembuh.
"Oh ya, kamu sudah makan?" Anta mencoba mengalihkan topik pembicaraan mereka.
Tiara menggeleng. Gadis itu langsung menuju rumah sakit setelah pulang sekolah.
"Baiklah. Kamu masuk saja, temani Ricky. Kakak akan belikan makanan di kantin rumah sakit."
"Kakak punya uang?" Anta hanya menjawabnya dengan tersenyum, kemudian berjalan menuju kantin rumah sakit.
Karena waktu sudah petang, kantin rumah sakit mulai sepi. Anta berjalan cepat dan segera membeli makanan untuk adiknya. Saat diperjalanan kembali ke ruang rawat Ricky, seorang wanita tiba-tiba lewat, membuatnya tak sengaja menabrak wanita itu.
"Ma-maaf, Bu. Maaf. Saya tidak sengaja." Ucapnya pada wanita tersebut.
"Tidak apa-apa. Seharusnya saya yang minta maaf karena sudah menghalangi jalanmu."
"Ti-tidak, Bu. Saya yang salah sudah menabrak Ibu."
"Baiklah. Apa yang kamu katakan saja."
"Kalau begitu, saya permisi, Bu. Saya sekali lagi minta maaf." Ujar Anta, lalu berjalan meninggalkan wanita tersebut.
Sepertinya, aku sudah menemukan Ibu untuk Evan. Batin wanita itu, sambil terus menatap Anta.
Anta tiba di ruangan Ricky dan langsung memberikan makanan pada Tiara. Namun, adiknya itu tak langsung menerima. Wajah sedihnya terlihat saat ia menatap Anta.
"Kak, aku tidak bisa makan saat melihat kondisi Ricky seperti ini. Aku sangat takut terjadi apa-apa padanya. Kak, bagaimana kita bisa menyembuhkan Ricky? Kak Anta hanya pekerja serabutan. Uang yang Kakak kumpul hanya bisa untuk makan kita dan biaya rawat Ricky. Itu pun Kakak masih mengutangnya."
Anta langsung memeluk adiknya. Semua yang Tiara katakan benar. Dia harus lebih berusaha lagi agar bisa mengumpulkan uang banyak hingga bisa memberikan perawatan yang baik untuk Ricky.
"Kamu tenang saja. Kakak akan bekerja lebih keras lagi. Ricky pasti akan sembuh. Itu janji kakak." Ujarnya berusaha menenangkan Tiara. Gadis itu mengangguk seraya mengusap air matanya. Begitupun dengan Anta yang sejak tadi tidak bisa menahan air matanya.
"Sekarang kamu makan. Kakak akan keluar. Jagain Ricky, ya?"
"Iya, kak." Jawabnya, menerima makanan, namun meletakkannya di atas nakas samping brankar Ricky.
"Tiaraa, jangan sampai tidak habiskan makanannya. Ingat, dek. Kamu harus makan. Jangan sampai sakit."
"Aku akan memakannya nanti, Kak." Jawabnya.
Setelah memperingati adiknya, Anta bergegas keluar. Ia menuju bagian administrasi untuk menanyakan biaya operasi transplantasi ginjal.
"Permisi, sus."
"Ya?"
"Untuk opersi transplantasi ginjal, berapa biayanya?"
"Untuk operasi transplantasi ginjal membutuhkan biaya 300 juta."
Anta langsung terdiam mendengarnya. 300 juta? Kemana dia akan mencari uang sebanyak itu? Dengan langkah gontai, Anta pergi dari tempat itu. Saat tiba di koridor rumah sakit, seseorang menghentikannya.
"Tunggu Anta!" Ucapnya membuat Anta menghentikan langkahnya dan berbalik.
"Ibu?" Wanita itu langsung tersenyum dan menghampiri Anta. "Bagaimana Ibu bisa tahu nama saya?" Tanya Anta, bingung. Ia baru bertemu Ibu itu tadi. Dia juga tidak memperkenalkan namanya.
"Itu tidak penting. Yang paling penting, saya ingin membicarakan sesuatu sama kamu."
"Sama saya?"
"Ya. Ayo, ikut saya!"
Meskipun Anta sangat bingung kenapa wanita yang ditabraknya itu menyuruhnya mengikuti dia, Anta tetap menurut. Ia mengekori wanita itu hingga mereka berada di taman rumah sakit. Keduanya duduk di kursi panjang taman.
"Perkenalkan, saya Devita."
"Saya Anta." Balas Anta.
"Sebelum itu, saya minta maaf. Saya sudah lancang mencari tahu tentang kamu. Saya tahu, kamu sedang membutuhkan biaya untuk adikmu. Transplantasi ginjal, 300 juta."
"Saya bisa memberikanmu 300 juta."
"Be-benarkah, Bu?"
"Benar. Saya akan membantu kamu, asal kamu mau menerima penawaran saya."
"Penawaran? Apa?"
"Menikah dengan putra saya."
Deg.
Jantung Anta seperti berhenti berdetak. Apakah ia harus menikah di usianya yang begitu muda, dan harus meninggalkan adik-adiknya? Tapi, dia juga membutuhkan uang itu untuk biaya pengobatan Ricky.
"Saya bisa memberimu 300 juta untuk biaya operasi transplantasi ginjalnya. Saya juga akan menanggung perawatannya hingga dia sembuh. Dan untuk biaya kehidupan mereka, saya juga akan memenuhinya setelah kamu menikah. Saya juga akan menempatkan seorang pelayan untuk mengurus kedua adikmu. Kamu jangan mengkhawatirkan mereka. Yang harus kamu lakukan, cukup menjadi istri yang baik untuk putraku, dan juga Ibu yang baik untuk cucuku Evan."
"Tapi bu, apa aku bisa mengurus suami dan anak? Aku masih sangat muda dan tidak mengerti apa-apa."
"Anta," Bu Devita memegang kedua tangan Anta. "Ibu yakin, kamu bisa. Kamu akan bisa seiring berjalannya waktu. Yang terbaik sekarang, kamu jangan pikirkan mengenai pernikahan itu. Pikirkan adikmu. Dia sangat membutuhkan bantuanmu, Anta."
Gadis itu kembali terdiam cukup lama, memikirkan perkataan Bu Devita. Setelah beberapa saat, ia mengangguk menyetujui syarat yang Bu Devita berikan.
"Aku setuju, Bu."
"Syukurlah. Sekarang, ayo kita ke bagian administrasi. Kita akan melunasi biayanya sekarang."
Anta mengangguk pelan, kemudian berjalan bersama Bu Devita menuju tempat administrasi.
***
Opersi berlangsung sudah hampir 5 jam. Lampu operasi masih menyala. Terlihat jelas kekhawatiran Anta juga Tiara. Bu Devita yang juga berada di tempat itu menyaksikan kedua Kakak Adik yang saling berpelukan. Melihat itu, Devita merasa seperti orang jahat yang memaksa memisahkan seorang Kakak dari adik-adiknya. Tapi, dia harus melakukannya.
Pintu ruangan yang terbuka membuat Anta, Tiara dan Bu Devita segera menghampiri dokter.
"Operasinya berjalan lancar. Pasien akan dipindahkan ke ruang ICU."
Ketiga perempuan itu menarik nafas lega. Bu Devita menatap wajah gembira Anta dan Tiara. Dan lagi, ia merasa seperti orang jahat yang tega memisahkan seorang Kakak dari adik-adiknya.
Setelah proses pemindahan Ricky ke ruang ICU, Bu Devita berpamit pulang. Tiara yang masih penasaran dari mana Kakaknya mendapatkan uang pun, terus memaksa sang Kakak untuk bercerita. Dan akhirnya, Anta menceritakan semua yang menjadi kesepakatannya dan Bu Devita.
"Hiks... Maafkan aku, Kak. Maafkan aku dan Ricky yang selalu merepotkan Kakak."
"Kalian tidak merepotkan Kakak. Kakak sangat menyangi kalian."
"Kami juga menyangi Kakak." Kedua Kakak dan adik itu saling berpelukan.
"Oh ya, Kak. Kapan pernikahan Kakak akan berlangsung?" Tiara melepaskan pelukannya.
"Bu Devita akan menjemput Kakak tiga hari lagi."
Anak itu kembali memeluk Anta. "Kakak harus berjanji untuk baik-baik saja saat jauh dari kami nanti. Aku menyangi Kakak."
"Kakak juga menyayangi mu." Balas Anta, sambil mengecup puncak kepala adiknya.
Seorang lelaki berparas tampan dan tubuh tinggi atletis keluar dari mobilnya. Jas yang sejak pagi melekat di tubuhnya kini bertengger di tangan kanannya.
"Selamat datang, tuan." Sapa seorang asisten rumah tangga, Bi Ijah.
"Ya." Hanya itu balasan dari si lelaki. Bi Ijah yang merupakan art dan bekerja hampir 3 tahun di rumah itu, memakluminya. Itulah sifat tuannya, Elvano Prasetya, lelaki dingin tak tersentuh.
Wanita yang berusia hampir 60 tahun itu menutup pintu dan mengikuti tuannya.
"Dimana Evan?" Tanyanya, saat tak melihat putranya. Tidak biasanya putranya itu tertidur di jam pulang kerjanya seperti ini.
"Tuan muda dibawa nyonya sore tadi, tuan."
"Mama?" Keningnya mengerut. Ibunya tidak pernah membawa Evan tanpa izinnya. "Kembalilah bekerja!" Perintahnya, yang langsung dilaksanakan Bi Ijah.
Elvano membawa langkahnya menuju kamar. Melempar jas, kunci mobil dan handphone di atas kasur, lalu terduduk di pinggir ranjang.
Drrttt... Drrttt.. Drrttt...
Getaran di ponselnya membuat Elvano menoleh. Tangannya segera meraih hp tersebut dan menjawabnya.
"Hallo, Ma?"
"Kamu sudah pulang kerja?"
"Ya."
"Jemput Evan! Sekalian, ada yang ingin Mama bicarakan dengan kamu."
"Ya." Lagi-lagi jawaban singkat itu yang keluar dari mulut Elvano. Setelah panggilan berakhir, ia meraih kunci mobilnya dan keluar tanpa mengganti kemeja yang ia kenakan. Dengan kecepatan sedang, ia melajukan mobilnya menuju rumah sang Mama.
Jarak yang cukup dekat, hanya memakan waktu 15 menit. Lelaki itu memarkirkan mobilnya dan langsung masuk begitu saja.
"Selamat datang, tuan muda." Sapa pelayan rumah tersebut.
"Hmm... Dimana Mama?"
"Nyonya sedang di ruang bermain, tuan."
Tanpa banyak bicara lagi, Elvano segere menuju ruang bermain. Ruang yang dibuat khusus oleh Papanya untuk Evan.
Melihat kedatangan sang Papa, Evan yang bermain pun tersenyum riang. Tangannya ia tepuk-tepukkan. Hal itu membuat sang Nenek dan Kakek menatap ke arah pandang Evan.
"Pa..." Celoteh anak itu, lalu merangkak mendekati Elvano. Lelaki itu dengan sigap menangkap putranya dan menggendongnya.
"Anak Papa." Ujarnya, sambil mengecup pipi Evan.
Devita dan Haris hanya diam memperhatikan interaksi Elvano dan Evan. Selalu seperti itu. Evan selalu bisa membuat pria dingin seperti Elvano itu tersenyum.
"Vano." Panggilan Haris membuat putranya itu menoleh. "Papa sama Mama ingin membicarakan sesuatu."
"Ya. Bicara saja." Jawabnya. Lelaki itu kembali mengecup pipi putranya. Tangannya bergerak mengusap-usap rambut Evan yang cukup lebat.
"Kita ke ruang keluarga saja." Ucap Devita.
Mereka segera ke ruang keluaraga. Elvano duduk sambil tetap menggendong Evan dan tanpa ia sadari, anak itu sudah mulai mengantuk.
"Apa yang ingin dibicarakan?" Tanya Elvano.
Haris dan Devita saling menatap. Setelah mendapat anggukkan istrinya, Haris mulai membuka suara.
"Papa sama Mama ingin kamu menikah."
Elvano tersenyum sinis. Sudah ia duga. Ini bukan yang pertama kalinya mereka memintanya menikah.
"Aku nggak punya waktu untuk itu." Jawabnya santai.
"Vano!" Haris sudah terpancing emosinya. Putranya ini benar-benar membuatnya tidak bisa membendung amarah. Untung saja ada Devita yang menahannya.
"Tenang, Pa." Ujar Devita, berusaha meredam amarah suaminya, meski sebenarnya dirinya juga sama marahnya pada putra satu-satunya itu.
"Mama sudah menemukan pengantin perempuannya. Punya waktu atau tidak, kamu harus tetap menikah."
Elvano kembali tersenyum. Senyum miring yang menjelaskan jika dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran kedua orang tuanya. Selalu seperti ini. Memaksakan kehendak.
"Pintar sekali Mama mencari calon istri. Tapi sayang, Vano tetap nggak ada waktu buat hal nggak penting itu." Ujaranya. Dan tanpa berpamitan, Elvano beranjak dari tempat itu.
"Kalau kamu menolak, hak asuh Evan akan kembali ke Mama! Dan jangan pernah anggap kami sebagai orang tua mu!"
Langkah Elvano terhenti. Inilah kelemahannya. Evan adalah segalanya baginya. Jika hak asuh Evan kembali ke tangan Mamanya, akan sulit untuknya merebut kembali. Dan mengenai kedua orang tuanya, meski dirinya marah pada kedua orang itu, tetap saja mereka orang tuanya.
"Aku akan menikah. Tapi, nggak akan mengurus persiapannya." Ujar lelaki itu, lalu bergegas pergi dari sana.
Devita dan Haris yang mendengarnya langsung tersenyum gembira. Devita melompat-lompat dan memeluk suaminya. Haris sampai khawatir pada istrinya itu.
"Jangan lompat-lompat, Ma."
"Mama senang banget, Pa. Ancaman Mama berhasil juga bungkam putra kamu yang dingin itu."
"Dia juga putra kamu, sayang."
"Hehehe... Iya."
***
Jam masih menunjukkan pukul 8 malam. Elvano baru saja selesai menemani Evan tertidur. Dua bulan terakhir ini, anak itu selalu rewel saat akan tidur malam hari. Entah apa yang menjadi penyebabnya, Elvano juga tidak tahu.
Elvano fokus pada layar laptop di depannya. Memeriksa kembali dokumen yang dikirim sekretarisnya, Risma.
Drrrt... Drrttt... Drrttt...
Getaran handphonenya membuat Elvano mengalihkan pandangannya dari laptop. Melepas kacamata radiasinya, kemudian meraih handphone tersebut.
"Hallo, Ma."
"Hallo, Vano. Mama udah urus semua persiapan pernikahannya. Tiga hari lagi pernikahan kamu diadakan."
"Tiga hari?" Beo lelaki itu. Apa Mamanya serius? Bukankah ini terlalu cepat? Baru kemarin malam Mamanya membicarakan pernikahan. Dan sekarang, semuanya sudah siap. Tinggal tiga hari saja pernikahannya diadakan.
"Iya. Besok kamu ikut Mama ke butik, okey? Kita mau fitting baju pernikahan kalian. Sekalian Mama kenalin kamu dengan calon istri kamu."
"Ma, bukankah ini terlalu cepat?"
"Terlalu cepat gimana? Sudahlah, kamu ini. Undangan udah Mama siapin juga. Tinggal besok disebarin."
"Jangan undang banyak orang! Cukup keluarga."
"Kenapa?"
"Pernikahan ini, Mama yang mau. Bukan aku!"
"Elvano! Kamu..."
"Itu syarat dari Vano."
Bisa Elvano dengar hembusan nafas kasar Mamanya. Tapi, ia tidak peduli. Dia tidak menerima pernikahan ini. Dan ia tidak ingin orang-orang luar menyaksikan pernikahan paksa ini.
"Baiklah. Mama setuju sama syarat kamu. Tapi, kamu harus datang besok! Kalau enggak, Evan Mama ambil, dan jangan harap Mama menganggapmu sebagai anak lagi." Ujar Devita, langsung menutup telponnya sepihak.
"Arrgghhh..." Elvano mengacak kesar rambutnya. Moodnya untuk memeriksa kembali dokumen kerjanya sudah hilang. Beranjak dari sofa, dan merebahkan tubunya di kasur.
Terlintas, wajah seorang wanita saat dirinya menutup mata. "Kalau bukan karena kamu, semuanya nggak akan seperti ini." Gumamnya pelan, tanpa membuka matanya.
***
Senyum mengembang di wajah Devita saat memasuki ruang rawat Ricky. Kedatangan wanita itu disambut hangat oleh Anta, Tiara dan Ricky.
"Bagaimana kabar kamu, Ricky?"
"Ricky udah baikan Bu."
"Syukurlah. Kalau kamu, Tiara?"
"Tiara selalu baik, Bu, selalu sehat." Jawab gadis itu.
"Syukurlah. Oh ya, ini, Ibu beliin buat kalian." Wanita itu mengulurkan sekantong buah-buahan yang dibelinya pada Tiara.
"Makasih, Bu." Ujar gadis itu.
Anta hanya tersenyum melihat interaksi Bu Devita dengan kedua adiknya. Wanita itu benar-benar pandai mengambil hati Tiara dan Ricky. Dan Anta senang melihat senyum di wajah kedua adiknya itu.
"Oh ya, Ibu kesini juga mau izin sama kalian berdua buat bawa Kak Anta. Bolehkan?"
"Bawa saya?" Anta cukup terkejut dengan ucapan Bu Devita.
"Lho? Kok sekarang bawanya, Bu? Bukannya dua hari lagi ya Kak Anta ikut Ibu nya? Kenapa hari ini?" Tanya Tiara. Matanya sudah mulai berkaca-kaca. Ia belum siap jika Kakaknya akan meninggalkan dia dan Ricky.
Ricky yang mendengarnya hanya terdiam. Ia sedih, tapi tidak bisa mengatakan apa-apa. Ia sudah tahu semua tentang biaya operasinya. Semuanya Anta korbankan untuk ia. Bahkan masa depan pun Anta korbankan untuk dia.
"Ibu hanya bawa Kak Anta sebentar buat cari baju pengantin. Setelah itu, Ibu antar kembali kesini. Kan nikahnya tiga hari lagi. Lusa baru Ibu jemput lagi."
Tiara dan Ricky bernafas lega. Setelah berpamitan pada kedua anak itu, Anta dan Devita segera menuju sebuah butik. Dalam mobil, anta hanya diam. Tak satupun kata yang keluar dari mulutnya.
"Kamu kok diam aja sih, nak?" Suara Devita membuat Anta menoleh. Gadis itu tersenyum pada calon mertuanya.
"Nggak ada topik yang mau dibicarain, Bu."
"Kamu nggak penasaran sama calon suami kamu?" Anta menggeleng pelan, membuat Bu Devita menarik nafasnya.
"Anta terima apa adanya suami Anta nanti, Bu." Ujar gadis itu. Devita terdiam mendengar jawaban calon menantunya.
Mobil yang mereka tumpangi memasuki area butik. Supir Bu Devita segera memarkirkan mobil dan membuka pintu untuk bu Devita. Sementara Anta, gadis itu membuka sendiri pintu mobilnya.
Seulas senyum muncul di bibir Devita saat melihat mobil Elvano terparkir tak jauh dari tempat mereka memarkir.
Ternyata, datang juga anak itu. Batin Bu Devita.
"Ayo, Anta!" Wanita itu meraih tangan Anta dan membawa gadis itu masuk.
"Vano."
Lelaki yang sedang duduk di sofa langsung menoleh mendengar suara sang Ibu. Dia berdiri, menatap sang Ibu dengan wajah dinginnya.
"Vano sudah selesai. Ada yang harus Vano urus di kantor."
"Kamu, sudah mencoba jas nya?"
"Ya."
"Kamu belum berkenalan dengan calon istrimu."
Mata lelaki itu melirik gadis yang berdiri di samping Bu Devita. Anta menunduk, tidak berani menatapnya. Bisa ia rasakan, jika lelaki itu tidak suka padanya.
"Saya Elvano." Ujarnya tanpa mengulur tangan tanda perkenalan.
"Sa-saya, Anta."
"Perkenalan sudah. Aku harus ke kantor lagi." Tanpa menunggu jawaban Ibunya, Elvano pergi begitu.
Devita menatap putranya dengan tatapan nanar. Ia tidak pernah berharap putranya seperti ini. Ia ingin Elvano kembali seperti dulu.
"Tante," Suara lembut seorang perempuan membuat Devita menoleh. Begitu juga Anta. Seorang perempuan cantik berdiri dihadapan mereka sambil tersenyum manis.
"Dinda," Bu Devita langsung memeluknya. "Kenapa kamu disini? Bukannya kamu ke luar negeri? Mama kamu mana?" Tanya Bu Devita, melepas pelukannya.
"Aku nggak jadi ke luar negeri, tan. Mas Fahri nggak bolehin. Mama lagi temani Papa ketemu klien. Jadi, Dinda yang urus butik."
Bu Devita tersenyum dan mengusap lembut rambut ponakannya itu.
"Oh ya, perkenalkan, ini calon istri Elvano."
Dinda tersenyum pada Anta. Ia mengulurkan tangannya pada gadis itu. "Hai, aku Dinda. Sepupu Elvano."
"Aku Anta, Kak." Ujar Anta, membalas uluran tangan Dinda dan mendongak menatap wanita itu.
"Cantik." Gumam Dinda tanpa sadar, membuat Bu Devita tersenyum.
"Bagaimana? Pilihan tante nggak salahkan?"
Dinda menggeleng. "Enggak, tan. Nggak salah. Anta cantik, dan ku rasa, dia juga baik. Cocok disandingkan dengan sepupuku itu." Ujar Dinda dengan begitu semangat.
"Elvano sudah coba jasnya kan?" Dinda mengangguk. "Sekarang, tolong bantu Anta cobain gaunnya."
"Oke, tan." balas Dinda. "Ayo, Anta! Kita coba gaunnya."
Dinda langsung menarik tangan Anta mengikutinya. Mereka memasuki ruang ganti. Sementara Bu Devita menunggu di luar.
Dinda yang berada satu ruangan bersama Anta berdecak kagum saat gaun pengantin itu menempel pada tubuh Anta. Meski tanpa polesan make up, Anta tetap terlihat cantik.
"Kamu cantik, Anta. Elvano seharusnya bersyukur mendapatkan kamu." Ujar Dinda, yang dibalas senyum tipis oleh Anta.
"Terima kasih, kak."
"Ayo, kita keluar! Tante pasti kagum melihat penampilan kamu."
Kedua perempuan itu segera keluar. Devita yang sejak tadi terus menatap ruang ganti, berdecak kagum melihat calon menantunya keluar dari sana. Anta benar-benar cantik dengan gaun yang ia pilihkan.
"Kamu sangat cantik, nak." Ujarnya. "Dinda, bungkus gaunnya. Jangan sampai rusak, nak."
"Siap tante." Jawab wanita itu, semangat. Membuat Bu Devita terkekeh melihat ponakannya itu. Begitu juga Anta yang ikut terkekeh.
Anta mematut dirinya di depan cermin. Dia akui, gaun yang melekat di tubuhnya sangat cantik. Tapi, ia merasa tidak cocok mengenakannya. Pintu ruangan yang terbuka, membuat ia menoleh. Dua wanita yang mendandaninya tadi masuk, disusul Bu Devita dan Dinda.
"Bu, Kak." Ujar Anta, menyapa keduanya.
"Ya Tuhan, Anta. Kamu sangat cantik. Jauh lebih cantik dibandingkan di butik waktu itu." Puji Dinda.
"Kak Dinda juga sangat catik." Anta balas memuji.
"Mama pangling liat kamu secantik ini. Kalau Mama laki-laki, Mama pasti sangat bahagia memiliki istri secantik dan sebaik kamu."
"Bu, ja..."
"Mama sayang! Ma-ma! Mulai sekarang, kamu harus panggil Mama, seperti panggilan Elvano. Kamu sekarang sudah resmi menjadi menantu Mama. Elvano baru saja menyelesaikan akadnya. Sekarang kamu sudah resmi jadi mantu Mama."
Deg
Jantung Anta berdegup kencang. "A-akadnya sudah selesai?"
"Iya, Anta. Aku sama tante ke sini buat jemput kamu."
"Ayo, nak! Semua sudah tungguin kamu."
Anta meneguk ludahnya. Saat Bu Devita dan Dinda menggandeng tangannya, ia merasakan tangannya gemetar.
"Hehehe... Kamu nggak perlu gugup seperti ini." Ujar Dinda, saat merasakan tangan Anta gemetar.
"D-di luar pasti banyak orang."
"Tentu saja. Elvano satu-satunya anak Mama. Jadi, semua keluarga Mama undang. Ayo!"
Ketiga perempuan itu segera keluar dari ruang rias dan menuju tempat akad. Setiap tamu yang hadir menatap Anta yang terlihat begitu cantik dan anggun. Tidak sedikit dari mereka yang berdecak kagum dengan kecantikan gadis 20 tahun itu. Tapi, hal itu tidak berlaku bagi Elvano. Ia berdecih dalam hati melihat Anta yang begitu cantik.
Cih. Berusaha memikat semua orang? Huh, aku nggak akan terjatuh pada pesonamu itu. Batin Elvano.
Saat Anta sudah duduk persis di samping Elvano, penghulu meminta keduanya untuk menukar cincin pernikahan. Setelah itu, Anta diminta mencium tangan Elvano.
Elvano menyodorkan tangannya untuk dicium Anta. Gadis itu dengan tangan yang gemetaran menyambutnya.
"Lakukan dengan benar!" Desis Elvano sambil mengeraskan rahangnya.
Anta tertegun. Meski gemetaran, ia meraih cepat tangan Elvano dan menciumnya. Setelah melepaskannya, Elvano bergerak mengecup kening Anta. Bibir Elvano yang dingin menyentuh kening Anta. Membuat jantung gadis itu berdetak cepat. Setelah Ayah dan Ibunya, Elvano satu-satunya orang yang mengecup keningnya.
Ayah, Ibu. Anta rindu kalian. Batin Anta.
Mata gadis itu berkaca-kaca. Meski pernikahan ini ia lakukan terpaksa, tetap saja ini adalah pernikahannya. Peristiwa yang menjadi gerbang hidupnya yang baru. Peristiwa hanya ingin ia lakukan sekali seumur hidup bersama orang yang ia cintai. Ia ingin orang tuanya menyaksikan pernikahan itu. Namun, semuanya sirna. Pernikahannya ini adalah sebuah kesepakatan. Tidak ada kedua orang tuanya. Bahkan kedua adiknya tidak ada.
Maafkan Anta yang menjadikan pernikahan Anta sebagai sebuah kesepakatan. Maafkan Anta, Ayah, Ibu. Batinnya.
Elvano yang sudah melepas kecupannya di kening Anta, menatap gadis itu. Senyum miring yang begitu tipis terlihat di wajah Elvano.
Ratu drama. Sinisnya dalam hati.
***
Setelah bersalaman dengan tamu-tamu undangan, akhirnya Anta dan Elvano beristirahat juga.
"Ini, Mama bawain minum buat kalian." Bu Devita memberikan minuman pada putra dan menantunya.
"Cepatlah minum! Aku ada urusan. Harus kembali ke rumah." Ucap Elvano.
"Vano!"
"Apa, Ma? Jika Mama masih ingin dia bersama Mama, bawa saja! Nggak diantar ke rumah Vano juga nggak masalah."
"Vano, kamu!" Haris tersulut emosi. Dia tidak menyangka putranya jadi seperti ini. Haris mengangkat tangannya, hendak menampar Elvano. Namun, suara Anta membuat lelaki itu menghentikannya.
"Anta sudah selesai. Ayo, pergi sekarang!" Suara lembut Anta terdengar. Elvano melirik sinis pada gadis itu. Kemudian tangannya melambai ke arah babysitter yang disewa Bu Devita.
"Kamu nggak boleh bawa Evan." Ucap Bu Devita.
"Aku sudah menikah. Mama jangan mengingkari ucapan Mama." Jawab Elvano. Lelaki itu meraih Evan dan menggendongnya keluar, menuju mobil.
"Pa, Ma. Anta pamit dulu." Gadis itu meraih tangan keduanya dan mengecupnya. Tak ingin Elvano menunggu lama, Anta segera menyusul.
"Kau duduk di depan." Ujar Elvano pada Anta yang hendak membuka pintu belakang mobil. Dengan pasrah, Anta membuka pintu di depan. Ia duduk di samping supir.
Anta duduk dengan tenang. Sementara Elvano, ia dan Evan duduk nyaman di kursi belakang. Setelah hampir 30 menit, mereka tiba di kediaman Elvano.
Rumah itu tidak sebesar rumah Devita dan Haris. Namun, bagi Anta, itu sudah sangat besar.
Elvano turun dan berjalan cepat menuju rumah sambil menggendong Evan yang tertidur. Tak peduli dengan Anta yang berjalan lambat karena heels yang dikenakannya.
"Selamat malam, tuan." Sapa Bi Ijah.
"Ya." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Elvano. Dia segera menaiki tangga dan menuju kamar Evan.
"Selamat datang, dan selamat malam, nyonya muda." Sapa Bi Ijah pada Anta.
"Se-selamat malam..." Ucapan Anta tergantung karena ia tidak tahu sama sekali, siapa wanita paruh baya ini.
"Nyonya bisa panggil saya Bi Ijah."
"Se-selamat malam, Bi Ijah." Ulang Anta, membuat Bi Ijah tersenyum.
Sepertinya, gadis ini berbeda dengan wanita itu. Batin Bi Ijah.
"Mari, nyonya, saya antar ke kamar. Nyonya..."
"Mau kemana?" Suara dingin Elvano terdengar. Lelaki itu berdiri tak jauh dari Anta dan Bi Ijah. "Ada yang ingin saya bicarakan." Elvano berlalu meninggalkan keduanya tanpa penjelasan apa-apa.
Anta bingung. Namun, karena ada Bi Ijah, Anta bisa paham maksud Elvano.
"Maksud tuan, nyonya ikutlah ke ruang mana tuan pergi." Jelas Bi Ijah.
"I-ikut dengannya?"
"Iya. Nyonya pergilah."
Dengan perasaan ragu, Anta mengikuti kemana arah Elvano pergi, sambil menahan sakit di kakinya. Langkah Elvano berhenti di ruang keluarga. Anta pun ikut berhenti.
"Sesuai perjanjianmu dengan Mama, seperti itulah keseharianmu disini. Saya nggak akan mengurus urusanmu selain memberi makan dan uang sebagai tanggung jawab saya. Kau boleh melakukan apapun, asal nggak berdampak pada keluarga saya. Jangan pernah mengurus kehidupan saya. Evan tanggung jawabmu saat saya bekerja. Kau paham?"
Anta menggangguk. Namun, hal itu membuat Elvano merasa kesal. "Saya tidak tertarik dengan bahasa tubuhmu. Jawab saya dengan mulutmu!"
"I-iya. Aku paham."
"Bagus."
"Eeemm... Apa aku boleh bertanya beberapa hal?"
Elvano memicingkan matanya. Namun, ia tetap mengizinkan Anta bertanya. "Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Bagaimana aku memanggilmu?" Inilah pertanyaan pertama yang terlintas di otak Anta. Dia tidak tahu, harus memanggil Elvano dengan sebutan apa. Ia tidak ingin membuat lelaki itu marah karena panggilannya yang tak ia suka.
"Panggil saja apa yang kau inginkan. Asal jangan panggilan yang menghinaku." Jawab Elvano.
"Apa aku boleh ke kamar sekarang? Gaun ini..."
"Pergilah! Bi Ijah akan menunjukkan kamarmu."
"Terima kasih." Ujar Anta. Gadis itu berbalik dengan senyum yang mengembang di bibirnya. Ia pikir, ia akan tidur bersama Elvano. Tapi, ternyata takdir masih berpihak padanya. Elvano memberikan kamar lain untuknya. Dan dia begitu senang.
***
Anta menatap kamar yang ditunjukkan Bi Ijah. Kamarnya sangat luas. Meja riasnya sudah di siapkan perlengkapan untuk kecantikan. Bi Ijah juga menunjukkan lemari miliknya. Sudah terisi banyak pakaian. Tapi, ia penasaran dengan lemari sebelahnya. Bi Ijah tidak mengatakan apa-apa tentang lemari itu.
Karena penasaran, Anta mengulurkan tangannya untuk membuka lemari tersebut.
Ceklek...
Suara pintu terbuka membuat Anta terkejut. Ia menoleh dan mendapati Elvano disana. Tangan Anta kembali gemetaran. Ia meneguk ludahnya saat Elvano menutup pintu dan berjalan ke arahnya.
"Apa yang kamu lakukan?"
"Kenapa Mas El kesini?"
Pasangan suami istri itu bertanya bersamaan. Namun, ada perasaan aneh yang menyelimuti Elvano saat mendengar Anta memanggilnya 'Mas El'.
"A-aku penasaran, apa isi lemari ini."
"Pakaianku."
"Pa-pakaian? Ta-tapi... Ini kamarku."
"Huh!" Elvano tersenyum merendahkan. "Belum genap sehari, sudah terlihat keburukanmu." Elvano mendekat dan mencengkram kedua pipi Anta hingga wajah gadis itu mendongak menatapnya. "Dengar! Ini kamarku. Semua barang-barangmu yang ada disini, Mama yang mengaturnya. Ini milikku. Kamu hanya menumpang disini. MENUMPANG! Jadi, penuhi saja janjimu dengan Mama. Jangan ikut campur urusanku!" Elvano melepas cengkramnya dan melenggang ke kamar mandi.
Anta menunduk. Ingin menangis, tapi air matanya tidak jatuh. Ia menarik nafasnya. Inilah konsekuensi yang harus ia tanggung. Tapi, sungguh, ia tidak bermaksud untuk merasa paling berhak pada kamar ini.
"Inilah yang harus kamu terima, Anta. Demi Ricky." Gumamnya.
Anta kembali menarik nafasnya, membuka lemarinya dan memilih pakaian untuk dipakainya. Bu Devita mempersiapkan semua yang ia butuhkan.
Anta melirik ke arah kamar mandi. Tidak ada tanda-tanda jika Elvano akan keluar. Anta menghembuskan nafas lega. Ia berjalan menuju ruang ganti sambil membawa baju ganti miliknya.
"Bagaimana cara melepaskan gaun ini?" Gumam Anta, mencoba meraih resleting gaun yang ia kenakan. Posisi resleting yang berada di belakang membuat Anta kesulitan.
"Mau ku bantu?"
Deg...
Tubuh Anta menegang mendengar suara Elvano yang begitu dekat dengannya. Bahkan ia bisa merasakan hembusan nafas Elvano di belakang telinganya.
"Huh! Nggak perlu tegang seperti ini. Aku nggak bernafsu padamu!" Sarkas Elvano, membuat Anta merasa tak nyaman. Gadis itu maju, menjauhkan dirinya dari Elvano. Ia meraih pakaian yang dibawa masuk olehnya tadi.
"A-aku akan minta Bi Ijah membantuku." Ujarnya, lalu pergi begitu saja, keluar dari ruang ganti tersebut.
Elvano terus saja menatap Anta yang berjalan keluar, hingga pintu itu tertutup. Ia lalu berdecih kesal, kemudian mengganti bajunya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!