"Vaniii ...!!" Suara Bu Widia nyaris memecahkan gendang telinga seorang wanita di dalam sana. Vani mengayun langkah buru-buru sembari membenahi pakaiannya yang belum sepenuhnya sempurna.
"Ya, Bu, sebentar," ucap Vani lirih. Ia melihat kedua bola mata ibu mertuanya yang melotot dengan mulut maju beberapa senti. Perempuan berumur setengah abad lebih itu terus menghujam Vani dengan tatapan tajam.
"Buruan, lelet amat sih jadi perempuan!" maki Bu Widia tepat di depan wajah menantunya. Padahal jam baru menunjuk angka enam pagi, artinya masih ada satu jam lagi untuk mempersiapkan diri sebelum pergi ke pesta.
"Iya, Bu, maaf, tadi Mas Faisal minta di temenin sarapan dulu," balas Vani dengan wajah menunduk. Lelaki yang sudah hampir dua tahun hidup bersama Vani itu terkadang manja dan ingin selalu di layani, bahkan untuk urusan yang sebenarnya sepele. Tapi, tak masalah, Vani merasa senang, selagi dia bisa melakukannya untuk sang suami.
"Alahh, alasan! Tiap hari Ibu juga melayani bapakmu, tapi yow nggak lelet kaya kamu itu lho!" cebik Bu Widia kemudian. Masih dengan ngomel tidak jelas perempuan itu segera menarik Vani untuk ikut masuk ke dalam taksi online yang sudah terparkir di depan rumah.
"Jalan, Pak!" perintah Bu Widia pada laki-laki yang duduk di belakang kemudi. Kendaraan roda empat itu melaju membelah jalan kota yang terasa masih lengang.
Waktu bergulir semakin siang. Setengah jam lebih Vani dan Ibu mertuanya melakukan perjalanan ke acara pernikahan sahabatnya yang akan di adakan di sebuah gedung mewah. Saat taksi sampai di parkiran, Bu Widia segera keluar begitu saja tanpa menghiraukan Vani sama sekali.
"Bu, tunggu!" ucap Vani tertahan karena tak sengaja gamis yang ia kenakan tersangkut di bangku taksi. Pak supir yang melihatnya dengan cepat keluar dari bangku kemudi dan membantu melepaskannya.
"Hati-hati Mbak. Nanti kalau bajunya robek 'kan sayang." Ucapan pak supir sontak membuat Vani memalingkan wajah ke samping. Kearah ibu mertuanya yang malah terlihat acuh di depan sana.
"Buruan, Gevania!!" Bu Widia malah memperlihatkan wajah tidak suka. Setelah membayar ongkos taksi Vani buru-buru melangkah menyeimbangkan tubuhnya di samping perempuan paruh baya itu.
"Hei Bu Widia, apa kabar?" sapa salah seorang perempuan yang seumuran dengan Ibu. Nampaknya perempuan itu dari golongan sosialita karena Vani melihat gaya penampilannya yang sangat modis.
"Bu Evi!" balas Ibu dengan semangat. Keduanya saling menautkan pipi masing-masing, lalu perempuan bernama Evi itu melirik ke arah Vani, "Ini menantunya? Wah, cantik ya?"
Vani hanya tersenyum kaku membalas ucapan Bu Evi yang terdengar memujinya. Kedua matanya terus menatap penampilan Vani dari atas sampai bawah.
"Iya, Bu, namanya Gevania." Bu Widia tersenyum sumringah mendapat pujian itu, walau sebenarnya itu di tujukan untuk menantunya.
Vani pun bersalaman, lalu ikut menautkan kedua pipinya dengan Bu Evi tadi. Lima menit berlalu, tenyata teman Bu Evi bukan hanya mertuanya. Dari arah pintu depan datanglah segerombol Ibu-ibu dengan gayanya yang khas sosialita. Mereka langsung mendekat taatkala melihat Vani dan yang lain sudah lebih dulu tiba di tempat pesta.
Mereka saling bertukar kabar masing-masing. Vani hanya diam sesekali tersenyum saat salah satu dari mereka menyapa. Jujur saja saja Vani tidak menyukai suasana seperti ini. Ramai, gaduh dengan musik serta suara ibu-ibu yang saling bersahutan. Tapi, mau bagaimana lagi? Vani tidak bisa menolak saat sang mertua memaksanya.
Bu Widia bilang, nanti semua temannya akan membawa menantunya masing-masing. Dan, jika salah satu dari mereka berangkat sendiri, pasti nantinya akan jadi bahan omongan untuk yang lain.
"Bu, Vani ke toilet sebentar yah," pamit Vani pada ibu. Vani semakin pusing jika berada di keramaian seperti ini, maka buru-buru mengayun langkah setelah mendapat anggukan setuju dari perempuan itu.
Sayup-sayup Vani masih bisa mendengar saat salah satu dari mereka bertanya mengenai kabar pernikahannya. Awalnya Vani tak peduli, karena itu sudah biasa orang-orang tanyakan pada Ibu. Tapi, terpaksa Vani menghentikan langkah sejenak ketika pertanyaan itu menyinggung perihal anak.
"Bu Widia yakin kalau Vani nggak mandul? Udah periksa ke dokter belum?" Pertanyaan itu sedikit menyayat hati wanita di depan sana. Meski tidak berniat menggunjing, tapi tetap saja seharusnya mereka tidak perlu ikut campur urusan rumah tangga orang lain.
"Saya sih udah bilang ke Faisal suruh bawa istrinya ke dokter. Suruh Vani minum vitamin juga. Tapi ya, entahlah." Ibu terlihat frustasi saat pertanyaan itu mulai memprovokasinya. Begitupun dengan Vani yang masih setia menatapnya dari kejauhan.
"Kalau dalam waktu dekat ini Vani tak hamil juga, mungkin aku akan suruh Faisal menceraikannya!" Tiba-tiba Ibu bersuara lagi dengan kalimat yang membuat anak menantunya semakin sakit hati.
Deg,
Sebuah belati seolah menghujam Vani dengan tiba-tiba. Tubuh wanita itu hampir limbung, namun sekuat tenaga Vani menahannya agar tidak ambruk.
"Ingat Vani, kamu nggak boleh lemah!" Vani menyemangati diri sendiri. Ia cepat-cepat menghapus air mata yang luruh tanpa komando. Rasanya Vani ingin berteriak sekuat tenaga, menjelaskan pada mereka bahwa semua ini bukan salahnya. Tapi sekali lagi, suaranya seakan tercekat saat hampir mencapai tenggorokan.
Vani mengangsur langkah menuju toilet di depan sana, dan memutuskan menangis sepuasnya. Wanita itu menumpahkan sesak yang sejak tadi tertahan. Tak peduli jika nanti ibu memarahinya, atau memakinya karena terlalu lama pergi.
Setelah puas menangis dan kembali memunguti hati yang tadi sempat hancur berceceran, Vani memutuskan untuk kembali menemui ibu lagi. Seperti yang Vani bayangkan tadi, perempuan itu langsung marah menyadari keterlambatannya.
Aku tak peduli!
"Kamu ke toilet apa pingsan!" cecar ibu.
"Maaf, Bu, aku tadi ..."
"Udahlah, ibu malas dengerin alasanmu lagi!" Ibu memotong cepat ucapannya. Vani mengunci mulutku rapat. Takut, jika sampai salah bicara.
Ternyata omelan Ibu hanya di tanggapi biasa oleh teman-temannya. Di sebelah mereka terlihat para perempuan dengan bocah kecil yang mungkin usianya selisih beberapa tahun di atas Vani. Mereka terlihat bahagia sekali saling memperkenalkan anaknya masing-masing.
"Cuma kamu aja yang belum punya anak lho, Vani, kapan dong? Keburu Ibu mati!" Nyatanya pembahasan tadi belum berakhir. Kini hati Vani kembali tercabik-cabik. Jika saja bisa, Vani ingin berlari sejauh mungkin. Meninggalkan mereka-mereka yang tak punya hati sama sekali.
"Iya, kalian udah dua tahun nikah. Lihat tuh menantu Tante, dua bulan nikah langsung hamil. Kamu nggak pengen kaya dia?" Di sebelah sana semakin mematik ucapan ibu tadi.
Batin Vani meronta saat itu juga, gimana nggak langsung hamil, wong sebelum sah aja mereka udah DP duluan! gerutu Vani dalam hati.
Namun Vani hanya mampu memendamnya. Ya, Vani memang mengenalnya. Meski tidak dekat, tapi Vani tahu sepak terjangnya sebelum mereka menikah.
"Ya, makanya buruan! Buruan punya anak!" ucap salah satu dari mereka yang semakin membuat Vani semakin muak saja.
"Iya, kamu nggak kesepian? Apa nggak takut suamimu cari perempuan lagi!"
Amarah Vani semakin berkobar. Tapi, Ibu segera menahan Vani yang hendak maju kearah sana.
"Jangan coba-coba membuat keributan!" Ibu melotot, matanya nyaris melompat keluar.
Vani menghela napas panjang demi meredam emosinya yang sempat bergejolak. Sepanjang perjalanan Vani memutuskan untuk diam. Bicarapun percuma jika hanya akan menambah sakit hati. Di sebelahnya ibu terlihat biasa saja, seakan tidak pernah terjadi apapun, padahal dengan jelas berkali-kali perkataannya telah menyakiti hati sang menantu.
"Kamu dengar sendiri kan, Vani, kalau semua teman Ibu udah pada punya cucu!"
Vani mendesah frustasi. Lagi-lagi ibu membahasnya lagi padahal Vani sudah menunjukkan wajah mendung sejak tadi. Rasanya Vani ingin melompat keluar saja. Tapi, saat melirik laju taksi yang lumayan kencang, Vani jadi berpikir, bagaimana kalau nanti lecet? Bagaimana kalau wajahnya yang cantik jadi cacat, lalu Faisal benar-benar menceraikannya? Ah, tidak!
"Tumben kamu diem aja?" tanya Ibu. Tak sadar tadi dia sendiri yang melarang Vani saat ingin membalas ucapan salah satu temannya. Padahal jika tadi Bu Widia tidak menahannya, mungkin wajah cantik wanita itu sudah berbekas oleh cakaran kuku Vani.
"Kalau di tanya itu di jawab, Van!" Wajah Bu Widia melengos kesamping seakan enggan untuk melihat wajah menantunya. Vani hanya memutar kedua bola matanya malas.
Sampai akhirnya taksi yang mereka tumpangi tiba di pekarangan rumah, Vani bergegas turun setelah membayar ongkos tanpa menoleh ke arah ibu.
"Makasih, Pak!" Vani melangkahkan kaki menuju pintu rumah yang hanya tinggal beberapa jengkal lagi. Saat tangan itu hampir menyentuh gagang pintu, lagi, Vani mendengar Ibu memakinya dari arah belakang sana,
"Dasar, menantu kurang ajar! Bisa-bisanya dia nyelonong gitu aja!"
Aku tak peduli. Meraih handle pintu, lantas mendorongnya segera.
"Lho, kamu udah pulang, Van?" Faisal menatap kepulangan istrinya dengan wajah bingung. Pasalnya tadi pagi dia ijin pamit untuk menemani Ibu sampai malam, tapi ini baru jam lima sore kenapa sudah berada di rumah lagi?
"Udah Mas." Vani melewatinya begitu saja tanpa peduli dengan wajah bingung suaminya.
"Katanya sampai malam?"
"Aku kurang enak badan!" Menjawab cepat sebelum Faisal bertanya macam-macam. Vani membuka pintu kamar, dan membawa tubuh lelahnya untuk berbaring di atas ranjang.
"Van, kamu kenapa?" Ternyata Faisal ikut masuk dan duduk tepat di belakangnya. Saat pertanyaan itu terlontar dari bibirnya, hati wanita itu semakin perih. Jika saja dulu Faisal mau mendengar usulan Vani untuk membeli rumah yang jaraknya lebih jauh dari sini, mungkin kejadian tak mengenakkan ini tidak pernah Vani rasakan.
Tapi, sebagai anak laki-laki satu-satunya, tentu saja Faisal berusaha terus membujuk Vani, sampai akhirnya Vani menyetujui permintaannya untuk membeli rumah yang hanya berjarak dua rumah dari kediaman sang ibu.
"Kamu sakit?" Faisal menempelkan telapak tangan di kening sang istri, Vani buru-buru menepisnya sedikit kasar. Kedua bahunya terguncang hebat seiring tangis yang semakin kencang.
"Aku udah nggak tahan lagi, Mas! Aku mau pindah aja dari sini!" Wanita itu mendekap erat bantal guling yang sudah basah oleh air mata, lalu tatapan Faisal berubah sendu saat mendengar ucapan yang keluar dari bibir istrinya.
"Sabar, Van, namanya juga orang tua." Apalagi jika bukan masalah dengan ibu, sepertinya Faisal sudah hapal meski Vani belum sempat menjelaskan.
"Kalau Ibu ngomong apa-apa, kamu ngalah aja ya? Jangan membantah, apalagi mendebatnya." Bukan memberi solusi terbaik, Faisal seolah membela ibunya, meminta Vani terus diam dan menerima apapun yang perempuan itu katakan.
"Tapi, Ibu udah keterlaluan, Mas! Rasanya aku nggak sanggup kalau kaya gini terus!"
Nyatanya tangisan Vani yang seringkali Faisal lihat belum mampu meluluhkan hatinya.
"Aku nggak mungkin ninggalin Ibu, Van. Bagaimana nasibnya nanti? Lagipula kamu tahu sendiri 'kan, surga seorang laki-laki ada pada restu ibunya."
Mendengar jawaban Faisal, sontak Vani merengut, memasang wajah kesal yang tidak bisa di ungkapkan.
"Surga lagi, surga lagi. Aku juga tahu kalau masalah itu, Mas. Tapi, jika terus menyakiti hati Istri, bagaimana?" Vani hanya bisa membatin. Sejujurnya ia juga tak sampai hati jika mengumbar setiap perkataan ibu mertuanya dengan Faisal. Bukan apa, Vani hanya takut Faisal membenci ibunya kandungnya sendiri.
"Ya udah, aku mau mandi aja!" Vani bangkit dari ranjang empuk yang sejak tadi ia tempati. Melangkahkan kaki menuju satu ruangan di depan sana yang bernama kamar mandi.
Cukup lama Vani menghabiskan waktu di kamar mandi, hingga suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya seketika.
"Van ...!" Suara Faisal terdengar dari luar sana. Vani menyambar handuk yang tergantung di sudut ruangan, lantas menggunakannya buru-buru.
"Ada apa, Mas?" Ternyata Faisal sudah berdiri tepat di depan kamar mandi sembari membawa ponsel milik istrinya.
"Ada telepon." Faisal menyodorkan benda pipih itu. Vani lantas menerimanya.
[Hallo, Neng Vani!] ucap seseorang di seberang sana.
[Ada apa, Bik?] Vani langsung mengenal suara perempuan yang biasa di panggil Bi Minah itu.
[Lusa kamu bisa berangkat pagi, kan?] Suara perempuan seumuran ibunya itu terdengar lagi. Vani mengernyit heran. Sebelah tangannya masih sibuk mengeringkan rambut yang masih basah.
[Lho, memang kenapa Bi? Jatahku 'kan siang?] Vani kembali memutuskan untuk bertanya lagi.
[Bibi mau pulang kampung, Neng. Ada keperluan keluarga. Jadi, kamu gantiin tugas Bibi sementara ya?]
Menggantikan? Sontak Vani berpikir, menggantikan Bi Minah, artinya Vani harus memasak, membersihkan rumah, sekaligus melayani keperluan majikannya sendiri.
Oh, ya. Sudah hampir dua bulan Vani memutuskan untuk bekerja. Selain merasa jenuh jika terus nganggur tanpa melakukan apapun, Vani sengaja mencari hiburan agar tidak terlalu memikirkan omongan Ibu. Beruntung, Faisal mengijinkan. Namun dengan catatan, sore hari sebelum suaminya pulang, Vani harus sudah berada di rumah.
Vani meletakkan kembali benda pipih itu ke atas meja setelah menyetujui permintaan Bi Minah, lantas melirik Faisal yang sudah lebih dulu naik ke atas ranjang.
Malam mulai menyapa. Setelah melaksanakan kewajiban sebagai umat beragama, Vani langsung saja merebahkan diri di samping suaminya. Faisal masih terlihat sibuk dengan gawai di tangannya, sesekali tersenyum entah apa yang tengah di lihat di layar pipih itu.
"Mas ..." Suara Vani di buat semerdu mungkin. Sengaja untuk menggoda Faisal agar segera melirik ke arahnya dan meletakkan gawai miliknya.
"Apa, Van?" Hanya menengok sekilas, Faisal sibuk lagi menscroll layar handphone tanpa peduli sama sekali.
"Kapan, Mas? Ini udah hampir dua tahun lho?" Vani memancing pembahasan mengenai permasalahan itu lagi.
"Ibu pengen cepet-cepet punya cucu. Jadi, kapan, Mas?" Vani tidak mengerti, setelah pertanyaan itu Vani layangkan, tiba-tiba saja Faisal langsung memasang wajah tidak suka.
"Kamu apa-apaan sih, Van? Aku 'kan udah bilang, kita tunda dulu punya anaknya!" Suaranya nyaris merobohkan pertahanan Vani selama ini. Vani membeku seketika, cairan bening itu lolos begitu saja dari sudut mata wanita itu.
Apa yang salah? Aku cantik, semua orang bilang aku juga cukup menarik? Lantas, kenapa Mas Faisal selalu menolakku?
Gevania Aurora. Nama yang cantik bukan? Entah dari mana sang ibu mendapatkannya, yang pasti Vani sangat bersyukur memiliki nama itu. Vani anak tunggal dari seorang janda miskin bernama Lela. Ayahnya meninggal saat usianya baru menginjak satu tahun. Dan, sejak saat itu sang ibu mengurusnya seorang diri, membiayai keperluan mereka dengan cara bekerja serabutan. Jualan gorengan, sebagai tukang cuci gosok, semua ibunya lakukan agar Vani bisa hidup layak seperti anak-anak lain.
Meski hidup mereka susah, Vani tidak pernah sekalipun mendengar ibunya mengeluh. Lela selalu menutupi semuanya dengan senyuman, itulah yang Vani tahu saat tak sengaja melihat ibunya diam-diam menangis sendirian.
Saat usianya menginjak 18 tahun, Lela berniat menjodohkan putrinya dengan laki-laki bernama Faisal. Padahal saat itu Vani baru saja lulus SMA, ijazah–pun belum sempat dia terima karena keterlambatan membayar biaya sekolah.
"Maaf, Nak, Ibu sudah tidak sanggup lagi membiayai pendidikanmu ke jenjang lebih tinggi." Vani hanya menunduk menyembunyikan air mata yang hampir lolos dari kedua sudut mata.
Mungkin, ibunya berpikir untuk apa sekolah tinggi-tinggi jika akhirnya akan menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anak di rumah.
Bukan tak ingin berusaha, tapi setiap hari Vani sudah berkeliling mencari pekerjaan paruh waktu. Vani ingin sekali menabung untuk biaya kuliahnya nanti. Namun, rencana itu harus pupus seketika saat Vani harus menerima pinangan dari laki-laki yang di pilihkan oleh ibunya.
"Faisal laki-laki yang baik. Dia juga anak teman ibu. Dan ibu yakin kamu akan bahagia bersamanya.
"Baiklah. Demi Ibu akan menerima perjodohan ini." Meski sedikit terpaksa, Vani menerima apa yang ibunya pilihkan. Vani tidak ingin jadi anak durhaka. Setidaknya, inilah baktinya untuk sang ibu.
Tidak dapat di pungkiri, Faisal adalah sosok laki-laki yang mampu membuatnya jatuh hati. Persis seperti yang ibunya bilang. Bukan hanya soal fisik, tapi sifatnya yang baik serta tutur katanya yang lembut semakin membuat Vani terpikat olehnya.
Vani dan Faisal di kenalkan lewat ta'aruf, lantas seminggu kemudian dari pihak Keluarga Faisal menetapkan hari pernikahan mereka. Lela menurut saja. Menyerahkan seluruh keputusan pada Keluarga Faisal dengan harapan putrinya bisa hidup lebih baik lagi.
"Bagaimana Bu Lela? Apa ada yang ingin di sampaikan lagi? Atau mengenai mahar, kami akan berusaha memenuhinya." Salah satu kerabat dari keluarga Faisal bersuara. Vani memilih bungkam dan menyerahkan semuanya pada sang ibu.
"Tidak. Kami ikut saja apa yang terbaik menurut mereka." Itulah keputusan akhir ibu.
Hari pernikahan di gelar secara mewah dan meriah, tentu saja Vani sangat bahagia, sebagai seorang gadis yang notabene berasal dari kalangan menengah ke bawah, siapa sih yang tidak merasa beruntung?
Setelah menikah, Vani harap keberuntungan itu akan selalu menyertainya. Vani ikut suaminya pindah ke rumah baru mereka. Awalnya Faisal punya rencana memboyong Bu Lela juga. Tapi, Lela merasa tidak enak sendiri, takut mengganggu kenyamanan mereka katanya. Akhirnya dengan terpaksa Vani meninggalkan ibunya di rumah peninggalan sang ayah.
"Sering-seringlah datang untuk menengok Ibu." Ucapan ibu sontak membuat Vani menangis haru. Lela melepas kepergian anak dan menantunya dengan senyuman, tapi tidak dengan Vani yang masih terisak di dalam mobil yang mereka tumpangi.
Rumah baru Vani masih satu komplek dengan rumah ibu mertuanya, bahkan hanya berjarak dua rumah saja. Vani tidak pernah menyangka apalagi membayangkan akan menjadi ratu di rumah sebagus itu. Beda sekali dengan rumah tinggalnya dulu, yang terkadang masih bocor saat hujan datang.
"Apa kamu senang?" Suara Faisal menyentak lamunanya. Vani buru-buru menguasai diri dan menyambut uluran tangan suaminya.
Tiga bulan pernikahan semua masih berjalan baik-baik saja. Faisal semakin sayang dan memperlakuka Vani dengan sangat romantis. Setiap bulannya juga selalu mengirimkan uang untuk keperluan ibunya sehari-hari dengan nilai yang lumayan banyak.Tapi, ternyata hal itu tak berlangsung lama.
Vani pikir setelah menikah, ibu mertuanya tidak akan ikut campur masalah rumah tangganya dengan Faisal. Tapi nyatanya itu salah. Bukan sekali, dua kali, tapi, hampir semua yang berhubungan dengan Faisal ibunya lah yang mengaturnya.
"Ini jatah uang bulanan untukmu." Bahkan uang bulanan yang Faisal berikan untuk Vani sekarang harus lewat persetujuan ibu mertuanya lebih dulu.
Bukan tak ikhlas, sungguh, Vani juga tahu jika suaminya milik ibunya. Tapi, entah kenapa semakin ke sini rasanya begitu berat menjalani hari-hari. Apalagi sekarang uang bulanan yang Faisal berikan semakin terpangkas. Entah apa alasannya, ibu mertuanya hanya bilang jika Faisal menggunakan sebagian uangnya untuk keperluan yang lebih penting.
"Maaf, jika uang bulananmu berkurang. Kamu nggak apa-apa kan, Van?" Vani menurut saja. Meskipun terkadang Vani harus berhemat agar uang bulanan itu bisa cukup sampai akhir bulan.
Lelah, mungkin iya. Tapi sekali lagi, Vani berusaha memakluminya. Bagaimana–pun dia tetap ibu dari Mas Faisal, Ibu dari laki-laki yang sangat aku cintai, bisik Vani setiap kali galau melanda.
Bulan berganti tahun, tak terasa usia pernikahan Vani menginjak tahun kedua. Dan tepat hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka.
Vani sangat bahagia, rasanya Vani ingin menghentikan waktu sejenak. Ingin lebih lama lagi menikmati suasana romantis ini dengan suaminya. Namun, ada sesuatu yang sampai saat ini menjadi beban pikirannya, yaitu ....
"Kapan kamu hamil, Van?" tanya Bu Widia untuk yang kesekian kalinya. Vani hanya menunduk, meremas jemarinya yang terasa dingin, sedangkan Faisal hanya bungkam tanpa ekspresi apapun.
"Ini udah tahun kedua pernikahan kalian, lho, kapan Ibu punya cucu?" cicit Ibu lagi. Vani merasa bersalah, sekaligus bingung. Bersalah karena sampai saat ini belum bisa memberikan apa yang ibu mertuanya inginkan. Namun bingung, karena Faisal sendiri selalu ... ahhhh entahlah ...
"Kalian udah periksa ke dokter? Lalu, gimana hasilnya? Semua sehat, kan?" tanya Ibu lagi. Vani kira Ibu sudah melangkah pergi setelah menaruh sup kesukaan suaminya, ternyata perempuan itu masih setia menunggu jawaban mereka dari depan pintu.
"Sabar, Bu. Mungkin sekarang belum saatnya," jawab Faisal sembari mendekati Ibu. Lantas, pandangannya menatap ke arah Vani.
"Terus kapan dong? Di antara teman-teman Ibu, hanya Ibu yang belum punya cucu!" sambungnya lagi. Ibu beralih menatap ke arah Vani. bergantian dengan tatapan Faisal tadi, "Kamu sebenarnya mandul nggak sih, Van?"
Duarrr!
Hati Vani semakin teriris mendengar pertanyaan Bu Widia. Bagaimana bisa mertuanya setega itu mengatakan dengan sangat terang-terangan tanpa memperdulikan perasaan menantunya sendiri.
"Bu ..." Faisal mengusap punggung ibu lembut. Padahal di sinilah Vani yang sebenarnya paling hancur. Istrinya yang seharusnya Faisal tenangkan.
Saat cairan bening ini hampir luruh, saat itu juga Bu Widia bersuara lagi, "Udahlah, Ibu capek! Tensi Ibu bisa naik kalau lama-lama mikirin rumah tangga kamu!" Perempuan yang di sebut mertua itu melangkah begitu saja tanpa mempedulikan perasaan Vani yang luluh lantak.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!