Tok... Tok... Tok...
"Nadia... Nadia..." seru seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah ibu dari seorang gadis yang bernama Nadia sambil terus mengetuk pintu kamar anaknya itu.
Ceklek...
"Ada apa sih, bu?" kesal Nadia setelah membuka pintu kamarnya yang sedari tadi diketuk oleh ibunya.
Terlihat sekali dari wajahnya kalau gadis itu baru saja bangun dari tidur nyenyaknya. Rambut berantakan dan masih menggunakan baju tidur menjadi ciri khas seorang Nadia yang seringkali bangun siang pada saat hari libur.
"Kenapa kamu belum siap-siap juga? Ini sudah jam setengah 10 dan sebentar lagi tamu kita akan datang" kesal Ibu Nadia yang bernama Ibu Ratmi.
"Emang ada acara apa sih, bu?" tanya Nadia dengan wajah bingung.
"Nggak usah tanya-tanya. Sekarang kamu mandi lalu ganti pakaian yang semalam ibu kasih" titah Ibu Ratmi dengan ketus kemudian berlalu pergi meninggalkan anaknya.
"Pakaian yang semalam? Aku taruh mana ya?" gumam Nadia sambil mengingat-ingat sebuah bungkusan yang semalam diberikan ibunya.
Ibunya semalam memberikan sebuah bungkusan yang entah isinya apa ke Nadia, namun Nadia hanya melemparnya asal bahkan ia tak berniat untuk membukanya sama sekali. Nadia juga tak mendengarkan apa yang diucapkan ibunya semalam karena ia sibuk dengan novel yang dibacanya.
Nadia segera saja masuk ke dalam kamarnya dan mencari barang yang diberikan ibunya. Selama beberapa menit mencari, ia tak kunjung juga menemukannya hingga membuatnya frustasi.
"Astaga... Kemana sih tuh barang? Perasaan semalam aku lempar di daerah sini deh. Masa iya tuh bungkusan bisa jalan-jalan sendiri" gerutu Nadia sambil mengacak rambutnya frustasi.
Nadia adalah seorang gadis tomboy dan urakan. Bahkan style yang digunakannya membuatnya seringkali dikira laki-laki jika tak terlihat rambut panjangnya. Nadia juga orang yang sangat cuek terhadap penampilan dan kerapian tempat. Buktinya setiap ada barang yang diberikan kepadanya langsung asal saja dia lempar yang penting baginya adalah barang itu sudah ia terima dan ada dikamarnya.
Kedua orangtuanya yang sudah pusing dengan tingkah Nadia pun setiap harinya hanya bisa menghela nafas pasrah. Mereka selalu mencoba untuk menyuruh dan melakukan semua hal yang menurut Nadia sangat menyebalkan. Mereka juga selalu menuntut Nadia agar menjadi seseorang yang sangat mereka idolakan yaitu seperti anaknya Pak RT yang cantik, anggun, ramah, dan pintar berhias. Namun jelas-jelas Nadia menolak keras hal itu walaupun setiap harinya ia harus mendengarkan ceramah panjang lebar dari kedua orangtuanya.
"Nah... Ini dia" serunya saat melihat sebuah bungkusan yang teronggok di bawah kolong kasur miliknya.
Nadia pun segera membungkukkan badan untuk mengambil bungkusan itu. Setelah berhasil mengambil, ia segera saja membuka isi bungkusan berwarna coklat itu. Matanya seketika membelalak kaget melihat isi di dalam bungkusan itu.
"What? Ini baju apa singlet belum jadi?" seru Nadia dengan menatap tak percaya baju yang ada di depan matanya.
Isi bungkusan itu adalah gaun berwarna merah menyala dengan tali spagheti tanpa lengan dengan bawahan rok mengembang. Bahkan jika dipakai Elli yang badannya tinggi itu bagian rok bawahnya hanya bisa menutupi setengah bagian pahanya.
"Ogahlah aku pakai baju kaya gini, mending pakai celana jeans dan kaos aja. Lagian paling juga cuma suruh nyambut tamu arisan aja" ucap Nadia yang kemudian membuang asal gaun itu dan langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
***
"Papa... Papa..." seru seorang gadis kecil yang tengah berlarian dari ruang tamu menuju ke arah pintu utama mansion mewah itu.
Gadis kecil bernama Anara Listya Farda itu mendengar adanya suara mobil yang dikendarai papanya sudah tiba di depan mansion yang berarti papanya sudah pulang dari tempatnya bekerja. Mendengar suara mobil papanya membuat ia langsung berlari untuk menyambut kedatangan papanya itu. Ia sungguh sangat rindu dengan papanya karena sudah 3 hari ini ia tak bertemu.
Di ruang tamu, terlihat juga seorang balita kecil laki-laki berusia 3 tahun yang tengah merengek kepada neneknya untuk diturunkan dari gendongan karena ingin menyusul kakaknya.
"Pa..." seru balita laki-laki yang bernama Arnold Listyo Farda.
Setelah berhasil turun dari gendongan neneknya, segera saja ia melangkahkan kaki kecilnya untuk menyusul kakaknya yang sudah berlari terlebih dahulu.
"Halo anak papa yang tampan" sapa seorang laki-laki tampan yang tengah menggendong seorang anak perempuan.
Laki-laki itu adalah Andrean Agustin Farda. Seorang ayah dari dua anak yaitu Anara dan Arnold. Andre, panggilan akrabnya merupakan seorang duda kaya dengan dua orang anak. Ia menjadi duda karena ditinggalkan oleh mantan istrinya yang lebih memilih laki-laki lain disaat kondisi keluarganya sedang terpuruk. Mantan istrinya juga meninggalkan kedua anaknya, yang saat itu Arnold baru saja dilahirkan.
Andre sama sekali tak menyesal karena melepaskan mantan istrinya itu karena ia berpikir bahwa memang Tuhan ingin menjauhkannya dari seseorang yang tidak tepat. Terlebih selama ini mantan istrinya itu tak pernah mau mengurus anaknya terutama Anara. Semenjak kejadian perceraian dengan mantan istrinya, Andre seolah menutup diri dari banyak wanita yang mendekatinya, bahkan ia belum mau sama sekali menjalin hubungan percintaan lagi.
Andre merupakan sosok yang kaku dalam pertemanan dan percintaan, namun ketika berada di dalam lingkungan keluarga ia akan bersikap hangat terutama pada kedua anak dan kedua orangtuanya.
Saat bertemu dengn Arnold di dekat pintu mansion, Andre segera menggendong anak laki-lakinya itu dengan tangan kirinya karena di tangan kanan sudah ada Anara. Kemudian ia berjalan bersama kedua anaknya yang berada di gendongannya menuju ke arah ruang tamu yang sudah ada kedua orangtuanya sedang menunggu.
"Sini Anara dan Arnold... Sama kakek dan nenek aja, kasihan papa masih capek habis pulang bekerja" ucap sang kakek atau ayah dari Andre yaitu Reza Ernest Farda berusaha membujuk kedua cucunya untuk turun dari gendongan Andre.
"Nggak" tolak Anara yang masih terus mengalungkan tangannya dengan erat ke leher sang papa.
"Udah nggak papa, pa. Mungkin mereka lagi kangen sama Andre. Apalagi akhir-akhir ini Andre jarang ada waktu untuk mereka karena sibuk bekerja" ucap Andre yang kemudian duduk di sofa sambil menggendong kedua anaknya.
"Gimana dengan masalah di cabang perusahaan?" tanya Papa Reza memecahkan keheningan di antara mereka.
"Semua sudah teratasi. Ini hanya masalah komunikasi saja antara pihak administrasi produksi dengan supplier bahan baku" ucap Andre membuat Papa Reza hanya mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.
"Ndre, kemarin mama ditawarin tentang..."
"Udahlah ma, nggak perlu. Andre nggak mau kedua anakku punya babysitter. Aku khawatir dengan mereka apalagi mengingat banyaknya kasus yang marak tentang babysitter yang menculik anak majikannya. Lagipula masih ada Mbok Imah yang bisa jagain mereka kalau mama dan papa pergi" ucap Andre memotong ucapan mamanya.
Andre sudah tahu mengenai arah pembicaraan mamanya yang akan membahas tentang pengasuh untuk kedua anaknya. Selama ini ia tak pernah setuju dengan ide dari mamanya itu, terlebih sekarang banyak terjadi kasus yang melibatkan pengasuh anak. Ia juga tak ingin kalau anaknya nanti malah jauh lebih dekat dengan pengasuhnya daripada keluarganya sendiri.
"Baiklah..." pasrah Mama Andre yang bernama Anisa Livia Farda.
"Andre ke atas dulu ma, pa soalnya anak-anak sudah tertidur" pamit Andre kepada kedua orangtuanya saat melihat kedua anaknya sudah terlelap di bahunya.
Kedua orangtua Andre pun menganggukkan kepala sebagai jawaban, setelah itu Andre segera pergi berlalu menuju ke kamarnya bersama kedua anaknya yang masih terlelap dalam gendongannya.
Nadia keluar kamar dengan setelan celana jeans, kaos lengan pendek dengan dipadukan kemeja kotak-kotak dan sepatu warna putih. Jangan lupakan sebuah topi yang dipakai terbalik membuatnya benar-benar menirukan style anak laki-laki. Kedua orangtua Nadia yang sudah rapi dengan pakaian batiknya sontak saja tercengang dengan pakaian yang digunakan oleh Nadia saat keluar dari kamarnya.
"Nadia, apa-apaan pakaian yang kamu pakai itu? Kamu kira kita mau ke pasar dengan pakaian seperti itu? Mana pakaian yang ibu kasih semalam? Kenapa nggak kamu pakai?" omel Ibu Ratmi kepada Nadia.
Nadia yang mendengarkan omelan ibunya hanya bisa menutup kedua telinganya, kemudian berjalan santai dan duduk di kursi ruang tamu yang sudah tersedia banyak makanan dan minuman di meja. Sedangkan ayah dari Nadia, Deno Yulistio hanya bisa menghela nafasnya kasar melihat tingkah anaknya itu.
"Ganti pakaianmu dengan yang ibumu berikan semalam, nak" ucap Ayah Deno dengan lembut.
"Enggak yah, Nadia nggak mau. Itu pakaian kaya singlet belum jadi. Duh nggak banget, ntar malah dikira Nadia mau mangkal di gang depan lagi" tolak Nadia dengan acuh tak acuh.
Mendengar jawaban Nadia sontak saja membuat kedua orangtuanya tertohok. Apalagi mereka tahu kalau baju itu memang sangat minim untuk seorang perempuan seperti Nadia. Pakaian itu diberikan dari tamu yang akan datang pagi ini ke rumah mereka.
"Pusing aku mikirin anakmu ini, yah" keluh Ibu Ratmi.
"Anak ibu juga kali. Dulu ibu ngidam apa sih sampai anaknya kaya gini bentukannya. Kamu tuh mbok ya liat Nia itu lho yang anggun dan selalu pakai rok kalau kemana-mana" ucap Ayah Deno yang mulai membanding-bandingkan Nadia dengan anak Bapak RT, Nia.
"Saking anggunnya karena pakai rok, bahkan ke sawah pun dia pakai itu rok. Biar apa dia pakai rok ke sawah? Biar kalau kena angin, roknya terbang-terbang buat menarik perhatian laki-laki" balas Nadia dengan ketus.
"Udahlah kalian nggak perlu ngurusin masalah pakaian Nadia. Toh yang penting Nadia masih pakai pakaian sopan dan tak mengundang syahwat laki-laki. Ini siapa tamu yang mau datang? Kok kalian pakai batik dan semua makanan tersedia disini. Kaya mau ada acara penting aja deh" lanjutnya dengan bertanya.
"Nanti kamu juga tahu" ucap Ibu Ratmi penuh teka-teki.
Nadia yang tak mendapatkan jawaban pasti dari ayah dan ibunya pun memilih untuk acuh tak acuh sembari duduk dan memainkan hpnya. Sedangkan kedua orangtua Nadia menampakkan wajah antusias menanti seseorang yang sedari tadi sudah mereka tunggu walaupun dalam hati mereka kesal karena Nadia tak mau mengganti pakaiannya.
***
Tok... Tok... Tok...
"Permisi" seru beberapa orang yang ada diluar rumah Nadia.
Mendengar seruan itu, kedua orangtua Nadia segera saja berdiri lalu dengan antusiasnya berjalan untuk membuka pintu, sedangkan Nadia hanya mengedikkan bahunya acuh kemudian melanjutkan bermain dengan ponselnya.
Tak berapa lama, beberapa orang masuk mengikuti kedua orangtua Nadia yang berada di barisan paling depan. Terlihat sekali bahwa semua tamu kedua orangtuanya itu memakai pakaian batik formal.
"Nadia..." seru seorang laki-laki dengan tingkah kemayunya memanggil Nadia dengan suara lemah lembut.
Nadia yang fokus dengan ponselnya pun seketika kaget mendengar seruan seseorang yang sangat dihindarinya memanggil namanya dengan nada yang terdengar menjijikkan di telinganya. Untungnya ponsel yang ia pegang tak ia lempar karena refleks kaget.
"Ngapain loe kesini? Mana bawa semua keluarga lagi? Kaya mau lamaran aja" ucap Nadia saat melihat bahwa dibelakang kedua orangtuanya ada keluarga besar dari laki-laki kemayu itu.
"Kita kan emang mau lamaran, Nadia. Nadia pasti senang kan mau nikah sama David" ucap seorang laki-laki bernama David itu dengan nada seperti anak kecil.
Sebenarnya nama laki-laki itu bukanlah David, namun namanya adalah Parno. Menurut Parno, nama yang diberikan kedua orangtuanya tidak kekinian makanya dia mengganti namanya sendiri dengan David. Namun tetap saja orang-orang di desa itu memanggilnya dengan Parno.
"Apa? Lamaran? Nikah? Mimpi loe" kaget Nadia dengan mulut yang menganga.
"Udah... Udah... Lebih baik kita bicarakan sambil duduk. Ayo sini semua duduk dulu" ucap Ibu Ratmi mengajak semuanya untuk duduk dulu agar bisa mengalihkan perhatian anaknya yang kini masih terlihat kaget.
Semuanya pun akhirnya menempatkan dirinya untuk duduk di semua kursi yang telah disediakan di ruang tamu. Ada sekitar 10 orang tamu yang datang dengan 3 orang sebagai tuan rumah.
"Hmm... Jadi Nadia, tujuan keluarga Parno datang kemari adalah untuk melamar kamu sebagai istri dari nak Parno" ucap Ayah Deno to the pont membuat Nadia seketika saja terkejut.
"Ayah apa-apaan sih? Kenapa nggak bilang dan tanya Nadia dulu kalau mau ada lamaran atau apalah ini?" seru Nadia tak terima setelah tersadar dari keterjutannya.
Terlihat sekali kalau Nadia tak terima dengan acara ini karena ia sama sekali tak diberitahu sebelumnya. Mata Nadia memancarkan kekecewaan kepada kedua orangtuanya yang selalu saja ikut campur mengenai kehidupannya.
"Nadia, nggak boleh teriak-teriak gitu sama ayah. Ini acara lamaran sudah kami rundingkan dengan keluarga Parno sebelumnya dan kami sudah menyetujuinya, jadi kamu harus menghormati apapun keputusan kami" bentak Ibu Ratmi dengan tatapan tajamnya.
Nadia yang dibentak oleh ibunya pun menatap tak percaya kepada kedua orangtuanya itu. Pasalnya selama ini walaupun mereka terlihat menyuruh dan menekan kehidupannya namun sama sekali mereka tak pernah sampai membentak dirinya.
"Duduk dan dengarkan" tegas Ibu Ratmi membuat Nadia terdiam dengan tatapan kecewanya, sedangkan Ayah Deno hanya diam saja.
Mereka pun melanjutkan acara itu dengan suasana yang teramat canggung karena setiap kali ada yang bertanya maka Nadia hanya akan diam saja dengan tatapan datarnya. Melihat hal itu tentu saja kedua orangtua Nadia yang berinisiatif untuk menjawab.
"Jadi sepakat ya Pak Deno dan Bu Ratmi kalau kita akan menikahkan kedua anak kita setelah lebaran nanti" ucap Pak Aden, ayah dari Parno.
"Iya Pak Aden" setuju Ayah Deno sambil tersenyum sumringah, begitu pula Ibu Ratmi.
Setelah kesepakatan tentang pernikahan tercapai, keluarga besar Parno pun segera pamit kepada keluarga Nadia.
"Kalau begitu kami pamit untuk pulang dulu ya pak, bu. Untuk seluruh rangkaian acara pernikahan, nanti kita bisa bahas lain waktu" pamit Pak Aden dan diangguki oleh Ayah Deno.
"Nadia, David pulang dulu ya. Sampai jumpa lagi nanti sewaktu kita daftar ke KUA" ucap David dengan nada kemayunya hingga membuat Nadia rasanya ingin muntah saja.
Nadia hanya diam saja sambil membuang muka ke arah lain saat semua tamu berpamitan dan bersalaman dengannya. Setelah keluarga besar Parno pulang, Nadia segera saja meluapkan seluruh perasaan yang dirasakannya kepada kedua orangtuanya itu.
Keluarga kecil Nadia kini sedang duduk di ruang tamu dengan keadaan hening. Nadia dengan tatapan datarnya menatap kedua orangtuanya yang sedang menundukkan kepala. Mereka berada di depan Nadia seperti tersangka yang akan segera melakukan persidangan.
"Maksud ayah dan ibu apa menjodohkan Nadia dengan Parno? Nadia nggak suka sama Parno" tanya Nadia dengan raut wajah tanpa ekspresi.
"Ibu takut kamu nggak nikah-nikah karena penampilan kamu yang seperti laki-laki kaya gini. Masih untung ada Parno yang dengan lugasnya mengatakan cinta dan ingin menjadi suamimu. Parno juga mau menerimamu apa adanya" ucap Ibu Ratmi dengan nada seperti merendahkan anaknya sendiri.
Nadia yang mendengar ucapan ibunya sontak saja menatap tak percaya wanita yang telah melahirkannya itu. Ada gurat kekecewaan di matanya saat ibunya sendiri merendahkan dirinya.
"Bu, jodoh itu udah ada yang nentuin. Jadi ibu nggak perlu risau dengan siapa nantinya yang akan menjadi jodoh Nadia. Nadia itu masih berumur 23 tahun. Umur segini belum nikah dan belum punya pacar juga nggak papa kali, nggak ada undang-undang yang mengatur. Lagian Nadia itu nggak cinta sama laki-laki kemayu kaya gitu. Yang ada ntar malah Nadia yang jadi suaminya dan si Parno yang jadi istrinya" ucap Nadia dengan ketus.
"Di desa ini mah umur segitu juga harusnya udah nikah, Nad. Udahlah mending kamu turutin kemauan kami. Lagipula mana ada laki-laki yang mau sama modelan cewek tapi laki-laki kaya kamu selain si Parno" ucap Ibu Ratmi dengan mulut pedasnya tanpa memikirkan perasaan Nadia.
"Parno itu apa sih kurangnya? Dia itu anaknya juragan sapi lho, Nad. Kamu nggak perlu kerja keras untuk mendapatkan uang, tinggal ikut ngurusin itu sapi-sapi aja duit udah keluar" lanjutnya.
"Parno itu kurang waras, bu. Masa kalian tega ngebiarin anak perempuan kalian satu-satunya menikah dengan laki-laki kemayu dan kekanakan seperti dia sih. Kalau emang ibu mau sapinya keluarga si Parno ya udah, ibu aja sana yang nikah sama Parno atau nikah aja sekalian sama sapinya" ucap Nadia dengan ketus.
"Nadia... Ibu dan ayah hanya ingin yang terbaik untuk kamu di masa depannya. Kamu kok malah ngomong kaya gitu sama ibumu, itu tidak sopan. Kami tak pernah mengajari kamu bersikap kaya gitu" tegur Ayah Deno yang sedari tadi hanya diam memperhatikan perdebatan antara istri dan anaknya.
"Terbaik? Terbaik untuk siapa? Semua yang kalian lakukan itu hanya terbaik untuk kalian bukan untuk Nadia. Kebahagiaan Nadia itu hanya bisa Nadia yang tentukan sendiri. Dari dulu ibu dan ayah selalu memaksa Nadia untuk menuruti semua kemauan kalian dan Nadia menurutinya. Sekarang? Nadia nggak akan pernah mau menuruti kemauan kalian terutama tentang pernikahan. Nadia punya pilihan sendiri untuk hal ini dan pilihan Nadia bukanlah Parno. Tolong kali ini saja jangan egois, Nadia bisa kok menentukan pilihan terbaik untuk kehidupan Nadia kelak" ucap Nadia dengan nada melemah.
Nadia benar-benar sudah pasrah bernegosiasi dengan kedua orangtuanya yang egois dan keras kepala itu. Setelah mengucapkan hal itu, Nadia segera saja berlalu pergi menuju kamarnya dengan wajah memerah menahan marah dan kesal. Sedangkan kedua orangtua Nadia hanya mampu terdiam mendengar semua unek-unek yang diucapkan anaknya itu.
"Apa kita selama ini egois, yah? Terlalu memaksakan keinginan kita pada Nadia" tanya Ibu Ratmi pada Ayah Deno setelah melihat pintu kamar Nadia ditutup dengan kasar.
"Ayah juga berpikir seperti itu, bu. Apa kita batalkan saja tentang rencana pernikahan Nadia dan Parno?" tanya Ayah Deno dengan tatapan bersalahnya.
"Ayah tahu sendirikan gimana keluarganya si Parno itu? Kalau mereka nggak bisa dapatin keinginannya, mereka pasti akan nekat buat nekan kita. Pasti mereka juga bakalan nuntut ganti rugi" ucap Ibu Ratmi dengan nada khawatir.
"Ya gimana lagi, bu? Daripada kita dibenci sama anak kita sendiri. Ayah rela harus kehilangan harta daripada kebahagiaan anak kita dipertaruhkan disini" ucap Ayah Deno dengan tatapan sendu.
"Besok kita ke rumah mereka, yah. Kita coba bicara baik-baik siapa tahu mereka bisa memahami keadaan kita" saran Ibu Ratmi dan diangguki setuju oleh Ayah Deno.
Kedua orangtua Nadia pun segera masuk ke dalam kamar setelah merundingkan jalan tengah yang akan mereka ambil untuk masalah yang sedang dihadapi. Apapun yang akan terjadi nantinya, mereka hanya ingin kebahagiaan tercipta untuk anak perempuan satu-satunya itu.
***
Nadia saat ini tengah berada di kamarnya, berdiri sambil memandang wajah dan tubuhnya di kaca besar pada lemarinya. Ia membalik-balikkan badannya sambil meneliti semua bagian tubuhnya dari atas ke bawah, namun ia merasa tak ada yang aneh.
"Masa iya gue yang punya body aduhai ini bisa-bisanya mau dijodohin sama laki-laki lembek kaya gitu. Sungguh dunia benar-benar terbalik" gumam Nadia.
"Aku harus ngelakuin sesuatu biar pernikahan ini dibatalin. Tapi apa ya?" lanjutnya sambil memikirkan cara untuk membatalkan acara itu.
"Gotcha" pekiknya saat menemukan suatu ide cemerlang setelah beberapa menit berpikir.
Setelah menemukan suatu ide, Nadia segera saja menyiapkan segala sesuatunya. Ia mengambil sebuah tas ransel besar kemudian mengisinya dengan beberapa pakaian dan barang-barang penting. Nadia memutuskan untuk kabur dari rumah agar bisa membatalkan perjodohan yang dilakukan kedua orangtuanya. Walaupun caranya salah namun ini merupakan salah satu cara menghindari masalah berkelanjutan ke depannya.
Nadia tahu kalau keluarga Parno takkan pernah melepaskan seseorang yang sudah diincarnya. Mereka akan nekat mengusahakan apapun demi mendapatkan apa yang mereka inginkan.
"Maafkan Nadia ya yah, bu. Maafin Nadia yang nggak bisa memenuhi keinginan kalian. Suatu saat nanti, Nadia akan kembali dengan laki-laki pilihan Nadia sendiri" gumam Nadia kemudian pergi keluar rumah dengan melewati jendela kamarnya.
Nadia mengendap-endap keluar lewat samping rumahnya, kemudian berjalan santai menuju gang-gang sempit yang jarang orang lewati. Setelah beberapa menit berjalan, sampailah ia di sebuah jalan raya besar, kemudian ia menghentikan sebuah taksi untuk mengantarnya ke terminal.
"Selamat tinggal desaku tercinta. Aku akan kembali kesini kalau sudah menjadi orang sukses dan menemukan laki-laki yang akan menjadi suami Nadia" batin Nadia setelah taksi yang membawanya melaju meninggalkan area desa tempatnya dibesarkan.
Mulai detik ini dan hari ini, kehidupan Nadia akan berubah karena harus hidup mandiri jauh dari kedua orangtuanya. Namun ia percaya kalau kebahagiaan yang ia idamkan akan segera menghampirinya dengan tekad, semangat, dan usaha keras yang akan ia jalani nantinya di tempat baru dengan orang-orang baru tentunya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!