Daniar's pov
Aku sangat mengaguminya, dia adalah sosok yang kuat dan tangguh. Perduli terhadap orang lain yang bernasib seperti ku. Aku berharap bisa menjadi wanita hebat dan di cintai seseorang.
Hari ini dia kembali setelah berbulan madu bersama sang suami. Pasangan serasi sekali, nona Alya begitu di cintai oleh banyak orang. Orang tuanya, kakak, suami dan teman nya tuan Theo.
Aku pergi dari London berharap bisa memulai hidup baru di kota Paris. Nona Alya mengajakku bekerja di perusahaan yang baru di rintis nya. Sebuah toko online yang naik daun di era sekarang.
Aku tinggal di panti asuhan sejak usia lima tahun. Bukan karena tidak memiliki orang tua, aku membuat permohonan agar departemen Sosial mengirim ku ke sana. Aku benar-benar sakit melihat kedua orang tuaku selalu bertengkar. Ayahku kadang melampiaskan kemarahannya pada anak kecil yaitu diriku. Menganggapku sebagai penyebab ibuku berpaling darinya.
"Selamat siang semua. " Di tengah lamunanku, suara bass terdengar menyapa kami peserta meeting. Ya, dia adalah tuan Theodor Oliver. Putera kedua Sir Oliver, adik dari tuan Christian suami nona Alya. Kisah cinta segitiga yang berakhir menjadikan Theo sebagai sad boy.
"Selamat siang. " Jawab kami serentak. Meski di usia muda yaitu dua puluh empat, Theo menjabat sebagai Co-ceo di perusahaan Ol's food. Perusahaan yang memproduksi berbagai jenis olahan makanan siap saji maupun frozen food. Semakin berkembang dengan produk produk baru seperti snack, minuman kaleng bahkan persabunan.
"Oh, aku lupa kalau pimpinan Tokomania sedang berbulan madu. Selamat bergabung nona Daniar. " Ternyata Theo menyadari keberadaan ku, aku tersenyum kaku menyapanya.
"Terima kasih tuan Theodor. " Ucapku. Lalu pembahasan kerja sama di mulai dan berlangsung cukup alot. Beberapa poin yang ku siapkan harus menerima penolakan dari Theo.
"Baiklah, aku akan menyampaikan saran anda pada nona Alya. Terima kasih atas masukannya tuan Theodor. " Di akhir acara aku kembali menyampaikan permohonan maaf karena dia merasa tidak puas.
"Take it easy nona Daniar. Aku sangat mengerti keadaan perusahaan mu." Balas Theo angkuh. Ya Tuhan, kenapa aku kesal sekali padanya. Semoga nona Alya segera kembali ke perusahaan.
Pov end.
Daniar adalah gadis kelahiran Britania Raya. Setelah lulus dari sekolah akhir Daniar di ajak Alya ke Paris untuk bekerja dengannya. Mereka saling mengenal satu sama lain ketika Alya sering memberi bantuan pada panti asuhan yang Daniar tempati.
Pengalaman Daniar cukup luas, dia sempat bekerja paruh waktu di jasa ekspedisi sejak berusia lima belas. Menurutnya perusahaan milik Alya masih satu frekuensi yang bisa Daniar pahami.
Daniar gadis yang cantik, wajahnya putih dengan hidung mancung dan bibir seksi. Tubuhnya memang seperti anak kecil karena hanya memiliki tinggi satu koma lima lima meter.
"Daniar, bagaimana tuan Theodor tadi? Apakah dia benar-benar tampan dan menggemaskan? " Aku di todong oleh Jeni teman kerjaku. Kebanyakn staf Tokomania memang perempuan, beberapa staf laki-laki hanya sedikit dan mereka bertugas sebagai kurir. Lebih sering berada di lapangan.
"Ck, dia sangat menyebalkan Je. Semua poin perjanjian di komentari nya habis-habisan. Padahal aku menjelaskan sesuai perintah nona Alya." Jeni heran, tidak biasanya Daniar menggerutu kesal tentang pekerjaan.
"Benarkah? Tapi orang-orang bilang tuan Theodor laki-laki yang ramah. Mungkin dia masih patah hati." Daniar mengangguk setuju.
Kemudian dia kembali ke meja dan merevisi persyaratan kerja sama sesuai keinginan Theo.
Daniar pulang di jam lima sore, ia menyewa apartemen sederhana tak jauh dari gedung Oliver Centre. Ia hanya perlu berjalan kaki sekitar sepuluh menit. Daniar juga tinggal bersama Jeni agar biaya sewa lebih murah. Selain dirinya Jeni juga berasal dari London. Jeni adalah gadis yang menggantikan Alya di ajang kompetisi melukis yang di adakan oleh Christian.
Saat berjalan di trotoar Alya melihat seseorang di cafe, duduk termenung memandangi ponsel miliknya. Wajahnya terlihat sendu, Daniar tahu alasan di balik itu. Tanpa ragu Daniar masuk ke cafe, ia juga ingin membeli kopi karena akan bekerja lembur di apartemen nya.
"Selamat sore tuan Theo. " Sapa Daniar, tanpa ada niatan duduk di hadapan Theo. Theo mematikan ponselnya, ia menengok melihat siapa yang menyapanya.
"Oh kau rupanya,, " Balas Theo datar, Daniar sedikit menyesal sudah mengganggunya.
"Kalau begitu aku permisi tuan." Pesanan Daniar selesai, segera Daniar pergi dari sana. Rasanya malu mendapat respon dingin dari Theo.
Berjalan cepat agar Daniar segera menghilang dari peredaran seorang Theo. Dia mengumpat sepanjang jalan.
"Sial, kenapa aku kesal sekali padanya. Tidak ada yang bisa ku perbuat untuk meredakan patah hatinya. Hufh,,, " Entah kenapa Daniar sangat perduli pada Theo. Seolah ikut merasakan hancur ketika seseorang yang ia cintai menikah dengan kakaknya sendiri.
"Kenapa dengan gadis itu? " Sejak Daniar keluar Theo mengejarnya, dia melihat dari belakang Daniar berceloteh tak jelas.
Malam harinya Daniar di ajak Jeni untuk pergi ke sebuah klub malam. Sebenarnya Daniar bukan tipe yang suka minum-minum atau kencan buta. Tapi dari pada kesal dan penat mengerjakan revisi laporan, akhirnya Daniar setuju untuk bergabung.
"Wow,,, kau cantik sekali nona. " Puji Jeni pada Daniar yang mengenakan rok mini denim dengan tanktop warna hitam. Jeni lebih tua beberapa tahun dengan Daniar, mereka sudah seperti kakak dan adik.
"Oh God, this is my first time Je." Daniar takut dia akan di ganggu laki-laki hidung belang di sana.
"Ey, aku bersamamu Daniar." Jeni menenangkan. Mereka pun pergi dengan naik taksi.
Daniar memang cantik, lekukan wajahnya begitu sempurna seperti boneka Barbie. Jika di tempat kerja Daniar sering mengenakan pakaian tertutup dan make up natural. Malam ini, Daniar ingin mencoba sesuatu yang baru.
Sekitar lima belas menit, mereka sudah tiba di klub malam tepat pukul sepuluh. Jeni beberapa kali ke sana bersama teman prianya. Daniar mengenakan sepatu boots hitam berhak tinggi, dia insecure karena bertubuh lebih pendek.
Jedag jedug musik memekik telinga, Daniar mengedarkan pandangannya mengamati sekeliling. Baru tiba di dalam Daniar sudah di goda laki-laki setengah mabuk.
"Hey cantik, mau bermalam denganku? Aku akan membayar mu lebih." Godanya mencolek dagu Daniar.
"In your dream." Jawab Daniar acuh dan ketus. Ia lalu menyusul Jeni yang terlihat mendatangi teman pria nya di depan bar.
"Jeni, kenapa kau meninggalkan ku? Aku hampir di culik tadi." Mencebik, Daniar protes pada Jeni.
"Haha so sorry baby, aku lupa kalau aku membawa berlian malam ini." Jeni malah tertawa menggoda Daniar.
"Hey, teman mu cantik juga Honey. Aku akan mengenalkannya pada seseorang yang sedang kesepian. Ayo ikut aku, siapa tahu dia beruntung." Bisik laki-laki berambut gondrong ke telinga Jeni.
"Good idea Justin, let's Go Niar. " Tangan Daniar di tarik Jeni mengikuti langkah kekasihnya.
"Hey bro,,, kau masih saja sendiri." Justin menyapa laki-laki yang setia dengan gelas wisky di tangannya. Menatap kosong pemandangan klub di lantai bawah.
"Oh oh, tuan Theo. Kau di sini juga rupanya." Jeni menyapa tanpa segan, berbeda dengan Daniar yang terlihat bad mood bertemu dengan Theo.
"Hai,,, " Balas Theo berbasa-basi.
"Theo, aku dan Jeni ada sesuatu yang harus kami kerjakan. Tolong titip Daniar, jangan sampai pria hidung belang menculiknya." Tiba-tiba Justin mendudukkan Daniar di samping Theo.
"Hey, Jeni kau meninggalkan ku? " Teriak Daniar berusaha menghentikan mereka, ia hendak bangun namun Theo menahannya.
"Sebaiknya tunggu mereka selesai." Perintah Theo dengan nada dingin seperti biasanya.
Mau tidak mau Daniar menurut, dia terlalu takut harus menghadapi pria hidung belang yang berkeliaran. Sepertinya bersama Theo Daniar akan aman. Terlihat beberapa orang menunduk hormat padanya.
Theo memanggil salah satu pelayan yang lewat, dia membisikkan sesuatu karena musik pasti mengalahkan suaranya. Tak berselang lama segelas orange juice di letakan di meja. Theo memesankan Daniar minum.
"Minumlah! Aku tahu kau haus."
"Tidak, aku tidak haus." Jawab Daniar cepat. Ia takut minuman itu sudah di beri obat tertentu oleh Theo. Dan berakibat buruk nantinya.
"Kau pikir aku sejahat itu? " Seperti mengetahui isi pikiran Daniar, Theo menyodorkan gelas ke hadapan Daniar.
"Thanks." Ucap Daniar, lalu menyedot minumannya.
Theo mulai menyalakan api untuk menghisap rokoknya. Membuat Daniar ter batuk-batuk seketika. Terdengar Theo berdecak kesal namun segera mematikan rokoknya ke sebuah asbak.
"Maaf tuan, biar aku pergi saja agar kau leluasa." Daniar kali ini pergi dari sisi Theo. Theo malah mengejarnya sama seperti saat di cafe tadi sore.
"Daniar tunggu! " Teriak Theo, dia berhasil menghentikan langkah kecil Daniar.
"Ada apa tuan? " Tanya Daniar ketus.
"Kau membenciku? " Tanpa basa-basi Theo menodong Daniar dengan pertanyaan absurd menurutnya.
"Apa maksud anda tuan Theodor? " Mencoba bersabar, Daniar menatap Theo dengan berani.
"Soal revisi kerja sama kita. Lupakan, aku hanya sedang kesal pada Alya. Maaf." Sebenarnya tidak ada yang salah dengan poin-poin yang Daniar sampaikan. Hanya saja suasana hati Theo masih dalam keadaan buruk. Dia tidak pernah menunjukkan rasa sakitnya pada siapapun mengenai pernikahan Alya dan kakaknya Christian.
"Kau sangat tidak profesional tuan, semoga malammu lebih baik." Ucap Daniar, lalu ia melambaikan tangan menyetop taksi. Meninggalkan Theo sendirian di sana.
Theo menyadari kesalahannya, tidak seharusnya Theo melampiaskan kekesalan pada Daniar. Daniar tidak salah sama sekali. Theo memilih pulang ke apartemennya, sejak lulus kuliah Theo memang keluar dari rumah keluarga. Theo pernah mengalami titik terendah dalam hidupnya. yaitu dia menjadi seorang player, mencoba obat terlarang hingga berakhir overdosis. semua itu Theo lakukan agar Alya mau melihatnya.
"argh,, sialan. " Theo mengumpat kasar memukul kemudi. Masa-masa kuliah adalah catatan kelam yang ingin Theo hapus dari ingatannya. bodohnya Theo merusak dirinya hanya karena patah hati.
"kau dimana Theo? " tanya seseorang di ujung telepon, suaranya penuh rasa khawatir.
"mom, aku sudah dewasa. apa harus tetap di awasi? aku tidak akan berbuat nekad lagi. ini sudah biasa bagiku." baru kali ini Theo bicara panjang lebar pada sang ibu, nyonya Aline. hatinya menghangat.
"besok malam datanglah, kita akan makan malam dengan Christian dan Alya." hanya itu yang ingin nyonya Aline sampaikan. Theo malah semakin kesal mendengarnya.
"aku tidak janji mom, lihat besok." tut,,, panggilan segera Theo putus. hidupnya akan terus berhubungan dengan Alya, karena dia adalah istri dari kakaknya Christian.
"pikirkan Theo, apa yang harus kau lakukan agar keluar dari situasi ini." Kenyataannya Theo butuh pelarian, dia ingin melampiaskan perasaannya pada seseorang untuk membantunya melupakan Alya.
Christian dan Alya pergi ke kediaman Oliver untuk makan malam keluarga. Tampak ceria setelah pulang dari bulan madu. Mereka selalu berpegangan tangan sejak dalam perjalanan.
Menyusuri jalan setapak menuju pintu masuk, ingatan keduanya kembali ke pertemuan di malam ulang tahun Theo ke tujuh belas.
"Kau ingat Christian? Di sini kau tiba-tiba mencium ku, aku sangat marah saat itu." Alya berhenti untuk bernostalgia. Christian membelai mesra pipinya.
"Meski mabuk aku bisa dengan jelas bidadari cantik berjalan ke arahku. Secara naluri aku menciummu, dan takdir mempertemukan kita kembali." Cup, Christian mengulang kejadian malam itu.
"Apa aku juga perlu mendorongmu lagi?" Mereka sama-sama tertawa.
"Oh Alya, selamat datang sayang." Nyonya Aline menyambut anak pertama dan menantunya di ambang pintu.
"Selamat malam mom,,, " Mereka berpelukan satu sama lain. Kemudian masuk ke dalam dan langsung ke ruang makan.
"Mommy masak makanan kesukaan Alya, Christian sudah mengirim daftarnya tadi siang." Kata mommy Aline tersenyum hangat.
"Terima kasih mom. " Ucap Alya tulus. Tak lama tuan Oliver turun dari lantai dua. Menyapa anak dan menantunya.
"Wah kalian tambah mesra, daddy tidak sabar ingin bermain dengan cucu dari kalian. " Goda Oliver. Keduanya malu-malu mendengar permintaan sang ayah.
"Jangan di pikirkan Al, daddy memang suka bergurau. Ayo kita duduk. " Ajak Nyonya Aline, mereka semua kompak duduk.
"Theo belum pulang mom? " Christian belum melihat batang hidung Theo, dia berpikir Theo pasti akan menghindar karena merasa canggung tentunya.
"Dia pasti akan datang sebentar lagi, kau tahu kan pekerjaannya semakin banyak." Jawab Oliver menenangkan Christian.
"Mungkin Theo mandi di apartemennya terlebih dulu. " Tambah Aline.
Christian menggenggam tangan Alya yang menunduk, istrinya selalu merasa bersalah sudah menyakiti Theo.
Sementara di kantor, Theo baru selesai mengerjakan laporan terakhir. Dia sengaja berlama-lama di sana hanya untuk menghindari makan malam keluarga. Tapi jika dia tidak datang artinya Theo kalah dalam bertarung. Terpaksa Theo akan pulang ke rumah orang tuanya. Dia naik lift untuk turun, dan di lantai dimana perusahaan Alya berada seseorang juga masuk ke lift yang sama.
"Permisi tuan. " Sapa Daniar, dia tidak tahu di dalam lift akan ada Theo. Daniar menjadi orang terakhir yang meninggalkan kantor.
Saat Theo menemani Alya ketika Christian meninggalkannya, mereka memang kembali dekat. Theo bahkan menyewakan satu lantai untuk bisnis yang Alya dirikan. Dan sekarang Theo mulai merasa tidak nyaman.
"Daniar, apa kau sibuk? " Tak ada angin maupun hujan, mendadak Theo menanyakan kegiatan Daniar.
"Tidak, aku akan langsung pulang." Jawab Daniar sekenanya.
"Bisakah kau menemaniku makan malam di rumah orang tuaku? Aku akan membayar mu. " Tawar Theo, berharap Daniar bersedia.
Theo memang tidak pernah dekat dengan siapapun, hanya ada Alya di hidupnya. Justin salah satu teman dekat Theo, mereka akrab karena sering bertemu di klub malam.
"Aku bisa membantumu tuan, tapi aku tidak perlu di bayar." Jawab Daniar menyanggupi. Tanpa Daniar lihat, Theo menyunggingkan senyum tipis sekali.
"Thanks." Ucap Theo.
Mereka berdua membisu di dalam mobil selama perjalanan. Daniar tidak menyangka bisa berinteraksi sedekat ini dengan Theo. Sejak masuk ke perusahaan Alya, Daniar memang sering memperhatikan Theo tanpa sengaja. Daniar akui, ia mengagumi sosok Theo. Bukan hanya parasnya, melainkan perasaan tulusnya pada Alya. Begitu besar cinta Theo untuk Alya bosnya.
Setibanya di area parkir, Theo dan Daniar turun. Daniar begitu takjub melihat kediaman Oliver yang mewah dan megah. Mendadak nyalinya menciut, Daniar takut membuat kesalahan di hadapan kedua orang tua Theo.
"Nah itu Theo datang. " Nyonya Aline sumringah melihat anak keduanya tiba. Senyumnya menghilang seketika melihat seseorang berjalan di sampingnya.
"Malam semua, maaf aku terlambat." Sapa Theo, Alya terkejut melihat Theo datang bersama Daniar stafnya di kantor.
"Duduklah nak, ajak temanmu juga." Perintah Tuan Oliver memecah rasa Canggung di antara mereka.
"Silahkan Niar. " Theo menarik kursi untuk Daniar duduki. Theo berada di antara sang ibu dan Daniar, duduk di hadapan Alya.
"Ya sudah, kita mulai sekarang makan malamnya. " Nyonya Aline mempersilahkan semua orang menikmati hidangan.
Tak ada obrolan selama berlangsungnya acara makan malam. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Theo pikir setelah Alya menikah mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Agar perasaannya berkurang seiring berjalannya waktu. Dia lupa, bahwa mereka kini menjadi keluarga.
Daniar berkali-kali merem as kedua tangannya. Merasa tidak enak pada Alya karena menerima ajakan Theo.
"Kami sudah selesai makan, aku akan mengantar Daniar pulang." Theo bangkit dari kursi, begitupun Daniar mengikuti apa yang Theo lakukan.
"Terima kasih tuan dan nyonya Oliver atas jamuannya. Semoga kalian sehat selalu." Ucap Daniar mencoba seramah mungkin meski mereka menatapnya penuh tanya.
"Teman Theo adalah keluarga kami juga. Hati-hati di jalan Theo. " Jawab Nyonya Aline melepas kepergian anak bungsunya. Percuma menahannya lebih lama, itu hanya akan membuat perasaannya kacau.
Setelah Theo dan Daniar pergi, Christian mengajak Alya mengobrol sebentar dengan orang tuanya. Membahas hal-hal kecil mengenai kehidupan rumah tangga. Mereka paham jika Alya masih terlalu muda dan memerlukan bimbingan.
"Tuan, aku akan turun di sini. Biar aku naik taxi saja." Pinta Daniar di saat mobil keluar dari area perumahan elit keluarga Theo.
"Kau datang bersamaku, jadi aku bertanggungjawab mengantarmu pulang." Tolak Theo secara tegas, Daniar hanya bisa pasrah.
Lagi-lagi suasana menjadi hening. Dering ponsel Daniar memecah kebisuan mereka. Tampak ragu, namun Daniar tetap mengangkatnya. Mungkin saja itu satu hal penting yang perlu Daniar dengar.
"Halo,,, " Sapa Daniar.
"Benarkah? Baiklah kalau begitu." Usai mengobrol singkat Daniar lantas mematikan sambungan.
"Siapa? " Dorongan di hati Theo mengkhianati logikanya, dia menyesal bertanya seolah penasaran.
"Seseorang yang penting." Jawab Daniar ambigu. Theo mengira itu kekasih Daniar, dia mendadak kesal.
Daniar kembali ke apartemen setelah Theo menurunkannya di tepi jalan. Tak ada tanda-tanda Jeni di sana, artinya dia sedang bermalam di tempat Justin. Saat ingin melepaskan pakaiannya bel rumah berbunyi.
Daniar tebak itu bukan Jeni, dia bisa saja langsung masuk. Mungkinkah Justin membawa Jeni dalam keadaan teler? Segera Daniar keluar kamar untuk membukakan pintu.
"Jeni kau baru pu,,, " Perkataan Daniar menggantung melihat sosok yang baru saja mengantarnya pulang.
"Tuan Theo? "
"Ponselmu tertinggal di mobilku." Theo menyerahkan benda pipih milik Daniar.
"Ah thanks, and sorry. Aku merepotkanmu." Daniar Tak enak hati, padahal Theo bisa saja memberikannya besok di kantor.
Mereka berdiam diri saling menatap, bukankah seharusnya Theo lekas pergi?
"Would you like a cup of coffee? " Tawar Daniar basa-basi.
"Yes please. " Daniar benar-benar di buat bingung dengan sikap Theo. Namun ia tetap menjamu nya dengan baik.
Meski belum di persilahkan, Theo sudah duduk di sofa depan televisi. Sementara Daniar membuat kopi untuknya. Tidak ada mesin espresso layaknya apartemen mewah, Daniar menyeduh air panas untuk kopi bubuk yang ia punya.
"Silahkan tuan. " Daniar menyodorkan secangkir kopi panas di meja.
"Thanks." Ucap Theo.
"Aku ingin membersihkan badan dulu. Buatlah senyaman mungkin." Theo hanya mengangguk tak masalah, lalu Daniar segera masuk ke kamar mandi.
Di kamar mandi yang memang di luar kamar, Daniar merutuki kecerobohan nya. Dia lupa membawa pakaian ganti. Mengingat Theo begitu mencintai Alya, ia yakin kalau semua akan baik-baik saja. Theo tidak mungkin tergoda olehnya.
Membuang rasa malunya jauh-jauh, Daniar melenggang keluar melewati Theo di ruang televisi.
"Uhuk uhuk,,, " Saat itu Theo sedang meneguk kopi buatan Daniar, ia langsung tersedak melihat Daniar hanya mengenakan handuk putih berjalan membelakangi nya.
"Shitt.. " Umpat Theo merasakan tubuhnya memanas, juniornya bahkan seketika bangun.
"Kau gila Daniar, kenapa bisa tidak tahu malu seperti tadi? " Daniar mengomeli dirinya sendiri sambil memakai one set piyama berbahan rayon. Baru keluar untuk menemui Theo setelahnya.
"Aku akan pulang, Terima kasih kopinya." Daniar hilang fokus, dia hanya mengangguk sebagai jawaban.
Theo bergegas menuju pintu, namun ia segera berbalik dan berjalan cepat menuju Daniar. Daniar membeku ketika Theo mencium bibirnya cukup lama. Rasanya Daniar ingin waktu berhenti saat itu juga.
Dan pikirannya kembali sadar, Daniar segera mendorong dada Theo. Semua ini salah, Theo hanya menjadikannya pelampiasan. Mungkin kebodohan Daniar tadi telah mengusik Theo.
"Maaf." Hanya itu yang bisa Theo katakan, lalu kali ini dia sungguh pergi meninggalkan Daniar.
Daniar menyentuh bibirnya, kemudian turun ke dada. jantungnya sudah tidak bisa ia ajak kompromi. Daniar telah jatuh semakin dalam pesona Theo.
"bodoh, kau bodoh sekali Daniar. " menutup wajahnya, Daniar merasa tidak memiliki keberanian untuk muncul di hadapan Theo besok atau seterusnya.
"Niar,,, " asik melamun di sofa, Daniar terkejut melihat Jeni sudah masuk ke rumah. sejak tadi Daniar belum bisa memejamkan matanya. ia memilih menunggu Jeni untuk bercerita.
"aku rasa aku sudah jatuh cinta Je." Gumam Daniar menunduk, sejujurnya Daniar malu mengakuinya pada Jeni. tapi dia butuh teman untuk dimintai saran.
"whom did you Love Niar? " tanya Jeni tak sabar, dia duduk di sebelah Daniar memandangnya tak sabar.
"Theodor Oliver. " lirih Daniar, suaranya hampir tak terdengar andai saja Jeni tidak memperhatikan nya intens.
"kau gila Niar? tidak, aku harap kau segera melupakan perasaanmu. Kau bahkan tahu persis bagaimana Theo pada nona Alya." Jeni menjambak rambutnya frustasi, dia mengasihani nasib temannya.
"aku sangat sadar diri Je, tapi sejak dulu aku memang sudah mengagumi Theo. Aku tidak perlu mengakui atau mendapat jawaban darinya Je. hanya saja akhir-akhir ini Theo membuatku bingung." tanpa menceritakan apa yang Theo lakukan padanya, Daniar merasa belum saatnya dia terbuka. Daniar yakin Theo hanya butuh pelampiasan saat ini.
"ok, kau perlu seseorang untuk mengalihkan perasaanmu Niar. aku akan meminta Justin mengenalkan temannya untuk mu. " meski itu bukan ide yang lebih baik, setidaknya saran Jeni memang masuk akal.
Daniar harus bisa menguapkan rasa sukanya pada Theo.
"baiklah, aku akan mencobanya. " jawab Daniar pasrah. mereka akhirnya pergi ke kamar masing-masing untuk beristirahat.
Di kantor tengah terjadi perdebatan menegangkan antara dua pimpinan perusahaan. Suara ribut di ruang kerja Alya membuat para stafnya penasaran sekaligus takut.
"Jangan kekanak-kanakan Theo. Aku sekarang adalah kakak ipar mu. Cepat tanda tangani dokumen perjanjian kita." Perintah Alya, dia benar-benar geram melihat Theo mendadak berubah. Padahal di hari pernikahan dan sebelumnya Theo sudah menerima keputusan Alya.
"Haha, you're so funny Al. Kau pikir semudah itu mendapat persetujuan ku?" Memang tidak ada yang salah dengan kontrak kerja sama mereka, hanya saja Theo ingin menggoda Alya sedikit sebagai pembalasan.
"Tolong ke ruangan ku sekarang. " Perintah Alya pada seseorang melalui sambungan intercom. Theo menunggu, dia penasaran akan reaksi Alya selanjutnya.
Kemudian muncul Daniar dari luar, berjalan ragu mendekati Alya.
"Nona memanggilku? " Mengabaikan Theo, Daniar fokus memandang Alya.
"Niar, aku sudah mempercayai mu untuk mendapat persetujuan tuan Theodor. Kau sangat mengecewakan ku kali ini. " Sengaja Alya memarahi Daniar, menjadikannya kambing hitam menunjukkan nya pada Theo.
"Aku minta maaf nona, aku sudah berusaha." Jawab Alya menunduk, berada diantara mereka semakin membuat Daniar minder dan merasa kecil.
"Kenapa kau menyalahkan staf mu? " Bentak Theo tak Terima Alya menyalahkan Daniar.
"Tolong revisi isi perjanjiannya sesuai keinginan tuan Theodor Niar. Kau turuti saja apa maunya, aku sudah lelah. Harusnya proyek ini sudah di mulai sejak lama. " Daniar menerima map dari tangan Alya.
Alya mendadak limbung hampir terjatuh pingsan kalau saja Theo tidak berlari menahannya.
"Nona,,, " Teriak Daniar khawatir.
"Al, bangun Al. " Theo berusaha menyadarkan Alya dengan menepuk pipinya namun nihil.
"Sebaiknya bawa nona ke rumah sakit." Saran Daniar, Theo mengangguk lalu membopong tubuh Alya.
"Ada apa? " Jeni yang baru datang dari toilet melihat Theo membawa Alya tergesa-gesa.
"Nona Alya pingsan setelah berdebat dengan tuan Theo. " Daniar sebenarnya ingin ikut bersama Theo, hanya saja dia masih banyak tugas yang menantinya.
"Ouh, kasihan sekali. Pasti Theo sengaja melakukan hal itu. " Jeni menggeleng tak menyangka Theo masih berusaha mengganggu Alya.
"Sudahlah, aku harap nona Alya baik-baik saja. " Tak ingin membahas Theo dan Alya lagi, Daniar kembali ke mejanya untuk mengerjakan beberapa laporan. Jeni tampak memandangi Daniar, ia takut Daniar akan semakin sakit jika terus menyukai Theo.
Di rumah sakit, Christian tiba setelah di hubungi adiknya bahwa Alya pingsan. Dia melihat Theo duduk menunggu di luar. Bersamaan dengan dokter yang baru selesai memeriksa Alya.
"Theo, dokter bagaimana keadaan istriku?" Tanya Christian tak sabar, dokter hanya tersenyum simpul melihat kecemasan suami pasien.
"Nyonya baik-baik saja tuan, selamat karena nyonya sedang mengandung. Usianya sekitar lima minggu. Jadi jangan buat ibunya stress." Kabar bahagia dari dokter membuat Christian tersenyum lebar, matanya berbinar tanda bahagia.
"Terima kasih dok, aku akan melihat istriku." Meninggalkan Theo, Christian segera masuk ke dalam menemui Alya.
Itu artinya Alya sudah lama kembali pada Christian saat mereka masih resmi menjadi sepasang kekasih. Theo murka, dia pergi begitu saja tanpa ingin mengucapkan selamat pada mereka.
Di jam makan siang, Daniar pergi ke cafe sebrang gedung tempatnya bekerja. Mereka sudah janji untuk bertemu di sana. Wajah Daniar tampak bersemangat menyambut kedatangan orang yang sudah lama ia rindukan.
"Papa,,, " Sapa Daniar, lalu berdiri untuk memeluknya.
"Ah Niar, sudah lama sekali tidak bertemu denganmu sweety. " Ucap Tuan Dan Han, merupakan ayah yang dulu selalu menyakiti Daniar kecil. Mereka memang sering bertukar kabar melalui telepon ataupun pesan singkat.
Keduanya duduk, mengobrol tentang kegiatan sehari-hari. Dan Han bukanlah orang dari kalangan atas, dia hanya karyawan bank swasta di kota terpencil Prancis. Dan Han juga sudah memiliki keluarga baru, Daniar memiliki adik laki-laki berbeda ibu dengannya.
"Maaf mengganggumu Niar, tapi papa benar-benar butuh bantuanmu. Adikmu Junha harus cuci darah setiap minggunya. Papa sudah tidak memiliki tabungan lagi. Memang tidak tahu malu, tapi papa rela demi adikmu. " Menjelaskan tujuannya mengajak bertemu, Dan Han menggenggam tangan Daniar.
"Papa, Junha juga adikku. Aku akan berusaha mencari pinjaman. Jadi jangan pikirkan hal lain ok? " Daniar pernah bertemu dengan Junha dan ibu tirinya, kondisi sang adik memang semakin buruk seiring berjalannya waktu.
"Terima kasih Niar, papa menyesal telah menyakitimu dulu. Maafkan papa nak. " Menangis tanpa suara, Daniar merasa iba atas kemalangan keluarga papanya.
"Nanti uangnya Daniar kirim setelah gajian, sekarang papa makan dulu ya. " Dan Han mengangguk kemudian mengusap ujung kepala Daniar.
Ia tidak menyangka gadis kecil berusia lima tahun yang pernah di pukuli nya dulu, berubah menjadi gadis yang cantik dan penyayang. Bukan sekali ini, Daniar sudah banyak membantu keluarga barunya. Bahkan Dan Han terlalu malu untuk meminta Daniar mendonorkan ginjalnya untuk Junha sang adik. Dengan begitu adiknya akan sembuh total tanpa harus cuci darah lagi.
Di dalam mobilnya, Theo bisa melihat kedekatan Daniar dengan pria paruh baya di hadapannya. Tak sadar, Theo mencengkram kuat kemudi menyaksikan kedekatan mereka.
"Ternyata kau sehina itu Niar. " Gumam Theo, dia mengira Daniar bersama sugar daddy nya. Padahal Dan Han lah yang bergantung pada Daniar. Theo telah salah paham terhadap Daniar. Mengira seseorang spesial yang di maksud Daniar adalah kekasih gelapnya.
Saat ingin naik ke atas, Daniar lagi-lagi harus bersamaan dengan Theo. Daniar lupa bahwa gedung ini memang milik Theo. Menghela nafas, dan itu tertangkap basah oleh pria di sampingnya.
"Apa pekerjaan sampinganmu sangat melelahkan? " Menengok ke arah Theo, Daniar bingung dengan pertanyaannya.
"Maksud tuan? "
"Aku bisa membiayai mu Daniar kalau kau mau. Dari pada menjadi simpanan om-om beristri. " Daniar memanas, Theo sudah keterlaluan padanya.
"Benarkah? Aku tidak sabar menantikan nya tuan Theodor Oliver. " Lebih baik Daniar membiarkan Theo dengan asumsinya sendiri. Daniar sakit hati atas tuduhan Theo, mungkin Theo tidak sengaja melihatnya bersama sang papa dan salah paham.
Setelah pintu terbuka, Daniar bergegas keluar tak menghiraukan Theo lagi. Membuat laki-laki dewasa tanggung itu meradang.
Di meja kerjanya, pikiran Daniar menjadi terbagi antara pekerjaan dan masalah keuangan. Ponselnya berdering, terlihat nama kontak Alya memanggil.
"Selamat siang nona, bagaimana keadaan anda? Aku sangat khawatir terjadi sesuatu." Daniar memberondong pertanyaan untuk Alya. Terdengar kekehan kecil di ujung sana.
"Iya Daniar memang terjadi sesuatu yang baik, aku hamil Niar. " Daniar menutup mulutnya tak percaya, dia ikut bahagia akan hal itu.
"Puji Tuhan, selamat nona. Aku senang kau berbagi denganku. " Kata Daniar sungguh-sungguh.
"Terima kasih Niar. Christian menjadi posesif padaku, aku titip kantor padamu. Laporkan saja melalui email apapun yang kalian butuhkan. " Perintah Alya, dia sengaja mempercayai Daniar yang memang cekatan serta menguasai alur perusahaan.
"Baiklah nona, aku tidak akan mengecewakan mu lagi. "
"Hey tenanglah, tadi aku hanya terbawa emosi karena adik iparku berulah. Maaf." Karena Alya tidak bermaksud menyinggung perasaan Daniar.
"Terima kasih nona, semoga kau dan bayimu sehat selalu. " Setelahnya obrolan mereka berakhir. Daniar kembali tenggelam dalam pekerjaannya.
"Hush,,, " Mendengar seseorang berbisik, Daniar menoleh ke sampingnya. Para staf bekerja diantara cubicle berjejer rapi.
"What? " Jawab Daniar menggunakan gerak bibirnya.
"Justin mengajakku ke klub, kau mau ikut?" Tawar Jeni, dia bisa melihat Daniar seperti banyak masalah. Jeni hanya ingin mengajak Daniar bersenang-senang sejenak.
"Ok." Daniar bersuara pelan setuju. Jeni sumringah ajakannya di Terima.
****
Malam ini Daniar memutuskan untuk mencoba mencicipi minuman memabukkan yang paling rendah alkohol. Jeni tampak membiarkan temannya.
"Justin, bisakah kau mencarikan ku pria kaya? Aku sangat membutuhkan uangnya." Baru beberapa gelas saja berhasil membuat Daniar setengah sadar. Ucapannya menurut Jeni ngawur.
"Haha, kau hanya gadis baik dan anak Tuhan sayang. " Merangkul Daniar, Jeni menganggap Daniar bergurau semata. Lalu Daniar menggelengkan kepala membantah.
"Aku tidak pernah seserius ini Je, tujuan hidupku sudah berubah sekarang." Tertawa getir, Daniar merasa Takdir sedang mengujinya.
"Enough, kau sudah sangat kacau. " Jeni pamit pada Justin untuk mengantar Daniar pulang.
Theo menghampiri Justin setelah orang yang ingin ia hindari pergi. Memandangi Justin menyiapkan pertanyaannya.
"Kau kenapa? " Di pelototi Theo, Justin bergidik ngeri.
"Dia kenapa? " Akhirnya Theo mengatakan rasa penasarannya.
"Daniar sedang membutuhkan uang, dia memintaku mencarikan pria kaya. " Melihat kesedihan Daniar Justin menebak dia serius dengan ucapannya.
"Ck, mungkin pria yang kemarin bersamanya sudah jatuh miskin. Daniar mencari mangsa baru." Berdecak kesal, dugaan Theo semakin kuat.
"Haha, kau tidak tahu tapi sudah mengadili kehidupan seseorang. Theo, saat kau di buat kecewa oleh satu wanita, bukan berarti semua sama. " Justin menepuk punggung Theo, ada rasa tidak Terima Daniar di pandang buruk.
"Sudahlah. aku ingin kau mencarikan wanita untukku Justin, aku sudah lama menahannya. " Theo melambaikan tangannya meminta minuman pada barista. "Nah, kenapa kau tidak mencoba mengajak Daniar saja. Theo kau kan kaya, bantulah dia. Aku tidak tahu alasan Daniar melakukannya, tapi pastinya kalian saling membutuhkan bukan? " Tercetus ide di otak Justin kekasih Jeni. Dari pada Daniar jatuh ke tangan pria brengsek, setidaknya Theo pria penuh kehati-hatian.
"Apa dia aman? Aku rasa Daniar selalu berganti pasangan. " Theo mencibir kepribadian Daniar.
"Kau tidak akan tahu sebelum mencobanya Theo. " Memancing rasa penasaran temannya, Justin yakin Daniar masih polos.
"Baiklah, kau bisa mengatur pertemuan ku dengannya. " Dia akan mencoba, Theo benar-benar berpikir Daniar seorang wanita penghangat ranjang para pria.
"Ok, aku akan bicara pada Daniar. Jangan sampai kekasih ku tahu, atau aku akan habis olehnya. " Justin mengingatkan Theo, mereka mengangguk bersamaan. dan keduanya kembali melanjutkan acara minum-minum malam itu.
Daniar tertidur pulas di tempat tidur, Jeni merasa iba melihat teman sekamarnya menyimpan masalah sendirian. berbeda dengan dirinya yang selalu terbuka tentang apa pun.
"Daniar, aku tahu kau menyukai Theo. aku hanya tidak ingin kau terluka karena perasaan tak terbalas mu. " gumam Jeni memperhatikan wajah Damai Daniar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!