"Selamat siang, Mbak Maysha Hadikusuma, saya mau memberi kabar bahwa tim kami mendapat informasi tentang keberadaan suami Anda."
Suara di ujung telepon memaksa bola mata Maysha melelehkan cairan bening. Sudah tiga tahun ini ia hidup dalam pencarian panjang. Suaminya, Arlan Alviano menghilang tiga tahun lalu beberapa hari setelah pernikahan.
Arlan adalah seorang pengacara. Ia dinyatakan hilang dalam sebuah kecelakaan kereta api saat hendak menyelidiki sebuah kasus. Sejak saat itu tidak ada yang mengetahui keberadaannya. Banyak yang menduga bahwa ia tewas dalam kecelakaan itu. Tetapi, Maysha yakin suaminya masih hdup, selama belum melihat jasadnya.
"Apa Anda yakin kalau itu suami saya?" lirihnya, berusaha menahan tangis.
"Kami belum bisa memastikan. Tapi ciri-cirinya sangat mirip dengan suami Anda. Saya akan kirimkan data yang mungkin bisa membantu Anda."
"Baik, terima kasih."
Sesaat setelah panggilan terputus, pesan beruntun masuk ke ponsel. Dengan jemari gemetar, ia membuka pesan berupa beberapa foto seorang pria yang memang sangat mirip dengan suaminya. Selain itu ada alamat lengkap yang diduga tempat pria itu tinggal.
"Mas Arlan, apa ini benar-benar kamu?"
Maysha tak dapat lagi membendung luapan air mata. Hanya dengan melihat foto saja, ia sudah yakin jika itu memang Arlan, karena Maysha sangat mengenali bentuk wajah dan tubuh suaminya meskipun penampilannya sedikit berbeda.
Ada satu hal yang menjadi pertanyaan dalam benak Maysha. Jika memang Arlan masih hidup, mengapa ia tidak segera kembali? Mengapa meninggalkan istrinya seorang diri dalam waktu yang sangat lama? Padahal kala itu hubungan mereka sedang hangat-hangatnya sebagai pengantin baru.
Di mata semua orang Arlan sangat garang, menakutkan dan kejam, apalagi jika sudah berhadapan dengan musuh.
Tetapi, di mata Maysha, Arlan adalah suami sempurna. Di balik sikapnya yang posesif, cemburuan dan terkesan misterius, ada sosok yang lembut dan penyayang.
Selain itu, demi menikah dengan Maysha, Arlan harus menentang orang tuanya, karena keluarga Arlan tidak menyetujui hubungan mereka. Karena perjuangan Arlan dalam membuktikan cintanya lah, sehingga Maysha takluk dan menyerahkan seluruh hatinya tanpa menyisakan ruang sedikit pun untuk yang lain.
"Aku akan segera kembali untuk kamu. Ingat, aku selalu mencintaimu!" ucapan terakhir Arlan sebelum pergi.
Kala itu Maysha hanya melambaikan tangan menatap badan kereta yang semakin menjauh hingga akhirnya tak terlihat lagi. Hatinya terasa berat melepas kepergian suaminya.
Dan akhirnya kepergian Arlan hari itu memisahkan mereka selama tiga tahun.
*
*
*
Maysha berlari-lari kecil melewati ruang tunggu bandara. Siang ini juga ia akan berangkat keluar kota demi mencari suaminya.
Perjalanan pun terasa sangat lama, sebab ia sudah sangat tidak sabar untuk bertemu lelaki yang diduga adalah suaminya itu.
Dan, di sinilah Maysha sekarang. Ia sedang berdiri di depan sebuah rumah minimalis. Sejenak ia melirik ponsel dan membuka pesan berisi alamat yang tadi dikirimkan kepadanya, demi memastikan tidak salah alamat.
Maysha merasakan dadanya bergemuruh pada setiap langkah menuju pintu. Berharap penantiannya akan terbayar dengan ditemukannya Arlan, dan ia bisa melanjutkan kehidupannya dengan bahagia bersama suami yang dicintainya. Dengan tangan bergetar, Maysha menekan tombol bel dan menunggu beberapa saat.
Pintu terbuka! Di susul dengan kemunculan seorang pria yang berdiri kokoh di ambang pintu.
Untuk beberapa saat waktu seakan terhenti bagi Maysha, tubuhnya membeku, bola matanya berair. Ia hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang.
Meskipun penampilannya jauh berbeda, namun Maysha yakin lelaki di hadapannya memang Arlan. Ia dapat mengenali setiap pahatan sempurna di wajah suaminya itu. Garis wajah yang tegas, bibir tipis, hidung mancung dan sorot matanya yang tajam.
"Mas Arlan, ini benar kamu?"
Perlahan kakinya melangkah maju. Tangannya mengulur hendak menyentuh wajah lelaki itu. Tak dapat menahan kerinduan lagi, Maysha langsung menabrakkan tubuhnya pada sosok tubuh itu. Memeluknya erat. Isak tangis pun mulai terdengar.
"Kenapa kamu tidak pulang? Apa kamu tahu aku sudah lama mencari kamu, Mas?"
Bukannya menyambut atau sekedar membalas pelukan, Arlan malah mendorong Maysha hingga tubuhnya mundur beberapa langkah. Lelaki itu menatap penuh tanya dan tampak bingung. Seolah wanita di hadapannya adalah orang asing.
"Maaf, kamu siapa?"
Maysha tersentak. Mendadak tubuhnya terasa meremang. "Mas Arlan, aku Maysha ... istri—"
Ucapan Maysha langsung menggantung karena kemunculan seorang wanita dari dalam rumah. Jantungnya semakin bergemuruh saat wanita itu bergelayut manja di lengan suaminya, dan disambut Arlan dengan melingkarkan tangan di pinggang dengan mesra.
"Sayang, siapa yang datang?" Sambil memperhatikan wanita berpenampilan serba tertutup dengan hijab menutupi kepala.
"Tidak tahu. Apa kamu kenal?" balas Arlan.
Maysha terpaku memandangi Arlan dan wanita di sebelahnya secara bergantian. Tanda tanya menghantam pikirannya bertubi-tubi.
"Kenapa perempuan ini memanggil suamiku dengan sebutan sayang?"
"Dan kenapa mereka terlihat sangat mesra?"
Pandangan Maysha menyisiri tubuh wanita itu dari ujung kepala ke ujung kaki. Sebagai seorang dokter kandungan, Maysha dapat melihat bahwa wanita di hadapannya tengah mengandung meskipun perutnya masih terlihat rata.
"Mas Arlan, dia siapa?" Dalam keraguan, Maysha memberanikan diri bertanya.
Sepasang alis tebal Arlan saling bertaut membentuk busur panah. Ia terlihat semakin bingung.
"Sebelumnya maaf, kenapa kamu memanggilku dengan nama Arlan? Aku Devan. Oh ya, dan ini Laura, istriku." Jawaban menyakitkan itu layaknya sambaran petir bagi Maysha, yang membuat seluruh tubuhnya gemetar.
...*****...
Maysha tak dapat membendung air mata setelah mendapati kenyataan yang terlampau menyakitkan. Bukannya bahagia setelah menemukan sang suami, ia malah harus dihadapkan dengan ujian baru dalam kehidupannya.
Kecelakaan parah tiga tahun lalu mengakibatkan Arlan mengalami amnesia dan melupakan kenangan apapun dari masa lalunya. Bahkan ia tidak mengingat istri yang ia tinggalkan sedikit pun.
Arlan dan Laura masih terdiam di tempatnya duduk. Sepasang suami istri itu tampak shock saat diberitahu Maysha tentang siapa Arlan yang sebenarnya. Bahkan Arlan tampak belum percaya dengan apa yang didengarnya.
"Maaf, tapi kami tidak bisa mempercayai orang asing begitu saja. Kalau memang kamu adalah istri suamiku, apa kamu punya bukti?" tanya Laura, seakan tidak mempercayai ucapan Maysha.
"Aku yakin kamu hanya salah orang. Aku sama sekali tidak mengenalmu dan tidak ingat apapun tentang kamu," tambah Arlan.
Maysha mengusap air mata. Kenyataan bahwa Arlan tidak mengingat dirinya adalah pukulan paling menyakitkan sepanjang hidupnya. Ia lalu merogoh tas dan mengeluarkan ponsel. Membuka galeri dan menggeser benda pipih berbentuk persegi panjang itu ke hadapan suaminya.
"Di situ ada semua bukti kalau aku tidak berbohong."
Ragu-ragu, Arlan meraih ponsel. Sejenak ia melirik Laura yang sedang mencondongkan kepala, seolah ingin ikut melihat apa saja yang ada di ponsel wanita yang mengaku sebagai istri pertama suaminya.
Sepasang mata Arlan berkaca-kaca saat membuka foto demi foto yang ada di ponsel. Mulai dari foto pernikahan, foto selfie, bahkan ada foto kebersamaan mereka di sebuah kamar yang tampak sangat mesra. Tanpa sadar Arlan menjatuhkan ponsel ke lantai. Beruntung benda tersebut tidak pecah dan hanya lecet di sisi yang berbenturan dengan lantai.
"Aku istri kamu, Mas Arlan. Tiga tahun lalu kamu dinyatakan hilang dalam kecelakaan. Aku sudah mencari kamu selama tiga tahun ini."
Ketegangan mendominasi selama beberapa saat. Arlan belum dapat mengucapkan apapun. Hanya Laura yang terus bergelayut di lengannya. Seolah wanita itu ingin menunjukkan kepada Maysha bahwa dirinya lah pemilik lelaki itu.
"Lalu apa yang kamu inginkan sekarang? Dia sudah menikah dan kami saling mencintai." Suara Laura terdengar memekik.
Kalimat menghujam itu seperti menusuk ke relung hati Maysha. Dulu Arlan bersikap dingin kepada semua wanita yang mendekatinya. Sikap lembut hanya ia berikan kepada dirinya seorang. Dan sekarang, Maysha melihat sendiri suaminya sedang berusaha menenangkan dan memeluk wanita lain tepat di hadapannya sendiri.
Cemburu? Tentu saja. Bahkan saat ini Maysha merasa tubuhnya bak dilahap api.
"Dia bukan Devan tapi Arlan Alviano. Dia menikahimu karena mengalami amnesia dan tidak tahu kalau dia sudah menikah sebelumnya. Aku harap kamu mau mengerti keadaan ini!" pekik Maysha, mulai kehilangan kesabaran.
"Tidak! Kamu tidak mungkin memintanya meninggalkanku karena aku sedang mengandung anaknya. Lagi pula sekarang kamu hanya orang asing di mata suamiku!"
Kalimat panjang itu berhasil membungkam Maysha. Meskipun rasanya ingin menghajar Laura, tetapi akal sehatnya menuntun untuk tidak gegabah. Ia tidak ingin terlihat buruk di mata Arlan di hari pertama mereka bertemu.
Maysha lantas bangkit dan berjongkok tepat di hadapan Arlan. Menatap manik cokelat suaminya itu dalam-dalam. "Mas Arlan, aku mohon percayalah sama aku. Aku istri kamu dan kita saling mencintai. Ayo kita kembali ke rumah kita dan menjalani pengobatan. Aku yakin perlahan kamu bisa mengingat masa lalumu kembali."
"Tidak!" sambar Laura. Ia menghempas tangan Maysha yang sedang menggenggam lengan Arlan. "Kamu hanya ingin merebut suamiku, kan? Pergi dari rumahku sekarang juga!"
Laura kalap. Hendak meluapkan kemarahannya kepada Maysha namun Arlan mendekap tubuhnya dan membawa Laura ke kamar mereka.
Sementara Maysha masih terpaku di tempatnya berlutut. Dari sini ia bisa mendengar suara Laura yang menjerit, disusul dengan suara lembut Arlan yang mencoba meredam amarah wanita itu.
*
*
*
"Mas, dia pasti cuma mau menipu kita. Dia bukan siapa-siapa. Jangan gampang percaya sama orang asing!" bujuk Laura terisak-isak.
"Lalu bagaimana dengan bukti-bukti itu, Laura? Itu semua foto asli."
"Jadi mau kamu apa sekarang? Ikut dia pulang!" pekik Laura.
"Bukan begitu, Laura. Aku rasa dia benar. Aku juga ingin tahu siapa diriku yang sebenarnya dan menjalani hidupku dengan identitas yang sebenarnya. Bukan seperti sekarang, di mana aku tidak tahu siapa diriku."
Ucapan suaminya membuat tubuh Laura membeku. Air matanya semakin deras membasahi pipi.
"Kamu adalah Mas Devan, suamiku! Itu lah identitasmu."
Arlan menarik napas dalam. "Devan tidak pernah ada. Dia hanya orang yang tersesat."
Ucapan Arlan layaknya sembilu yang menggores luka di hati Laura. Wanita itu terduduk di tepi ranjang dengan terisak-isak.
"Apa kamu akan meninggalkanku setelah mengingat semuanya?" lirih wanita itu.
"Itu tidak akan terjadi, Laura. Apa lagi kamu sudah mengandung anakku. Aku tidak mungkin meninggalkanmu."
Laura menyeka air mata. Lalu perlahan mendekati Arlan dan memeluknya dari belakang. "Baiklah, aku setuju kamu menjalani pengobatan. Tapi aku mau ikut denganmu. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu!"
"Kalau begitu biarkan aku bicara dengan perempuan itu. Kalau dia tidak keberatan, kamu boleh ikut."
*
*
*
Maysha hampir tidak percaya mendengar permintaan Arlan yang ingin Laura ikut dengan mereka pulang. Bagaimana ia akan leluasa membantu Arlan mengingat masa lalunya jika ada Laura di antara mereka?
Meskipun ragu dan sedikit keberatan, namun ia berusaha mengalah. Yang terpenting sekarang adalah Arlan mau ikut dengannya pulang dan berobat. Maysha tidak ingin menekankan keinginannya sendiri.
Setelah berbicara panjang lebar dan menemukan kata sepakat, akhirnya mereka berangkat keesokan harinya.
Sekarang ketiganya sudah berada di dalam pesawat. Udara sore itu cukup dingin. Arlan duduk di kursi bersisian dengan Laura yang tampak sedang mengeluh kedinginan.
Di sisi lain, Maysha harus menahan rasa cemburu melihat suaminya yang begitu lembut dan perhatian terhadap wanita lain. Ia sendiri merasa tubuhnya membeku. Beruntung jaket bulu tebal yang ia gunakan mampu mengurangi tikaman udara dingin.
"Mau minum?" Maysha menyerahkan dua cup minuman ke hadapan Arlan. Laura langsung menyambar satu cup kopi.
"Wanita hamil tidak baik minum kopi. Lebih baik minum teh saja," ucap Maysha, lalu menyerahkan cup teh.
"Baiklah, terima kasih," ucap Laura, lantas menyeruput teh. Rasa hangat dari minuman itu membuatnya merasa lebih baik.
Maysha memilih duduk di sebelah Arlan. Meskipun suaminya itu terkesan tak begitu memerdulikan keberadaannya dan lebih condong ke Laura, namun Maysha tidak ingin terlalu mempermasalahkan. Kesembuhan Arlan adalah hal paling penting baginya. Toh, Arlan bersikap seperti sekarang karena hilang ingatan.
Detik, menit dan jam berlalu cepat. Pesawat terus mengudara menembus malam yang gelap dan dingin.Tanpa sadar, sepasang mata Maysha terpejam.
Arlan menatap dua wanita yang bersandar di bahunya secara bergantian. Di sisi kiri ada Laura, seorang wanita muda berusia 25 tahun yang ia nikahi 3 bulan lalu. Dan sisi kanan ada Maysha, wanita misterius yang katanya ia nikahi 3 tahun lalu.
"Apa yang harus kulakukan dengan dua wanita ini?"
*
*
*
Setibanya di bandara, kedatangan mereka disambut oleh seorang sopir yang sebelumnya sudah diminta Maysha untuk menjemput mereka.
Laura sempat terpukau melihat kemewahan mobil yang mereka tumpangi. Setibanya di rumah, wanita itu kembali terkagum-kagum melihat kemewahan rumah yang baru saja mereka masuki.
"Apakah Mas Arlan dan Mbak Maysha adalah pasangan kaya raya?" Pertanyaan itu yang pertama kali terlintas di benak Laura.
Maysha membalikkan tubuhnya dan tersenyum ke arah suaminya. "Selamat datang kembali di rumah kita. Semoga dengan kembali ke rumah ini, ingatanmu juga akan kembali."
Arlan hanya menyahut dengan anggukan pelan. Semua yang ada di sana terasa asing baginya. Bahkan foto pernikahannya dengan Maysha dalam pose cukup mesra, yang menggantung di ruang tamu sama sekali tak berarti. Semuanya hambar.
"Ayo, aku akan tunjukkan rumah ini. Mungkin kamu bisa ingat sedikit-sedikit."
Maysha menarik tangan Arlan menuju sudut lain di rumah itu. Sementara Laura masih terpaku dengan kekagumannya. Ia menatap beberapa foto dan piagam yang menghiasi meja nakas.
"Jadi Mbak Maysha Hadikusuma adalah seorang dokter kandungan, ya? Pantas saja tadi dia melarangku minum kopi."
Laura meraih bingkai foto pernikahan yang menghiasi meja bufet. Senyum miring terbit di sudut bibirnya.
Matanya berotasi demi memastikan tak ada yang melihat. Dengan sengaja ia menjatuhkan bingkai foto ke lantai hingga pecahan kacanya berhamburan.
Setelah melihat kemewahan rumah itu, ia yakin bahwa suaminya adalah seseorang yang sangat kaya. Sehingga timbul keinginan dalam hati untuk memiliki Arlan seorang diri.
"Tenang saja Mbak Maysha, aku pasti akan menendang kamu dari sini."
...*****...
"Apa kamu sengaja memecahkan foto pernikahan kami?" Suara Maysha yang tiba-tiba muncul dari belakang membuat Laura tersentak.
Wanita itu membalikkan tubuhnya. Memasang ekspresi wajah seolah-olah menyesali perbuatannya barusan.
"Aku minta maaf, Mbak Maysha. Aku benar-benar tidak sengaja menjatuhkannya."
Laura menundukkan kepala. Beberapa saat kemudian, ia melirik Arlan yang datang dari arah belakang. Sepertinya Maysha belum menyadari keberadaan suaminya di balik punggung.
"Tapi sayangnya aku melihat kamu dengan sengaja menjatuhkan foto itu!" tuduh Maysha yang tadi kebetulan melihat kelakuan Laura.
Laura membelalak tak percaya. "Kenapa Mbak Maysha tega sekali menuduh aku? Aku sudah bilang tidak sengaja dan sudah meminta maaf, kan?"
"Ada apa, ini?" Arlan mendekat dan berdiri di antara kedua wanita itu. Membuat Laura menyeka ujung matanya yang basah.
"Aku tidak sengaja menjatuhkan fotonya. Tapi Mbak Maysha mengira aku sengaja. Aku Benar-benar minta maaf, Mas."
Arlan melirik Maysha. "Ayolah, Maysha. Laura tidak sengaja melakukannya."
Sepasang mata Maysha terpejam demi menekan amarah agar tak meledak. Tangannya terkepal di balik punggung. Lagi-lagi ia harus mengalah. Padahal jelas-jelas ia melihat sendiri Laura sengaja menjatuhkan foto itu.
Seperti kaca yang hancur terburai, begitu pula perasaan Maysha. Ia membungkukkan badan dan memunguti pecahan kaca.
"Auh!" Ujung jari Maysha mengeluarkan cairan merah. Pecahan kaca yang kecil dan tajam itu baru saja merobek kulit jarinya.
Melihat itu, Arlan langsung berjongkok tepat di hadapannya. Perlahan mencabut pecahan kaca yang tertancap sempurna di ujung jari telunjuk dan refleks menyesapnya. Maysha menatap Arlan. Matanya berkaca-kaca. Meskipun sempat membela Laura, setidaknya ia masih menunjukkan sedikit kepedulian terhadapnya.
"Kamu tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa, terima kasih."
Perhatian Arlan lantas tertuju ke lantai, di mana pecahan kaca berhamburan. "Biar aku saja yang bersihkan ini."
"Tidak usah. Aku akan minta tolong bibi yang membersihkannya."
Maysha bangkit dari posisinya. Lalu mengusap ujung mata demi menyembunyikan cairan bening yang hendak menetes.
"Oh ya, ini sudah malam. Aku akan tunjukkan kamar kita. Mungkin kamu akan ingat sesuatu di sana," ajak Maysha, menggandeng lengan suaminya.
Pemandangan yang tersaji tepat di hadapannya itu membuat Laura meremang. Ia panik. Sepenuh hati tak rela jika Arlan harus berada satu kamar dengan Maysha. Wanita itu pun mengasah otak demi mencari cara untuk mempertahankan Arlan di sisinya.
"Lalu aku bagaimana," potong Laura cepat.
"Tenang saja, tadi sebelum pulang aku sudah meminta bibi menyiapkan kamar untuk kamu. Di sana!" Maysha menunjuk sebuah kamar yang cukup berjarak dari kamarnya.
Laura menggigiti kukunya yang lentik. Tatapannya tertuju pada Maysha dan Arlan yang hendak menuju kamar mereka.
"Auh! Perutku sakit sekali," keluh wanita itu sambil meraba perut.
Arlan melepas tangan Maysha yang melingkar di lengannya. Kemudian mendekat dan ikut menyentuh perut Laura. Ia terlihat cukup panik dan takut jika terjadi sesuatu kepada janin yang dikandung istrinya.
"Kamu habis makan apa, kenapa perutnya bisa sakit?"
"Aku tidak tahu. Aku hanya minum teh pemberian Mbak Maysha tadi."
Alis tebal Arlan mengerut dalam. Ia menatap Maysha sedikit curiga. Membuat Maysha menarik napas dalam.
"Kalau begitu mari kita ke kamar kamu. Aku akan memeriksa keadaanmu," ujar Maysha.
"Sakit sekali, Mas Arlan! Aku tidak tahan!" Jeritan Laura semakin menjadi. Arlan yang panik langsung membopongnya menuju kamar. Sementara Maysha mengikuti dari belakang dengan memendam perasaan terluka.
Begitu Laura sudah terbaring di ranjang, Maysha membantu menyibak pakaian hingga batas dada, lalu mulai meraba perut wanita itu. Sementara Laura terus mengeluhkan sakit di perut.
"Bagian mana yang sakit?' tanya Maysha.
"Yang ini, aduh sakit sekali!"
Maysha kembali meraba bagian yang ditunjuk Laura. Ia pun sedikit terkejut. Sebagai seorang dokter, tentu saja Maysha tahu bahwa saat ini Laura sedang berpura-pura sakit.
"Jangan tinggalkan aku, Mas Arlan. Aku sangat takut di sini sendirian," mohon Laura, sambil menarik lengan Arlan.
"Baiklah, aku akan di sini menemani kamu," balas Arlan yang masih tampak panik.
Rasanya Maysha benar-benar ingin menjambak rambut si ratu drama itu. Tetapi sebisa mungkin ia tahan. Maysha tidak ingin menambah masalah dan membuat suaminya tidak betah di rumah mereka.
"Laura tidak apa-apa, Mas Arlan."
Detik itu juga tatapan menghujam diarahkan Arlan kepada istrinya itu. Maysha dapat melihat keraguan bercampur amarah di sana.
"Bagaimana kamu bisa berkata dia tidak apa-apa, sementara dia sedang kesakitan seperti ini?" Tanpa sadar Arlan membentak.
Membuat tubuh Maysha berjingkat. Sepasang mata Maysha tiba-tiba dipenuhi cairan bening. Selama mengenal Arlan, belum pernah satu kali pun ia membentaknya, dan sekarang ia membentak karena wanita lain.
Maysha membalikkan tubuhnya. Menyembunyikan air mata agar tidak yang melihat.
"Bibi, tolong bawakan air hangat untuk Laura. Dia hanya butuh istirahat malam ini," pinta Maysha kepada Bibi Malina.
"Iya, Non."
Tak ingin ada masalah lagi, Maysha memilih mengalah. Ia harus menelan kekecewaan dan kembali ke kamar seorang diri tanpa suaminya.
Begitu masuk wanita itu langsung menjatuhkan tubuhnya di atas pembaringan. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya luntur juga.
Kamar luas nan mewah itu mendadak dipenuhi isak tangis.
*
*
*
Sementara itu di kamar lain, Laura menatap setiap bagian kamar yang di tempatinya. Sebuah kamar yang sangat nyaman dengan tempat tidur super empuk. Sepertinya ia akan termanjakan dengan kemewahan selama menghuni rumah itu.
"Mas Arlan ...," panggil Laura. Menatap Arlan yang berbaring membelakanginya.
"Hemm."
"Apa kamu tidak bisa mengingat apapun tentang rumah ini?"
"Tidak. Aku merasa semuanya asing."
"Termasuk Mbak Maysha?"
"Hemm."
Tangan Laura mengulur mengguncang pelan lengan lelaki itu. "Mas, aku ingin kamu berjanji satu hal padaku."
"Janji apa?"
"Setelah nanti kamu bisa mengigat semuanya, jangan pernah meninggalkan aku. Aku takut kamu akan lebih memilih Mbak Maysha dan meninggalkan aku."
Arlan tak menjawab. Seluruh hatinya dipenuhi kebimbangan.
"Kenapa kamu berpikir seperti itu?"
"Karena aku merasa Mbak Maysha tidak menyukai keberadaanku di sini. Aku takut dia akan menjauhkan kamu dari aku. Kamu lihat sendiri kan, tadi dia memberiku teh dan aku sakit perut setelahnya. Kedepannya aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan kepadaku."
Meskipun merasa Maysha sangat asing, namun Arlan ragu akan ucapan Laura. Entah mengapa hati kecilnya berkata Maysha tak sejahat itu.
"Mas, kenapa kamu diam saja?" desak Laura kala suaminya terdiam.
"Ya sudah, aku janji."
Laura mengulas senyum puas. Sementara Arlan tenggelam dengan pikirannya sendiri. Hampir semalaman ia tak dapat terpejam. Pancaran penuh luka dari sepasang mata Maysha saat ia membentaknya terus terbayang dalam ingatan.
...****...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!