NovelToon NovelToon

When Mafia Fall In Love

BAB 1

Menanti sebuah lamaran, tentu membuat jantung berdetak tak karuan. Apalagi dilamar seseorang yang hanya beberapa kali dia temui dan hasil dari sebuah perjodohan orang tua.

Seorang gadis yang sedang duduk di tepi ranjangnya itu sudah terlihat sangat cantik dengan memakai setelan busana syar'i berwarna putih. Dia menatap dirinya dicermin. Dia sudah berumur 25 tahun, tapi dia belum mengenal yang namanya cinta. Cinta itu seperti apa? Apa seperti rasa kagumnya terhadap Ustaz Ilham yang akan melamarnya hari ini.

"Zahra..." panggil Umi Laila.

Zahra adalah putri pertama dari Abah Husein dan Umi Laila, pemilik pondok pesantren Al-Jannah. Dia seorang putri yang sangat penurut. Semua perintah kedua orang tuanya selalu dia laksanakan selagi dia mampu.

Umi Laila berjalan mendekat dan merengkuh bahu Zahra. "Putri Umi memang cantik. Jangan tegang gini. Senyum dong."

Zahra akhirnya tersenyum meski dadanya masih saja berdegup tak karuan.

"Ayo, keluarga Ustaz Ilham sudah datang."

Zahra mengangguk lalu dia berdiri dan berjalan beriringan dengan Uminya. Sedangkan tangan kirinya kini digandeng adik kandung Zahra yang bernama Syifa. Syifa yang dua tahun lebih muda darinya sangat berbeda dengannya. Syifa sangat periang, pandai bergaul, bahkan dia lulusan terbaik dari fakultas dakwah. Banyak pemuda yang mengagumi dan ingin meminang Syifa, tapi Abah Husein selalu menolak karena Abah Husein ingin menikahkan Zahra terlebih dahulu.

Umi Laila dan kedua putrinya kini duduk berjajar di hadapan keluarga Ustaz Ilham.

Zahra hanya menundukkan pandangannya. Lelaki yang berada di hadapannya itu benar-benar sosok yang sempurna. Selain wajah tampan yang menjadi daya tarik, dia seorang ustaz yang pandai berdakwah dan pemilik sebuah yayasan panti asuhan. Pantas saja jika Zahra sangat mengaguminya.

Setelah kedua orang tua Ustaz Ilham berbicara basa basi dengan orang tua Zahra, kini saatnya Ustaz Ilham menyampaikan pinangannya. "Saya akan meminang putri Abah Husein yaitu Syifa."

Semua yang berada di ruang tamu terkejut dan tidak menyangka saat Ustaz Ilham justru menyebut nama Syifa.

"Maaf nak Ilham, saya akan menikahkan putri saya yang pertama terlebih dahulu yaitu Zahra. Sebelumnya saya sudah membicarakan perjodohan ini dengan orang tua nak Ilham," kata Abah Husein.

Seketika Ustaz Ilham berbisik-bisik dengan kedua orang tuanya.

Sedangkan Zahra hanya menundukkan kepalanya. Ini memang bukan pertama kalinya seperti ini, tapi rasanya dia sangat kecewa dengan dirinya sendiri. Dia seolah menjadi penghalang untuk kebahagiaan adiknya. Dia tak keberatan jika Ustaz Ilham menikah dengan adiknya.

"Maaf, saya sudah menjatuhkan pilihan saya pada Syifa." Begitulah keputusan Ustaz Ilham.

Keadaan hening sejenak. Baik Zahra maupun Syifa tidak berani mengambil keputusan sendiri selama Abahnya belum memutuskan.

"Mohon maaf ya nak Ilham, saya tetap akan menikahkan Zahra terlebih dahulu barulah adiknya."

Meskipun kecewa tapi Ustaz Ilham bisa mengerti keputusan ini. Dia tetap menjatuhkan pilihannya dan memilih mundur untuk saat ini.

Ustaz ilham menganggukkan kepalanya. Dia menyampaikan permohonan maafnya berulang kali sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk pulang dan perjodohan itu pun batal.

Sedari tadi Zahra hanya terdiam. Dia semakin merasa insecure dengan dirinya sendiri. Apa yang harus dia lakukan?

"Zahra, kamu jangan sedih nak. Pasti ada lelaki baik diluar sana yang akan menjadi jodohmu kelak." kata Umi Laila

Zahra menganggukkan kepalanya. Dia kini memberanikan diri untuk berkata pada Abahnya. "Abi, biarkan Syifa menikah terlebih dahulu jika memang dia sudah menemukan jodohnya. Zahra tidak apa-apa."

Mendengar hal itu seketika Syifa merangkul bahu kakaknya. "Kak Zahra santai saja. Aku masih belum memikirkan masalah jodoh."

Abah Husein tersenyum lalu mengusap puncak kepala Zahra. "Nak, ketika tiba waktunya nanti kamu pasti akan bertemu dengan jodoh kamu. Abi sangat menyayangi kalian berdua."

Zahra dan Syifa memeluk abinya sesaat. Setelah itu mereka berdua berjalan menuju kamar.

Zahra bisa menangkap ekspresi lain di wajah Syifa, dia kini mengikuti Syifa masuk ke dalam kamarnya. "Syifa, kakak mau bicara sebentar."

"Bicara apa kak?" tanya Syifa sambil duduk di tepi ranjangnya.

"Apa kamu mencintai Ustaz Ilham?" tanya Zahra. Kini dia juga duduk di sebelah Syifa.

Syifa terdiam. Dia tidak bisa membohongi perasaannya bahwa sebenarnya dia telah jatuh cinta pada Ustaz Ilham tapi bagaimana jika kakaknya juga mencintainya. Dia tidak mau menambah luka hati Kakaknya setelah lamaran itu batal.

Syifa menggelengkan kepalanya pelan. "Kak, aku tahu Ustaz Ilham lelaki yang hampir sempurna. Setiap wanita pasti mengaguminya. Syifa ingin Kak Zahra mendapat pendamping hidup yang tepat seperti Ustaz Ilham."

"Syifa, jangan bohong sama kakak."

Lagi-lagi Syifa menggelengkan kepalanya. "Aku pasti bahagia melihat Kak Zahra bahagia."

"Ya sudah, Kakak mau ke kamar dulu, mau siap-siap sholat Maghrib ke masjid." kata Zahra. Kemudian dia keluar dari kamar Syifa dan masuk ke dalam kamarnya. Dia kini duduk di depan cermin. Dia bisa menangkap isi hati Syifa yang sebenarnya. Dia tahu, pasti Syifa juga mencintai Ustaz Ilham.

Harusnya mereka berdua bisa bersama. Syifa tidak perlu mengalah demi aku.

Zahra menghela napas panjang. "Baiklah, sepertinya aku harus mencari jodohku sendiri."

Setelah itu dia bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Setelah berganti pakaian, dia mengambil mukenanya lalu keluar dari kamar.

Setiap hari dia selalu sholat berjama'ah di masjid milik pondok pesantren keluarganya. Dia selalu berjalan kaki saat menuju masjid karena jaraknya dengan rumah memang tidak terlalu jauh.

Saat dia berjalan di sebuah gang, dia menghentikan langkahnya karena mendengar suara langkah kaki. Langkah itu semakin cepat lalu terlihat seorang pemuda yang memakai jaket levisnya sedang berlari ke arahnya. Tiba-tiba dia bersembunyi di balik tubuh Zahra.

"Tolong aku..." katanya.

Zahra hanya terdiam sambil melihat dua orang yang berlari cepat dan mendekat ke arahnya.

💞💞💞

.

Hai, karya baru sudah hadir. Jangan lupa berikan rate ⭐️⭐️⭐️⭐️⭐️ dan jadikan favorit ya...

Like dan komen di setiap bab nya.

Thank u yg udah selalu setia bersama author.

BAB 2

"Hai, mau kabur kemana kamu!!"

Dia terus berlari menghindari kejaran dari dua orang suruhan musuhnya. Kali ini dia tidak boleh tertangkap lagi. Dia masuk ke dalam sebuah gang. Sepertinya tidak ada pilihan lain karena dua orang yang mengejarnya itu semakin dekat. Dia melihat seoarang wanita yang memakai syar'i sedang berjalan pelan. Dengan gerak cepat dia bersembunyi di balik badannya.

"Tolong aku." kata lelaki itu.

Karena lebarnya rok syar'i yang dipakai Zahra, lelaki itu jelas tidak terlihat.

Zahra menatap dua orang yang berlari ke arahnya. Terlihat sangat kejam dan sangar. Dia sendiri sampai merasa ketakutan. Haruskah dia menolong seseorang yang sekarang bersembunyi di belakangnya itu? Apakah dia memang sedang dalam bahaya?

"Lihat pria yang lewat sini. Dia pakai jaket levis berwarna biru."

Zahra hanya menggelengkan kepalanya. Entahlah kenapa hatinya tergerak untuk menolong lelaki itu.

"Sial! Kita kehilangan jejak."

"Mungkin masuk di gang satunya."

"Ya sudah, kita coba cari ke sana."

Kedua orang itu berlari keluar dari gang.

Setelah aman, lelaki itu berdiri dan menggeser langkahnya di samping Zahra. "Terima kasih." ucapnya.

Zahra menatap sesaat wajah yang tampan dengan jambang tipis itu. Kemudian dia mengangguk lalu melangkahkan kakinya kembali.

Tapi lelaki itu mengikutinya. "Apa kamu tahu rumah yang dikontrakkan di sekitar sini?" tanyanya pada Zahra.

Zahra menghentikan langkahnya.

"Aku baru diusir dari kontrakan dan dua orang yang mengejar aku itu adalah debt collector. Atau mungkin ada kamar kos yang murah." kata pria itu lagi.

Zahra masih saja menundukkan pandangannya. Dia nampak berpikir. Benarkah seseorang yang sekarang berada di hadapannya itu sedang dalam kesusahan? "Saya mau sholat Maghrib dulu, adzan sudah berkumandang. Nanti saya antar ke tempatnya setelah sholat Maghrib." kata Zahra dan kini dia kembali melangkahkan kakinya.

"Nama aku Rendra." kata Rendra memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangannya.

Zahra hanya mengangguk tanpa membalas uluran tangan Rendra. "Zahra."

Zahra mempercepat langkah kakinya menuju masjid, sedangkan Rendra masih saja mengikutinya meski kini dia berjalan satu meter di belakangnya.

Langkah Rendra terhenti saat Zahra sudah masuk ke dalam masjid. Dia kini memandang bangunan masjid yang besar dan megah itu. Sudah bertahun-tahun dia tidak pernah menginjakkan kakinya ke dalam masjid, terakhir saat dia masih sekolah SMA, itupun di masjid sekolah. Baru kali ini hatinya terketuk mendengar suara adzan itu.

Dia memutar kakinya dan akan melangkah pergi tapi kemudian terhenti. Dia memutar tubuhnya lagi lalu berjalan untuk mengambil air wudhu.

...***...

Setelah selesai sholat Maghrib, Zahra tak juga keluar dari masjid. Dia meneruskan mengajar mengaji ibu-ibu di dalam masjid.

Rendra sengaja menunggu Zahra diluar masjid. Sesekali dia menatap Zahra dari luar kaca jendela. Paras cantik itu seperti bidadari. Beberapa detik kemudian, buru-buru dia mengalihkan pandangannya. Rasanya dia terlalu kotor untuk menatap paras cantik itu. Dia dan Zahra bagaikan langit dan bumi, sangat jauh.

Hingga adzan Isya' akhirnya berkumandang. Rendra kembali masuk dan melaksanakan sholat Isya' berjamaah.

Mulai saat itu, dia akan bersikap baik dan berpura-pura menjadi seorang muslim meski dalam otaknya kini sedang menyusun sebuah siasat.

Setelah selesai sholat Isya', Rendra menunggu Zahra lagi di depan masjid. Dia tersenyum memandang Zahra yang keluar dari masjid.

Zahra hanya menundukkan pandangannya saat Rendra mendekat.

"Saya kira kamu sudah pergi." kata Zahra. Dia tidak menyangka lelaki itu menunggunya sampai lama seperti ini. Ya, mungkin saja dia memang sedang membutuhkan bantuannya.

"Aku benar-benar butuh tempat tinggal. Kalau memang malam ini tidak dapat tempat tinggal, terpaksa aku tidur di depan ruko lagi." kata Rendra.

Zahra percaya begitu saja. Dia berjalan satu meter di depan Rendra. "Ikut saya."

Rendra mengikuti Zahra. Melewati gang itu lagi lalu menuju sebuah rumah yang lumayan besar dan berpagar. "Tunggu di sini saja biar saya panggilkan abi. Rumah kosongnya ada di sebelah, kalau abi setuju baru kamu boleh menempati."

Rendra menganggukkan kepalanya.

Zahra masuk ke dalam rumahnya setelah mengucap salam. Dia menemui Abinya yang sedang duduk di ruang tengah.

"Abi ada seseorang yang butuh tempat tinggal. Dia menunggu diluar. Tolong Abi temui," kata Zahra.

"Siapa?"

"Namanya Rendra. Zahra juga baru bertemu karena dia dikejar-kejar debt collector. Zahra mau ke kamar dulu." Kemudian Zahra berjalan menuju kamarnya.

Sedangkan Abah Husein kini keluar menemui pemuda itu.

Zahra berdiri di dekat jendelanya sambil melihat abinya yang sedang berbicara dengan Rendra. Sepertinya abinya setuju jika Rendra tinggal di rumah kosong yang berada di sebelah rumahnya.

"Kak, itu siapa?" tanya Syifa yang membuat Zahra sedikit terkejut karena adiknya itu tiba-tiba saja masuk ke dalam kamarnya.

"Orang yang lagi butuh tempat tinggal." kata Zahra lalu dia beralih naik ke atas ranjang.

"Oo, Kak Zahra bertemu dimana?" tanya Syifa lagi. Dia kini duduk di tepi ranjang.

"Tadi ketemu di jalan. Dia dikejar-kejar orang katanya debt collector dan dia bilang juga lagi butuh tempat tinggal."

"Terus Kakak percaya?" Syifa yang memang cenderung berpikir kritis itu tentu tidak percaya begitu saja pada orang asing.

Zahra menggelengkan kepalanya. Dia juga tidak tahu orang itu seperti apa. Yang jelas kesan pertamanya dia seperti orang baik-baik. "Kakak juga tidak tahu. Biar Abi sendiri yang menilai."

...***...

"Terima kasih banyak Abah. Kalau bukan karena Abah, mungkin saya sekarang tidur di pinggir jalan," kata Rendra sambil menjabat tangan Abah Husein berulang kali.

"Iya nak Rendra tidak apa-apa. Kalau nak Rendra butuh pekerjaan, di pondok pesantren saya sedang membutuhkan tukang bersih-bersih terutama di area taman. Kalau mau besok datang pagi-pagi temui saya terlebih dahulu di kantor yayasan."

Rendra menganggukkan kepalanya lalu kembali mencium punggung tangan Abah Husein. "Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih."

"Iya, saya pulang dulu. Kalau ada perlu apa-apa jangan sungkan-sungkan untuk bilang." kata Abah Husein.

Rendra menganggukkan kepalanya. Setelah Abah Husein pergi, dia menutup pintunya. Lalu dia duduk di kursi sambil mengangkat sebelah kakinya. "Sial! Aku gak bawa rokok gak bawa baju ganti juga. Demi menghindari anak buah elang hitam untuk sementara aku akan tinggal di sini."

Rendra mengambil ponselnya dan menghubungi anak buahnya. "Nanti malam bawakan barang-barang yang aku butuhkan. Aku sharelok." setelah Rendra mematikan ponselnya. Dia kini menatap ponsel barunya. "Gara-gara hp aku hilang semua kontak keluarga aku hilang. Gak ada satupun kontak yang aku hafal. Tapi lebih baik seperti ini. Aku harus bisa menyelesaikan masalah ini sendiri, meskipun nyawa menjadi taruhannya."

💞💞💞

.

Like dan komen ya...

BAB 3

Pagi itu Rendra datang ke pondok pesantren dan menemui Abah Husein. Dia sudah memutuskan untuk bekerja menjadi tukang bersih-bersih di pondok pesantren milik Abah Husein.

Dia memulai pekerjaannya dengan menyapu taman dari daun-daun yang berguguran. Tanpa sengaja dia melihat Zahra yang sedang duduk di kursi taman sambil membaca bukunya.

Tanpa sadar Rendra terus menatap paras cantik itu. Dia menghentikan bekerjaannya lalu berjalam mendekatinya.

"Assalamu'alaikum." ucap Rendra.

"Wa'alaikumsalam." jawab Zahra tanpa melihat Rendra sedikitpun.

Rendra hanya tersenyum kecil. Lalu dia duduk di bangku yang sama meski menyisakan jarak setengah meter di antara mereka. "Terima kasih kamu sudah memberi aku tumpangan. Kalau bukan karena kamu mungkin aku semalam tidur di depan ruko." kata Rendra memulai pembicaraannya dengan Zahra.

"Jangan berterima kasih pada saya, karena rumah itu milik abi." Zahra masih saja fokus dengan bukunya. Tidak tahukah seseorang yang sekarang sedang berada di sampingnya itu terus menatapnya.

"Iya, Abah Husein memang sangat baik. Beliau sudah memberikan aku pekerjaan juga." kata Rendra lagi sambil tersenyum. Wanita seperti Zahra sepertinya memang sangat sulit untuk ditaklukkan.

Kali ini tak ada respon sama sekali dari Zahra.

"Ngomong-ngomong kamu putri ke berapa dari Abah Husein?" tanya Rendra. Sebenarnya dia ingin lebih akrab dengan Zahra.

Zahra menutup bukunya. Lalu dia berdiri, tanpa berkata apa-apa lagi pada Rendra, dia berjalan dan pergi dari tempat itu.

Rendra hanya menatap punggung Zahra yang kian menjauh. Mungkin selama ini perempuan yang dia temui selalu bertekuk lutut padanya, bahkan sampai rela dia tiduri. Dia sampai lupa jika di dunia ini masih ada sosok wanita yang tidak mungkin dia dekati dan sangat sulit dia taklukkan, salah satunya adalah Zahra.

"Menarik." Rendra tersenyum miring. Saat dia akan berdiri tiba-tiba ada yang menepuk bahunya. Seketika Rendra menatap seseorang yang masih muda dan memakai peci putih di kepalanya itu yang sekarang berdiri di dekatnya.

"Abang baru di sini?" tanyanya sambil duduk di samping Rendra.

"Iya, kebetulan baru hari ini aku jadi tukang bersih-bersih di sini. Perkenalkan nama aku Rendra." Rendra mengulurkan tangannya mengajaknya berkenalan.

"Nama saya Anaz, Bang." jawab Anaz sambil menjabat tangan Rendra.

"Kamu santri di sini juga?" tanya Rendra.

Anaz menganggukkan kepalanya. "Iya, Bang. Saya sudah lama jadi santri di sini. Barusan saya lihat Abang berbicara dengan Mbak Zahra. Sudah lama kenal Mbak Zahra?" tanya Anaz, karena memang baru kali ini dia melihat Zahra berbicara dengan seorang lelaki.

Rendra menggelengkan kepalanya. "Baru kemarin aku kenal. Dia baik banget ya. Aku baru saja kenal sama dia tapi dia sudah menolong aku."

"Ya begitulah, Mbak Zahra itu memang baik sekali. Dia selalu menolong siapa saja yang membutuhkan."

Rendra menganggukkan kepalanya. "Ngmong-ngomong Zahra anak ke berapa dari Abah Husein. Apa dia sudah menikah?" tanya Rendra. Entahlah, kenapa rasanya dia begitu ingin mengulik informasi tentang Zahra.

"Mbak Zahra itu anak yang pertama dari dua bersaudara. Tapi kasihan, wajah cantik dan hati yang baik, masih saja ada yang menolak Mbak Zahra."

"Maksudnya?" tanya Rendra tak mengerti. Zahra masih terlihat muda, urusan jodoh mungkin belum saatnya.

"Jadi kemarin Mbak Zahra seharusnya dilamar Ustaz ilham tapi Ustaz Ilham justru lebih memilih adiknya yaitu Mbak Syifa. Ya, memang wajah mereka mirip tapi secara kepribadian mereka berbeda. Mbak Syifa lebih mudah bergaul, orangnya supel sedangkan Mbak Zahra sangat pendiam. Hmm, Abang suka sama Mbak Zahra ya?" tanya Anaz.

Rendra hanya tersenyum kecil. "Aku gak pantas untuk wanita seperti Zahra. Aku hanya manusia yang kotor dan penuh dosa."

Anaz tertawa mendengar kalimat Rendra yang sangat pesimis. "Tidak ada seorang pun yang mampu menilai sebanyak apa dosa di diri sendiri. Saya juga baru melihat Abang tapi saya bisa merasakan aura kebaikan di diri Abang."

Lagi-lagi Rendra tersenyum kecil. "Kamu tidak bisa menilai seseorang hanya dengan satu kali bertemu. Kamu harus tahu banyak orang munafik di dunia ini, siapa tahu salah satunya adalah aku." Rendra menepuk bahu Anaz. "Aku mau lanjut bekerja. Terima kasih cerita singkatnya tentang Zahra." kemudian dia berdiri dan melanjutkan tugasnya membersihkan halaman pondok.

...***...

Selesai sholat Ashar, Zahra pulang ke rumahnya dengan berjalan kaki seperti biasanya

Lagi-lagi Rendra mengikuti langkah Zahra. "Mau pulang?" tanyanya.

Zahra hanya mengangguk kecil. Sebenarnya dia merasa risih dengan kedatangan Rendra yang selalu tiba-tiba seperti itu.

Meskipun selalu mendapat anggukan dan hanya jawaban singkat, Rendra masih tetap mengikuti langkahnya. "Kegiatan kamu selalu seperti ini ya setiap hari. Apa kamu tidak merasa bosan? Atau mungkin kamu butuh hiburan."

"Maaf, ini hidup saya. Jangan mencampuri kehidupan saya."

"Oke, sorry." Rendra masih saja mengikuti langkah kaki Zahra.

Beberapa saat kemudian Zahra menghentikan langkah kakinya. "Tolong jangan ikuti saya lagi. Saya tidak suka diikuti."

Seketika Rendra menghentikan langkahnya. "Oke, aku berhenti di sini."

Zahra melanjutkan langkah kakinya lagi.

Rendra hanya mengamati Zahra dari jauh. Entahlah kenapa kali ini dia penasaran dengan wanita seperti Zahra.

Zahra semakin mempercepat langkah kakinya. Dia kini sampai di depan rumahnya. Setelah mengucap salam, dia masuk ke dalam rumahnya.

"Asalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam sayang. Kebetulan sekali kamu sudah pulang. Sebentar lagi ada keluarga Kyai Haji Rahman akan datang berkunjung ke sini." kata Umi Laila menyambut kedatangan putrinya.

Seingat dia Kyai Haji Rahman memiliki seorang putra yang sudah duda beranak satu. Apa kedatangan mereka ke rumahnya ada maksud tertentu. Seketika hati Zahra berkabut. Meski apa yang dilakukan orang tuanya semata karena mereka menyayanginya, tapi Zahra tidak mau seperti ini lagi. Dia sudah memutuskan untuk memilih jodohnya sendiri.

"Maaf Umi, apa maksud kedatangan keluarga Kyai Haji Rahman ke sini? Apa ada niat untuk melamar? Untuk kali ini Zahra tidak mau."

"Zahra, kali ini kita ta'aruf dulu tidak langsung khitbah."

Zahra menggelengkan kepalanya. "Maaf Umi, Zahra sudah memutuskan untuk menemukan jodoh Zahra sendiri."

Zahra masuk ke dalam kamarnya. Tanpa sadar air mata itu kembali menetes. Dia tidak memusingkan masalah jodoh. Di umur berapapun , jodoh itu pasti akan datang dengan sendirinya. Tapi kenapa keluarganya seolah memaksanya.

Zahra membuka jendelanya dan duduk di dekat jendela. Menatap kosong taman samping rumahnya dengan mata nanarnya.

Beberapa saat kemudian dia dikejutkan dengan kedatangan seorang anak kecil yang membawa surat dan setangkai bunga mawar.

"Ini buat Mbak Zahra."

"Dari siapa?" tanya Zahra.

Anak itu menggelengkan kepalanya lalu berlari pergi.

Zahra mengernyitkan dahinya, seumur-umur baru kali ini dia menerima surat dan bunga. Kemudian dia membuka surat itu.

Tersenyumlah, agar kecantikanmu tidak kalah dengan bunga mawar ini..

💞💞💞

.

Kenapa jadi Author yang meleleh.. 😂

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!