NovelToon NovelToon

My Prince Of Edinburgh

Bab 1. Pertemuan Pertama.

Dara memekik keras saat ujung sepedanya menabrak bemper belakang sebuah mobil mewah. Ia tidak sempat menghindar karena tiba-tiba saja mobil itu datang entah dari mana. Atau mungkin ia yang tidak terlalu memperhatikan mobil itu berbelok. Yang jelas, ia merasa sudah berada di jalur yang benar.

Untung saja satu kaki Dara cepat menginjak lantai sehingga ia dan sepedanya tidak jatuh. Tetapi, besi bagian depan sepeda London Taxi-nya sedikit penyok.

Dara kesal sekali dengan si pengemudi dan berniat untuk meminta pertanggung jawaban. Ia mempersiapkan kata-kata untuk memaki siapapun yang sebentar lagi akan keluar dari dalam mobil.

"You can't drive or what (Kamu tidak bisa nyetir atau bagaimana)?!" serunya pada si pengemudi yang kini sudah berada di hadapannya, memeriksa keadaan bemper belakang yang lecet beradu dengan ujung sepeda Dara.

Si pengemudi mobil, seorang pemuda berambut pirang sebahu yang disisir rapi, berkacamata hitam dan mengenakan coat panjang, mengalihkan pandangan pada Dara.

"Kau lihat ini? Mobilku lecet," ucap pemuda itu kesal.

"Hei! Apa kau tidak lihat sepedaku juga penyok?" Dara tidak mau kalah. Ia menunjuk bagian depan sepedanya. Tetapi, yang membuatnya bertambah dongkol adalah, pemuda itu justru mengeluhkan mobilnya yang lecet, alih-alih meminta maaf padanya karena telah melanggar masuk ke jalur sepeda.

Dari balik kaca mata hitamnya, pemuda itu memperhatikan dara. Lalu bibirnya mendesis. "Percumah saja aku minta ganti rugi padamu," ujarnya seraya mengibaskan tangan.

Dara tercengang mendengar ucapan pemuda itu. Kakinya buru-buru menurunkan standar sepedanya dan mengejar si pemuda yang hendak kembali masuk ke dalam mobil.

"Seharusnya kau yang mengganti rugi sepedaku!" seru Dara membuat pemuda itu urung membuka pintu mobilnya.

"Kau sedang bermimpi, ya? Hello?" Pemuda itu menggerakkan telapak tangan di depan wajah Dara. Lalu menunjuk ke arah belokan menuju gerbang kampus di depan mobilnya.

"Tapi ini jalur sepeda! Kau tiba-tiba berbelok tanpa memberi sign!" bantah Dara tanpa peduli dengan siapa ia bicara.

Dara tidak mengenalnya. Dan selama lima bulan dirinya menjadi mahasiswi di Edinburgh University ini, belum pernah ia melihat sosok pemuda berambut pirang itu. Atau mungkin ia yang tidak terlalu memperhatikan wajah-wajah para penghuni kampus yang tentu saja jumlahnya ribuan.

"Kau mau minta ganti rugi? Aku pun bisa minta ganti rugi. Tapi, aku sudah bisa menebak kalau kau tidak akan mampu," cibir pemuda itu.

Dara menggeram kesal. Ia paling benci dengan orang yang sudah jelas-jelas salah, tetapi tidak mau mengakui, apalagi meminta maaf. Saking kesalnya, kakinya bergerak menendang bodi samping mobil. Ia tidak peduli dirinya pendatang di negara ini, dan lawannya adalah orang lokal; didengar dari logat Scottish-nya yang kental.

Salah tetaplah salah.

"Hei!" seru si pemuda seraya mendorong bahu Dara. "Gadis bodoh! Apa yang kau lakukan?"

"Rasakan itu, Dasar Sombong!" umpat Dara puas. Ia sadar, orang congkak seperti pemuda itu tidak bisa diajak bicara baik-baik.

"Dasar gadis gila!" maki si pemuda kesal. Ia mendecak. Jika ia sedang tidak terburu-buru, mungkin ia akan memberi pelajaran pada gadis yang sudah berani berurusan dengannya itu.

"Kau tetap harus ganti rugi sepedaku!" Dara menatap sinis pada pemuda yang kini bergerak masuk ke dalam mobil.

Si pemuda tergelak. "Dalam mimpimu," ucapnya. "Sudah beruntung aku tidak memintamu mengganti rugi mobilku yang lecet." Ia menutup pintu dan melajukan mobilnya tanpa memedulikan Dara.

Dengan dada bergemuruh ia memandangi mobil yang bergerak memasuki gerbang kampus.

"Nyebelin banget!" umpat Dara. Rasanya masih ingin ia memaki-maki pemuda itu. Sayangnya, banyak kata makian yang sudah ia persiapkan, menguap begitu saja.

Dara menuntun sepedanya masuk ke dalam kampus. Meskipun hanya penyok di bagian besi depan dan tidak mempengaruhi kinerja sepedanya, tetap saja, sepeda kesayangannya itu tidak terlihat cantik lagi.

"Dara, kenapa sepedamu?"

Dara menoleh ke arah asal suara. Ia menunjuk bagian depan sepedanya, memberitahu Gwen; gadis asal New York sesama penerima beasiswa, yang juga sahabat dan roomate-nya.

"Ow, what happened?" tanya Gwen. Gadis berambut kecoklatan dan pemilik mata hazel itu memeriksa sepeda Dara. "Kau menabrak sesuatu?"

"Ya. Aku menabrak mobil. Tapi bukan salahku. Si pengemudi bodoh itu tiba-tiba berbelok tanpa memberi sign," terang Dara, masih terdengar kesal. Ia memarkir sepedanya bersama sepeda lain.

"Tapi, kau tidak apa-apa, bukan?" tanya Gwen cemas.

"Aku tidak apa-apa. Tapi, lihat sepedaku jadi seperti ini."

Dara memanyunkan bibir. Sepeda kesayangannya itu ia beli dengan hasil jerih payahnya bekerja part time di sebuah restauran di dekat apartemen tempatnya tinggal. Karena jarak apartemen dan kampus cukup jauh, maka, sepeda adalah transportasi pilihan terbaik untuk menghemat ongkos naik kendaraan umum.

"Kenapa kau tidak minta ganti rugi pada pengemudi bodoh itu?"

"Dia bahkan tidak merasa bersalah. Menyebalkan sekali," gerutu Dara. Jika mengingat wajah pemuda itu, rasa kesalnya kembali muncul.

Sudut matanya menangkap pergerakan sosok berambut pirang melintas tidak jauh dari tempat parkiran sepeda di mana ia berada.

"Itu dia si pengemudi bodoh!" tunjuk Dara pada si pemuda yang sedang berjalan menuju gedung administrasi kampus.

Gwen spontan menoleh mengikuti arah jari telunjuk Dara. Mata hazelnya membulat.

"Astaga! Itu Nicholas Johanssen!" pekik Gwen membuat Dara mengerutkan keningnya heran.

"Siapa dia?"

***

"Aah! Pelan-pelan, Nic!" keluh Sophie, seraya mendorong dada kokoh di atasnya.

Nicholas begitu liar, mengerjainya tanpa ampun. Di bawah pengaruh alkohol, libidonya sedang tinggi-tingginya. Pemuda berambut pirang itu cenderung kasar dalam urusan ranjang. Pikirnya, ia tidak memiliki perasaan khusus pada perempuan-perempuan yang ia tiduri. Hanya nafsu belaka.

"Shut up, Sophie! Aku akan meledak sebentar lagi!" bentak Nicholas kesal. Ia yang sedang di awang-awang merasa terganggu dengan keluhan teman tidurnya itu.

Tangannya mencengkeram leher gadis itu. Tubuhnya ia pacu dengan brutal sebelum akhirnya melenguh panjang seiring tercapainya titik puncak yang luar biasa.

"Kau sudah selesai?" tanya Shopie, kecewa. Ia pun sejujurnya ingin menggapai puncak bersama Nicholas. Tetapi, rasanya itu tidak mungkin terjadi. Pemuda itu tidak peduli padanya.

Tanpa menjawab, Nicholas merebahkan dirinya di samping Sophie. Acuh tidak acuh memejamkan matanya.

"Nic ...." Sophie memanggil dengan suara lembut seraya mengelus dada pemuda itu.

"Hmmm." Hanya terdengar gumaman dari mulut Nicholas. Sepertinya rasa kantuk telah menyerangnya.

"Apa kau tidak ingin membantuku mencapai puncak, Nicholas?"

"Bukan urusanku. Kau pergi saja sana! Aku mau tidur!" Nicholas menarik selimut menutupi tubuh polosnya. Ia merubah posisi berbaringnya memunggungi Sophie.

Sophie mendecak sebal. Dengan bersungut-sungut gadis itu bangkit dari ranjang, memunguti pakaiannya lalu membalut tubuh rampingnya yang polos.

"I'm going (Aku pergi)." pancing Sophie. Berharap Nicholas akan menahannya untuk pergi. Ia sadar, ia hanya teman tidur pemuda itu, jika dibutuhkan. Tetapi, rasa dalam hati terhadap si tampan itu tentu tidak bisa berbohong. Ia menyukai Nicholas.

Namun, Nicholas tetap Nicholas. Dingin dan tidak pernah melihatnya selayaknya seorang perempuan normal yang ingin dicintai.

"Just go ( Pergi saja)!" ucap Nicholas seraya mengibaskan tangannya.

Nicholas Johanssen, anak konglomerat yang masih menyandang gelar bangsawan dari Edinburgh. Play boy, senang berfoya-foya, bengal dan dan susah diatur.

***

Bab 2. Meminta Ganti Rugi.

"Siapa dia?" tanya Dara pada Gwen. Sepasang matanya memperhatikan pergerakan pemuda berambut pirang yang beberapa saat kemudian menghilang ke balik pintu gedung rektorat.

"Sungguh kau tidak tahu siapa Nicholas Johanssen?" Gwen terbelalak tidak percaya. "Dia mahasiswa paling populer di kampus ini."

Dara menggeleng. Ia mencoba mengingat-ingat apa dirinya pernah melihat pemuda itu di sekitar kampus. Nihil. Sepertinya ia memang belum pernah melihatnya sama sekali.

"Kemana saja kau selama lima bulan ini, Dara?" Gwen memutar kedua bola matanya. "He's like the hottest guy in campus (Dia pria paling seksi di kampus)."

Dara mendesis. Pikirnya, percumah saja dikaruniai tampang rupawan, tetapi memiliki sifat buruk.

"And he's rich (Dan dia kaya raya)," sambung Gwen. "Dia anak salah satu konglomerat di Edinburgh."

Dara mencibir. Ia tidak suka mengurusi hal-hal yang tidak penting. Seperti, siapa yang paling populer di kampus, dosen terseksi, dan hal-hal lain di luar subjek yang sedang ia pelajari.

Tentang si sombong itu, pantas saja sikapnya buruk. Pasti dia merasa dirinya telah memiliki segalanya. Minim empati terhadap orang-orang di sekitarnya.

"Kenapa kau bisa tahu banyak tentang ... siapa namanya tadi?"

"Nicholas?"

"Ya. Nicholas bla bla bla."

"Pemuda tampan selalu berada di dalam radarku," kekeh Gwen.

"Keluarga Nicholas super kaya, Dara. Sepertinya lebih dari separuh Edinburgh milik keluarganya," tambah Gwen penuh semangat.

Dara sempat melihat brand mobil mewah milik pemuda itu. Cadillac. Siapapun tahu berapa harga mobil keluaran Amerika itu. Orang seperti dirinya harus mengalami reinkarnasi berkali-kali untuk bisa mengumpulkan uang sebanyak itu.

"Keluarganya masih keturunan bangsawan Inggris." Gwen masih menyambung ceritanya.

"Terserahlah. Aku tidak tertarik apapun tentang pemuda sombong itu," timpal Dara seraya melangkah meninggalkan parkiran sepeda. Gwen berusaha mengejar langkah cepat Dara menuju kelas mereka.

"Kau yang tadi bertanya tentang Nicholas, bukan?" Gwen mengambil tempat duduk di sebelah Dara, di barisan ketiga dari atas.

"Ya, ya. Terserahlah." Dara sudah tidak berminat untuk membicarakan pemuda itu. Ia memutuskan untuk melupakan rasa kesalnya atas kejadian beberapa saat lalu.

Namun, rupanya alam semesta masih ingin membuat kekesalannya berlangsung lebih lama. Sosok berambut pirang itu tiba-tiba muncul dari balik pintu kelas. Dan sialnya, satu-satunya kursi kosong hanya ada di sebelah Dara.

"O My Gosh!" pekik Gwen seraya menutup mulutnya yang menganga. "Nicholas masuk kelas ini!" pekiknya tertahan. Matanya mengikuti gerakan pemuda itu hingga duduk di samping Dara.

Dara menghirup wangi parfum mahal dari pemuda yang duduk dengan santainya di sebelahnya. Sejujurnya ia juga terkejut dengan kehadiran pemuda itu. Memang kelas dibuat acak dan wajah-wajah baru selalu muncul. Tetapi, ia jarang memperhatikan teman-teman sekelasnya yang jumlahnya puluhan itu.

"Hi," sapa Gwen seraya mencondongkan badan ke depan, agar badan Dara tidak menghalanginya dari Nicholas.

"Kau bicara denganku?" tanya Nicholas acuh tidak acuh. "Oh, kau ...." Kali ini ia menunjuk ke arah Dara. Gadis itu mendesis pelan.

"Gadis bodoh yang sudah membuat lecet mobilku," ujar Nicholas.

"Masih tidak merasa bersalah? Jangan-jangan kau memang tidak bisa membaca sign di jalan, ya?" balas Dara. Ia tidak terima disebut gadis bodoh. Sungguh sebuah penghinaan untuknya. Sekali lagi, ia tidak peduli dengan siapa ia berbicara. Dengan orang terkaya di Edinburgh pun ia tidak peduli.

"Berani sekali kau membuat masalah denganku, Gadis Bodoh!"

"Stop calling me Stupid Girl, Moron (Berhenti memanggilku Gadis Bodoh, Bodoh)!" bentak Dara dengan suara tertahan. Giginya gemeretak menahan amarah.

"Wow! Kau tidak tahu sedang berurusan dengan siapa, Gadis Bo ... auch!" pekik Nicholas saat lengannya dipukul keras oleh Dara. Kali ini ia benar-benar terkejut. Gadis itu semakin berani melawannya. Sepertinya si pemilik wajah Asia itu memang tidak tahu siapa dirinya.

Pertengkaran itu disaksikan oleh Gwen dengan mulut menganga. Tapi, dalam hati ia memaki Dara yang begitu berani melawan seorang Nicholas Johanssen.

"Dara! Dara! Stop it!" Gwen menarik-narik lengan baju Dara. Ia begitu khawatir dengan keselamatan sahabatnya itu.

"Lepas!" Dara menarik lengannya.

"Lihat, temanmu saja tahu kau sedang berurusan dengan siapa," ejek Nicholas.

"Aku-tidak-peduli!" sembur Dara.

"Wow! Baru pernah ada orang bodoh yang berani sekali melawanku, ya?"

"Kau panggil aku bodoh sekali lagi, aku akan ...."

"Akan apa? Hmm?" tantang Nicholas. Ia menaikkan kedua alisnya, membuat mata birunya melebar. "Bodoh, Bodoh, Bodoh!" lanjutnya.

Dara hampir saja mengayunkan pukulan ke wajah Nicholas, kalau saja Gwen yang panik tidak segera menahan tangannya.

"Apa ada masalah di belakang sana?" Sang dosen yang menangkap adanya keributan di barisan belakang bertanya.

Nicholas mengangkat kedua tangannya. "We're good!" serunya pada dosen, dengan hampir semua mata menatap ke arahnya.

***

"Breng sek!" maki Dara seraya memeriksa beberapa jeruji rodanya yang patah. Ia pikir hanya besi bagian depan saja yang penyok.

Ternyata, roda depannya pun rusak. Dan saat ia naiki, sepeda itu tidak kuat menahan berat badannya sehingga hampir saja ringsek.

Ia memang harus meminta ganti rugi pada si Nicholas bodoh itu bagaimanapun caranya.

Dan alam semesta menjawab niatnya saat Dara melihat Nicholas hendak masuk ke area parkiran mobil, bersama dua orang temannya.

Dengan wajah memerah menahan amarah ia menuntun sepedanya mendekati Nicholas. Ia tarik Coat yang dikenakan pemuda itu hingga badannya memutar ke arahnya.

"Kau harus ganti rugi. Lihat! Sepedaku rusak!" seru Dara seraya menunjuk roda depan sepedanya.

"Well, well ...." Nicholas menyeringai. Sementara kedua temannya menatap Dara penuh selidik.

"Kau kaya, bukan? Mengganti rugi sepedaku bukan hal sulit untukmu!"

"Masalahnya aku tidak mau ganti rugi, Gadis-Bodoh!" ejek Nicholas disambut senyuman kecil kedua temannya.

"Mobilku juga lecet. Apa kau juga bisa ganti rugi? Tentu saja tidak, Nona. Kecuali, kau ganti rugi dengan naik ke ranjangku," kekehnya.

"Ide bagus, Nic," sahut salah seorang teman Nicholas.

"Yeah, mungkin. Tapi, sayangnya, dia terlalu jelek untuk naik ke ranjangku," gelak Nicholas.

Plakk

Tawa Nicholas seketika memudar saat telapak tangan Dara mendarat di pipinya, meninggalkan jejak merah di sana.

"Wow!" Kedua teman Nicholas terpekik bersamaan. Antara kagum dan tidak percaya dengan keberanian Dara menampar seorang Nicholas Johanssen. Tentu, keduanya baru pernah menyaksikan peristiwa langka ini.

Kesal, Nicholas merebut sepeda dari tangan Dara, merobohkannya ke lantai, kemudian menginjak-injaknya dengan membabi buta.

"Hei! Apa yang kau lakukan?!" pekik Dara seraya mendorong tubuh Nicholas.

"Eat that, Stupid Girl!" maki Nicholas geram. Ia malu, dan harga dirinya jatuh saat terkena tamparan tangan Dara. "You messed with the wrong person ( Kau berurusan dengan orang yang salah)!" tunjuknya tepat di depan wajah Dara.

"Wow! Ini peristiwa langka. Nicholas ditampar seorang gadis?"

"Shut up!" bentak Nicholas pada temannya, sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil Cadillac-nya, diikuti dua pemuda itu.

Saat mobil Nicholas berlalu, Dara terpekur memandangi nasib sepedanya yang kini sangat memprihatinkan. Marah, sedih, semua bercampur menjadi satu.

Ia membenci pemuda itu. Ia membenci Nicholas Johanssen.

***

Bab 3. What Can I Serve You, Sir?

Dua pemuda dalam mobil Cadillac itu tidak henti-hentinya tertawa membicarakan peristiwa yang terjadi beberapa saat lalu di parkiran kampus. Sementara seorang lainnya yang sedang mengemudi, memperlihatkan tampang masam.

Mereka adalah Nicholas dan kedua temannya, Alastair dan Aegon.

"Breng sek kalian!" maki Nicholas. "Puas kalian melihatku ditampar seorang gadis?"

"Puas sekali, Nic. Apalagi yang menamparmu itu gadis yang ... bukan siapa-siapa," timpal Alastair, si pemilik rambut hitam cepak dan mata abu-abu.

"Sialan kau!" sembur Nicholas.

"Aku bahkan baru melihatnya di kampus. Siapa dia, Nic?" tanya Aegon.

"Kau pikir aku tahu? Dia tiba-tiba menabrak mobilku dengan sepeda jeleknya itu."

"Kenapa dia minta ganti rugi?"

"Karena dia bodoh. Gadis Bodoh. Buang-buang waktuku saja."

Alastair dan Aegon tertawa bersamaan. "Tapi gadis itu cukup berani, ya? Apa dia tidak tahu kau siapa?"

Nicholas mendesis. "Mungkin dia baru saja keluar dari goa atau apalah," sahutnya asal.

Kembali Alastair dan Aegon tergelak. "Tapi, tadi itu cukup menghibur."

"Ah, thank you, Al. Senang bisa menghiburmu, Baji ngan!" maki Nicholas. Hatinya dongkol. Sungguh memalukan apa yang baru saja dialaminya. Untung saja hanya Alastair dan Aegon yang melihatnya ditampar gadis itu. Hampir saja reputasinya hancur jika banyak orang di kampus yang menyaksikan kejadian itu.

"Let's drink somewhere," celetuk Aegon.

"Yeah, good idea, Bro," sahut Alastair dengan senyum lebar.

"Bagaimana kalau kita minum di Red Distric?"

"No, no, no! Jangan bar milik keluargaku. Si Sialan Peter Crouch akan melaporkanku pada ibuku." Nicholas menggeleng keras.

Alastair dan Aegon terbahak. "Dasar kau anak ibumu!"

"Tidak seperti itu, Breng sek! Aku malas berdebat dengan wanita tua itu!"

"Memangnya ibumu melarangmu minum? Geez! Dia kolot sekali," gumam Alastair.

"Tidak melarang. Hanya saja, kau tahu kalau aku sudah minum, aku susah berhenti. Dan aku harus melampiaskan ini ...." Ia menunjuk sesuatu di antara pangkal pahanya.

"So what?"

"Ibuku tidak suka aku main perempuan. Pokoknya, cari bar lain. Jangan milik keluargaku, Bodoh!" Nicholas memukul ujung kepala Alastair.

"Okay, okay ...." Alastair mengangkat kedua tangan menyerah.

Ketiganya lalu memutuskan untuk minum-minum di sebuah bar kecil di pinggiran Edinburgh. Bar yang cukup tersembunyi dari penglihatan orang. Nicholas bisa berbuat semaunya tanpa ada mata-mata keluarganya yang tentu saja ada di mana-mana.

Keluarga Johanssen keluarga aristokrat yang masih sangat menjunjung tinggi nama baik. Dua kakak Nicholas, satu laki-laki dan satu perempuan, semua berkelakuan baik. Hanya si bungsu saja, Nicholas, yang membuat ayah-ibunya hampir putus asa menghadapi kebadungannya.

***

Dara menuntun sepedanya yang rusak parah ke arah sebuah bengkel mobil yang berada tidak jauh dari restauran tempatnya bekerja. Niatnya, ingin meminta bantuan temannya yang bekerja di sana. Barangkali nasib sepedanya masih bisa tertolong.

"Holy Cow, Dara. Apa yang terjadi dengan sepedamu?" Yang berbicara adalah Braden. Temannya, yang ia kenal pertama kali setelah beberapa minggu tinggal di Edinburgh.

Braden bekerja di bengkel mobil ini dan waktu itu mereka berkenalan di sebuah cafe di seberang, saat jam makan siang. Sejak saat itu, keduanya akrab. Braden banyak membantu Dara menyesuaikan diri dengan segala sesuatunya di negeri asing ini.

"Kau bisa memperbaikinya?" tanya Dara penuh harap.

Braden, si pemilik rambut bergelombang yang tidak pernah disisir rapi itu memeriksa keadaan sepeda Dara. "Parah sekali. Sepertinya dirusak dengan sengaja. Apa ada orang gila yang melakukan semua ini?"

"Tepat sekali. Ada orang gila di kampus ...." Dara menceritakan detail kejadian dari awal hingga sepedanya berakhir rusak parah.

"Wow! Benar-benar orang gila," ujar Braden gusar. "Kau harus minta ganti rugi, Dara. Ini sudah keterlaluan."

Dara menghela napasnya dalam-dalam. Tentu saja ia ingin meminta ganti rugi. Tapi, ia sudah malas melihat wajah menyebalkan si sombong itu. Berdebat dengannya pun hanya buang-buang tenaga saja.

"Kau bisa memperbaikinya, Braden?"

Braden mengelus dagunya. "Kau tahu, Dara, aku biasa mengurus mobil dan segala sesuatunya. Kalau sepeda ...." Ia memanyunkan bibir. "Akan aku coba. Tinggalkan saja di sini."

Dara terlonjak gembira. Tanpa sadar ia menghambur ke pelukan Braden karena terlampau gembira. "Oops! Sorry," ucapnya malu-malu seraya menarik dirinya.

Braden meringis sembari menggaruk kepalanya. Ia bahkan belum menjanjikan apa-apa. Tapi, Dara sudah menggantungkan harapan besar padanya.

"Aku coba, okay?"

Dara mengangguk dengan semangat. Tapi, beberapa saat kemudian wajahnya cemberut. "Tapi, biayanya tidak akan mahal, bukan?" tanyanya.

Braden tergelak. "Tidak usah memikirkan hal itu, Dara," ujarnya.

Dara mengulas senyumnya. "Thank you, Braden," ucapnya. "Owh, I gotta go to work," sambungnya seraya memeriksa jam di pergelangan tangan.

"Sampai jumpa, Dara. Aku akan mengabarimu." Braden melambaikan tangannya.

Dara menyambut lambaian tangan Braden seraya memutar badan keluar dari dalam bengkel. Gadis itu berlarian ke arah restauran tempatnya bekerja, yang hanya selisih dua gedung saja dari bengkel Braden.

Sebuah restauran yang menyajikan makanan khas Scottland. Empat bulan ia bekerja di sana, sebagai karyawan paruh waktu karena dirinya harus membagi dengan jam kuliah.

"Dara, kau terlambat sepuluh menit." Atasannya, Helen, perempuan kulit putih bertubuh tambun menunjuk jam di tangannya.

"Sorry, Helen, aku harus menaruh sepedaku di bengkel," bela Dara seraya mengenakan apron warna hitamnya.

"Aku tidak mau tahu. Jangan ulangi lagi, okay?"

"Ya, Helen." Dara bergegas mengambil buku menu dan terburu-buru melangkah ke arah pengunjung restauran yang sejak tadi mengangkat tangan memanggil pelayan.

Sore yang sibuk untuk Dara, seperti biasa, melayani pengunjung yang banyak sekali maunya. Ia bahkan tidak sempat untuk duduk barang sebentar melonggarkan otot-otot kakinya yang mulai menegang. Hilir mudik mencatat dan mengantar pesanan ke meja-meja pengunjung restauran.

"Hei! Pelayan! Kemari!" panggil seseorang dari arah samping kanan Dara.

Dara segera menyelesaikan catatan pesanan dari meja yang sedang diurusnya lalu memutar badan ke arah pengunjung yang baru saja memanggilnya. Matanya membulat saat mendapati, bahwa yang memanggilnya adalah Nicholas, bersama seorang wanita yang sedang dirangkulnya, dan tua teman lelakinya yang ia lihat di kampus siang tadi.

"Surprise, surprise!" Nicholas yang tampak sedikit terkejut melihat Dara, bertepuk tangan.

"Kalian lihat siapa ini? Si Gadis Bodoh," gelak Nicholas. Seringai di bibirnya menunjukkan kalau ia tiba-tiba memiliki niat yang tidak baik.

"What shall I serve you (Mau pesan apa), Sir?" Dara mencoba untuk bersikap profesional dan tidak terpancing dengan tingkah laku menyebalkan Nicholas.

"Well, serve me on bed, of course (Ya, layani aku di atas ranjang, tentu saja)," kekeh Nicholas. "Aku butuh satu gadis lagi," lanjutnya.

Alastair dan Aegon terbahak mendengar ucapan tidak senonoh Nicholas untuk Dara. Sementara Dara berusaha meredam gemuruh dalam dadanya. Sekuat tenaga ia menahan kepalan tangannya agar tidak mendarat di wajah Nicholas.

"Bagaimana? Kau terima tawaranku? Ayolah, aku bisa membayarmu berkali-kali lipat dari gajimu di sini selama beberapa bulan," ucap Nicholas dengan wajah tidak berdosanya.

"Permisi, Pak. Bisa aku pinjam gelasnya sebentar?" tanya Dara meminta izin pada seorang lelaki paruh baya di meja sebelah.

Byurrr

"Wooow! Holy F ucking S hit!" Alastair dan Aegon terpekik bersamaan saat Dara menyiram air di dalam gelas dengan keras ke wajah Nicholas.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!