NovelToon NovelToon

Menerima Cinta Waria Tampan

Salah Paham

Saat ini, Alya sudah pergi dari ruangan itu dengan perasaan yang kesal. Kini, tinggallah Rian dan juga Rachel, yang sedang berduaan di ruangan khusus Alya itu.

Suasana menjadi sangat rancu, karena mereka yang sama sekali tak bersuara.

Rian menelan salivanya, karena ia merasa sangat tidak enak hati dengan Rachel.

‘Aduh ... kenapa malah jadi kaku begini, sih? Gak enak banget suasananya,’ batin Rian, yang merasa sangat aneh melihat suasana seperti ini.

Rachel menyunggingkan senyumannya, lalu mengambil tempat makanan yang berada di hadapannya.

‘Saatnya menjalankan rencana,’ batin Rachel, sembari membuka kotak makan tersebut.

Rian melihat Rachel yang sudah bersiap-siap untuk makan, dan segera mengambil jatah makannya juga, agar tidak terlalu kaku.

Rian tak memandang dengan benar ke arah Rachel, hanya berfokus ke arah makanan yang ada di hadapannya.

Sementara itu, Rachel sedang memegang saus sambal kemasan, yang memerlukan tenaga ekstra untuk membukanya.

Rachel melirik ke arah Rian, yang ternyata sedang tidak fokus ke arahnya.

‘Ini kesempatan bagus!’ batin Rachel, yang sudah bersiap-siap untuk menjalankan rencananya.

Rachel membuka paksa saus sambal kemasan tersebut, lalu berlagak seolah-olah saus tersebut terkena matanya.

“Aduh! Mata gue kenapa?!” pekik Rachel, sontak membuat Rian terkejut mendengarnya.

Dengan sangat sigap, Rian memandang ke arah Rachel yang sedang memegangi mata sebelah kanannya.

“Ada apa, Chel?!” pekik Rian, yang langsung bangkit dan berdiri di hadapan Rachel.

“Yan, tolong, mata gue kena saus sambal tadi!” pekik Rachel, membuat Rian mendelik kaget mendengarnya.

“Ah? Yang mana? Coba sini lihat!” pekik Rian, yang merasa sangat khawatir mendengar hal tersebut.

Walaupun Rian tidak menyukai cara Rachel mendekatinya, tetapi tidak ada alasan untuk Rian tidak menolongnya di saat krusial seperti ini.

Rian mendekat dengan perasaan yang sangat khawatir, sembari melihat ke arah mata kanan Rachel.

“Aduh, Yan ... gimana ini mata gue?!” teriak Rachel masih dengan aktingnya tersebut.

Rian mendadak bingung harus melakukan apa lagi pada kasus ini.

“Aduh ... gue bingung, gue harus gimana?” tanya Rian, yang juga malah ikutan panik dengan keadaan ini.

Rachel mengibas-ngibas telapak tangannya, ke arah matanya, “Ini cepetan ditiupin kek, biar gak perih!” suruhnya, Rian merasa sangat kaku mendengarnya.

“Ah? Tiupin?” tanya Rian bingung, membuat Rachel semakin berakting kesakitan.

“Aduh ... ini gimana, Yan? Gue gak bisa lihat! Aduh perih!” ujarnya dengan sedikit nada manja.

Memang aktris besar, aktingnya tak usah diragukan lagi.

Sangat meyakinkan.

Karena merasa sudah sangat terdesak, Rian pun terpaksa melakukan hal yang Rachel suruh.

Rian mendekatkan wajahnya ke arah wajah Rachel, dan berusaha untuk meniup mata Rachel secara lembut, dan perlahan.

Namun, tak disangka, Alya datang dari balik pintu. Melihat dari arah pandangannya, Alya melihat Rian yang sedang bercumbu mesra dengan Rachel.

Alya mendelik kaget, karena dari sisi pandangannya ia melihat Rian yang sedang bercumbu mesra.

Tentu saja ini hanyalah salah paham Alya semata, karena sudut pandang Alya berada pada titik tumpu yang salah.

“Rian!” pekik Alya, sontak membuat Rian dan Rachel memandang ke arahnya.

Rian pun mendelik kaget, karena ia melihat Alya yang ia yakin sudah sangat salah paham dengannya.

“Alya ....”

Rian buru-buru berlari menghampiri Alya, tetapi Alya segera pergi dari sana dengan amarah dan tangis yang sudah tak terbendung lagi.

Melihat kesalahpahaman yang terjadi di hadapan matanya, Alya merasa sangat kesal dan juga sedih. Namun, ia tidak bisa mengungkapkan emosinya kepada Rian.

Alya menghapus air matanya, berusaha untuk menahan air mata selanjutnya yang hendak keluar.

‘Apa, sih? Kenapa malah nangis? Gue kenapa sebenernya?’ batin Alya, yang merasa sangat bingung dengan perasaannya sendiri.

Alya melihat sekelilingnya. Ternyata, ia sudah berada di pinggir jalan, keluar dari area lokasi syutingnya.

Langkahnya terhenti, dan mengedarkan pandangannya ke segala arah.

“Ternyata udah jauh banget ya gue lari?” gumam Alya, sembari tetap melihat ke arah sekelilingnya.

Hari sudah beranjak siang, matahari pun sudah meninggi di atas kepalanya. Alya sudah terbiasa dengan terik matahari, karena ia yang selalu beraktivitas di luar ruangan untuk tag video.

Pandangannya tertuju ke arah kursi taman, yang berada di pinggir jalan. Karena merasa lelah, Alya pun duduk pada kursi tersebut untuk membuat tenaganya pulih.

Dahaganya terasa, keringatnya berpeluh, saking lelahnya ia berlarian.

Tangannya ia kibaskan ke arah lehernya, berharap angin yang dihasilkan terasa, untuk menghilangkan rasa gerahnya.

‘Gerah, capek, haus ...,’ batin Alya, yang merasa sangat lelah.

Teringat kembali kejadian yang Rian lakukan dengan Rachel, membuat suhu tubuhnya kembali memanas.

‘Duh ... kesel! Gue kenapa sih? Kenapa gue kesel sama dia? Gue kesel, tapi gue gak tau gue kesel kenapa? Kenapa memangnya kalau dia ciuman sama Rachel? Apa yang gue keselin?’ batin Alya, yang sangat kesal dan saling berdebat kiri dan kanan.

Kesal, tetapi tidak tahu kenapa.

Apa namanya kalau bukan cemburu?

“Terserah lo mau ngapain, kek! Gue gak peduli!” teriak Alya, yang sudah benar-benar kesal dengan Rian.

Sementara itu, Rian sudah sampai di persimpangan jalan. Ia berhenti di sana, sembari menghela napasnya karena lelah.

Kepalanya ia tolehkan ke kanan dan kiri, sembari mencari keberadaan Alya di segala arah.

Pandangannya tertuju ke arah Alya, yang saat ini sedang duduk di kursi taman, di arah sebelah kiri.

Harapannya terang, Rian merasa sangat senang bisa bertemu dengan Alya kembali. Ia berlari tergesa-gesa, ke arah Alya, karena ia sudah ingin segera menjelaskan kepada Alya.

“Alya!” pekik Rian, sembari tetap berlarian ke arah Alya.

Alya menoleh mendengar suara pekikan itu, membuatnya mendelik melihat Rian yang berada di hadapannya.

Rian terduduk di sebelah Alya, membuat Alya menekuk wajahnya dan duduk membelakangi Rian.

Rian memandang bahu Alya, “Alya ... maafin gue, ya?” ujarnya, tak membuat Alya bergeming.

Alya tak memedulikan apa yang Rian ucapkan. Ia hanya diam, membuat Rian semakin gelisah saja jadinya.

Tak direspon oleh Alya, Rian merasa sangat bingung, karena ia tidak bisa melakukan hal yang lebih dari ini.

‘Duh ... Alya beneran marah, ya? Kenapa ya dia? Salah paham, ya?’ batin Rian, yang merasa bingung dan aneh dengan sikap Alya.

Rian mendekati Alya, “Al ... maafin gue ya. Tadi itu salah paham. Yang lo lihat tadi itu gak seperti yang lo bayangin,” ujar Rian menjelaskan, Alya semakin tak menghiraukan ucapan Rian.

Sekali lagi Alya membuat Rian merasa gelisah, karena Alya yang tidak merespon apa pun, dari apa yang sudah ia katakan.

Rian menghela napasnya dengan panjang, mengulurkan tangannya ke arah bahu Alya, berusaha untuk merayu Alya untuk mendapatkan maafnya.

“Al--”

Diam Seribu Bahasa

Alya menarik lengan tangan Rian, yang berada pada bahunya, lalu membanting tubuh Rian, sampai Rian tersungkur di atas aspal jalanan.

“Aduh!” teriak Rian, yang berusaha untuk menahan sakit pada punggungnya.

Alya bangkit, dan memandang sinis ke arah Rian, yang masih tersungkur di hadapannya.

“Sukurin! Rasain tuh! Sakit, ‘kan?” ujar Alya dengan ketus, membuat Rian memandangnya dengan tatapan merengek.

“Al ... kenapa lo banting gue?” tanya Rian yang merasa sangat bingung dengan keadaan yang ia hadapi saat ini.

Alya memandang sinis ke arahnya, “Gak apa-apa. Kasih pelajaran aja, jangan sampai lo berbuat mesum di ruangan gue!” bentak Alya, yang menutupi semua perasaannya dengan cara berbohong.

Itu semua karena Alya sama sekali tidak mengetahui, bahwa yang ia rasakan adalah cemburu.

Rian bangkit, tak terima mendengarnya, “Gue gak buat mesum, Al! Gue tuh tadi cuma--”

“Cuma apa?” tanya sinis Alya, memangkas ucapan Rian. “Cuma ciuman manja sama Rachel aja, iya?”

Rian memandangnya sendu, karena ternyata Alya sudah benar-benar salah paham dengan apa yang terjadi saat ini.

Alya menunjuk kasar ke arah Rian, “Jangan sampai berbuat yang macem-macem di ruangan gue!” bentaknya, yang lalu segera pergi meninggalkan Rian di sana.

Rian memandangnya tak rela, “Alya!” pekiknya, tetapi Alya sama sekali tidak menghiraukan pekikan Rian.

Alya meninggalkan Rian di sana, membuat Rian memandanginya dengan rasa bersalah.

***

Mereka sudah sampai di apartemen Alya. Sepanjang perjalanan, mereka sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Sesekali Rian mengajak Alya berbicara, tetapi Alya sama sekali tak menghiraukan. Alya hanya berfokus pada handphone-nya, dan tak menjawab pertanyaan dari Rian.

Setelahnya, Rian sama sekali tak mengatakan apa pun. Ia merasa tidak enak, dan ingin memberikan waktu pada Alya, untuk bisa kembali seperti semula.

Mereka berjalan menyusuri lorong ruangan apartemen, kemudian masuk setelah membuka pintu.

Sudah sejak kemarin malam, Alya sama sekali belum makan. Hal itu membuat Rian sangat khawatir, dan ingin sekali menyuruhnya makan, untuk sekadar mengisi perutnya yang kosong.

Rian memandang ke arah Alya, yang saat ini sedang melangkah menuju ke arah kamarnya. Tangannya ia ulurkan, dan menahan bahu Alya, hingga langkah Alya menjadi tertahan.

“Makan dulu, lo belom makan dari kemarin malam,” ujar Rian dengan datar, Alya terdiam sejenak, kemudian melepaskan bahunya dari tangan Rian.

Sama sekali tak memedulikan Rian, Alya justru malah langsung masuk ke dalam kamarnya, lalu menguncinya.

Rian merasa sendu, karena Alya sangat acuh padanya.

Rian melangkah ke arah pintu kamar Alya, kemudian mengetuknya dengan ritme yang cepat.

“Alya ... buka pintunya! Nanti lo sakit! Ayo, makan dulu!” teriak Rian, yang benar-benar merasa khawatir dengan kesehatan Alya.

Kalau bukan dia, siapa lagi yang bisa mengingatkan Alya, tentang kesehatan Alya?

Alya merasa terusik, karena Rian yang terus mengetuk pintunya.

“Aduh ... kenapa dia ngetuk pintu terus, sih? Berisik!” gumam Alya, yang merasa sangat terganggu olehnya.

“Jangan ketuk pintu! Berisik, tau gak!” teriak Alya, yang sudah merasa sangat terganggu dengan yang Rian lakukan.

Mendengar suara teriakan Alya, Rian pun merasa sangat kaget. Dengan mudahnya Alya mengatakan hal itu, padahal dirinya sangat memedulikan tentang kesehatan Alya.

“Al, makan dulu! Gue pesenin pizza, ya?” ujar Rian, membuat Alya semakin kesal mendengarnya.

“Kenapa pake nawarin segala, sih? Harusnya dia pesenin aja langsung, kalau memang dia peduli sama gue!” gumamnya lirih, saking kesalnya ia dengan apa yang Rian lakukan.

Rian kembali mengetuk pintu ruangan kamar Alya, “Al ... kok gak dijawab? Masih marah sama gue?” tanyanya, Alya menjadi teringat kembali dengan permasalahan mereka saat ini.

“Udah deh, jangan ketuk-ketuk pintu gue! Jangan berisik, gue mau istirahat! Capek!” bentak Alya, Rian hanya bisa diam dan merasa sangat terkejut mendengar bentakan Alya padanya.

Rian menghela napasnya dengan panjang, “Ah ... kenapa malah jadi begini, sih?” gumam Rian lirih, yang merasa sangat tidak rela mendengarnya.

Karena sudah tidak bisa melakukan apa pun, Rian pun hanya bisa pasrah, karena ia tidak tahu lagi cara untuk membujuk Alya.

Rian hanya bisa memandang ke arah pintu ruangan kamarnya, kemudian perlahan turun sembari menyandarkan tubuhnya pada dinding sebelah pintu kamar Alya.

Tidak bisa dipungkiri, Rian juga sangat merasa bersalah. Walaupun ia sama sekali tidak melakukan hal tersebut, tetapi rasa bersalahnya tetap ada pada Alya.

Tangannya menumpu dagunya, ia tidak tahu lagi harus melakukan apa, untuk membujuk Alya agar memaafkan dirinya.

“Kenapa malah begini kejadiannya, sih? Harusnya ... Rachel gak datang ke ruangan Alya tadi!” gumam Rian, yang merasa sangat kesal dengan apa yang sudah terjadi padanya.

Sementara itu, rasa berani Alya sudah luruh. Kini, hanya tinggal sisa-sisa perasaan sedihnya saja.

Alya kembali kepada sosok yang rapuh, dan air mata pun sudah kembali menetes di pipinya.

Tak ada lagi yang bisa Alya lakukan, selain menangis. Seharian ini, ia selalu menguatkan dirinya, untuk tidak menangis di hadapan Rian.

Namun, kali ini ia sudah tidak bisa menahannya.

Alya tidur menelungkup, sembari memeluk bantal yang biasa ia peluk.

Hatinya terasa perih, ketika mengingat kejadian yang terjadi pagi tadi, antara Rian dan juga Rachel.

Padahal, Alya sama sekali merasa tidak peduli. Namun, dalam hati kecilnya terasa sangat sakit, dan entah perasaan apa yang ia rasakan.

Tangisannya mulai deras, air matanya pun mulai membanjiri wajahnya. Ia tidak bisa lagi berpura-pura bahagia, tetapi tidak tahu apa yang ia sedihkan itu.

“Kenapa ini? Kenapa sesak banget dada ini?” gumam Alya, sembari terus menyeka air matanya yang terjatuh.

Sejenak Alya meratapi rasa sakit hatinya itu. Keresahan menyelimuti, Alya benar-benar tidak mengetahui rasa sakitnya tersebut.

“Kenapa dia tega sama gue?” gumam Alya lirih, sembari memukul keras bantal yang ia peluk.

Alya meluapkan tangisannya, saking sedihnya ia.

Sayup-sayu terdengar dari luar ruangan kamar Alya, tangisan Alya yang cukup besar. Rian merasa sangat sendu, saking merasa bersalahnya ia dengan Alya.

“Al ... ini gak seperti yang lo bayangin. Gue sama Rachel itu gak melakukan apa pun tadi! Percaya sama gue, lo itu cuma salah sangka aja,” ujar Rian lirih, yang ia pikir percuma saja ia menjelaskan pada Alya.

Toh, Alya tidak akan pernah mempercayainya.

Mereka menghabiskan malam, dengan memikirkan satu sama lain. Namun, mereka masih belum sadar, kalau perasaan mereka ternyata sudah berkembang sangat jauh, sampai ada perasaan tak rela, ketika salah satu dekat dengan lainnya.

Mereka sama-sama meluapkan emosi mereka, dengan cara mereka sendiri.

Rian menyesali perbuatannya, sementara Alya hanya bisa menangisi apa yang Rian perbuat.

Perasaan Yang Tetap Sama

Handphone-nya berdering, ia melihat nama Morgan di layar handphone-nya.

Sejenak ia memandang ke layar handphone-nya, tidak bergerak dan hanya diam.

‘Apa ... gue lampiasin rasa kesel gue sama Morgan aja, ya? Siapa tau, dia bisa bantu hilangin rasa kesel gue,’ batin Alya, yang kini merasa sangat butuh teman curhat.

Tangannya mengulur ke arah handphone-nya, kemudian segera mengangkat telepon dari Morgan itu.

“Halo, Gan?” sapa Alya, dengan suaranya yang ia paksa untuk menjadi tegar.

Namun, Morgan tidak bisa dibohongi. Mendengar suara Alya yang bindeng seperti itu, Morgan sudah bisa menduga, kalau Alya sedang tidak baik-baik saja.

“Al, lo kenapa? Lo nangis?” tanya Morgan, tanpa menyapa Alya langsung to the point bertanya tentang keadaan Alya.

Alya tersenyum mendengarnya, “Iya, gue nangis. Hari ini syutingnya menguras emosi!” jawabnya, membuat Morgan agak tenang mendengarnya.

“Beneran syuting, ‘kan? Bukan yang lain-lain?” tanya Morgan, yang memang sedikit percaya dengan apa yang Alya katakan.

Padahal, bukan karena syuting Alya menangis, tetapi karena perasaan anehnya yang ia rasakan saat melihat Rian yang sedang melakukan hal aneh dengan Rachel.

“Ya, syutingnya bikin kesel! Ada crew yang rese, bikin gue naik darah! Gue gak mungkin nangis di depan orangnya, jadi gue nangis di kamar,” ucap Alya menjelaskan, tetapi tidak seperti itu kenyataannya.

Morgan hanya mengangguk-angguk kecil, “Oh, gue kira kenapa. Jangan sampai ada orang yang nyakitin lo,” ujarnya, sontak membuat Alya terdiam mendengarnya.

‘Morgan masih ada rasa sama gue, ya?’ batin Alya, yang tidak bisa memungkirinya.

“Memangnya kenapa kalau ada yang nyakitin gue?” tanya Alya, yang penasaran dengan apa yang ingin Morgan katakan.

“Jangan, nanti orang itu akan hilang!” jawab Morgan, sembari meniru suara khas Dilan.

Alya tertawa mendengarnya, “Ah? Dilan kali lo!” ujarnya menyeleneh, membuat Morgan ikut tertawa mendengarnya.

Mendengar Alya yang tertawa dengan lepasnya, di dalam kamarnya, Rian menjadi bertambah sedih. Hatinya semakin kesal, tetapi entah karena apa.

‘Dia ketawa-tawa sama siapa malam-malam gini? Kenapa dia malah cuekin gue, sementara sama orang lain ketawa-tawa?’ batin Rian, yang masih menyandarkan tubuhnya di depan ruangan kamar Alya.

Rian tak bisa berkata-kata, hanya bisa diam, sembari mendengar Alya tertawa renyah seperti itu dengan orang lain.

Alya membenarkan posisi tidurnya, menjadi memandang ke arah langit-langit kamarnya. Ia mengusap air matanya, sampai seluruh air matanya kering.

‘Jangan pikirin yang gak perlu dipikirin!’ batin Alya, sembari berusaha untuk mengubah mood-nya, menjadi lebih baik lagi.

“Gan, tumben nelepon. Ada apa?” tanya Alya heran, Morgan menghentikan tawanya.

“Udah beberapa waktu ini ... kita sempat hilang kontak. Gue gak mau, kalau nantinya kita hilang kontak lagi,” ujar Morgan dengan nada yang sangat serius, membuat Alya terdiam sejenak mendengarnya.

Alya bergeming, merasa sangat aneh mendengar ucapan Morgan yang seperti itu.

Memang, Alya tak memungkiri, kalau Morgan menyukainya. Namun, ia tidak menyangka kalau ternyata Morgan masih menyimpan perasaannya, bahkan sampai saat ini.

Sudah bertahun-tahun lamanya, tetapi Morgan masih saja menyimpan perasaannya pada Alya.

Alya pun tak pernah melihat Morgan menjalin hubungan dengan wanita mana pun, selama ini. Yang ia lihat, Morgan hanya memandang ke arah dirinya saja, meskipun ia sudah memiliki Dion, pada saat itu.

Sekarang terulang kembali. Walaupun di sisi Alya sudah ada Rian, tetapi Morgan sama sekali tidak memedulikannya.

Perasaannya tetap sama untuk Alya.

Alya menunduk bingung, antara harus tertawa atau tersentuh mendengar ucapan Morgan yang seperti itu.

“Ah, lo juga kemarin-kemarin gak nyari gue. Kenapa? Apa ... ada dede gemes yang lagi deket sama lo?” seloroh Alya, Morgan tertawa mendengarnya.

“Gak ada yang deket sama gue, selain lo. Percaya deh, gue gak gampang dideketin sama cewek,” ujarnya, membuat Alya tertawa keras mendengarnya.

Suasana kembali ramai dan nyaman, membuat Alya bisa dengan mudahnya mengeluarkan segala uneg-uneg yang terpendam di dalam hatinya.

“Ah, gimana gak gitu? Orang setiap yang deketin lo aja, lo selalu pasang kuda-kuda, hahaha!” seloroh Alya, semakin senang saja berbincang mengenai hal ini pada Alya.

Morgan tertawa kecil, sembari memikirkan sesuatu dalam hatinya.

‘Gue beneran gak mikirin siapa pun, dan gak deket sama siapa pun. Itu semua demi lo, Al,’ batin Morgan, yang tidak bisa mengungkapkannya langsung pada Alya.

Walaupun Morgan sudah sering mengungkapkan perasaannya pada Alya, tetapi Alya tetap menganggapnya hanya sebuah candaan.

Hal itu yang membuat Morgan tidak bisa melangkah lebih jauh, karena setiap ucapannya selalu dianggap candaan bagi Alya.

Padahal kenyataannya, Alya sangat mengerti apa yang Morgan rasakan. Ia hanya tidak ingin, suasana mereka menjadi rancu, hanya karena perasaan Morgan kepadanya itu.

Alya hanya menganggap Morgan sebagai seorang senior. Kalaupun lebih dari itu, ia hanya bisa menganggapnya saudara saja.

Morgan menghela napasnya, berusaha untuk menetralisir suasana.

“Besok ada jadwal syuting?” tanya Morgan, Alya terdiam sejenak memikirkan jadwalnya.

“Ada, tapi cuma malam. Pagi ke sore free di apartemen,” jawab Alya dengan jujur, membuat Morgan mengangguk-anggukkan kepala kecil.

“I see. Gimana ... kalau kita naik wahana?” tawar Morgan, membuat Alya merasa sangat senang mendengarnya.

“Ah? Wahana? Naik apa? Bianglala?” tanya Alya, dengan sangat bersemangat.

Morgan juga larut dalam semangatnya Alya, sehingga membuatnya lebih semangat lagi dalam menjawab setiap pertanyaan Ara.

Morgan tersenyum, ‘Sepertinya dia sedang mood,’ batinnya yang merasa sangat senang mengetahuinya.

“What ever you want, lo bisa naik wahana apa aja yang lo seneng!” ujar Morgan, berusaha untuk menjaga mood Alya, yang sangat sulit ia dapatkan itu.

“Yeay! Gue mau naik bianglala!” teriak Alya, membuat Rian yang masih terjaga di sana, mendengar teriakan Alya tadi.

‘Mau naik bianglala? Sama siapa?’ batin Rian, yang merasa sangat bingung mendengar ucapan Alya yang seperti itu.

Rian sama sekali tidak mengetahui, kalau Alya memiliki teman sedekat itu. Setahunya, Alya terkenal sangat jutek, sampai ia tidak memiliki teman sejawat yang terlihat dekat dengannya.

‘Kira-kira, dia lagi bicara sama siapa, ya?’ batin Rian.

Tiba-tiba saja muncul rasa penasaran di hati Rian, karena mendengar Alya yang tertawa seperti itu di telepon.

Entah dengan siapa.

Rian hanya tenggelam dalam rasa penasarannya saja, karena ia tidak bisa bertanya langsung pada Alya. Ia sanga tahu, Alya tidak akan pernah menjawab pertanyaan darinya.

Sementara itu, Alya yang memang membutuhkan refreshing, langsung meng-iya-kan ajakan Morgan itu.

“Mau! Ya udah, besok gue ke sana,” ujar Alya, sontak membuat Morgan mendelik kaget mendengarnya.

“Jangan! Jangan kamu yang ke sini. Berat, kamu gak akan kuat. Biar aku saja,” ujar Morgan, kembali meniru gaya bicara Dilan.

Alya semakin tertawa saja, karena ia merasa sangat kesal ketika mendengar gaya bicara Morgan, yang sangat tidak mirip dengan gaya bicara Dilan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!