Satu minggu pernikahan berdasarkan perjodohan antara Arika dan juga Prawira, keduanya belum juga melakukan kewajiban sebagai sepasang suami istri. Kebencian atas pernikahan yang di rasakan Arika kini lenyap entah kemana.
Satu minggu ia melihat sikap suaminya yang begitu baik, tak sekali pun Prawira meminta haknya dengan memaksa. Tentu saja sebagai seorang istri ada rasa bersalah yang Arika rasa saat ini.
Dari hari pertama pernikahan, Prawira membantunya memijat kedua kaki hingga wanita itu terlelap dengan nyaman.
Kaki yang putih nampak merah akibat terlalu lama memakai heels. Semula Arika menolak, hingga Prawira menunggu sang istri tertidur dan mulai memijatnya.
Di pagi pertama pernikahan, pria itu membuatkan sarapan untuknya bahkan Prawira benar-benar mampu mengambil hati sang mertua. Dimana ia bercanda tawa dengan sang mertua pria.
Pemandangan pagi itu tak lepas dari tatapan bola mata Arika. Ada rasa hangat melihat kedekatan sang suami bersama sang papah.
Hingga hari kedua, pria yang baru berstatus suami itu merawat Arika yang tengah sakit. Kelelahan sebab pernikahan membuatnya drop total. Siang dan malam Prawira tak mengeluh sedikitpun dan tidak meninggalkan sang istri semenit pun. Ia merawat Arika dengan sabar.
Membersihkan tubuh polos Arika dengan kain seka badan, tak ada terlihat napsu dari pria itu. Hari demi hari Arika lewati hingga genap satu minggu. Ketulusan sang suami mampu membuat hatinya yang keras menjadi luluh seketika.
“Apa aku salah telah mengabaikan suamiku sendiri? Pernikahan kami sudah satu minggu lamanya. Pernikahan ini tidak mungkin juga bisa batal, semua sudah terjadi. Dan aku tidak mau ada perceraian.” Arika menunduk memainkan kuku-kukunya yang cantik.
Wanita itu terus berpikir dengan bicara dalam hati. Tanpa sadar dari arah pintu tampak Prawira yang baru saja pulang. Dengan pakaian formal serta tas kerja yang ia pegang.
Memastikan keadaan sang istri membaik, ia pun dengan terpaksa meninggalkan sang istri bekerja.
“Kenapa masih belum mandi?” Pertanyaan dari pria yang tak lain adalah suaminya membuat Arika tersentak kaget.
Sigap ia berdiri dan mencium punggung tangan sang suami. Untuk pertama kalinya Arika melakukan hal itu. Dan Prawira tersenyum kecil melihat tingkah sang istri.
“Aku minta maaf.” Lirih namun jelas Prawira mendengar ucapan Arika.
“Jangan sedih seperti itu, wajah cantikmu jadi jelek.” Arika tersenyum malu. Pertama kali pula ia mendengar sang suami berbicara gombal padanya.
“Sini tasnya. Aku akan simpan dan segeralah mandi.” pintahnya ingin meninggalkan pergi Wira. Namun, langkah Arika terhenti kala tangannya mendapat genggaman erat dari sang suami.
“Malam ini…boleh aku memintanya?”
Semakin merona kedua pipi Arika. Tak sanggup menjawab, wanita itu hanya mengangguk pelan sekali. Tentu saja lelah di tubuh Wira seolah hilang seketika, kepulangannya dari kerja malam hari membuat pria itu bersemangat untuk menempuh kenikmatan bersama istrinya.
Segera ia menggendong tubuh sang istri menuju kamar mandi. Arika sendiri yang belum memiliki pengalaman dalam hal itu sangat gugup. Tak mampu menolak ia hanya bisa mengikuti kemana sang suami membawa tubuhnya.
“Aku aku belum mandi.” tuturnya yang melihat Wira sangat dekat dengannya hingga tubuh Arika tersandar pada dinding kamar mandi.
“Kita akan mandi bersama.” Pelan namun pasti Wira mendaratkan bibirnya pada bibir sang istri.
Bak seorang guru, Wira begitu lihai menuntuk Arika melakukan hal yang jauh lebih lagi. Takut, gugup, malu semua menjadi satu di tubuh Arika, bahkan jelas Wira merasa sang istri tengah gemetar.
“Arika…bersiaplah.” lirihnya pelan berbisik di telinga sang istri lalu menyapunya dengan indera perasa.
Arika terpejam. Satu persatu tubuhnya di absen hingga akhirnya air mata menetes menahan sakit yang luar biasa.
“Aaaaa…” Arika menjerit tertahan di kamar mandi. Sementara Wira diam mematung menikmati pijatan yang terasa membawanya ke langit ke tujuh.
***
Di malam ke tujuh itulah pernikahan yang bermula karena terpaksa kini sudah menjadi begitu hangat. Arika sangat mencintai suaminya.
“Selamat pagi,” sapaan lembut dan senyum yang ceria menyapa pagi Wira kala itu. Tak lupa di tangan Arika terlihay segelas susu serta roti yang sudah ia panggang.
“Wir, bangunlah. Bersihkan wajah dan sikat gigi setelah itu sarapan.” tuturnya meminta sang suami bangun.
“Kiss dulu.” ujar Wira terdengar manja.
Senang hati Arika memberikan permintaan sang suami. Ia membuat Wira merasa bergejolak kala mencium wangi tubuh sang istri.
Tampaknya Arika sudah mandi saat itu, cepat tangan kekar Wira pun melingkar di perut sang istri dan memeluknya kian erat.
Di kediaman megah milik Algam, pria yang menjadi cinta pertama bagi Arika Melinda. Tampak pria paruh baya itu duduk setelah tiba dari kampus yang ia dirikan. Wajah letihnya terlihat oleh sang istri yang baru saja keluar dari kamar dengan tubuh yang bersih sehabis mandi.
Anggi Puspita adalah ibu Arika yang kesehariannya hanya di rumah dengan mengerjakan laporan keuangan kampus milik sang suami. Menjadi satu-satunya kepercayaan Algam, Anggi tak serta merta mengabaikan tanggung jawabnya menjadi seorang istri. Dengan patuh ia mengerjakan semua kewajiban istri serta mengerjakan semua tanggung jawab keuangan dari kampus yang di dirikan suaminya.
"Ayah sudah pulang? Ada apa?" tanya wanita itu dengan lembut menghampiri sang suami. Mencium punggung tangannya Algam dan duduk di samping suaminya.
Algam menghela napas pelan. "Tidak ada, Bu. Dimana Arika dan Prawira?" tanyanya menatap ke beberapa sudut rumah mencari sosok pengantin baru yang sudah satu minggu tinggal di rumah mereka.
Bukan tanpa alasan, berkat perjodohan itulah kedua orangtua mereka memutuskan untuk tidak langsung melepas keduanya tinggal di rumah berbeda. Satu minggu di rumah Algam dan satu minggu di rumah Surya, mertua Arika.
"Sepertinya mereka sedang bersiap makan malam. Sebaiknya Ayah juga bersihkan tubuh kita akan makan malam bersama." tutur Anggi pada suaminya yang langsung mendapatkan jawaban iya dengan anggukan kepala.
Berjalan mengikuti sang suami masuk ke dalam kamar, Algam menghentikan langkah kakinya saat tiba di depa kamar mandi. Pelan ia membalikkan tubuh dan mendekati sang istri.
"Bu, terimakasih yah. Sudah membantu mengurus kampus itu. Sampai saat ini bahkan semua berjalan dengan baik juga berkat bantuan Ibu." tutur Algam menatap hangat sang istri.
Anggi tampak tersenyum mendengarnya. "Jangan berterimakasih, Ibu sungguh senang sebab Ayah melibatkan Ibu juga dengan kerjaan Ayah. Ibu merasa menjadi istri yang berguna untuk suami dan keluarga. Yah, meski tidak begitu banyak yang bisa Ibu bantu untuk Ayah. Kelak Arika juga bisa menjadikan contoh untuk pernikahannya dengan Prawira."
***
"Arika, ayo." ajak Prawira menggandeng sang istri yang baru usai bersiap keluar kamar.
Hubungan keduanya sudah baik-baik saja tak ada kecanggungan yang terlihat. Bahkan Arika terus mengembangkan senyum melihat wajah sang suami. Ketampanan Prawira serta sikapnya yang baik-baik saja mampu membuat Arika dengan mudah menerima pria ini.
Terlebih sebelum menikah pun, Arika sama sekali tidak memiliki seorang kekasih. Tentu saja hatinya begitu mudah jatuh pada pesona Prawira.
"Selamat malam, Ayah, Ibu." sapa Arika dengan ceria kala melihat kedua orangtuanya duduk di kursi meja makan.
"Arika, Prawira, kalian..." keduanya kompak menatap ke arah pengantin baru yang tidak seperti malam-malam sebelumnya.
Dimana keduanya saling berjalan dengan masing-masing serta wajah menekuk. Tidak malam ini, mereka seperti sebenarnya pengantin baru.
"Arika mencintai Wira, Ayah." ujar wanita itu polos.
Begitu senang ia mengungkapkan isi hatinya tanpa perasaan gengsi sedikit pun. Prawira tersenyum kecil melihat tingkah sang istri. Sementara Algam mengernyitkan kening heran.
"Kalian tidak sedang bersandiwara kan? Atau ini taktik kalian agar bisa tinggal di rumah sendiri secepatnya?" tebak Algam yang sudah menodongkan rasa curiga pada anak dan menantunya.
Satu minggu bisa saling mencintai, rasanya itu hal yang mustahil. Namun, sekali lagi melihat senyuman tulus dan lugu sang anak, Algam bisa melihat mata Arika yang berbinar penuh cinta.
Tanpa mereka sadar jika pria yang berdiri di sisi Arika saat ini begitu banyak merencanakan sesuatu dalam pikirannya yang entah apa itu.
“Kasihan kamu, Arika. Tapi takdir telah memilihmu menjadi wanita pendampingku. Kau tidak bersalah dalam hal ini dan siapa pun tidak bersalah dalam hal yang akan terjadi ke depannya.” Prawira bergumam dalam hati memikirkan kisah pernikahannya yang seumur jagung ini.
Memandangi taman di rumah yang sudah berbeda, Arika berdiri di depan balkon kamar milik Prawira. Yah usai perpisahan dengan sang ibu dan ayah Arika kini sudah berada di rumah sang mertua. Dimana mereka akan memiliki waktu satu minggu lagi tinggal di rumah milik Surya baru bisa tinggal di rumah sendiri yang di beli Prawira sebelumnya.
"Apa ada yang lucu? Mengapa tertawa sendiri?" pria itu mendekati Arika yang membelakanginya dan memeluk tubuh langsing sang istri. Pelan Arika menaikkan kedua bahunya merasa geli sebab belum terbiasa berdekatan dengan pria.
"Di luar sana kebanyakan pengantin baru akan sibuk mengatur jadwal honeymoon, tapi kita justru sibuk mengatur waktu tinggal di rumah orangtua. Aku tidak menyangka jika seperti ini perjalanan awal nikahku. Tapi semuanya menyenangkan." Arika tersenyum saat Prawira mencium pipinya dengan dalam.
Mereka menghabiskan waktu malam ini dengan menikmati pemandangan di sekitar depan kamar mereka.
"Kita harus merasakan juga perbedaan tempat tidurku dan tempat tidurmu. Bagaimana?" Sontak wajah Arika memerah mendengar pertanyaan sang suami.
Susah payah Arika meneguk kasar salivahnya, ia pun hanya diam saat Prawira bergerak membalik tubuhnya dan menggendong ke atas tempat tidur. Malam panjang pun mereka lewati kembali hingga beberapa kali Arika meminta minum sebab merasakan mulutnya tak enak terasa kering dan kebas bagian bibir.
"Arika! Wira!" panggilan dari depan pintu kamar mereka tiba-tiba membuat Arika menarik selimut.
Belum saja usai napas mereka kembali normal, keduanya harus segera berbenah dan Wira bergegas dari tempat tidur usai memakai celana pendek. Ia membuka pintu sedikit untuk melihat siapa yang memanggil.
"Papah?" Wira keluar dan menutup pintu kamarnya. Sebab di dalam Arika masih jelas belum mengenakan pakaian apa pun juga.
Senyuman terukir jelas di wajah Surya Winata. Kepalanya mengangguk-angguk beberapa kali saat melihat tubuh sang anak yang mengeluarkan keringat kecil pertanda usai melakukan kegiatan melelahkan.
"Kamu benar-benar jagonya." tangan pria paruh baya itu beberapa kali menepuk lengan sang anak. Dimana Wira tampak tersenyum kecil.
"Ayo makan malam dulu. Bawa Arika makan ke bawah bersama." titah Surya yang mendapat anggukan dari anaknya.
Saat pintu tertutup, Arika melihat sang suami masuk. "Wir, ada apa?" tanyanya penasaran.
"Papah cuman mau mastikan kita baik-baik saja. Tidak bertengkar." jawab Prawira apa adanya.
"Ayo mandi setelah itu kita makan malam bersama." ajaknya dan Arika bergegas bangkit dari kasur.
***
Singkat cerita, satu minggu sudah usai. Waktu dimana yang paling Arika tunggu adalah tinggal di rumah sang suami tanpa adanya pengawasan atau gangguan dari orangtua mereka.
Bagaimana pun menikah akan lebih nyaman tinggal berdua, tak ada yang mencampuri urusan suami dan istri. Hingga Arika kini tampak membereskan beberapa barang mereka tentu di bantu oleh sang suami.
"Arika, nanti siang aku akan mendatangkan satu pelayan yang sudah aku minta dari agen. Jadi, apa kamu tidak keberatan?" tanyanya namun membuat Arika lantas menghentikan kegiatan bersimpun.
Ia beralih menatap sang suami.
"Wir, kenapa tidak bertanya pada ku dulu? Tinggal berdua saja aku rasa kita tidak membutuhkan jasa pelayan. Aku bisa melakukan pekerjaan rumah sendiri. Aku tidak begitu suka ada orang lain tinggal bersama kita." pelan namun berani Arika menyatakan prinsipnya.
“Semua keputusan aku yang putuskan, Arika!” Suara tegas dan meninggi yang tidak di sangka tercetus begitu saja membuat Arika sungguh kaget.
Matanya menatap penuh tanya sang suami. Seolah berpikir apakah dirinya ada menyinggung perasaan Prawira.
Banyak kisah di luar sana berasal dari pembantu menjadikan rumah tangga majikan hancur. Dan banyak hal lainnya yang membuat Arika sangat takut. Ia sungguh ingin menghindari apa pun yang membuat rumah tangganya berantakan. Mungkin terdengar terlalu berlebihan, namun kenyataannya ia hanya bisa berusaha mencegah segala sesuatunya sebelum terjadi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!