NovelToon NovelToon

Mendadak Menikah

Lamaran

Acara kelulusan yang di selenggarakan di sekolah Banyu Anggun kini terkisar sangat ramai dan meriah. Banyak para orang tua murid yang datang menghadiri kelulusan. Mereka yang berprestasi menjadi sorotan para media utama di sekolah terkenal itu.

Namun, tidak dengan Dinda dan Dimas. Mereka tengah dalam kesulitan hati di raut wajahnya. Prestasi yang mereka dapat malah membuat keduanya sangat enggan untuk kelulusan itu.

Dinda menginjak usianya 19 tahun dan Dimas di usianya 20 tahun. Mereka bertemu di sebuah cafe tongkrongan anak sekolah. Sering bertemu, tapi tidak pernah bersapa satu sama lain. Namun di acara kelulusan keduanya bertemu dengan Dimas yang tanpa pikir panjang duduk di hadapan Dinda dan bersandar di atas meja dengan malas. Mengangkat sebelah alisnya, Dinda tidak memahami apa yang terjadi dengan teman beda kelasnya itu.

"Woy, bukannya sedang kelulusan. Kenapa malah kesini?" tanya Dinda, gadis dengan gaya berpakaian biasa saja meminum capucino yang baru saja datang dia pesan.

"Kau juga hanya diam disini, menikmati kopi!" balas Dimas bersandar di atas meja melihat Dinda yang menikmati kopinya.

"Aku bosan, makanya mending disini!" seru Dinda.

"Sama."

"Lalu, kenapa duduk disini?" tanya Dinda.

"Aku mau."

"Huh."

"Aku mau menikahimu!" seru Dimas.

Mendengar ucapan pria itu, ia pun tidak dapat menahan terkejutnya dan minuman di dalam mulutnya pun tersembur keluar. Bahkan mengenai wajah Dimas di hadapannya.

"Kau ...."

Dimas terdiam mendapati perlakuan dari Dinda padanya."Astaga Dinda! Kau ini wanita apa bukan, kenapa menyembur ku?!" protes Dimas.

"Sorry! Ya kamu, sembarangan bicara tadi!" tawa tertahan Dinda melihat wajah Dimas yang basah karenanya.

"Aku tidak sembarang! Aku serius mengajakmu." Dimas membalas ucapan Dinda sembari mengusap wajahnya dengan tisu.

"Mengajak apa, Dimas!" tatap Dinda mulai kesal dengan gurauan pria di hadapannya.

"Pelankan suaramu! Nanti ada yang dengar acara lamaranku," bisik Dimas.

"Pria gila dan bodoh! Kau yang sudah buat kegaduhan. Malah minta aku pelan hah!" seru Dinda.

"Iish, wanita ini. Dengarkan dulu penjelasanku," ucap Dimas, menarik tangan mengepal Dinda.

"Jangan pegang tanganku! Bicara saja," tegas Dinda.

"Iya, iya. Aku cuma mau ajak kamu gabung sama rencanaku, mau gak?" tanya Dimas.

"Rencana apa?" balas Dinda.

"Sebenarnya, aku punya rencana masa depan. Tapi, keluargaku malah tidak mendukungku dan menikahkanku setelah kelulusan ini," jelas Dimas.

"Hmm, terus?" angguk Dinda.

"Tapi, karena pernikahan ini juga aku akan dapat sebagian harta dan dapat kuliah di universitas luar negeri," tambah Dimas.

"Hmmm."

"Kau mau menikah denganku?" tanya Dimas.

Dinda semakin terkejut mendengar ucapan dan pertanyaan Dimas untuk kesekian kalinya.

"Dimas bodoh! Apa hubungannya denganku?" tatap Dinda.

"Tentu saja, aku mau bagian hartaku. Tapi tidak mau ikut perjodohan! Meski aku tidak tahu menikah dengan siapa, tapi katanya jika aku sudah punya calon sendiri itu akan jauh lebih baik," jelas Dimas.

"Begitu banyak wanita yang mengejarmu dan gak akan menolaknya, kenapa kamu malah mengajak aku?" tatap Dinda tidak senang.

"Karena kau bodoh."

"Apa?!"

"Bukan itu maksudku, karena kau jelek," jelas Dimas terkejut merutuki mulutnya.

"Apa kau sedang mode bodoh, Dimas Angga Dinata Dirga?!" tatapan kesal Dinda berdiri dari duduknya.

"Hahaha, ok ok. Tenang dulu gadis galak. Aku belum selesai!" seru Dimas, dia menyukai Dinda yang selalu acuh dan membuatnya terheran tidak menyukai Dimas lain dari wanita lainnya.

"Aku pergi!"

"Jangan! Tunggu dulu, Adinda Rahayu!" cegah Dimas.

"Hmm, waktuku tidak ada untukmu!" seru Dinda.

"Haha, oke okee. Please, dengarkan aku!" pinta Dimas, untuk pertama kalinya dia memohon pada seorang gadis.

"Apa?"

"Jadilah istriku, apapun yang kamu minta aku kabulkan!" seru Dimas.

"Nggak!"

"Kau mau apa? Biar aku kabulkan sekarang?" Dimas masih mencoba membujuk Dinda.

"Kau yakin bisa mengabulkannya?" tatap Dinda.

Dimas terkejut, dia tahu jika Dinda akan mempersulitnya."Hmmm, apa?" tanya Dimas.

"Aku ingin kau katakan pada kepala sekolah kalau dia idiot!" senyum nyeringai Dinda, meremehkan Dimas yang gak akan sanggup akan kemauannya.

Dimas terdiam sejenak, dia melihat ke arah Dinda yang tersenyum menunjukan lesuk pipi di pipi kanannya. "Jika aku melakukannya, kau menikah denganku hari ini juga!" seru Dimas.

"Deal!" seru Dinda, dia yakin Dimas tidak akan sanggup melakukannya. Apalagi dengan resiko Dimas akan di batalkan kelulusannya.

"Kau yang mengatakannya, tidak ada ruang untuk menarik ucapanmu!" seru Dimas.

"Hmm."

"Ikut aku!" ajak Dimas.

"Kemana?" tanya Dinda.

"Bukankah kamu ingin aku melakukannya pada kepala sekolah?" balas Dimas.

"Oke."

Dinda mengikuti Dimas yang sudah berjalan keluar dari cafe dan memasuki gerbang sekolah yang ramai. Dia tahu jika hal yang tidak mungkin di lakukan oleh Dimas apalagi sedang dalam acara kelulusan besar-besaran srperti saat ini.

Dimas berjalan dengan percaya diri di ikuti oleh Dinda menghampiri kerumunan dan menemui kepala sekolah yang sedang duduk di kursi di temani asistennya.

"Sialan! Tidak mungkinkan dia akan melakukannya?" umpat Dinda.

Kepala sekolah melihat kedatangan Dimas dan Dinda masuk ke ruangan dan menghampirinya. Berdiri di hadapan kepala sekolah Dimas terdiam tanpa menyapanya. "Kamu idiot!"

Hal yang di ucapkan Dimas mengejutkan mereka yang berada di ruangan itu, terutama Dinda yang mematung bagai di sambar petir. Dia tidak percaya jika Dimas benar-benar akan melakukannya.

"Kau ...."

"Aku sudah cukup. By Paman!" sela Dimas berbalik dan menarik Dinda keluar dari ruangan itu.

Dinda yang masih tidak percaya dengan apa yang terjadi, dia semakin tidak karuan dan langkahnya hanya mengikuti kemana arah Dimas menariknya. Bahkan memasuki sebuah mobilpun, Dinda tak menolaknya.

Ada perasaan yang tak bisa di ungkapkan oleh gadis itu, Adinda berjalan setengah lari dengan tangan di tarik bersama seseorang yang tak pernah dia duga. Pria di depannya adalah sosok yang sering dia lihat dan juga dia dengar tentang keberadaannya yang banyak berpengaruh di sekolah.

Adinda juga merasa jika apa yang terjadi adalah sebuah mimpi sekilas, bahkan tangannya yang di pegang eratpun adalah mimpi juga.

"Sudahlah, aku sudah melakukan apa yang harus aku selesaikan. Sekarang giliran kesepakatan kita."

Meski Dimas berbicara juga berhenti berlari. Tapi Adinda masih tidak percaya tentang Dimas yang bicara di hadapannya dengan deretan pertanyaan yang tak masuk akal akan rencananya.

Dimas menatap Dinda dengan pandangan penuh tanya. Dia mengira jika gadis itu sedang hanyut dalam pikirannya sendiri.

"Cantik, tapi gak conect," ucap Dimas menyeringai. Dia sedikit mentetabilkan nafasnya setelah keluar dari ruang kepala sekolah.

Dimas dan Adinda berdiri di luar kelas tanpa saling bicara satu sama laij, mereka kelelahan setelah berkmari keluar dari ruang kepala sekolah.

Begitupun Adinda tidak percaya permintaan konyolnya mampu dilakukan begitu saja oleh Dimas.

Tipuan Tuan Muda

Duduk di dalam mobil di kursi yang sama, Dinda masih mencoba mencerna apa yang terjadi. Dia baru teringat sesuatu dan menoleh ke arah Dimas yang mengangkat sebelah alis menatapnya.

"Kau menipuku!" seru Dinda.

"Apa kau buta? Bukankah aku tadi melakukannya di depanmu!" tatap Dimas.

"Tapi ...."

"Sudah, kau terlalu banyak tapi. Pak, pergi ke kantor sipil!" elak Dimas.

"Bukankah, kita masih terlalu muda jika kesana?" tanya Dinda.

"Usia kita sudah gak masalah. Lagipula ini cuma formalitas saja! Kau masih bisa terjun bebas di duniamu tanpa ada yang berubah!" tegas Dimas.

Kali ini, Dinda tidak melihat sosok Dimas seperti saat di cafe tadi. Terlihat, Dimas tampak serius dalam ucapannya.

Apalagi saat mobil yang di tumpangi mereka benar-benar berhenti disana. Di kantor catatan sipil mereka kini berdiri di hadapan dengan seorang wanita yang berbicara dengan Dimas.

Meski terasa aneh, tapi dengan perawakan Dimas yang tinggi. Dia tidak terlihat masih di bawah umur melainkan sudah layak menikah. Dimas berjalan menarik Dinda dan meminta seorang fotografer memotret poto pernikahan untuk buku nikah mereka.

"Poto untuk apa itu?" tanya Dinda.

"Buku nikah."

"Apa? Sejelek itu?" teriak Dinda.

"Kau mau tampil cantik, menikah dengan pria sesungguhnya!" seru Dimas.

"Huh, kau merusak segalanya!" cetus Dinda.

Dimas berjalan terlebih dahulu dan duduk di kursi tunggu. Mereka berdua hanya bermodal keberanian datang ke kantor sipil atas nama keluarga Anggadinata, dapat melakukannya dengan mudah tanpa hambatan.

Melihat Dinda yang terdiam, Dimas mencoba berbicara padanya.

"Kau tenang saja, setelah 6 bulan. Kita akan bercerai kok. Apalagi kau juga harus kuliahkan?" tanya Dimas.

"Bukan itu Dimas! Tapi aku juga mau di jodohkan ini, gimana sih kamu. Aku bisa di amuk ibu aku kalo ketahuan sudah nikah!" Dinda menyesali dirinya yang marah pada kedua orang tuanya yang memutuskan pendapat mereka.

Dimas tertegun, dia tidak tahu jika masalah yang sama menimpa Dinda kali ini.

"Tuan, Dimas Angga Dinata!"

Panggilan dari pegawai sipil menghentikan Dimas yang hendak bicara pada Dinda. Dia berdiri dan menghampiri meja, dua buku nikah sudah ada di tangannya kali ini. Penyesalan ada di dalam dirinya kali ini, berjalan menghampiri Dinda yang terdiam.

"Kau boleh membatalkannya! Maaf, aku tidak akan mempersulitmu," seru Dimas memberikan dua buku itu pada Dinda.

Dinda mengangkat sebelah alisnya, dia tidak percaya jika pria yang angkuh dan sombong di hadapannya itu kini meminta maaf dengan wajah bersalah nya. Dia tidak menyangka jika Dimas benar-benar merasa bersalah kali ini. Namun Dinda tersenyum tipis menarik kedua buku pernikahan mereka, melihat dengan seksama.

"Ternyata bukan aku saja yang jelek, kau juga sama jeleknya!" seru Dinda.

Dimas mengangkat sebelah alisnya, mendengar ejekan dari gadis yang ada di hadapannya itu."Bagaimana, apakah kau akan membatalkannya? Mumpung masih ada di kantor sipil untuk kedepannya. Aku tidak akan bisa membatalkannya, bahkan sekali ucapan pun tanpa persetujuan dari ku!" tegas Dimas.

"Apa kau bodoh, aku juga membutuhkan buku pernikahan ini untuk menunjukkan kepada kedua orang tuaku. Kalau aku tidak perlu perjodohan dari mereka. Karena mempunyai pria bodoh yang dalam waktu sekejap menjadikanku sebagai istrinya," balas Dinda.

Dimas mengangkat sebelah alisnya kali ini dia tidak lagi memahami apa yang dilakukan oleh wanita, yang kini sudah berstatus sebagai istrinya dengan perasaan yang berubah-rubah dilakukan oleh Dinda, membuat Dimas tidak percaya jika gadis itu merubah dengan sangat cepat raut wajah sedih dan kini terlihat tampak bersemangat. Setelah melihat buku pernikahan mereka.

Berjalan keluar dari kantor sipil, keduanya memasuki kembali mobil dengan supir pribadi milik Dimas yang selalu setia menunggunya. Berada di dalam mobil yang sama, Dimas melihat kearah Dinda yang terdiam.

"Kenapa? Kamu mau membatalkannya. Bukankah sudah kubilang kalau sudah terlambat jika sudah meninggalkan kantor itu?" tanya Dimas.

"Bukan itu yang sedang aku pikirkan tapi, bukankah pernikahan itu harus ada akad nikah nya. Lalu kenapa malah buku pernikahan terlebih dahulu?" balas Dinda.

"Benar juga, aku tidak terpikirkan akan hal itu. Kau mau melakukannya kapan?" angguk Dimas.

Dinda hanya bisa menggelengkan kepala ketika mendengar kepolosan Dimas yang tidak memahami tentang sebuah pernikahan. Tapi dia tahu cara mendapatkan buku pernikahan dengan sangat cepat.

"Sebenarnya kau ini pintar apa bodoh! Buku seperti ini kau mengetahuinya, sedangkan akad pernikahan kau tidak tahu!" protes Dinda.

"Bukankah, diakui oleh hukum itu jauh lebih baik dan sangat terpercaya ketika keluarga kita mengetahuinya?" balas Dimas.

Dinda tertegun dia membenarkan apa yang diucapkan oleh Dimas, namun di keluarganya memang sebuah pernikahan harus ada akad pernikahan yang dilaksanakan di mempelai wanita.

"Kenapa kamu terdiam lagi?" tanya Dimas.

"Entahlah Dimas, sepertinya kepalaku mau pecah!" seru Dinda.

"Benarkah, pecah bagian mana? Memangnya apa yang terjadi dengan kepalamu?" tanya Dimas, dia menyentuh dahi Dinda dengan rasa cemasnya.

"Jangan bercanda, aku sedang serius kali ini. Rasanya sangat sulit sekali untuk menjelaskan apa yang terjadi kepada keluargaku tiba-tiba memiliki suami seperti dirimu!" Dinda menyingkirkan tangan Dimas dihadapannya.

"Oh, Kau masih memikirkan tentang akad pernikahan? Aku bisa mengaturnya dan juga keluargaku bisa langsung datang ke rumahmu jika aku sudah menunjukkan ini," jelas Dimas menunjukkan buku pernikahan kepada Dinda.

"Masalahnya, keluargaku itu keras kepala Dimas!" seru Dinda.

"Lalu apa yang kau inginkan kita, melakukan akad pernikahan sembunyi-sembunyi?" tanya Dimas.

"Aku juga tidak tahu, karena jika melakukan akad pernikahan. Tentunya harus ada kedua orang tuaku dan juga kedua orang tuamu tidak akan sah jika antara aku dan kamu saja," jelas Dinda.

Terasa sangat sakit sekali di dalam kepalanya ketika dia memikirkan segala hal yang akan terjadi jika keluarganya mengetahui hal yang benar-benar membuatnya semakin jauh lebih sulit ketika dia menolak dan harus menerima Perjodohan dari keluarganya.

Begitupun Dimas, dia tidak memahami apa yang di pikirkan oleh Dinda, gadis yang selama ini tidak pernah menunjukkan ekspresi wajahnya, namun kali ini Dinda menunjukan mimik wajah dan suasana hati yang berubah-rubah di hadapannya. Terkadang sedih terkadang bersemangat dan juga terkadang penuh tanda tanya yang tidak bisa dijawab oleh siapapun.

"Sudahlah, jangan terlalu banyak di pikirkan. Sebaiknya kita kembali terlebih dahulu dan biarkan semua berjalan begitu saja. Jika kamu memilih untuk menerima Perjodohan dari keluargamu, sebaiknya jangan menunjukkan tentang pernikahan kita. Tapi jika kamu menolak Perjodohan dan menunjukkan surat pernikahan, aku rasa akan menjadi solusi untuk keluarga kita," tegas Dimas.

Meski benar apa yang di katakan Dimas, tapi Adinda tetap masih merasa khawatir dan takut tentang keluarganya terlebih lagi sebuah buku sakral ada di tangannya kali ini.

Buku Nikah

Dinda hanya terdiam, dia terlihat sangat tidak bersemangat untuk menjawab ucapan Dimas, pria itu hanya bisa menghela nafas halus dan tidak bisa merubah semuanya lagi seperti semula. Keputusannya memang selalu mendadak, bahkan hanya wanita yang ada di hadapannya yang tiba-tiba dia ajak untuk menikah.

Apalagi tujuan Dimas kali ini adalah untuk mewujudkan mimpinya dan mendirikan sebuah galeri lukisan, yang tujuan banyak kali ini ketidak setujuan keluarganya, membuat Dimas diam-diam berencana untuk membuka sebuah usaha galeri, di mana menunjukkan sebuah bakat tersembunyi yang dia miliki.

Dimas juga akan menyelenggarakan pameran terbuka untuk semua seniman. Namun semua itu tidak akan terjadi jika keluarganya benar-benar menikahkannya di usia mudanya. Maka dari itu Dimas harus mempunyai pernikahannya sendiri dan tetap menjalankan mimpinya hingga terwujud. Tapi, dia tidak pernah menyangka jika seorang gadis yang ditunjuk dengan sangat tepat juga memiliki masalah yang sama.

Dimas tidak bisa membantunya sama sekali, tapi jika Dinda bersedia untuk dirinya ikut serta menghadiri pertemuan keluarganya tentunya akan sangat jauh lebih baik ketika dia bisa membantu Dinda.

Setelah sampai dan kembali ke sekolah Dinda berjalan dan terdiam, dia berbalik ke arah Dimas dengan tatapan tajamnya.

"Ada apa?" tanya Dimas.

"Kenapa kamu begitu sangat lantang ya berbicara kepada kepala sekolah?" tanya Dinda.

"Memangnya, apa masalahnya jika aku berbicara kepadanya?" balas Dimas.

"Tapi, kenapa tidak terjadi sesuatu kepadamu, ketika kamu mengatakan idiot kepada kepala sekolah dan dia malah terdiam dan bahkan tidak melakukan hal apapun yang jauh lebih mengerikan, dari apa yang sering didapatkan oleh murid-murid sekolah?" tatap Dinda.

"Memangnya, apa yang bisa dilakukan oleh paman ku jika aku mengejek nya seperti itu?" balas Dimas.

"Tapi setidaknya dia ... apa katamu! Dia pamanmu? Kamu menipuku Dimas?" teriak Dinda, dia tampak sangat kesal ketika mendapati Dimas yang menipunya bahkan dengan leluasa dia dapat berbicara kepada pamannya itu.

"Kau tidak bertanya kepada aku ataupun tidak memberikan persyaratan yang jauh lebih buruk dari itu. Tentu saja itu sangat mudah bagiku memang apakah ada masalah denganmu?" jelas Dimas.

"Sudahlah, kamu memang menyebalkan sudah menipu ku. Bahkan keuntungan ada didalam dirimu semua!" cetus Dinda berbalik dan pergi meninggalkan Dimas yang tersenyum tipis melihat kekesalan Dinda berjalan pergi memasuki sekolah.

"Kita mau kemana lagi, Tuan?" tanya supir pribadi Dimas.

"Sebaiknya kita kembali saja! Hari ini aku sangat lelah dan butuh tidur sangat nyenyak!" seru Dimas.

Dia menoleh ke arah gerbang pintu sekolah di mana Dinda pergi memasuki sekolah lagi meski acara kelulusan sudah selesai namun Dinda masih memiliki barang-barang yang ada di asrama dan hari ini akan dibawa pulang kembali ke rumah kedua orang tuanya di Bandung.

Dinda keluar dari sekolah nya untuk terakhir kalinya, dia menginjakkan kaki di sekolah favoritnya itu. Meski Dinda sama sekali tidak memiliki teman yang akrab namun dia menyukai sekolah di sana. Tidak ada hal yang mempersulitnya ketika dia memiliki pendirian yang begitu tegas selama di sekolah. Namun selama itu juga tidak sama sekali tidak pernah mempersulit dirinya untuk memiliki seorang teman ataupun sahabat selama dia berada di sekolah elit itu berjalan keluar dari gerbang sebuah mobil berhenti tepat di hadapannya, mengangkat sebelah alisnya Dinda lagi-lagi melihat Dimas memasang raut wajah datarnya melihat ke arahnya.

"Kau, mau aku antarkan pulang atau hanya mau menunggu lagi angkutan umum?" tanya Dimas.

"Tidak perlu, aku tidak perlu diantar oleh mu. Lagi pula, aku akan pergi ke Bandung langsung dan tidak akan kembali lagi. Selama kamu jadi suamiku kira-kira apa yang akan dilakukan oleh mu jika aku berada di Bandung buku pernikahan itu sepertinya hanya berguna untuk keluargamu saja tidak denganku!" tolak Dinda.

"Jika kamu menginginkan aku pergi ke Bandung dan berbicara kepada kedua orang tuamu aku bersedia dan aku akan bertanggung jawab untuk semua yang aku lakukan tadi, dan ya sepertinya aku juga membutuhkanmu suatu saat nanti, jika kamu bersedia aku akan menghubungimu lewat Ponsel ini. Peganglah ponsel ini dengan baik-baik, suatu saat nanti aku akan menghubungimu!"

Dimas memberikan sebuah bingkisan berisikan ponsel kepada Dinda.

Dinda membuang nafas dengan malas dia tampak meremehkan ucapan Dimas. "Dimas yang sangat bodoh! Aku ini punya ponsel sendiri, memangnya harus aku diberikan ponsel mu?" tanya Dinda dengan malas.

"Kau punya ponsel? Kalau kau tidak butuh buang saja!" balas Dimas.

"Sebaiknya aku jual saja, lumayan kan uangnya buat uang jajanku," ucap Dinda.

"Kau kekurangan uang? Butuh berapa, biar aku kirim padamu?" tanya Dimas dengan wajah datarnya.

Dinda memukul kepala Dimas dengan pelan, membuat pria itu mengaduh.

"Kau ...."

"Masih mengandalkan orang tua, sudah berlaga ngasih uang padaku! Hidup yang benar, jadi pria sukses baru limpahkan uang padaku! Dimas bodoh," tatap Dinda.

Dimas menggosok kepalanya yang tak sakit dan melihat Dinda yang menggerutu menatapnya tajam.

"Aku ...."

"Sudah! Mobilku sudah datang, aku pergi dulu. Kau simpan buku nikah bagianmu, aku bagianku. Lihat nanti saja kalo aku bisa, berarti kau tetap suamiku. Tapi jika tidak, aku akan tetap menikah dengan orang lain," sela Dinda pergi menghampiri mobil yang menjemputnya setelah memberikan buku pernikahan yang di pegang pria.

Dimas mengerutkan dahinya, mendengar penuturan Dinda."Kau tidak mau mempertahankanku? Jika benar menikah dengan pria lain?" tatap Dimas.

"Memang kenapa? Sudah tidak bisa berbuat apapun Dimas, kalau kedua orang tuaku sudah menentukan. Sudah, dah ... Dimas bodoh!" seru Dinda berjalan pergi tanpa menghiraukan Dimas yang kesal.

Dimas hanya bisa terdiam, dalam kesal ketika mendengar penuturan Dinda yang membiarkan dirinya begitu saja. Dinda pergi tanpa mencoba untuk mempertahankan dia yang sudah menjadi suaminya.

"Dasar wanita kejam, mana ada seorang istri membiarkan suaminya begitu saya!" gerutu Dimas.

Pertemuan antara Dimas dan Dinda memang bukanlah hal biasa, semenjak di sekolah mereka sering bertemu namun tidak pernah bersitatap ataupun berbicara seperti hal layaknya orang-orang. Dimas sering melihat Dinda memasuki Cafe itu, jika bukan untuk belajar Dinda selalu bermain game di sana sembari menikmati sore hari.

Dimas juga ering pergi memasuki kafe itu bersama dengan teman-temannya bercanda gurau makan minum kopi bahkan sampai bergaduh kisruh ketika Dimas menolak beberapa gadis cantik yang mengajaknya, untuk menjadi kekasihnya. Namun pertahanan Dimas yang selalu mengutamakan tentang kehidupan dirinya, tanpa mempersulit kehidupannya dengan seorang wanita.

Selama ini dia memilih untuk menjadi seorang diri tanpa memiliki kekasih, namun Dimas tidak menyangka jika kedua orang tuanya pagi itu, sebelum Dimas berangkat ke sekolah dia mendengar obrolan dari kedua orang tuanya yang mengatakan bahwa pernikahannya akan diselenggarakan selama 2 minggu kedepan.

Namun persyaratan Perjodohan itu tidak terlalu kuat, jika Dimas sudah memiliki seorang kekasih yang sudah matang akan dijadikan istri olehnya. Maka dari itu, dengan rasa kalut dan prustasinya Dimas berjalan-jalan dan menghindari acara kelulusan pergi begitu saja memasuki sebuah kafe dan melihat Dinda seperti biasa duduk di kursi paling ujung tempat favoritnya.

Awalnya Dimas tidak berniat untuk menjadikan Dinda sebagai batu loncatan tentang masalahnya, namun Dimas tidak memungkiri apa yang dia ucapkan yang malah mengajak Dinda untuk menikah dengannya. Bahkan di hari itu juga surat pernikahan mereka sudah ada di tangan keduanya.

Sebuah takdir kehidupan mereka mulai tepat di sebuah kafe di acara kelulusan mereka berdua. Namun hanya mengandalkan waktu, Dimas dan Dinda kini berada di dalam mobil masing-masing kembali ke rumah mereka dengan suasana hati yang antara lega dan tidak lega dan tidak mengetahui apakah itu solusi yang jauh lebih baik, ketika mereka benar-benar sudah menikah dan bahkan memiliki bukti yang kuat tentang pernikahan mereka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!