"Anda hamil," ujar Dokter, menyerahkan laporan serangkaian tes kehamilan pada Kirana.
"Be-benarkah?" Tanya Kirana dengan suara terbata, tangannya gemetar menerima hasil tes laboratorium dari Dokter. Senyum bahagia terbit dari bibir mungilnya, diusap lembut perut yang nampak masih rata.
Dokter muda itu mengangguk. "Ini benar, tapi ada hal lain yang harus anda tahu, anda mengidap kanker stadium tiga."
"A-apa? Kanker Dok!" Kirana terkejut, selama ini dia merasa baik-baik saja, tapi kenapa ada kanker di tubuhnya.
"Dokter, apakah nasib bayiku bisa diselamatkan jika aku mengidap kanker? Aku berharap dia akan baik-baik saja."
"Maaf." Dokter menggelengkan kepala, air mukanya mendadak ikut sedih. "Ini memang sulit bagi calon ibu yang mengidap kanker rahim. Janin yang tumbuh di rahim anda harus segera di angkat. Janin itu tidak akan bisa tumbuh dengan normal, lebih parahnya lagi, nyawa anda yang akan dipertaruhkan," ujar Dokter, lelaki yang kerap dipanggil Dokter Pras itu.
Mendengar pernyataan dari dokter yang sudah dua puluh menit memeriksanya, membuat tubuh Kirana yang tadinya terbang melambung di awan, seketika terasa seperti terlempar ke dasar neraka yang paling dalam. Bagaimana tidak? Saat dia tahu dirinya hamil, kenyataan pahit datang secara bersamaan, dia tahu sebuah fakta mengejutkan kalau dirinya mengidap penyakit ganas.
"Secepatnya anda harus lakukan operasi! Semakin cepat akan semakin bagus, sebelum akar kanker rahim itu menyebar dan semakin kecil harapan sembuh yang anda miliki," titah Dokter.
Air Mata Kirana menetes tak bisa disembunyikan lagi. Dia menangis di depan Dokter Pras tanpa malu.
"Baiklah, aku akan kembali lagi setelah beberapa hari." Kirana menyeka air matanya.
"Jangan terlalu lama dalam mengambil keputusan, ini bukan sebuah pilihan, Jika anda tetap berusaha pertahankan bayi itu, masalah baru akan anda hadapi," kata Dokter Pras lagi, ucapan lelaki itu seperti belati yang terus menusuk jantung Kirana berulang kali.
Kirana memilih untuk pulang setelah tahu kenyataan yang begitu menyedihkan. Disaat secercah sinar kebahagiaan baru hadir dalam mahligainya.
Kirana berjalan menuju kamar dengan langkah ling-lung. Diletakkan handbag yang melingkar di tangannya di atas nakas. Wanita itu duduk dengan tatapan kosong.
Tangan Kirana kembali bergerak ke perut yang masih rata, lalu diusap dengan lembut dan cinta, air mata kembali mengalir tak terbendung meski tanpa diminta. Keraguan menghinggapi diri Kirana, akankah dia memberitahukan kehamilannya pada suami yang tak pernah peduli dan masa bodoh.
Kirana segera menghapus air matanya dengan tisu begitu mendengar suara gemericik di dalam kamar mandi. Pertanda Reyhan suaminya masih di rumah.
Tak lama suara air gemericik menghilang, pertanda kran sudah dimatikan. Sosok tampan, bermata indah, hidung runcing, serta pemilik tubuh lebih tinggi daripada lelaki Asia pada umumnya itu keluar dari kamar mandi.
Reyhan bagaskara, keluar hanya memakai handuk persegi yang menutupi area sensitifnya, meski tidak sixpack, tubuh Reyhan terbilang bagus karena rajin olahraga.
Sesaat Kirana terpaku menatap lelaki yang sangat dia cintai, tapi sayangnya cinta Reyhan bukan untuknya. Sebaliknya, Reyhan justru menatap Kirana dengan tatapan kebencian dan wajah yang selalu sinis.
"Harusnya aku sudah tak melihat wajahmu setelah jam tujuh pagi, tapi kenapa kamu masih ada di rumah ini." Reyhan berkata sambil melempar baju ganti yang diambil dari lemari ke arah Kirana yang duduk di tepi ranjang. Baju itu terjatuh tepat di sisinya.
Setelah mempertimbangkan dengan matang, akhirnya Kirana memutuskan untuk mengatakan kehamilan pada Reyhan, bagaimanapun lelaki itu adalah ayah biologis dari bayi yang kini bersemayam di rahimnya.
"Aku hamil, Rey." Akhirnya dua kata itu meluncur juga dari bibir mungil Kirana.
"Apa? Hamil!" Reyhan memasang wajah bodoh, sambil memunguti baju ganti di samping Kirana dia berkata lagi. "Lelucon macam apa ini! Kamu hamil! Aku tidak percaya anak itu anakku. Kita hanya melakukannya satu kali, itupun aku tak bisa mengingat dengan baik, dan kau bilang sekarang hamil! Pasti anak itu anak laki-laki lain. Laki-laki selingkuhan mu!" Reyhan menajamkan kalimat terakhirnya membuat Kirana kembali merasakan sakit yang amat dalam, sakitnya melebihi puluhan kali tusukan belati yang dihunus tepat di hatinya.
"Rey kamu kenapa sejahat ini? Ini anakmu, aku tidak mungkin tidur dengan lelaki lain selain kamu!" Kirana melakukan pembelaan atas tuduhan Reyhan pada dirinya.
Kirana berdiri mendekati Reyhan, meminta Reyhan untuk mengusap perutnya untuk pertama kali, Kirana yakin Reyhan akan tersentuh setelah melakukannya, dan naluri sebagai calon orang tua akan hadir. Namun, keinginan Kirana justru ditepis, Reyhan semakin muak dan kebenciannya pada Kirana semakin memuncak. Reyhan yakin ini salah satu rencana Kirana untuk mengambil simpatinya.
"Kamu jangan gila Kirana, aku tidak akan tertipu dengan sandiwara barumu ini, walaupun janin di rahimmu itu benar-benar darah dagingku aku tidak akan membiarkan kamu melahirkan dia kedunia ini, aku tak sudi anak dari wanita licik sepertimu!"
"Rey apakah kamu yakin dengan kata katamu? Kirana menatap wajah suaminya dengan berderai airmata. "Kamu yakin? Rey," lirih Kirana lagi.
"Tentu!" jawab Rey pedas.
Kirana menitikkan airmata, ingatannya kembali pada Tujuh tahun yang lalu sebuah kesalahan telah terjadi, Kirana memaksa Reyhan agar menikahinya karena cintanya yang buta, tentu dengan kekuasaan orang tuanya. Reyhan saat itu masih muda, dia baru saja berusia 23 tahun, dia bekerja sebagai Manager di perusahaan milik Atmaja wijaya, papa Kirana. Reyhan pemuda yang tampan dan kompeten dalam pekerjaan yang ditekuni.
Berawal dari insiden kecil, mampu membuat Kirana jatuh cinta. Kirana meminta Atmaja untuk mencari cara agar bisa menikah dengan Reyhan, tidak mau tahu meski saat itu Reyhan sudah memiliki kekasih bernama Clara.
Atmaja dan kekuasaannya, akhirnya berhasil membuat Reyhan menuruti keinginan Kirana. Reyhan menikah dengan wanita yang asing baginya meski tidak dilandasi sebuah cinta.
Tanpa disadari, sebuah rumah tangga tanpa didasari cinta, kini justru menjadi neraka bagi hidup Kirana sendiri.
"Rey kamu yakin?" Kirana bertanya sekali lagi sambil mendekati Reyhan dan menarik kedua kerah suaminya, tatapan Kirana hanya tertuju pada manik coklat milik sang suami.
"Ya, aku yakin," jawab Reyhan yang lagi-lagi meluluh lantakkan hati Kirana.
"Rey apakah kau mencintaiku," tanya Kirana.
"Tidak, dan tidak akan pernah," jawab Reyhan.
"Baiklah, aku tidak akan pernah melahirkan bayi ini ke dunia seperti yang kamu mau, karena kehadirannya tidak pernah diharapkan, Aku berjanji akan membuatnya tidak pernah melihat dunia ini Rey," lirih Kirana, wanita itu berucap dengan nada sedih.
Reyhan tetap diam dengan tatapan kosong, meski terkejut dengan keputusan Kirana. Bukankah bayi itu seharusnya bisa menjadi alat yang kuat untuk membuat diri wanita itu semakin menguasainya.
Kirana yang sadar dirinya tidak memiliki waktu lebih banyak lagi, dia mengeluarkan sebuah map yang berisi surat perceraian untuk mereka berdua.
Sambil berusaha tersenyum Kirana menyerahkan pada Reyhan.
"Apa ini?" Tanya Reyhan. Tangannya menggapai map, matanya menatap Kirana dingin. Reyhan segera membukanya.
"Baca saja dulu," ujar Kirana. Reyhan menurut, dia membaca berkas yang ada dalam map.
"Rey, aku berterimakasih padamu, selama tujuh tahun ini kau sudah menemaniku. Aku beruntung memiliki suami yang sangat mencintaiku, kebahagiaan yang selama ini kau berikan akan selamanya ku ingat, meski nanti kita sudah tak bersama lagi."
Merasa tersindir dengan ucapan Kirana, Reyhan melempar berkas ke lantai, dia lalu mendorong tubuh Kirana ke ranjang dan mencengkram lehernya
"Baiklah, jika itu yang kamu inginkan akan aku kabulkan dengan senang hati," kata Reyhan yang dikuasai amarah.
"Aku bersyukur kau yang memintanya, asal kau tahu aku sudah lama menunggu semua ini," ujar Reyhan lagi, lelaki itu tak sedikitpun melepas tangannya dari leher Kirana.
"Uhuk." Kirana merasakan sakit luar biasa di lehernya, oleh ulah tangan besar Reyhan.
"Ta-ta-pi ada syaratnya Rey." Kirana berusaha untuk berbicara meski susah payah.
"Katakan cepat, aku ingin mendengarnya."
"Selama sebulan ini kamu harus menjadi suami yang baik. Kamu harus mengajakku jalan-jalan jika libur kerja. Kamu harus menemaniku tidur jika aku menginginkan kamu ada disisiku, mulai sekarang kita harus sarapan bersama, dan kamu harus mencium ku sebelum berangkat bekerja. Jangan marah-marah lagi Rey, satu bulan bukan waktu yang lama untuk sebuah kebebasan mu." Kirana menepis tangan Reyhan di lehernya.
Lelaki itu berdiri, melepaskan tangannya dari leher Kirana. "Baiklah aku setuju."
Kirana dengan susah payah ikut bangun menyusul Reyhan yang hendak berangkat ke kantor.
"Rey, sepertinya kau sudah lupa dengan perjanjian kita. Sebelum berangkat kerja kamu harus mencium ku terlebih dahulu." Kirana mengingatkan.
"Kirana!"
"Jangan lupa Rey, ini syarat agar kamu bisa terbebas dari pernikahan yang tidak kamu inginkan ini."
Tidak ada pilihan untuk Reyhan, lelaki itu menarik tangan Kirana dengan kuat hingga tubuh mungil itu membentur dada bidangnya. Reyhan mencium bibir Kirana dengan kasar hingga bibir mungil warna merah itu terasa perih dan kebas.
"Auhhh, Rey!" Ciuman mereka terlepas ketika Kirana merasakan bibirnya digigit dengan sengaja oleh Reyhan.
Kirana menyentuh bibirnya yang berdarah, sedangkan Reyhan tersenyum puas berhasil membuat Kirana kembali merasakan sakit.
"Jangan berharap aku akan melakukannya dengan lembut seperti yang kau inginkan, Kirana. Aku jijik dengan semua yang ada pada dirimu."
Kirana terdiam sambil menggigit bibir bawahnya yang terasa perih bercampur dengan rasa asin karena darah di bibirnya terus saja menetes keluar.
Tring! Tring!
Dengan cepat Reyhan menggeser kursor hijau di layar ponselnya, setelah tahu yang menelpon Clara, kekasihnya. "Hallo, Clara!"
"Rey, tolong aku Rey, aku …." Suara wanita di seberang sana terdengar menangis dan ketakutan.
"Bicara yang jelas Clara! Apa yang telah terjadi?" Reihan panik, tak biasanya Clara menghubungi sambil menangis.
"Aku terluka Ray, tolong aku, cepatlah datang ke jalan B, aku butuh kamu Rey hiks."
"Bagaimana keadaanmu Clara? Kau baik baik saja?"
"Cepat datang Rey, aku menunggumu." pinta Clara.
"Baiklah, tunggu aku Clara, aku akan datang kesana secepatnya." Reyhan segera mematikan panggilannya dengan Clara.
Dengan ekspresi gugup,Reyhan meninggalkan Kirana. Diabaikan wanita yang tengah duduk dengan tatapan kosong.
Reyhan mengambil kunci di atas nakas, lalu bergegas meninggalkan kamar menuju garasi, Rey mengeluarkan satu mobil, dengan buru-buru meninggalkan halaman dan meluncur ke jalanan hitam.
Kirana menatap kepergian Reyhan sambil memeluk bantal kecil, bantal yang ia jadikan teman dikala kesepian melanda.
'Rey, tak pernahkah kau rasakan cinta dan ketulusanku selama ini'
"Ahkkk sakit!" Kirana meremas perutnya yang tiba-tiba sakit luar biasa.
"Ini sakit, tolong!" Kirana merasakan sakit ditubuhnya yang semakin menjadi. Tubuh Kirana merosot di lantai dengan kepalanya bersandar di sofa.
Keringat dingin keluar dari sekujur tubuh, warna kulitnya semakin putih pucat, karena menahan sakit luar biasa.
'Rey, aku butuh kamu, seharusnya kamu tidak pergi.'
Hati Kirana semakin hancur setelah melihat lelaki yang dicintai dengan tulus pergi demi wanita lain. Sedangkan saat ini, dia dan bayinya lebih membutuhkan keberadaannya.
Susah payah Kirana merangkak menuju ranjang, mencari keberadaan obat yang baru saja dia dapat dari Dokter Pras.
Dengan tangan gemetar, Kirana mengeluarkan satu tablet pil dari botol kecil dan menelannya.
Pil yang diminum terasa masih nyangkut di kerongkongan, Kirana butuh air, tangannya meraba gelas di pinggir nakas, karena tidak hati-hati gelas yang diraihnya justru tergelincir dan pecah. " Pyaar."
"Kamu jahat padaku Rey! Sangat jahat! Salahkan jika aku mencintaimu dan menginginkan sedikit saja cinta darimu! Salahkah aku jika ingin bersama dengan orang yang aku sayangi."
Tubuh Kirana kembali merosot ke lantai, berusaha untuk menenangkan diri dengan mencoba memejamkan mata.
Lambat laun obat yang baru saja diminumnya menunjukkan reaksi, Kirana merasa sedikit tenang, sakit di perutnya berangsur hilang, berlahan kantuk kini mulai mendera.
Kirana terperanjat begitu ponselnya berdering, Kirana segera meraba raba ponselnya yang tak berhenti berbunyi.
"Kirana, apakah kau baik-baik saja!" tanya Rey.
"Aku baik Rey." Kirana senang Reyhan menelepon dan bertanya tentang keadaan dirinya. Sedikit saja perhatian dari Reyhan sudah mampu menghapus segala kesalahan lelaki itu.
"Kirana, apakah kau bisa datang ke rumah sakit X, aku sekarang ada disini. Kirana aku tunggu kedatangan mu secepatnya."
"Okey, Rey. Aku akan datang kesana."
"Hati-hati di jalan, sebentar lagi hujan."
"Iya Rey."
Tanpa tahu maksud yang jelas tujuan Reyhan memanggilnya, Kirana segera bergegas untuk datang memenuhi panggilan suaminya. Kirana berfikir pasti lelaki itu ingin memeriksakan kehamilannya.
Tak peduli kondisi alam sedang tak bersahabat, Kirana tetap keluar rumah melawan kencangnya angin yang bertiup berlawanan arah dan tujuannya
Kirana mendatangi angkot yang sedang mager. Karena hanya kendaraan itu satu-satunya yang dia lihat di dekat rumahnya.
"Pak antarkan saya ke rumah sakit X, aku harus cepat sampai di sana!"
"Tapi Neng, mendung dan anginnya terlihat mengerikan, Apa tidak sebaiknya tunggu selesai hujan." Sopir angkot menatap ke arah langit yang tampak makin gelap, cahaya kilat sesekali terlihat, dan suara guntur terus bersahutan.
"Pak, saya tidak mau suami saya kecewa karena menunggu lama, bagaimana kalau kita tetap berangkat sekarang dan bayarnya nanti aku lebihkan menjadi dua kali lipat." Kirana mencoba merayu sopir angkot, karena melihat Kirana yang pucat hati sopir angkot pun tersentuh.
Sayang sekali, angkot pun sepertinya sedang tak mau berkompromi, berulang kali Pak Sopir menghidupkan mesinnya, tapi tiada hasil, angkotnya lagi mogok.
"Maaf Neng. Sepertinya angkot saya mogok lagi. Maklum Neng, kendaraan sudah tua."
"Duh … ya sudah Pak, saya turun lagi aja, biar saya jalan kaki."
"Neng, maaf ya," ujar Pak Sopir minta maaf, dibalas anggukan oleh Kirana.
Kirana turun lagi, pikirannya terus tertuju pada Reyhan yang sedang menunggunya. Akhirnya Kirana memilih berjalan menyusuri trotoar yang kebetulan sedang sepi.
Kirana terus berjalan sambil memeluk perutnya, titik hujan mulai membasahi tubuh dan rambutnya. Kirana lupa tidak membawa jas hujan.
Kirana mempercepat langkahnya, melawan rasa takut pada kilat yang terus menyambar.
"Neng! Kok nggak bawa payung."
"Hujan kenapa nggak berteduh dulu."
Sesekali sapaan dari seseorang yang melihatnya terdengar di telinga Kirana, wanita itu hanya berusaha menguatkan hati dan tersenyum untuk membalas sapaan mereka.
Tiba di rumah sakit, Kirana segera menemui Reyhan yang nampak sudah menunggu.
"Rey!" Kirana tersenyum melihat Reyhan sendirian. Kirana yang nampak mengenakan mantel tipis, pemberian orang baik yang ditemui di jalan tadi, Kirana segera menghambur ke arah Reyhan.
Reyhan lega Kirana datang dengan cepat. Seorang suami itu mengabaikan istrinya yang tengah kedinginan hingga wajahnya putih memucat. "Tranfusikan darah untuk Clara, kebetulan darah kalian sama. Clara mengatakan kamu menikamnya dengan belati, apakah itu benar!!"
"Rey, jika kamu menyuruhku datang kesini untuk itu, maaf aku tidak bisa,"ujar Kirana.
"Kamu bisa!" Reyhan mencengkram bahu Kirana.
"Aku tidak bisa Rey, aku hamil."
"Aku tidak peduli, yang aku pedulikan adalah Clara, aku tidak mau terjadi apa apa dengan dia."
Kirana kembali merasakan kecewa, marah dan sedih, wajahnya yang sempat berbinar kini kembali meredup, ternyata Reyhan meminta dirinya datang hanya untuk mentranfusikan darah untuk kekasihnya.
"Kirana ingin pergi,mengabaikan Reyhan yang semakin buta karena cintanya pada Clara.
"Kirana! Kamu tidak bisa menolak, Kamu harus menolong Clara. Aku tahu semua ini kamu yang melakukan, Siapa lagi wanita yang menghalalkan segala cara, pasti kamu orangnya! Hanya kamu!" Reyhan kembali tersulut emosi. Jarinya telunjuknya menunjuk wajah Kirana berulang kali.
"Plak." Kirana menampar wajah Reyhan. pipi lelaki itu seketika memerah.
Reyhan mendorong tubuh Kirana hingga membentur dinding, Reyhan kembali mencekiknya, hingga Kirana kesusahan mengambil nafas. "Re-y, le-le-pas."
"Lakukan apa yang aku minta? Jika sampai terjadi hal buruk pada Clara! Aku akan membuatmu merasakan derita yang tiada akhir."
"Jangan harap aku melakukannya untuk Clara, aku tidak mau." Kirana menatap Reyhan tajam.
"Aku pastikan kamu akan tetap mentransfusikan darah untuk Clara, kamu harus bertanggung jawab atas perbuatan yang kamu lakukan,"
"Rey aku tidak melakukan semuanya pada Clara!!" Kirana mencoba menjelaskan. Akan tetapi, Reyhan tak ada waktu untuk mendengarkan penjelasan Kirana.
"Hanya orang gila yang percaya!" Reyhan mengibaskan tangannya, tak mau tahu penjelasan Kirana, dia segera menemui Dokter yang ada di ruang transfusi.
"Dokter, orang yang akan mentransfusikan darah untuk kekasih saya sudah datang."
"Bagus, suster cepat lakukan proses transfusi darah!" Perintah Dokter pada suster.
"Niko, tolong selama proses transfusi, terus awasi dia," titah Rey pada asistennya.
"Baik Tuan," Niko mengangguk setuju.
Rey berjalan meninggalkan Kirana di ruang transfusi darah. Lelaki itu kembali menemui kekasihnya di bangsal.
Niko terus menatap Kirana, firasatnya merasakan kalau istri majikannya sedang dalam kondisi tidak baik.
"Uhuk, uhuk." Kirana terbatuk-batuk, Kirana menutup mulutnya dengan telapak tangan. Ada darah di telapak tangan Kirana.
Niko terkejut melihat semuanya, rasa iba timbul di benaknya. "Nona Kirana, anda sepertinya sedang sakit, tidak baik anda melakukan semua ini."
Kinara melambaikan tangan, meminta Niko untuk tenang. "Tidak apa-apa Niko, aku akan baik-baik saja," ujar Kirana berusaha tegar.
"Tapi Nona, bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Anda."
"Aku baik saja Niko, percayalah." Kirana menampilkan senyumnya, meski hanya kepahitan yang dia rasakan.
'Rey, mungkin ini yang kau inginkan, perlahan aku akan mati dalam penderitaan, sebentar lagi keinginan kamu menikahi Clara akan terkabul. Mungkin hidupku tak lama lagi, aku akan pergi bersama dengan bayi kita, dan kau akan bahagia bersama wanitamu.'
Usai pengambilan beberapa kantong darah, Kirana nampak semakin pucat. Kirana turun dari brankar dibantu oleh Niko.
"Niko, antarkan aku pada Clara."
"Baik Nona." Niko mengangguk setuju. Mereka berdua tiba di depan ruangan VVIP dimana Clara dirawat.
Reyhan terlihat duduk di kursi kecil di dekat Clara, satu tangan Reyhan menggenggam tangan Clara dan satu tangannya mengelus rambut wanita yang kini tengah terbaring lemah.
Kirana cemburu melihat adegan mesra suaminya dengan wanita lain. Alangkah senang hati Kirana andaikan Reyhan bersikap demikian lembut dengannya.
"Rey, aku ingin bicara empat mata dengan Clara sebentar," pinta Kirana.
"Apa yang kamu inginkan Kirana, belum cukup semua yang kamu lakukan padanya, hah?!" ujar Rey dengan rahang mengetat.
"Rey, aku bukan orang yang suka menyakiti wanita lemah," kata Kirana sambil melirik ke arah Clara yang nampak lunglai. "Jangan lupa dengan perjanjian kita Rey, bukankah kamu sudah setuju. Kamu harus menuruti apa yang aku inginkan."
Meski ragu, karena takut Kirana akan berbuat macam-macam pada Clara, namun akhirnya Lelaki itu setuju. Reyhan keluar meninggalkan Clara dan Kirana berdua.
"Tutup pintunya Rey," perintah Kirana yang akhirnya dituruti oleh Reyhan.
Kirana tersenyum smirk pada Clara. Wanita itu menatap dengan sedikit rasa takut, Clara takut Kirana akan nekat mencekiknya disaat ada selang infus menancap di tangannya.
"Kau menuduhku, aku yang telah menikammu?" Tanya Kirana pada Clara.
"Kau memang pelakunya," jawab Clara.
"Sudahlah Clara, berhenti dari semua drama ini, apa kamu tidak capek dengan terus bersandiwara di depan Reyhan, Aku sudah tahu kalau semua ini adalah bagian dari rencana kamu," kata Kirana sambil mengambil alih kursi yang diduduki Reyhan tadi.
Wajah pucat dan lemah ternyata hanya sebuah sandiwara, Clara bisa duduk dengan baik dan tersenyum sinis menyambut kedatangan Kirana.
"Ternyata kamu sedikit lebih cerdas dari dugaanku, kamu bisa mengetahui semuanya lebih cepat. Tapi sayang kebodohanmu lebih besar, buktinya selama ini cinta yang kau agungkan tidak mampu membuatmu bahagia, Reyhan tetap saja tidak pernah mencintaimu. Dan sekarang kamu lihat sendiri, siapa yang lebih dipedulikan oleh Reyhan? Kamu atau aku?"
"Jangan terlalu percaya diri, mungkin saat ini Reyhan belum tahu cinta siapa yang lebih tulus,"cibir Kirana, wanita itu terlihat tenang.
"Hahaha, jika Reyhan peduli denganmu, dia tidak akan pernah memintamu untuk memberikan darahnya padaku, disaat kondisimu sakit, lihatlah wajahmu lebih pucat dari mayat. Cintamu pada Reyhan ternyata membuat kamu sangat bodoh Kirana." ejek Clara. Wanita itu tak percaya Kirana begitu lemah di depan Reyhan.
"Clara, mungkin kamu benar, aku bodoh karena cinta. Tapi aku yakin Reyhan lambat laun akan tahu kalau cinta yang aku berikan padanya itu tulus. Lalu bagaimana jika Reyhan tahu kalau kekasihnya ternyata wanita yang matre, dan semua cintanya selama ini tak lebih dari sandiwara?" Kira kira apakah dia masih sudi melihat wajahmu?"
Kirana teringat kejadian lima tahun yang lalu, di sebuah Cafe Flower. Kirana meminta Clara untuk menemuinya. Kirana ingin menguji cinta Clara pada Reyhan dengan menawarkan uang satu miliar untuk pergi atau memilih Reyhan. Dugaan Kirana tidak meleset. Wanita itu memilih uang satu miliar dan berjanji meninggalkan Reyhan.
Namun, hari ini Kirana tahu kalau wanita itu mengingkari janji, ternyata selama ini dia tidak benar-benar pergi. Clara tetaplah wanita licik yang bisa ingkar dari sumpah setiap saat. Wanita itu masih ingin mengganggu rumah tangganya dengan memanfaatkan perasaan Reyhan yang masih mencintainya.
"Aku yakin Reyhan lambat laun akan menyadari kalau cinta yang tulus lebih membuatnya nyaman, daripada cinta yang penuh kepalsuan," cibir Kirana. "Lihat saja, dalam sebulan aku akan mendapatkan cinta Reyhan, aku dan suamiku akan bahagia bersama, dan mungkin saat itu tidak akan ada celah bagi orang ketiga untuk masuk dan merusak semuanya.
"Hahaha, Kirana, Kirana …." Clara tertawa sambil menepuk keningnya, menggelengkan kepala pelan. "Kamu itu selain bodoh, polos banget ya! Kamu kira Reyhan bertahan denganmu sampai saat ini itu demi cinta! Tidak Kirana! Reihan selama ini hanya memanfaatkan kekayaan kamu, tanpa semua harta yang kamu miliki, Reyhan tak akan sudi tinggal satu rumah bersama wanita sepertimu."
"Kenapa kamu bisa seyakin itu?" tanya Kirana.
"Reyhan sudah memberitahu semuanya padaku, setelah satu bulan nanti, dia akan menjadikan aku CEO di perusahaan yang seharusnya kalian berdua kelola. Bayangkan! Aku akan selalu bersanding dengannya di perusahaan."
"Apa!?" Kirana tak percaya, mulutnya menganga, tubuhnya lunglai, wajahnya semakin pucat. Sebisa mungkin wanita hamil muda ini untuk tetap berdiri dengan tegar seperti posisinya saat ini.
Satu bulan adalah waktu yang Kirana minta pada Reyhan sebelum waktu perceraian, Kirana berharap akan bisa memanfaatkan waktu dengan baik untuk mendapatkan cinta Reyhan. Tapi kenyataan yang dia dengar baru saja mematahkan semangatnya untuk meraih cinta suaminya. Kecewa Kirana semakin dalam, tak percaya Reyhan begitu cepat mengatakan semuanya pada Clara dan menyusun rencana untuk mereka berdua.
Kirana kembali mengingat awal pernikahan mereka, Atmaja sangat bahagia, Kirana bisa bersanding dengan lelaki yang dicintai, lelaki yang tampan dan memiliki kemampuan mengelola bisnis sangat baik adalah menantu idaman baginya.
Atmaja yakin Reyhan dan Kirana akan semakin bahagia dalam mengarungi bahtera rumah tangga setelah mendapat kepercayaan yang besar dari Atmaja. Salah satunya dengan menyerahkan perusahaan beserta anak cabangnya. mengingat Atmaja juga sudah tidak muda lagi, siapa lagi pewaris tahta kalau bukan suami Kirana, menantu satu-satunya.
"Kamu pasti terkejut, kenapa Reyhan memberitahuku semuanya, iya kan! Disini pasti kamu sudah paham, siapa wanita yang dicintai oleh Reyhan," ujar Clara tersenyum penuh kemenangan.
Kirana memejamkan mata mendengar semua kebenaran yang diucapkan Clara, sekuat hati menahan agar titik air mata tak sampai jatuh di pipi.
Kirana masih tak percaya Reyhan akan memberitahu semuanya secepat ini pada Clara. Sepertinya usaha keras untuk mendapat cinta Reyhan selama ini sia-sia. Tiada henti, Reyhan terus menyakitinya baik luar dan dalam.
"Kenapa diam aja?" Kaget ya aku tahu semuanya?" Sekali lagi Clara tersenyum penuh kemenangan.
Kirana diam dengan pandangan kosong. Bohong jika ucapan Clara baru saja membuatnya tetap baik dan tidak berpengaruh apa-apa pada dirinya.
"Oh, iya. Mumpung kamu disini aku akan membuat sebuah pertunjukan besar, lihat saja apa yang akan dilakukan Reyhan setelah pertunjukan ini." Wanita itu turun dari ranjang, mengambil air panas yang kebetulan ada di atas nakas, tadinya dia ingin menyeduh teh dengan air panas itu, tapi rencana Clara berubah. Clara mengambil air panas itu dan menyiram ke tubuhnya sendiri.
"Clara! Kamu gila ya!" Kirana tak percaya wanita itu melakukan hal ekstrim demi mengelabui semua orang dan membuat Reyhan semakin bersimpati.
"Lihat saja apa yang akan terjadi." Dengan tersenyum Clara lalu berteriak seolah dia adalah korban sebuah kekejaman.
" Aaaaaa, Tolooong! Ampun Kirana! Tolong jangan sakiti aku hiks … hiks …." Dengan cepat Clara merubah ekspresi mukanya menjadi ketakutan, dan kedua tangannya melindungi wajahnya sambil berlutut di depan Kirana, seolah Kirana yang telah menyiram air ke wajahnya.
"Clara!" Pintu terbuka. Reihan masuk dengan cepat begitu dia mendengar teriakan dari bangsal, tempat Clara di rawat.
Kirana diam dengan tatapan kosong. Melihat betapa Reyhan panik jika yang mengalami semuanya adalah Clara.
"Reyhan tolong aku, jangan biarkan aku sendiri, aku takut Reihan." Clara memeluk pinggang Reihan dengan ketakutan, rambut dan bajunya yang basah dia biarkan berantakan.
Kirana menggeleng. "Bukan aku yang melakukan semuanya Rey."
Kirana masih tak percaya ternyata Clara senekat itu dalam bersandiwara demi membuat Reyhan percaya dan bersimpati.
"Kamu! Aku akan buat perhitungan setelah ini" Reyhan mendekatkan telunjuknya di wajah Kinara dengan tatapan membunuh.
Kinara sudah tahu Reyhan pasti akan lebih percaya dengan acting Clara yang mirip artis profesional itu.
Rasanya percuma jika mendebatnya sekarang, yang ada Clara akan semakin bahagia mendapat pertunjukan gratis.
Reyhan membimbing Clara kembali duduk di ranjang, Reyhan mengambil handuk untuk mengeringkan rambut Clara, semua Reyhan lakukan penuh kelembutan di depan Kirana.
Kirana meneteskan air mata, melihat betapa besar perhatian dan kepercayaan yang Reyhan berikan pada Clara.
Bayangan Atmaja yang begitu menyayangi Reyhan kembali terlintas, Atmaja menyerahkan semua surat kuasa kepemilikan perusahaan tanpa ada sedikitpun keraguan. Satu persatu dokumen penting itu ditandatangani oleh Reyhan, Reyhan adalah pemilik sah semua perusahaan.
Kirana menghapus air matanya, menghapus memori lama yang terus bermunculan, dan mendekati mereka berdua. Kirana akan memanfaatkan perjanjian pra perceraian yang sudah Reyhan setujui.
"Aku ingin pulang."
"Pulanglah, kamu sudah tak lagi dibutuhkan."
"Antarkan aku pulang."
"Biar Niko yang antar."
"Rey …." Kirana mencengkeram lengan kokoh Reyhan. Reyhan menepis tangan Kirana dan memanggil perawat untuk menggantikan baju Clara. Perawat segera datang dengan membawa baju ganti untuk pasien.
Reyhan keluar disusul oleh Kirana di belakangnya. Mereka berjalan beriringan menyusuri koridor rumah sakit.
Reyhan dan Kirana sudah Sampai di parkiran, Reihan segera membuka kunci dengan remote dan membiarkan Kirana membuka pintu sendiri. Sedangkan Reyhan dengan cepat duduk di depan kemudi dan menghidupkan mesin.
Sepanjang perjalanan Kirana tak sekalipun menatap Reyhan, pandangan Kirana tertuju pada pedagang kecil di pinggir jalan yang menurutnya lebih menarik untuk dilihat.
Sampai di depan rumah mereka, Kirana segera turun. Reyhan memutar kemudi dengan cepat dan terlihat kembali ke arah rumah sakit. Kirana tahu Reyhan pasti akan menemani kekasihnya.
Sampai di rumah sakit Reyhan segera menemui Dokter di ruang pribadinya, Niko mendapat tugas menjaga Clara.
Reyhan diminta duduk oleh Dokter, Reyhan duduk dengan tenang dan menanyakan tentang luka tusuk yang dialami kekasihnya.
"Bentuk luka kekasih anda kecil, dan tidak terlalu dalam, tim dokter mengindikasikan kalau luka ini disengaja untuk percobaan bunuh diri. Jika ini pembunuhan, mungkin saat ini kekasih anda sudah meregang nyawa karena ginjalnya sudah robek"
"Maksud anda luka tusuk ini dilakukan oleh korban sendiri." Tanya Reyhan ingin memperjelas ucapan Dokter baru saja.
"Benar, Tuan Rey." Dokter mengangguk.
Mendengar penjelasan singkat dari dokter, ini pertama kalinya Reyhan merasa bersalah karena telah menuduh Kirana tanpa bukti.
**
Tengah malam Kirana mendatangi kamar Reyhan, dia lega melihat suaminya tertidur pulas di atas ranjang, tadinya Kirana berfikir Reyhan akan menemani Clara di rumah sakit sampai pagi.
Kirana malam ini ingin sekali tidur bersama Reyhan. Bisa saja semua ini juga keinginan si kecil yang ada di rahimnya.
Kirana tidur di sebelah Reyhan dan memeluk suaminya yang sudah lelap. Ada sedikit kedamaian yang Kirana rasakan saat melakukan semuanya.
Tanpa Kirana tahu kalau dia telah menjatuhkan botol obat miliknya dari saku piyamanya semalam.
Pagi hari Kirana segera bangun, dia siapkan teh hangat dan nasi goreng seafood kesukaan Reyhan.
Reyhan mengambil botol kecil tersebut dan menyembunyikan di laci.
Tak lama masakan Kirana sudah matang, Reyhan memakan masakan Kirana yang menurutnya sangat enak, tidak kalah dengan restaurant seafood di luaran sana. Usai makan Reyhan kembali menemui dokter di rumah sakit X.
Dokter dan Reyhan kembali bertemu. Reyhan menunjukkan botol kecil yang ditemukan semalam."Dokter, tolong cari tahu obat apa ini?"
Dokter mengambil dari tangan Reyhan dan mengamati dengan jeli. Obat seperti itu tidak asing lagi baginya."Dimana anda menemukannya?" Tanya Dokter.
"Aku menemukan di saku istri saya," jawab Reyhan jujur.
"Istri anda tidak baik-baik saja, Tuan. Dia mengidap kanker stadium lanjut."
"Dokter apa anda tidak salah?" Reyhan terkejut dengan penuturan Dokter.
Dokter tersenyum melihat keraguan di mata Reyhan, terpaksa dia mengulangi kalimatnya. "Kali ini saya tidak mungkin salah, Tuan."
**
Tiba di rumah Reyhan segera ingin bertanya pada Kirana perihal penyakitnya. Melihat Kirana masih sibuk Reyhan memilih untuk bertanya nanti saja.
Diam-diam Reyhan melihat Kirana dari ruang kerjanya, istrinya terlihat pucat, meski wanita itu berusaha menutupi dengan sedikit memoles wajahnya.
Reyhan tak percaya Kirana telah mengidap penyakit ganas dan menyembunyikan kenyataan pahit ini dari dirinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!