Jauh sebelum peradaban manusia modern dimulai, sebuah pulau di negeri antah-berantah tercipta dari sebuah ledakan meteor yang jatuh ke bumi. Meteor itu jatuh menabrak sebuah pulau besar, dan memisahkan daratan pulau itu menjadi beberapa daratan kecil.
Dari serpihan meteor yang menabrak bumi itu, muncul sebuah telur raksasa yang tertutup asap tebal hasil gesekan antara meteor dengan atmosfer bumi.
Telur itu terlihat sangat besar, tingginya mungkin sekitar 1,5 meter. Diameter telur itu bahkan lebih besar daripada ukuran tubuh gajah.
Cuaca yang menjadi panas seketika, membuat telur itu perlahan retak. Suara retakannya cukup besar, karena ukuran telurnya juga yang cukup besar.
KREK!
Sebuah tangan keluar dari celah cangkang telur yang retak, sehingga membuat retakan yang semakin besar di sana. Tak lama waktu berselang, tangan yang lain pun menyusul keluar dari cangkang itu.
Karena sudah merasa tidak sabar, satu hentakan membuat seluruh cangkang telur itu hancur. Sosok lelaki tinggi bertubuh kekar pun keluar dari telur itu. Pakaiannya sangatlah berbeda dari pakaian pada zaman itu. Pakaiannya terlihat sangat modern, sehingga dapat dipastikan bahwa ia telah hidup pada zaman serba digital melebihi abad ke 20.
Lelaki itu mengedarkan pandangan matanya, sehingga ia bisa melihat dengan jelas keadaan yang telah tercipta akibat kehadiran dirinya di sana. Ia tanpa sadar sudah mengacaukan peradaban manusia di zaman ini, sehingga membuatnya sedikit merasa bersalah.
"Aku sudah membuat kesalahan yang besar," gumamnya yang sedikit menyesali hal yang tanpa sengaja ia lakukan.
Suara petir mengagetkannya, sehingga tanpa sengaja ia memandang ke arah langit dan melepaskan pandangannya sejauh matanya memandang. Gesekan awan menciptakan suara gemuruh yang sangat besar, sehingga ia menjadi sedikit takut karenanya.
"Mengabdilah kau kepada Maestro alam kita di abad 22!" teriak seseorang, yang suaranya sampai bergema di langit.
Lelaki ini sengaja dikirim ke abad sebelum peradaban, agar ia bisa mendapatkan hukuman dari hal yang ia lakukan. Karena tidak ingin bersekutu dengan Maestro di zamannya, ia terpaksa harus menerima hukuman dengan dikirimnya ia ke abad ini.
Lelaki ini sengaja menerima semua hukuman ini, karena ia tidak ingin sampai Maestro itu membuat kekacauan pada abad-abad sebelum mereka hidup. Sang Maestro berniat untuk mengubah tatanan zaman, sehingga membuat lelaki ini sangat tidak setuju dengan yang ia pikirkan.
"Aku tidak akan pernah melakukannya! Aku akan menjaga kehidupan di abad ini, dan tidak akan pernah setuju dengan yang kalian rencanakan!" teriak lelaki itu, menantang apa yang suara misterius itu katakan.
Suara itu menghilang, seakan tidak terdengar lagi saat ini. Namun, situasi sekitar seketika berubah menjadi sangat kacau. Angin kencang menerpa pasir pinggir pantai, sehingga membuat pandangan lelaki itu menjadi rabun. Hujan mulai turun dengan sangat lebat, semakin membuat suasana menjadi kacau tak bisa dijelaskan oleh kata-kata.
Seorang lelaki yang sangat ahli dalam menganalisa sesuatu, kini terlihat ketakutan dengan perubahan iklim yang sangat drastis. Ia percaya, bahwa ini adalah permainan dari Maestro yang licik, yang jika dibiarkan akan menghancurkan seluruh dunia beserta isinya.
Misi dari sang Maestro, adalah membuat semua manusia menjadi sama seperti para pengikutnya yang sangat patuh akan perintahnya. Ia hendak menciptakan dunianya sendiri, dari setiap abad yang telah ada di zaman sebelum zaman mereka dimulai.
Lelaki ini bernama Fang Lie. Dia adalah seorang ilmuan yang sangat ahli di bidangnya. Ia memiliki saingan, yang ilmunya setara dengannya. Saingan itulah yang saat ini disebut-sebut sebagai Sang Maestro di abad tempat ia hidup. Karena memiliki kekuatan dari benda penemuannya, ia menjadi lebih kuat dibandingkan Fang Lie.
Namun sayang, Sang Maestro menggunakan kekuatan itu untuk membuat peradaban yang ia inginkan. Hal itu tentu ditentang Fang Lie, karena jika Sang Maestro menjadi Yin, ia harus menjadi Yang. Harus ada keseimbangan di antara mereka, kalau tidak dunia bisa hancur dengan begitu mudah.
Tak lama, gulungan ombak pun menyapu ke hadapan Fang Lie, sampai-sampai Fang Lie tergulung ke dalamnya. Ia masih berusaha untuk melawan arus ombak tersebut, tetapi sayang sekali kekuatannya saat ini seakan hilang karena tidak memegang tongkat pusaka yang ia miliki. Ia menyimpan tongkat pusaka yang diincar Sang Maestro, di dalam jiwanya. Hal itu juga yang menjadikan Sang Maestro tertarik dengan tongkat sakti itu.
BLRB!!
Fang Lie berusaha untuk menahan napasnya di dalam air, tetapi ia sama sekali tidak bisa bertahan dengan waktu yang lama di dalam air tersebut. Tubuhnya sudah terlihat pucat, sepertinya ia sudah kalah dengan keadaan ini.
‘Jika memang seperti ini akhirnya, paling tidak aku mati dalam keadaan yang berguna. Jangan sampai aku mati dengan sia-sia,’ batin Fang Lie, yang masih berusaha untuk membuat dirinya kuat.
Fang Lie sama sekali tidak ingin mati sia-sia, hanya karena perbedaan pendapat dan juga tidak ingin mengikuti apa yang sang rival inginkan. Setidaknya, kematiannya meninggalkan bekas yang mendalam bagi peradabannya, bukan malah meninggalkan kenangan sebagai seorang yang dicap sebagai pengkhianat.
Matanya perlahan terpejam, saking tidak bisa lagi ia menahan air yang masuk ke dalam pori-pori tubuhnya, dan juga lubang hidung serta lubang telinganya. Ia merasa sudah kalah, dan sudah tidak memiliki daya dan upayanya lagi.
‘Aku gagal,’ batin Fang Lie, yang merasa dirinya sangat tidak berguna.
Matanya semakin terpejam, dengan pandangan yang sudah lama kabur. Ia hampir tidak bisa mengingat apa pun lagi, dan hanya bisa merasakan tubuhnya yang benar-benar sudah mati.
Per sekian detik, Fang Lie benar-benar telah mati. Tubuhnya sama sekali tidak bergerak, dan tidak bisa merasakannya lagi.
SRAK!
Tiba-tiba saja ada banyak sekali sinar yang terpancar dari dalam tubuhnya. Tubuhnya tertutup sinar tersebut, dan tiba-tiba saja menghilang dari tempatnya. Fang Lie sudah lenyap, dan entah pergi ke mana.
***
DUAR!
Petir terus menyambar, gesekan awan di udara membuat suara gemuruh semakin terdengar dengan sangat jelas. Pada abad 20-an, seorang bocah lelaki bernama Fang Leng terlihat sedang berlarian menembus hujan.
Tubuhnya sudah basah, akibat derasnya hujan yang mengguyur sudut ibu kota.
DRING!
Handphone-nya berdering, sehingga membuatnya terkejut karena mendengar suara handphone yang terdapat pada saku seragam sekolahnya.
‘Siapa yang sudah menghubungiku di tengah hujan seperti ini?’ batin Fang Leng, yang merasa sangat heran dengan orang yang telah menghubunginya dengan tidak tepat waktu.
Karena merasa panik dengan hujan, Fang Leng sama sekali tidak menerima telepon dari orang yang menghubunginya.
DRING!
Tak berapa lama kemudian, handphone Fang Leng pun berdering kembali. Pada saat yang sama, Fang Leng sedang berjuang untuk menyelamatkan dirinya untuk menyeberang ke arah halte bus yang ada di seberang hadapannya.
“Sebentar, aku sedang menyeberang!” gerutu Fang Leng, yang merasa sangat kesal dengan seseorang yang sedari tadi menghubunginya itu.
DUAR!!
Suara petir terdengar lagi, membuat Fang Leng sampai terkejut karenanya. Suara petir itu sangat jauh, tetapi terasa sangat dekat baginya. Telinganya berdengung, saking merasakan sakit akibat suara petir itu.
“Duh ... kenapa petirnya mengagetkan sekali, sih?” gerutu Fang Leng lagi, yang masih berusaha untuk mencapai ke arah halte.
Fang Leng pun sampai di halte itu. Sekujur tubuhnya basah, sampai menembus ke baju dalamnya.
DRING!
Handphone-nya masih terus berdering, sehingga membuat Fang Leng menghela napasnya dengan panjang.
Karena merasa sangat kesal, ia pun mengambil handphone itu dan segera menerima telepon dari orang yang menghubunginya.
“Halo, ada apa?” sapa Fang Leng.
“Halo, kau ada di mana?” tanya seorang wanita paruh baya, yang ternyata adalah Ibu dari Fang Leng.
Sepertinya ibunya sangat mengkhawatirkan keadaan Fang Leng, karena ia melihat di luar cuaca sangat tidak mendukung seperti biasanya.
“Masih di halte dekat sekolah. Aku tidak bisa kembali dengan cepat karena terjebak hujan!”
Seperti orang yang sudah larut, Fang Leng terus berbincang dengan ibunya walaupun hujan badai itu terus berlangsung. Sambaran petir menyambar ke mana-mana, sampai mampu menumbangkan sebuah pohon besar yang ada di hadapan Fang Leng.
Fang Leng terkejut, karena ia melihat pohon itu tumbang di hadapannya, hanya dalam beberapa detik saja.
“Oh tidak, Bu! Ada pohon tumbang di hadapanku!” teriak Fang Leng dengan panik, sang Ibu pun menjadi sangat panik mendengarnya.
“Jauhi pohon itu segera!” suruhnya.
“Baik, Bu—“
“Ahh!!” teriak Fang Leng, yang tiba-tiba saja memutuskan sambungan teleponnya bersama dengan ibunya.
Ternyata, Fang Leng tersambar oleh petir yang sedari tadi memang sedang mencari mangsa. Bukan hanya pohon besar saja yang ia sambar, tetapi Fang Leng yang sedang menelepon ibunya pun turut disambarnya hingga Fang Leng menjadi gosong dan tak sadarkan diri setelahnya.
Ibu Fang Leng pun menjadi sangat panik, karena sebelum telepon itu terputus ia sempat mendengar suara teriakan Fang Leng sesaat.
“Nak, apa kau tidak apa-apa? Apa yang terjadi?!” teriaknya, yang sudah mulai panik karena mendengar suara teriakan Fang Leng tadi.
Ia memandang ke arah layar handphone-nya, dan ternyata telepon mereka sudah terputus sejak Fang Leng menjerit tadi.
Firasat seorang Ibu sangatlah tajam, sehingga ia merasa sangat khawatir dengan keadaan putra semata-wayangnya itu.
Semua orang memadati area Fang Leng yang tersambar petir. Mereka panik, beberapa ada yang tetap tenang sembari mencoba untuk menghubungi ambulans dan juga pihak berwajib. Orang yang menghubungi ambulans dan polisi sebenarnya sangat takut, kalau saja petir itu akan menyambarnya lagi. Namun, ia tidak memedulikannya karena rasa kemanusiaan yang ada pada dirinya.
Mereka melihat dengan saksama dengan pandangan yang miris, karena tubuh Fang Leng yang kini sudah tidak bisa lihat oleh mata lagi. Tubuhnya sudah berubah menjadi hitam legam, saking dahsyatnya sambaran petir yang menyambar tubuhnya.
Beberapa saat dalam situasi yang panik, para petugas yang berwajib pun datang dengan kendaraannya masing-masing. Mereka segera menyapu bersih area sekitar, dengan memasang garis kuning di sekitarnya.
“Apa ada saksi mata?” tanya seorang polisi yang berada di dekat kerumunan orang yang sedang memperhatikan Fang Leng.
“Aku saksi mata!” teriak salah seorang lelaki, yang memang sejak tadi berada di sebelah Fang Leng.
Sang polisi menghampirinya dan bertanya-tanya mengenai kejadian yang menimpa Fang Leng yang malang itu.
Begitulah nasib Fang Leng, hanya karena menerima sebuah telepon di kala hujan deras dan petir melanda.
***
Berbagai alat medis sudah terpasang lengkap pada tubuh Fang Leng yang terbaring dengan lemah, di ranjang rumah sakit tempat ia dirawat. Polisi masih menemukan adanya napas, walaupun sangat lemah. Mereka berupaya membawa Fang Leng ke rumah sakit terdekat menggunakan ambulans.
Orang tua Fang Leng pun datang dengan keadaan yang sangat menyedihkan. Mereka menangisi Fang Leng, tetapi Fang Leng masih tidak bangun juga dari koma yang ia alami saat ini.
Karena kecelakaan itu, Fang Leng tidak bisa dikenali bahkan oleh orang tuanya sendiri. Para dokter mengambil jalan untuk mengoperasi plastik 95% dari tubuh Fang Leng, karena memang petir itu membuat tubuhnya menjadi tidak bisa dikenali.
“Nak, maafkan aku! Harusnya aku tidak menghubungimu tadi!” rengek sang Ibu, yang merasa sangat menyesal dengan apa yang ia lakukan terhadap anaknya tadi.
“Sudahlah, dokter sedang melakukan yang terbaik,” ujar suaminya yang berusaha untuk menenangkan hati Ibu Fang Leng.
SRAK!
Muncul sebuah cahaya putih, yang tidak bisa dilihat oleh siapa pun. Bahkan, orang tua Fang Leng pun tidak bisa melihatnya. Dari dalamnya, muncul sebuah roh yang ternyata adalah roh dari Fang Leng yang sedang mengalami koma saat ini.
Roh Fang Leng memandang ke arah orang tuanya, karena ia masih bingung dengan apa yang terjadi.
“Ibu, Ayah, kenapa kalian menangis?” tanya Fang Leng, yang merasa sangat bingung saat ini.
Walaupun sudah bertanya, tetapi mereka sama sekali tidak menjawab apa yang Fang Leng tanyakan pada mereka. Hal itu semakin membuat Fang Leng merasa bingung.
“Apa yang mereka tangisi, sih?” gumamnya, yang lalu mendekat ke arah mereka.
Tangannya ia lambaikan ke wajah ibunya, tetapi ibunya sama sekali tidak memperhatikannya dan tetap memeluk ayahnya.
“Hei Ibu! Kenapa Ibu menangis?” tanya Fang Leng, yang masih juga belum direspon oleh mereka.
Fang Leng berpikir, kalau mereka tidak mendengar apa yang ia katakan. Namun, anehnya Fang Leng merasa sudah bertanya dengan suara yang lantang.
“Masa sih, mereka tidak mendengar suaraku? Aku sudah cukup lantang bertanya.”
Fang Leng memandang mereka dengan bingung, sampai ibunya melepaskan pelukannya dari ayahnya.
Ibunya memandang ke arah sebuah ruangan, yang di sana terdapat jasad Fang Leng yang masih terbujur kaku.
“Kau harus kuat ya, Nak! Ibu tidak ingin melihat kau mati lebih dulu!” gumam Ibu, membuat Fang Leng merasa ucapan ibunya terdengar sangat konyol.
“Apa yang kau katakan, Ibu? Aku masih di sini. Kau berbicara dengan siapa?” tanya Fang Leng, yang masih tidak dihiraukan oleh ibunya.
Sejenak Fang Leng terdiam, dan memandang ke arah ibunya memandang. Ia menoleh, dan menemukan seseorang yang tubuhnya dibungkus dengan perban secara keseluruhan. Peralatan medis pun terpasang rapi pada tubuhnya. Hal itu membuat Fang Leng berpikir sejenak.
Matanya ia tajamkan ke arah papan nama yang berada di ranjang pemuda itu. Ia membaca dengan saksama nama yang tertera di sana, kemudian mendelik kaget setelah mengetahui nama yang tertera di papan itu adalah namanya.
“Apa?!”
Fang Leng merasa tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia melihat dirinya sendiri, yang saat ini sedang terbujur di atas ranjang rawat rumah sakit.
Anehnya, ia melihat orang itu yang sudah terbungkus rapi dengan perban, persis seperti mumi. Ia merasa sangat ragu, kalau itu adalah raganya.
“Dia bukan aku!” gumam Fang Leng, yang lalu memandang dalam ke arah kedua orang tuanya yang sedang menangisi dirinya.
“Aku di sini, Ibu, Ayah! Jangan tangisi orang lain yang menjadi diriku! Mereka mungkin salah paham, dan mengira itu aku!” teriak Fang Leng, yang berusaha untuk meyakinkan kedua orang tuanya.
Karena tidak mendapatkan respon dari keduanya, ia pun kesal dan segera meraih tangan ibunya.
Matanya seketika mendelik, ketika ia mengetahui kalau dirinya yang tidak bisa menyentuh fisik dari orang tuanya. Hal itu membuatnya semakin tidak percaya dengan keadaannya saat ini. Tubuhnya bergetar, tangan dan kakinya lemas, sampai ia tidak memiliki tenaga lagi untuk menyanggah tubuhnya.
“Ya ampun! Ternyata ... aku terpisah dari ragaku?!” gumam Fang Leng, yang benar-benar baru mempercayai hal yang menimpa dirinya itu.
Sempat tak mempercayainya, Fang Leng kini hanya bisa menangis melihat keadaan yang menimpa dirinya. Tangannya mengeluarkan cahaya, yang hanya dirinya sendiri yang bisa melihatnya.
“Kenapa harus seperti ini?” gumam Fang Lie, yang merasa sangat bingung dengan apa yang terjadi dengannya.
Hal ini merupakan kejadian yang sangat langka, yang baru pertama kali ia rasakan.
Karena merasa sudah putus asa, Fang Leng pun pergi meninggalkan raga dan juga kedua orang tuanya di sana. Ia melangkah dengan gontai, tak tahu harus pergi ke arah mana. Ia hanya mengikuti ke mana kakinya melangkah. Bahkan, ia sampai menembus dinding, saking tidak bergairahnya dirinya.
Setelah menembus dinding, ia malah bisa berjalan terapung di udara, dan keluar dari gedung rumah sakit lantai 10 itu. Fang Leng masih belum sadar, kalau saat ini ia sedang berjalan di udara.
Beberapa langkah setelah menembus dinding, Fang Leng pun mendelik karena ia sudah menyadari dirinya yang melayang di udara sembari melangkah ke arah depan. Jantungnya berdebar dengan kencang, ia merasa dirinya sangat takut saat ini.
“Apa-apaan ini?!” pekik Fang Leng, yang berusaha untuk kembali ke arah tempat ia sebelumnya berjalan.
Di hadapannya kini hanya ada sebuah tembok gedung rumah sakit, sehingga membuatnya merasa ling-lung. Ia juga tidak bisa mengelak dari tembok itu karena ia berlari dengan sangat kencang, sehingga membuatnya semakin takut saja karenanya.
“Wow tembok!!” teriaknya, yang berusaha untuk menghindari tabrakannya itu, tetapi karena terlalu cepat ia berlari, ia jadi tidak bisa menghindari dinding tersebut.
“Ah!!” teriaknya, yang terhenti seketika saat ia menyadari kalau tidak terjadi apa pun dengan dirinya saat ini.
Fang Leng membuka matanya perlahan, saking bingungnya dengan keadaan yang ia alami itu. Kondisi tangan dan tubuhnya baik-baik saja, bahkan tidak ada luka sedikit pun pada tubuhnya. Namun, ia berhasil untuk masuk kembali ke dalam ruangan rumah sakit.
“Aku tembus pandang? Aku bisa menembus dinding dan berjalan di udara?!” pekik Fang Leng, yang merasa sangat aneh dengan dirinya saat ini.
Fang Leng jadi merasa, mungkin seperti ini orang yang sedang mengalami koma di rumah sakit. Ia jadi mengerti, adegan yang sering ia lihat di televisi tentang orang yang sedang mengalami koma, ternyata hampir sama dengan yang diceritakan di televisi. Fang Leng seakan memiliki kekuatan super saat ini.
“Ya ampun! Jadi seperti ini rasanya mengalami koma? Aku bisa bebas melakukan apa pun di luar nalar dan pikiran?” gumam Fang Leng, yang merasa sangat aneh dengan keadaan dirinya saat ini.
Senyumnya sedikit menyungging, “Lalu aku tidak perlu lagi mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan guruku! Aku bisa dengan mudahnya melakukan apa pun di dunia yang baru ini!” teriak Fang Leng, yang merasa sangat senang dengan keadaannya saat ini.
Yang ia pikirkan justru adalah hal-hal seperti beban yang ia tanggung, bukan malah memikirkan perasaan orang-orang yang menyayanginya.
Fokusnya teralihkan, ketika ia mendengar suara gemuruh seperti kembang api yang diledakkan ke langit. Fang Leng yang sedang berada di dalam gedung rumah sakit, seketika berlarian ke arah luar dengan cara menembus dinding kembali.
Matanya tertuju pada sebuah benda langit yang mirip seperti meteor, yang saat ini sedang bergerak jatuh ke suatu tempat yang ada di bagian utara dari tempat ia berada. Ia merasa sangat penasaran, dan kebingungan dengan benda yang terbang itu.
“Itu benda apa? Kenapa seperti meteor?” gumam Fang Leng, yang merasa sangat penasaran dengan apa yang ia lihat itu.
Karena merasa sangat penasaran, Fang Leng pun berlarian di udara untuk pergi ke tempat yang meteor itu tuju. Kecepatan lari Fang Leng pada kondisi seperti ini, sama dengan 10x lipat lebih cepat dari kecepatan larinya pada saat ia masih berada di dalam raganya.
Mungkin karena jiwanya tidak memiliki berat, sehingga ia bisa dengan mudahnya melakukan itu semua yang mungkin di luar nalar dari yang kita pikirkan.
Beberapa saat berlalu, Fang Leng berhasil sampai di tempat yang meteor itu tuju. Suara ledakan yang keras, membuat Fang Leng sampai terkejut dan hampir kehilangan keseimbangannya.
Fang Leng memandang ke arah meteor yang jatuh itu, dengan cara saksama. Karena kabut tebal yang menutupi pandangannya, membuatnya tidak bisa melihat dengan jelas keadaan yang ada di hadapannya saat ini.
“Kabut asapnya tebal sekali! Aku tidak bisa melihat dengan jelas!” gumam Fang Leng, yang masih berusaha untuk menghindari paparan kabut asap yang tebal itu, supaya tidak langsung mengenai matanya.
Perlahan asap itu menghilang, sehingga Fang Leng bisa mengatur pandangannya ke arah meteor yang jatuh itu. Pandangannya terus ia fokuskan pada meteor itu, dan ternyata ia melihat sebuah telur raksasa yang ada di hadapannya.
Telur raksasa itu sontak membuat Fang Leng terkejut, sehingga ia tidak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa mendelik, sambil berusaha mencerna keadaan yang baru saja terjadi di hadapannya.
Fang Leng menggelengkan kecil kepalanya, “Aku tahu kalau saat ini aku sedang berada di alam yang bukan semestinya. Tapi, apakah harus aku melihat meteor jatuh seperti ini? Apa nantinya akan muncul berita di televisi tentang meteor dan juga telur raksasa ini?” gumamnya yang merasa tidak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini.
Kejadian aneh yang baru-baru ini ia rasakan, membuat Fang Leng tidak tahu batasan antara dunianya saat ini dan juga dunia para manusia. Tabir itu seakan tembus pandang, dan terlihat tipis di pandangan Fang Leng.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!