Pesta pernikahan yang di gelar dalam waktu singkat tidak menimbulkan celah tak sempurna. Semuanya berjalan dengan sangat apik. Gedung pernikahan di dekorasi dengan bunga mawar putih. Deretan papan bunga bertuliskan Happy wedding Ignazio Demetrios & Fiona Havelaar.
Dua pengantin menyambut para tamu undangan dengan senyum yang merekah, di hari yang sangat membahagiakan semua tamu undangan ikut merasakan kebahagiaan pengantin.
Semua para tamu undangan menikmati hidangan mewah, pesta pernikahan tersebut berjalan dengan sempurna hingga akhir.
Gaun pengantin wanita yang lebar bergoyang ke sana kemari saat sang pemilik berjalan dengan langkah tergesa. “Ibu.”
Averyl membalikkan tubuhnya ke belakang saat mendengar panggilan dari suara putrinya. “Ada apa Fiona?”
“Ibu mau ke mana?”
Averyl memandangi putrinya yang tampak cantik dan anggun. Rasanya ia betah melihat putri kesayangannya seperti ini terus menerus. Tapi ia harus sadar jika putrinya yang urakan tidak mungkin berpenampilan rapi layaknya wanita pada umumnya. “Ibu mau menemui Ayah.”
Belum dua puluh empat jam sarung tangan dari bahan tile yang menyelimuti jemari lentiknya di buka paksa oleh Fiona. “Merepotkan saja.”
Manik Averyl bergerak mengikuti sarung tangan tersebut yang di buang oleh Fiona dan mendarat di lantai.
“Ibu jangan melihatku seperti itu, acaranya hampir selesai.” Sebelum ibunya mengeluarkan petuah Fiona lebih dulu membela diri.
“Ke mana suamimu? Harusnya pengantin baru tetap bersama.” Kepala Averyl menengok ke kanan dan kiri mencari keberadaan menantunya.
“Sedang berbicara empat mata dengan Papa,” jawab Fiona. Ia duduk pada kursi yang ada di sebelah kirinya.
Averyl memijat kepalanya kala matanya melihat Fiona melepaskan sepatu berhak dengan tinggi delapan centimeter. Dan memilih berjalan tanpa alas kaki meninggalkan Averyl. “Fiona kamu mau ke mana?”
“Ganti baju,” jawab Fiona sedikit berteriak.
Dari arah timur Filio berjalan dengan menggandeng istrinya yang tengah hamil besar.
“Kamu lihat sendiri kan sikap adikmu itu,” keluh Averyl.
“Ibu tak usah pikiran Fiona, anak itu memang lain,” jawab Filio. Razita hanya tersenyum ramah pada ibu mertuanya.
“Dua puluh lima tahun ibu bersamanya tapi sampai saat ini ibu masih tidak mengerti cara berpikirnya.” Ada banyak hal yang sangat di sayangkan Averyl, ia merasa gagal menjadi seorang ibu. Bahkan Averyl merasa ragu dengan keputusan suaminya menikahkan anak bungsu mereka. Padahal Fiona belum cukup pantas untuk menjadi seorang istri, yang ia takutkan menantunya Zio tidak bisa menerima sikap kekanakan Fiona.
“Ibu kami pamit ya,” ucap Razita seraya memeluk tubuh Averyl sebagai salam perpisahan mereka.
“Hati-hati ya. Fio jaga Razita, sekarang kalian tinggal menunggu waktunya tiba.”
“Iya Bu.”
Averyl memandang kepergian putra dan menantunya. Ia sedikit khawatir dengan kondisi Razita, HPLnya tinggal dua hari lagi namun belum ada rasa mulas.
Fiona berdiri di depan kamar pengantin. Helaan nafas keluar dari mulutnya, ia menempelkan kartu untuk membuka kuncinya.
Tangan Fiona mendorong knop pintu, ia masuk. Fiona cukup terkejut melihat kamar tersebut tidak seperti kamar pengantin pada umumnya.
Fiona mengangkat bahu acuh, tidak ingin memikirkan kamar romantis untuk pengantin baru. Menurutnya ini lebih bagus, itu artinya tidak ada malam pengantin.
Fiona berjalan menuju koper miliknya yang berada di dekat tempat tidur . ia membuka koper tersebut untuk mengambil kosmetik miliknya. Dengan cepat Fiona membersihkan wajahnya yang terasa tidak nyaman karena balutan makeup.
Selesai dengan urusan wajahnya Fiona mulai membuka riasan rambutnya, dan menggerai kembali rambutnya yang di sanggul. Fiona melepaskan gaun pengantinnya dengan susah payah.
“Huuh, merepotkan sekali,” keluh Fiona. Ia masuk ke dalam kamar mandi. Menyimpan pakaian dalamnya ke tempat cucian kotor.
Fiona berdiri di bawah shower, air hangat terasa memanjakan tubuhnya. Tangan Fiona bergerak membantu air masuk ke dalam kulit kepalanya.
Fiona menuangkan sampo ke telapak tangannya, menggosoknya hingga menimbulkan busa baru ia taruh ke rambut.
Selesai dengan urusan rambutnya, Fiona mulai mengusap sabun dari leher lalu bergerak ke tangan kanan dan kiri, ia mengusap sabun pada gundukan kenyalnya. Tangannya semakin turun ke bawah mengusap seluruh tubuhnya.
Fiona memutar keran shower, hingga airnya keluar lebih deras dari sebelumnya. Seluruh sabun yang ada di tubuhnya luruh ke lantai dan masuk ke dalam saluran pembuangan air.
Selesai membilas tubuhnya, Fiona balik badan untuk mengambil handuk. Manik Fiona membola kala pandangannya bertemu dengan manik hitam milik Zio.
Fiona baru tersadar jika kamar mandi tersebut hanya di sekat oleh kaca bening, yang jelas siapa saja bisa melihatnya dari dalam kamar. “Huaaaa dasar mesum, tutup matamu!” Titah Fiona, ia segera menutupi bukit kembar serta bagian intimnya dengan telapak tangan. Bukannya menurut Zio malah menampilkan senyum yang terlihat sangat mesum di mata Fiona.
Fiona berjongkok untuk menutupi tubuhnya sementara. Matanya meneliti sekitar. “Sial, tidak ada handuk di sini,” batin Fiona.
Ignazio bangkit dari duduknya, ia membuka pintu kamar mandi. Tangannya terulur untuk memberikan handuk persegi panjang pada istrinya.
Fiona menerimanya. “Berbalik, jangan melihatku.”
Ignazio menurut, bahkan ia keluar dari kamar mandi dan duduk kembali di tempatnya.
Fiona keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang terlilit handuk. Matanya memerah karena marah, apalagi Iganzio duduk dengan santai menikmati tetesan terakhir dari segelas anggur.
“Sejak kapan kamu memperhatikanku?” Fiona berkacak pinggang dengan mata melotot.
“Sejak kamu membasahi tubuhmu.”
Fiona malu bukan main, Ingnazio sudah melihat seluruh tubuhnya. Tangannya melayang hendak menampar pipi suaminya. Namun tangannya di tahan oleh Ignazio.
Ignazio bangkit dari duduknya, ia mendorong tubuh Fiona hingga bagian atas tubuhnya jatuh ke atas tempat tidur.
Ignazio mengungkung tubuh Fiona, kedua tangan Ignazio yang berotot menahan beban tubuhnya seraya mengunci kedua tangan istrinya. Manik hitamnya menatap Fiona lekat-lekat.
“Minggir!” bentak Fiona.
“Menurutlah gadis kecil. Atau malam ini juga, aku akan memberitahu keluargamu bahwa putrinya ini mengambil cuti kuliah untuk bekerja demi membantu perekonomian keluarga Aditama yang telah menghancurkan hidup ibumu. Bukan hanya itu bahkan putrinya ini mencintai suami orang.”
Dada Fiona bergemuruh, ancaman Ignazio berhasil membungkam mulut Fiona. Ia tidak menyangka Ignazio akan mengetahuinya.
“Jangan beri tahu orang tuaku. Tapi bisakah kita menundanya? Aku tidak siap,” Fiona berbicara dengan nada memohon, berharap Ignazio akan memberikan kelonggaran untuknya. Pasalnya ia tidak siap untuk melakukan hubungan in’tim dengan pria, ini pertama kali baginya.
Jemari tangan Ignazio menyingkirkan anak rambut yang menutupi bibir tipis Fiona. “Kamu. telah membangkitkan gair’ahku, dan kamu harus bertanggung jawab.”
***
Hallo 😊
Bagaimana tertarik enggak buat baca kisah Fiona dan Ignazio?
Kalian yang masih penasaran sama masa lalunya Filio wajib baca sih.
Kalau tertarik langsung tekan tombol love (subscribe) agar tidak ketinggalan update terbarunya. Dan jangan lupa dukungannya berupa like, komentar, hadiah dan permintaan update.
Sampai jumpa di bab selanjutnya 💕💕💕
Suara dering alarm dari ponselnya memaksa Fiona untuk bangun dari mimpi indahnya. Tangan Fiona meraba-raba ke arah samping tempat ia terbiasa menyimpan ponsel dengan mata terpejam. Yang ia temukan bukan benda pipih miliknya, tetapi benda keras seperti roti sobek mirip otot manusia.
“Apa yang kalu lakukan?”
Mata Fiona terbuka sempurna saat mendengar suara yang tak asing baginya. Kepala Fiona menengok ke samping, saat menyadari tubuhnya berdekatan dengan Ignazio. Fiona menjauh dan menutupi tubuh polosnya dengan bantal. “Aa ... Aku tidak sengaja.”
Tangan Fiona mencari keberadaan ponselnya yang terus berdering. Saat menyadari suaranya dari celah bawah tempat tidur Fiona turun dan mengambilnya. ‘Ketemu dosen killer, jangan sampai terlambat’ setelah membaca note pada alarmnya, sontak Fiona melempar ponselnya ke lantai dan segera masuk ke kamar mandi.
Fiona tidak memedulikan kamar mandi transparan yang akan di lihat Ignazio. Ia mandi secepat kilat dan kembali ke dalam kamar untuk memakai baju.
Fiona menarik tas, serta memasukkan ponselnya dan berlari keluar dari kamar meninggalkan Ignazio yang melongo di buat istrinya. “Apakah dia sedang kerasukan?” batin Ignazio.
Fiona menekan tombol lift dengan tidak sabar. Ia harus segera sampai di kampusnya tempat waktu.
Pintu lift terbuka Fiona segera masuk dan menekan tombol. Pintu lift terbuka di lobi ia berjalan dengan tergesa mencari taksi.
Fiona berlari menuju taksi yang sedang terparkir. Ia masuk dan duduk. Tidak lupa Fiona memberitahu sopir alamat kampusnya.
“Pak ngebut dikit dong. Bisa tamat nih riwayat saya kalau sampai terlambat.”
Fiona mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi temannya. “Feriska tolong dong print skripsi gue.”
[Kenapa Lo terlambat lagi?]
Fiona menatap jam tangannya. “Iya, mana lima belas menit lagi janji ketemu dosennya. Bantu gue ya please.”
[Untung gue lagi happy, oke gue bantu.]
“Makasih Lo memang sahabat terbaik gue.” Fiona menutup teleponnya, ia kembali melirik arlojinya.
“Pak ngebut dikit lagi aja. Ini masalah hidup dan mati.”
Sopir tersebut mengikuti instruksi penumpang, namun jalanan pagi itu cukup padat sehingga sopir mengendarai mobilnya dengan perlahan.
Sepanjang perjalanan Fiona memijat pelipisnya kala jam di tangannya terus berputar cepat sementara laju mobilnya selamban siput.
“Aargh!” erang Fiona. Tangannya menggenggam kuat-kuat ponsel di tangannya.
Begitu sampai Fiona membayar biaya taksi. Keluar dari mobil dan berlari menuju ruang dosen. Jarak dari gerbang menuju ruang dosen dapat di tempuh dengan waktu lima menit jika lari cepat.
Feriska melambai-lambai dari kejauhan saat melihat sahabatnya berlari.
Fiona menghentikan langkahnya begitu sampai di depan ruang dosen. Nafasnya tersengal-sengal. Ia duduk menyelonjorkan kakinya yang terasa kebas.
“Lo ketemu pak Yugiono masih berani terlambat? Mau mati berdiri Lo?”
Fiona mengambil alih skripsi yang di pegang Feriska. “Berisik ah, tunggu sini jangan kemana-mana!”
Fiona menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia melatih bibirnya untuk menampilkan senyum terbaiknya. “Lo pasti bisa,” ucap Fiona menyemangati dirinya sendiri.
Feriska mengetuk pintu ruang dosen tanpa seijin Fiona.
“Kenapa main ketuk aja, gue belum siap,” keluh Fiona.
“Udah sana cepat masuk,” ucap Feriska enteng.
Fiona ingin menjambak rambut sahabatnya yang menyebalkan. Dengan dada yang berdebar Fiona menekan knop pintu dan mendorongnya hingga pintu ruang dosen mulai terbuka.
Pandangan Fiona seketika langsung bertemu dengan manik Yugiono, Dosen killer berusia setengah abad yang kini membalas tatapannya.
Fiona berjalan dengan menunduk. Ia mengangkat kepalanya, seraya memberikan senyum terbaiknya. “Ma-“ Ucapan Fiona di potong oleh Yugiono
Yugiono menunjuk arlojinya ke depan mata Fiona. “Dua puluh lima menit, lewat empat puluh detik saya menunggu kamu!”
Dada Fiona semakin bergemuruh tak jelas. “Maaf pak saya tidak akan mengulanginya lagi. Ini skripsi saya, mohon koreksinya.”
Dosen tersebut menerima skripsi milik Fiona. “Saya harus mengajar, besok pagi temui saya lagi.”
Yugiono menyimpan skripsi Fiona di atas mejanya dan meninggalkan Fiona yang masih mematung di tempatnya.
Tangan Fiona mengepal, andai ini bukan semester terakhirnya ia tidak akan repot-repot mengurusi skripsi.
Fiona keluar dari ruang dosen dengan wajah lesu. Feriska menyambut kedatangan sahabatnya. “Gimana aman kan?”
“Aman apanya, mati gue!” Fiona berjalan menuju kantin, tenggorokannya terasa sangat kering.
Fiona membeli satu botol air mineral dan duduk bergabung bersama temannya Anthony dan Demian.
Feriska ikut duduk di samping Fiona, ia mengeluarkan kotak ponsel keluaran terbaru. “Kalian harus saksikan acara unboxing hp iPhone terbaru milik Feriska yang bahkan belum rilis di negara kita.”
“Dari siapa?” tanya Anthony.
“Paling dari On senang,” timpal Demian.
“Seratus buat Lo Dam.” Feriska membuka handphone barunya yang masih terbungkus sempurna.
“Gue kayaknya harus cari Tante gatel deh biar bisa hidup glamor. Lo ada kenalan enggak Anthony?”
Anthony mengeluarkan kotak makan yang ia bawa. “Gak ada. minta sana sama Feriska.”
“Kalau om gua masih ada cadangan tapi kalau Tante, gak punya.”
Fiona mengambil satu potong kue saat Anthony menyodorkan kotak bekalnya. “Enak, gue suka,” puji Fiona. Anthony memang jago dalam hal memasak.
“Mau liat dong om senang Lo, ganteng enggak?”
Mendapat pertanyaan dari Damian wajah Feriska memerah ia mengeluarkan ponsel lamanya dan menunjukkan foto om senangnya. “Tampan banget kan,” puji Feriska.
Fiona fokus menghabiskan kue, sementara pikirannya melayang memikirkan skripsinya. Ini semester terakhir yang di berikan kampusnya untuk Fiona, jika ia tidak lulus tahun ini Fiona akan di DO.
Anthony hanya melirik sekilas, sementara Damian mengambil ponsel Feriska dan memandangi foto tersebut. “Tampan juga, tapi sayang tuir. Lo gak jijik apa waktu anu sama dia?”
Pipi Feriska memerah. “Otot dia beuh kekar banget, belum lagi goyangannya bikin gue melayang. Aaaaa gue enggak bisa lupa.”
Tanpa mereka ketahui pria yang menjadi om senang Feriska adalah CEO MA Group, pria yang telah beku hatinya karena kehilangan istri dan calon keturunannya dalam waktu bersamaan.
Fiona teringat akan janjinya bertemu dengan Rangga. “Gue cabut duluan ya,” pamit Fiona pada semua temannya.
“Jangan bilang Lo mau ketemu dia lagi? Move-on dong Fiona!”
Fiona menampilkan deretan giginya. “Ini yang terakhir kalinya, gue janji.”
Feriska memandang kepergian Fiona dengan rasa tidak rela. “Anthon kapan Lo maju, biar Fiona gak ngejar-ngejar lakik orang lagi.”
Anthony memasukkan kue suapan terakhirnya. “Nanti kalau dia sudah bisa liat gue.”
Damian menepuk pundak Anthony. “Yang sabar ya Ton. Usahamu tidak sekeras bagian bawahmu.”
Anthony meninju baju Damian pelan. “Lo udah pantes jadi simpanan Tante girang.”
“By the way gua mau tanya pendapat kalian dong,” ungkap Damian.
“Tanya soal apa?” sahut Feriska.
“Gue butuh duit nih, seratus juta. Ada yang mau minjemin gak?”
“Kalau Cuma dua puluh juta gue ada, mau?” tawar Anthony.
“Kurang Ton. Butuh buat bayar utang judi bokap.”
Feriska menunjukkan wajah kesalnya. “Gak usah di bantu lah. Bokap Lo keenakan.”
“Masalahnya kali ini rumah yang bakal di sita. Kemarin ada cewek yang minta gue tidur sama dia, lagi hamil gede. Gila sih kayaknya cewek tuh, Cuma gue butuh duitnya.”
“Mana liat foto ceweknya?” pinta Feriska.
Mata Feriska memandang layar ponsel yang di tunjukan Damian, ia terlonjak kaget. “Lo gila, dia istrinya saudara kembar Fiona.”
Fiona turun dari taksi tempat mereka bertemu. Kali ini Fiona datang lebih cepat dari biasanya.
Mobil-mobil berjejer rapi di lapangan tempat parkir. Fiona hafal betul plat nomor Rangga. Ia berjalan dengan langkah sedikit tergesa-gesa. Namun langkahnya terhenti, jarak antara mobil Rangga dan Fiona hanya tiga meter. Ia bisa melihat dengan jelas aktifitas di dalam mobil. Rangga tengah ciu’man bersama wanita.
Fiona berjalan mendekat dengan langkah pelan, tidak ingin mengganggu mereka agar Fiona dapat memergoki mereka. Yang membuat Fiona heran postur tubuh dan rambut wanita tersebut berbeda dari istrinya Rangga.
Sesampainya di samping mobil Fiona menggedor pintu penumpang. Mereka melakukan kegiatan panasnya di kursi belakang.
Aktivitas Rangga dan wanita tersebut berhenti. Wanita tersebut membalikkan tubuhnya untuk melihat siapa yang berani mengganggu kegiatannya.
Wajah Fiona memerah, menahan amarah saat melihat wajah Razita. Fiona kembali menggedor pintu tersebut. “Buka!”
Razita keluar dari mobil ia mendorong tubuh Fiona hingga tubuhnya membentur mobil yang terparkir di samping mereka.
Tanpa ragu Razita mencekik leher Fiona. “Jangan bicara apa pun pada Filio," ancam Razita.
Fiona mendorong balik tubuh Razita. “Memangnya kenapa. Kamu takut Filio menceraikan kamu, atau anak yang kamu kandung bukan darah daging Filio?”
“Fiona lepaskan, Razita sendang mengandung." Rangga mencoba melerai mereka.
Fiona menatap tajam ke arah Rangga, ia tidak menyangka pria yang selama ini ia cintai dalam diam ternyata berselingkuh dari istrinya sendiri.
Fiona melepaskan tangannya dari leher Razita ia berjalan meninggalkan dua orang yang telah menghancurkan hatinya.
Sampai di tepi jalan, Fiona menghentikan taksi lalu masuk dan duduk di belakang. Tangannya yang gemetar menahan rasa sesak mengambil ponselnya dari dalam tas.
Fiona mencoba menghubungi Filio. “Fio kamu ada di mana?”
“Ada di kantor, kenapa?”
Rasa sakit di hatinya berhasil meluncurkan satu tetes air mata Fiona. “Aku ke sana ya.” Fiona segera menutup teleponnya, ia tidak ingin Filio mendengar tangisannya.
Hati Fiona terasa hancur, ia sudah cuti selama dua tahun tanpa sepengetahuan Ayahnya demi bekerja membantu biaya perawatan Aditama. Bahkan ia juga merelakan perasaannya saat Rangga memilih menikah dengan wanita lain.
Tapi kenapa Rangga harus berselingkuh dengan Razita, wanita yang sangat Filio cintai.
Taksi yang di tumpangi Fiona sampai di gedung Havelaar Goup. Fiona langsung menaiki lift untuk sampai di lantai khusus CEO.
Fiona di sambut hangat oleh senyuman sekretaris Filio. Ia masuk ke dalam ruangan Filio. “Fio,” panggil Fiona.
Filio menutup berkas yang sedang ia pelajari. “Ada apa?” Filio meneliti wajah Fiona yang tampak sembab.
“Kamu kenapa? Apa Zio menyakitimu?”
Fiona menggeleng ia berjalan dan duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Filio.
Manik Fiona menatap foto pernikahan yang ada di meja Filio. Fiona meremas sweater yang di kenakannya. “Kalau sampai orang terdekatmu berkhianat, apa yang kamu lakukan?”
Filio menatap lekat-lekat sang adik, tidak biasanya Fiona berbicara melantur. “Jika kesalahannya tidak bisa di maafkan, mungkin aku akan menghabisinya.”
Fiona menelan salivanya, ia tidak ingin kakaknya menjadi seorang pembunuh.
“Apa Zio mengkhianatimu?”
Kepala Fiona menggeleng. “Aku di khianati temanku,” ungkap Fiona agar Filio tidak berpikir macam-macam tentang suaminya.
“Siapa, aku akan mengurusnya segera.” Filio mengeluarkan ponselnya hendak menghubungi seseorang.
Fiona mengambil alih ponsel Filio. Hati Fiona teriris saat melihat wallpaper yang di gunakan Filio juga foto pernikahan.
Filio bangkit dan memeluk adiknya. Ia tahu ada sesuatu yang sedang terjadi pada Fiona, bahkan wanita yang terlihat urakan dan baik-baik saja kini menangis dalam pelukannya.
Fiona merasa mendapat tempat ternyaman untuk menumpahkan air matanya, hatinya sangat sesak akan penghianatan yang di lakukan Rangga dan Razita.
Fiona menyesal menangis di dalam dekapan Filio, selama ini ia tidak pernah menunjukkan sisi cengengnya di hadapan sang kakak. Tapi kini ia merasa sedikit lebih tenang dari sebelumnya.
“Kamu pergi ke sini sama siapa?”
“Naik taksi.” Fiona melepaskan pelukannya. Ia mengambil tisu dan membuang ingusnya.
“Zio ke mana, tidak mungkin dia bekerja di tengah cuti pernikahannya.”
“Aku meninggalkannya di hotel. Aku lupa kalau pagi ini ada janji bimbingan dosen. Kalau aku enggak sanggup kerjakan skripsi, kamu yang kerjakan ya Fio.”
Filio menatap tajam sang adik. “Kamu ke sini nangis-nangis cuman buat nyuruh aku kerjain skripsi?”
Fiona mengangguk dengan senyum lebarnya. “Ya Filio ganteng kesayangannya Fiona, bantu adikmu yang malang ini.”
“Enggak, minta bantuan suamimu saja,” tolak Filio.
Bibir Fiona mengerucut. Saat dering ponselnya menyala Fiona menerima panggilan dari Ignazio. “Ada apa?”
[Kamu di mana?]
“Di ruangan CEO Havelaar Group.”
[Tunggu di sana, jangan kemana-mana. Aku akan menjemputmu.]
“Oke.” Fiona memilih duduk di sofa yang ada di ruangan Filio. Ia fokus berchating ria dengan Feriska.
Filio bangkit dari duduknya ia berdiri menyambut kedatangan adik iparnya.
Ignazio masuk ke ruangan Filio dengan santainya. Ia cukup terkejut saat Filio tiba-tiba memukul wajahnya.
“Seharusnya aku tidak menyetujui pernikahan kalia. Baru satu hari saja kau membuat Fiona menangis.” Filio mengeluarkan kekesalannya pada Ignazio yang tidak becus mengurus adik kesayangannya.
Fiona menghampiri Filio. “Fio kenapa kamu salah faham sih, ini semua bukan salah Zio.”
Ignazio menatap tajam istrinya. “Nanti aku jelaskan di rumah," ucap Fiona.
Fiona menarik lengan Ignazio keluar dari ruangan Filio. Sementara Filio menatap heran pada pasangan tersebut. “Ah, seharusnya aku tidak mencampuri urusan mereka.”
Ignazio mengimpit tubuh Fiona pada pintu ruangan Filio. “Kau harus membayar pukulan ini,” jari Ignazio menunjuk pipinya yang memar akibat pukulan Filio.
Sekarang Fiona menyesal menemui Filio dan menangis di pelukan saudara kandungnya itu.
Fiona menghentikan gerakan Ignazio yang hendak menyambar bibirnya. “Jangan di sini, memalukan.”
Fiona mendorong tubuh Ignazio. Ignazio menyeringai, ia berjalan mengikuti langkah Fiona yang masuk ke dalam lift.
Ignazio dan Fiona sampai di basemen, mereka masuk ke dalam mobil. Hari ini Ignazio tidak bersama asisten pribadinya. Dia memilih menyetir mobilnya sendiri.
Fiona duduk dengan tenang di kursi penumpang tepat di samping kursi kemudi. Ia memperhatikan lampu jalanan yang berubah merah.
Fiona melirik ke arah kirinya, ia terkejut saat melihat mobil yang berada tepat di sampingnya milik Anthony. Kaca mobil Anthony terbuka, ia tengah menghisap pave. kepulan asap menyembur ke udara.
Fiona memalingkan wajahnya menghadap Ignazio. Ignazio menatap tingkah sang istri yang seperti ketakutan. Karena rasa penasarannya Ignazio membuka kaca mobil Fiona untuk melihat apa yang membuat Fiona ketakutan.
Tangan Fiona meraba-raba tombol untuk menutup jendela mobilnya. Setelah dapat ia segera menekannya hingga jendela mobilnya mulai tertutup.
Ignazio yang masih penasaran kembali membuka jendela mobilnya. Tidak ada yang mencurigakan, di samping mobil mereka hanya ada pria yang tengah menghisap pave.
Anthony merasa terganggu dengan mobil yang ada di sebelahnya mempermainkan jendela mobil. “Apa kau terganggu dengan asap paveku?”
Dada Fiona berdebar hebat, ia tidak ingin Anthony melihatnya saat bersama Ignazio. Ia menekan kembali tombol untuk menutup jendela mobilnya. “Jangan di buka lagi!” tegas Fiona.
“Kau berani memerintahku?”
Fiona menyesal mengeluarkan nada memerintah kepada suaminya. “Aku tidak sengaja.”
“Lihat saja aku akan mengurungmu semalaman, hingga kau tidak bisa berjalan dengan benar!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!