NovelToon NovelToon

The Guardian

Hari di mana semua di mulai

Pemandangan rutin Jaiden dan pemilik wajah yang sama denganku sedang adu mulut selalu menjadi ucapan selamat datang untuk menyambut pagiku. Aku selalu bertanya kapan kesabaran mom yang mengagumkan itu akan habis dan memutuskan untuk melemparkan keduanya ke kawanan para ROUGE. Jika itu terjadi aku akan sangat mendukungnya. Mengesampingkan pasangan musuh bebuyutan itu, mom berdiri sibuk dengan api yang membuat sayuran malang di dalamnya mendesis kepanasan. Kurasa jika mereka bisa bicara, mereka tentu akan melayangkan protes pada mom perihal nasib tragis yang sedang menimpanya sekarang.

“Berhentilah membuat kegaduhan yang tak perlu dan kau Azu, jangan berdiri diam saja di sana.” Mom masih sempat menegurku di antara kegiatan sibuknya. Tangannya berkelana kesana – kemari bersama mulutnya mengoceh tanpa henti.

Dad masih belum menunjukkan dirinya atau mungkin dia sudah pergi lebih dulu. Apapun alasannya Dad masih absen, pikiran lainku mengatakan ia sengaja untuk menghilangkan diri agar tidak terlibat kegaduhan bodoh Jaiden dan Alison. Sejujurnya aku juga ingin menghindarinya jika bisa. Sudah berulang kali aku mencoba dan dengan berbagai cara. Sayang sekali aku belum menemukan cara jitu untuk melakukannya. Entah bagamana selalu saja Jaiden atau Alison menjegal niatku terlebih dahulu sebelum mampu merealisasikannya. Aku curiga kalau mereka sebenarnya menyembunyikan kekuatan seperti para Dark Guardian.

“Pagi little sister." Aku memutar bola mata bosan, memilih berpura-pura tidak mendengar sapaan Alison.

Sempat terbersit di benakku berkomplot dengan Jaiden untuk membalasnya. Dia pasti tidak akan menolak. Bukannya aku tak suka punya saudara terutama kembaran tapi dengan perlakuan Alison yang iseng dan membuat jengkel. Itu lain cerita, biarkan saja jika orang-orang menilaiku saudara yang buruk. Namun untuk saat ini aku harus menyingkirkannya dulu. Mengingat situasi dengan adanya Mom juga kemungkinan Dad yang belum hadir kuputuskan untuk menyingkirkan niat itu. Setidaknya untuk saat ini tergantung apakah Alison akan bersikap baik atau tidak kedepannya.

“Dimana Dad?" tanyaku menatap kursi kosong di ujung meja.

"Masih tidur mungkin!" Alison menjawab asal dan terkesan tak peduli.

Jadi itu alasan lain dan sebenarnya mengapa mom tampak begitu kesal. Pasangan tercintanya lebih memilih untuk tetap berada dibalik selimut.

:Selamat pagi.” Jaiden menyapa terlambat ditengah kunyahannya. Enggan membuang suara aku membalas dengan anggukan sebagai gantinya.

Jaiden weston – AKA shifter inseminasi, ia kakak laki-lakiku yang nomor dua. Ia dua tahun di atas kami, ramah, baik hati, sangat menyayangi keluarga – minus Alison, jago berkelahi dan calon WARRIOR masa depan. Keahlian khusunya adalah mampu belari dengan sangat cepat dan hobinya adalah berdebat dengan Alison. Itu juga termasuk keahlian bahkan lebih khusus karena ia hanya melakukan hal tak berguna itu pada Alison. Jaiden mirip dengan mom secara garis besar. Rambut ikal pirang emasnya, hidungnya, bibirnya, hanya saja matanya sama dengan ayahku. Jaiden mulai mengambil roti dan meletakkanya di piring. Ketika hendak mengambil selai tangan Jaiden tanpa sengaja bersentuhan dengan tangan Alison yang juga akan mengambil selai dengan rasa yang sama.

"Yang tua lebih dulu," ucap Jaiden yang di respon dengan pelototan tak terima dari Alison. Aku menatap keduanya malas tak diragukan lagi sebentar lagi perang babak kesekian antar shifter di meja makan ini akan berlangsung.

Alison memang gadis dengan semua hal baik di dalam dirinya kecuali jika sudah bertemu Jaiden. Maka semua hal tentang gadis populer dengan segudang skill yang dimilikinya itu akan menghilang berganti menjadi gadis galak,egois, keras kepala dengan tingkat kecerewetan melebihi Mrs. Sellin yang di nobatkan sebagai guru tercerewet di sekolah. Aku heran bagaimana keduanya selalu berdebat karena masalah sepeleh. Seolah mereka benar-benar musuh bebuyutan dan bukannya sepasang saudara.

"Ladies first." Alison melotot.

Jaiden mengangkat alis dengan seringai mengejek. "tidak berlaku bagiku," balasnya sambil memeletkan lidah seperti anak umur lima tahun. Nah kan apa kataku! Aku menghela napas lelah bersiap untuk hal selanjutnya yang tak kalah membosankan.

"Bisakah rutinitas bodoh itu dihilangkan?" Mom meletakkan mangkok sayuran rebus dengan hentakan keras, sengaja menambah kekuatan dalam prosesnya yang mana dimaksudkan sebagai Gong peringatan bagi kedua saudaraku, yang mana juga sama-sama diabaikan oleh mereka. Usaha setengah hati mom sangat sia-sia.

"Dan kamu …” Mom memindahkan atensi padaku, mengacungkan sendok. Dahinya berkerut dalam. “Cobalah melakukan sesuatu untuk meminimalisir keributan mereka. Aku akan menua lebih cepat jika terus begini.”

“Tidak membuang tenaga dengan percuma adalah moto hidupku, mom.” Berhubung usaha menghentikan atau minimal menghalau pertengkaran mereka termasuk penyia-nyian tenaga jadi aku menolak melakukannya. Setelah ini aku akan membutuhkan banyak tenaga nanti terutama untuk kelas pagi MS. Sellin. Selain itu jika memang pertengkaran bisa dihentikan hanya dengan meminta atau membentak sudah pasti keributan mereka tidak akan terjadi sampai hari ini.

Jaiden langsung menghadiahiku dengan jitakan kepala setelahnya. “Bagus sekali Azu. Aku baru tahu kalau berinteraksi dengan para saudara itu membuang tenaga.”

“Semestinya tidak, tapi itu tergantung dengan siapa atau bagaimana sifat saudara kita itu.” Bukan aku yang menjawab tapi Alison. “kalau itu sepertimu …,” ekpresi Alison berkerut masam dan cara pandangnya yang seakan tengah melihat sesuatu yang menjijikkan. “… kurasa Azu ada benarnya.”

Tangan Jaiden baru saja hendak menggapai dahi Alison ketika suara Dad terdengar menginterupsi satu paket dengan tangannya yang menahan niat Jaiden.

“Anak-anak, ini masih terlalu dini untuk saling mengadu fisik.” Dad menguap sebentar duduk dengan mata setengah tertutup.

“Apa terjadi sesuatu diperbatasan, Dad?”

Sikap Dad yang terlambat bangun sangat tidak biasa mau tak mau memunculkan pikiran aneh-aneh dikepalaku. .

“Ada beberapa anak nakal yang mencoba menerobos perbatasan, agak sedikit menyusahkan memang, tapi kami berhasil mengatasinya.”

Meskipun sudah melewati usia pensiun. Dad tetap menjadi seorang penjaga perbatasan. Ia bertugas di sector utara pack yang berbatasan langsung dengan hutan ROUGE. Wilayah itu biasanya relative aman, tidak seperti di sector-sektor lainnya yang terbilang berbahaya. Hanya beberapa kali terjadi serangan para ROUGE itupun bisa diatasi tanpa campur tangan para WARRIOR.

“Bukankah itu agak janggal?” Mom bergabung kre meja makan dan aku menangkap perubahan wajahnya yang sudah lebih baik. “terlalu banyak serangan untuk sector utara. Akhir-akhir ini.”

Praktis kami semua memandangi Dad menunggu penjelasan.

‘Tidak juga, seluruh perbatasan kan memang rentan terhadap serangan. Jadi bukan hal aneh.”

Aku menangkap kesan tidak jujur dari perilaku Dad tampaknya memang benar terjadi sesuatu di perbatasan, tapi apapun itu, Dad memutuskan untuk tidak mengatakanya pada kami karena alasan tertentu. Aku ingin mengonfrontasinya guna mencari tau lebih tapi Dad lebih cepat tanggap. Ia tampaknya menyadari niatku dan menghentikannya dengan cepat. Ia mengusir kami secara halus, mengingatkan kami tentang sekolah.

Setelah berhasil membebaskan diri dari perdebatan lanjutan Jaiden dan Alison mengenai dengan siapa aku seharusnya berangkat. Aku berangkat sendirian dan langsung menyesalinya begitu saja ketika melewati wilayah reruntuhan kuno. Aku tidak tahu sudah sejak dari waktu kapan reruntuhan tua yang tinggal berupa pilar-pilar besar itu ada. Namun kesan seram yang menguar darinya selalu berhasil membuat rasa takutku timbul. Di dindingnya terdapat ukiran meliuk-liuk yang menurut teori Jaiden adalah huruf dalam bahasa kuno. Tidak ada satupun orang di pack yang mampu menterjemahkannya dan tidak ada orang yang cukup aneh untuk melakukannya juga. Namun yang pasti aku ingin segera melewatinnya secepatnya. Respon tubuhku terhadap pilar kuno itu sangat tidak bersahabat dan menjauhkan diri dari sana secepatnya adalah prioritas.

Tempat bernama sekolah yang akan kudatangi itu berada di atas bukit yang cukup tinggi. Membutuhkan lebih sekedar tenaga untuk mencapainya, tidak heran beberapa anak shifter yang cukup berani memilih untuk tidak datang. Ketika aku bertanya apa alasan –siapapun pemilik ide yang membangun sekolah itu memilih atas bukit sebagai lokasinya. Jaxon saudara tertuaku berkata itu sebagai latihan. Serangan para ROUGE tidak dapat diprediksi kapan datangnya. Bersiap diri sedini mungkin meski cuma melarikan diri itu di perlukan dan jalan terjal ketika mendaki bukit sebagai latihan adalah bentuk persiapan dasarnya. Setiap kali mengingat hal itu membuatku muram terus-terusan dan fakta menyedihkan bahwa aku masih harus melewati itu semua untuk beberapa bulan lagi itu sudah membuatku lelah duluan.

Pintu gerbang pertama berupa jalanan bebatu, terjal dengan kemiringan cukup esktrim untuk wujud manusia.

Aku berjalan dengan segenap tenaga yang kupunya, menjaga diri sebaik mungkin dari segala kemungkinan kecelakaan yang terjadi. Berhubung jalan ini berfungsi ganda sebagai tempat latihan ketahanan fisik bagi anak-anak shifter ada banyak kecelakaan kecil terjadi. Beberapa murni oleh alam, tapi ada juga yang terjadi gara-gara anak nakal yang sengaja mengisengi anak-anak lain. Sala satu dari mereka adalah Brian teman sekelasku yang saat ini sudah berdiri dengan niat jahat yang terpampang jelas di wajahnya itu. Ini terlalu berisiko, pikirku berhenti secara mendadak.

"Apa kau sedang menungu seseorang?”." Grace teman baikku menyapaku dengan wajah ngantuknya. Ia berasal dari desa selatan yang hobinya bangun terlambat.

“Lebih tepatnya sedang menunggu bajingan kecil itu menemukan targetnya,” kataku memandang Brian dan anak buahnya dengan penuh kemarahan. Aku tidak akan mejadi korban lagi, tidak hari ini maupun seterusnya. Aku pernah sekali menjadi target dan menerima cukup banyak kerusakan di tubuh, membuatku secara pemanen selama semingu berada di rumah perawatan para tabib.

“Kurasa itu tidak diperlukan.” Grace menguap lebar membuat wajah ngantuknya terlihat lucu.

Aku baru saja hendak bertanya mengapa, tapi suara lantang bernada peingatan dan memerintah tiba-tiba terdengar. Pemiliknya tentu saja guru tersayangku yang memiliki hobi aneh dalam memberikan hukuman sekaligus guru yang terkenal akan kecepatan mulutnya jika sudah berurusan dengan memarahi, dalam konteksnya menasehati kami, MISS. SELLIN.

Semua anak yang cukup malang berada dalam jarak dekat dengannya otomatis menciut layu. Mereka tertunduk dengan wajah-wajah pucat. Bahkan seorang gadis berbadan kecil yang rupanya menjadi objek omelannya sampai bergetar seolah akan menangis. Anak yang malang, pikirku bersimpati tulus, tapi tidak ada waktu untuk perasaan sentimental itu lebih lama, tidak ketika pandangan MISS. SELLIN menemukanku.

“Ayo Grace,” kataku buru-buru menarik lengannya. Untungnya di atas sana Brian beserta komplotannya sudah menghilang entah kemana.

Setelah melewati jalan terjal sepaket dengan bermandikan keringat, juga lelah secara fisik maupun mental kami akhirnya sampai di gerbang utama. Sekolah kami terdiri dari dua bangunan yang saling berhadapan, dengan lapangan yang berada di tengah sebagai pemisah. Masing-masing bangunan memiliki beberapa petak yang semua materialnya terbuat dari kayu. Gedung sekolahku berada di sebelah kiri lapangan, sedangkan gedung yang di sebelah kanan adalah sekolah khusus untuk mereka yang sudah dinyatakan lolos kualifikasi dan layak menjadi seorang WARRIOR. .

Setelah dari gerbang kami berbelok kesebelah kiri menujuh gedung sekolah kami. Hari ini koridor terlihat lebih ramai dari biasanya. Banyak anak-anak yang berdiri di sepanjang koridor membentuk kelompok-kelompok kecil dengan pembahasan yang terlihat sangat serius. Hal semacam ini memang sudah biasa, bisa dibilang rutinitas harian.

"Apa topik untuk pagi ini?" Aku bertanya sambil mengamati kelompok-kelompok penggosip itu.

"Para elite lagi mungkin. Biasanya kan selalu begitu," Grace menjawab malas.

Para elite adalah sebutan Grace untuk para WARRIOR beserta jajarannya yang dimaksudkan untuk mengolok-olok pangkat mereka. Entah apa alasannya Grace tampaknya memiliki permasalahn tersendiri dengan para elite, yang dalam pandanganku lebih cocok dipanggil pagar penahan itu. Bukan bermaksud menghina tapi serius posisi mereka lebih mirip seperti pagar yang menahan segala serangan dari luar dengan nyawa sebagai taruhannya, tapi hari ini aku rasa yang dibahas bukanlah anggota elite.

"Hai girls, kalian sudah mendengar berita yang sekarang lagi hot-hotnya itu?" Floren berbicara nyaring di tengah-tengah kami, bahkan ia merangkul leherku dan Grace.

"Soal kaum elite lagi?" Grace bertanya bosan.

"bukan, kali ini soal...,”

"Serangan di sector utara," tebakku memotong ucapan Floren.

“Kau sudah tau? " Flo bertanya terkejut.

Meliriknya dari sudut mata aku mengangguk. “Dad mengatakannya tadi pagi."

"Lalu apa hubungannya dengan kita?" Grace bertanya tertarik.

"Sala satu ROUGE itu berhasil lolos dan melarikan diri ke arah pack kita, dan mungkin ia bersembunyi di sala satu rumah para shifter." Flo berbisik waspada seolah bahaya jika ada yang mendengarnya.

"Jadi kita hanya harus waspada,” kataku mengakhiri pembahasan dan menutup kesempatan untuk gossip lainnya dengan berjalan lebih dulu, diikuti Grace.

Kami bertiga berjalan menujuh kelas dengan Flo yang cemberut masam, secara suka rela membuang semua berita panas yang ada dikepalanya, ketika kami tidak menanggapi sedikitpun apapun yang dibahasnya. Sekedar informasi Flo itu adalah gadis yang mengetahui semua informasi terbaru di seluruh penjuru pack. Entah bagaimana semua informasi itu bisa di dapatkannya. Bisa di bilang dia mata dan telingahnya para shifter biasa. Berbanding terbalik dengan Floren, Grace adalah tipe gadis galak dengan kemampuan bertarung yang cukup ahli, tapi sayangnya ia tidak mau menjadi WARRIOR atau sesuatu yang berhubungan dengan para elite, jadilah dia terdampar bersama shifter lembek seperti kami ini. Biasanya aku meminta Grace mengajariku bertarung, meskipun tidak akan bertarung di garis depan seperti para WARRIOR jika ada penyerangan, setidaknya aku bisa melindungi diri sendiri. Kami memasuki kelas yang sudah ramai dengan anak-anak shifter. Tak lama setelah aku dan Grace mendudukan diri di bangku pelajaran pun dimulai.

\*\*\*\*\*\*\*\*\*

Aku menelungkupkan kepalaku di meja dengan bosan ketika itu segera dikacaukan oleh suara benturan keras diikuti erangan sakit. Terdengar bunyi kursi yang dijatuhkan, aku mengangkat kepala kemudian menoleh ke asal suara kurasa semua anak di dalam kelas juga melakukan hal yang sama. Di sana Brian sedang berdiri berkacak pinggang sambil melotot ke arah Rome yang juga balas melotot padanya, tambahan sudut dahinya berdarah. Aku tidak tahu apa yang memicu terjadinya perselisihan, tapi mereka terlihat sangat serius ingin menerkam satu sama lain.

"Begitulah akibatnya jika menantangku?" suara Brian terdengar angkuh.

"Astaga tidak bisakah mereka berhenti membuat onar sebentar saja," Grace berkomentar malas melihat keduanya yang sudah menggulung lengan baju masing-masing dan siap memulai perkelahian.

Belum sempat aku menyahuti suara ribut dengan bunyi patahan kursi yang di banting berpadu dengan suara riuh anak perempuan yang berteriak menghindar. Jarakku dengan arena perkelahian dadakan itu cukup jauh jadi aku bisa menghindar dengan mudah ketika tas milik sala satu teman sekelasku melayang kearahku. Entah siapa yang melemparnya. Tidak ada anak laki-laki yang cukup berani untuk melerai perkelahian mengingat bagaimana sepak terjang Brian selama ini, dan anak perempuan sudah lebih dulu menjauh, menyelamatkan diri. Setelahnya seisi kelas menjadi sangat, sangat berantakan. Kursi-kursi yang semula rapi itu sudah tak karuan bentuknya, mungkin itu juga mengapa rata-rata bangunan para shifter terbuat dari material kayu. Jika perkelahian terjadi menggantinya dengan yang baru cenderung lebih mudah, tapi tetap saja aku menunduk menghindari beberapa benda yang di lemparkan oleh Brian ataupun oleh Rome.

Kupikir aku akan terjebak lebih lama lagi tapi untungnya suara teriakan dari arah pintu sukses menghentikan itu semua.

"Apa yang terjadi di sini?” Suara nyaring Mrs. Sellin terdengar mengerikan. Rupanya ada anak yang melaporkan keributan dan aku menduga itu Grace mengingat dia yang pertama menghilang. Ia berjalan mendekati keduanya dengan wajah mengerikan. Tamatlah riwayat kami.

Bayangan

Setidaknya itulah yang kuperkiraan. Belajar dari pengalaman selama ini, MISS. Sellin tidak pernah melewatkan kesempatan untuk memberikan hukuman pada anak-anak yang melakukan pelangggaran bahkan jika itu untuk sesuatu yang sepeleh, dan perkelahian disertai pengrusakan property kelas itu masuk pelanggaran kelas berat. Namun kekhawatiranku tampaknya agak berlebihan kali ini atau memang MISS. Sellin sedang salah makan hingga otaknya mengalami masalah. Alih-alih hukuman yang kami dapatkan hanyalah kediamannya. Maksudku ia masih melotot dan aura kemarahan masih memenuhi udara disekitarnya tapi cuma, sanggat janggal.

“Apa yang terjadi?” Flo berbisik sepelan yang ia bisa, menggendikkan bahu pada MISS. Sellin yang bertingkah tidak biasa. “Dia kerasukan apa?”

“Kenapa tidak coba tanya sendiri?” Godaku.”Kau kan ratu informasi.”

Floren melayangkan pelototan ganas dan wajahnya memasang ekpresi : kau sudah gila dan sebangsanya padaku.

“Aku hanya menyarankan.”

Namun tingkahnya hari ini sangat tidak biasa, bukan hanya MISS. Sellin tapi semua orang dewasa. Apa ini ada hubungannya dengan ROUGE dan sector utara yang terkena serangan mendadak ya?

Ketika akhirnya MISS. Sellin mendapatakan suaranya lagi, ia memerintahkan kami untuk mengungsi ke kelas sebelah yang saat ini tengah kosong karena kebetulan para penghuninya tengah menjalani sesi pelajaran lapangan. Tak lupa juga ia memerintahkan Brian dan Rome yang bertanggung jawab atas kekacauan untuk merapikan kelas saat jam istirahat sebagai hukuman.

Tingkah tak biasa MISS. Sellin rupanya terus berlanjut hingga jam pelajaran dimulai. Setelah menyuruh Brian untuk membacakan sejarah ZAMAN PERMULAAN, ia duduk diam sambil termenung, seolah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

‘Setelah perang darah dua ribu tahun lalu yang memakan banyak korban. Para shifter yang selama ini selalu hidup dalam baaing-bayang dan menjadi bagian dari eksesistensi yang diangga budak. Kaum Werewolf akhirnya menancapkan taring mereka di muka bumi dan itulah awal dari ZAMAN PERMULAAN.”

Brian mengucapka setiap bait kata yang tertera di buku dengan lantang dan hikmat. Tampak itu seperti datang dari jiwanya dan nada-nada bagian akhir yang penuh dengan kebanggaan. Seakan pembantaian beberapa tahun silam itu hanya sekedar pembersihan kuman yang menenmpel pada tanaman. Tidak heran mengapa perangai para shifter muda sekarang mudah tersulut emosi dan selalu menyelesaikan segala sesuatunya dengan kekerasan.

Entah kenapa itu benar-benar menyedihkan untuk didengar ?" Grace berbisik, bola matanya bergulir cepat antara menatapku dan mewaspadai MISS. Sellin di depan kelas.

"Apanya?"

Masih mengawasi Brian yang mulai memasuki bab baru buku sejarah, aku balas melirik Grace.

"Pendahulu, nenek moyang kita yang merevolusi peradapan dari cengkraman para ras lain, terutama manusia. Mereka menyedihkan karena butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa merebutnya. Kau mengerti, kan maksudku."

Aku bisa mentoleransi alasan jika itu ras lain yang sama-sama punya kemampuan, tapi manusia? Yang benar saja. Dikatakan jika para manusia itu tidak lebih baik dari para burung, maksudnya secara fisik mereka lemah dan mudah untuk dihancurkan. Walau aku belum pernah bertemu dengan mereka secara langsung tapi entah bagaimana ketidaksetujuan hinggap begitu saja di benakku. Alasannya? Sederhana pikirkan saja berapa lama waktu yang mereka habiskan ketika menguasai dunia.

Jika memang selemah itu , sampai-sampai anak Werewolf berumur lima tahun pun bisa menghancurkan mereka dengan satu serangan. Kenapa mereka bisa bertahan berabad-abad lamanya? Dan sebaliknya makhluk seperti kami yang katanya punya kemampuan fisik superior ini yang harus hidup di dalam bayang-bayang. Itu benar-benar terdengar dipaksaan untuk menganggap mereka inferior.

"Yah, mereka tidak sendirian omong-omong," kataku. Ada ras lain yang tidak pernah dituliskan namanya dalam buku sejarah yang terlibat. "Nah, berbahagialah karena kau tidak hidup di zaman itu. Jika iya, kita tidak hanya kesulitan untuk keluar dari area pack. Kita mungkin akan selamanya tinggal di selokan bau yang sempit dan menjadi lupa akan warna kita sendiri. "

"Ugh!" Grace menampilkan wajah nelangsa berlebihan. Tampak seperti ia tengah membayangkan sesuatu yang menyedihkan dalam kepalanya.

"Jangan dipikirkan, semua sudah berlalu."

Aku menepuk pundaknya ringan sebagai upaya memberi semangat yang tampaknya gagal total. Sekarang para manusia sudah menghilang sepenuhnya dan ras lain itu tinggal di sisi lain benua yang terpisah oleh lautan. Jika ada musuh yang perlu di waspadai itu hanya para Rouge.

Grace masih memasang ekspresi serupa kendati sekarang pelajaran lapangan sedang berlangsung. Mukanya mengerut bermenit-menit sampai-sampai jadi ledekan anak laki-laki yang melihatnya.

"Bisakah, kau melakukan sesuatu dengan itu?" Floren menyikut pinggangku, melemparkan tatapan khawatir pada Grace. "Aku tidak yakin, tapi serahkan saja padaku. Kurasa cara itu bisa berhasil."

Grace hanya bersemangat saat pelatihan fisik, -aka bertarung, ia yang sedang berjuang untuk melampaui para Warrior dan tidak pernah sekalipun akan melewatkan kesempatan untuk melatih ketangkasan bela dirinya. Meskipun hanya sekedar latihan dasar biasa. Yah, walau dalam praktiknya nanti berarti aku harus mengorbankan diri.

"Kalau begitu, semoga beruntung. Aku akan pergi sebentar, jika Mr. Robbet bertanya usahakan untuk mengatakan sesuatu yang meyakinkan supaya dia tidak curiga kalau aku ketahuan keluar dari ruang medis, oke."

Floren tidak memberiku kesempatan untuk menjawab ataupun memutuskan. Ia berlari begitu saja dengan kecepatan mengagumkan. Bagaimana dia bisa begitu gesit jika urusan melarikan diri? Tapi sudahlah, itu bukan prioritas utama untuk dipikirkan sekarang. Graceku yang manis dan malang tengah menunggu di sana untuk di selamatkan.

"Grace bisa bantu aku dengan gerakan dasar? Aku sudah hapal beberapa, tapi jika tidak dipraktekkan langsung, rasanya sia-sia. Aku tidak bisa mengukur apakah sudah mengalami perkembangan atau tidak."

Seperti dugaanku, Grace merespon, walau lebih lambat dari biasanya, tapi itupun tidak masalah. Lebih baik dia melakukan sesuatu dibanding diam mengerikan seperti tadi.

“Oke, aku menyerah! Jangan pukul lagi."

Kepalaku berdenyut tanpa Jedah, disertai rasa pusing mengganggu. Posisiku sekarang tengkurap di rerumputan dengan menyedihkan. Sekujur tubuhku berantakan dengan memar nyaris di semua sisi. Aku yakin malam ini tidak akan mendapatkan tidur tenang. Terima kasih pada Grace yang melabeli dirinya sendiri sebagai sahabat baikku, tapi tanpa perasaan sama sekali mematahkan tulang belulangku. Itu pun kalau aku punya tulang di balik daging-daging tipis ini. Sejujurnya itu sangat meragukan.

"Kau tidak akan lolos ujian warrior kalau terus seperti ini."

Grace menghela napas dramatis, menatapku dengan percampuran rasa lelah dan kesal. Ia selangkah mendekat membayangiku dari sengatan ultra violet yang hari ini sangat panas.

"Tidak apa-apa. Menjadi bagian dari pagar penahan itu tidak cocok untukku."

Dengan fisik lembek seperti ini, dipikir aku bakal lolos? Jelas tidak, bahkan tanpa Grace memberitahu pun, aku sudah menyadarinya sejak dulu. Warrior bukan hanya sekedar pagar pembatas, mereka adalah ujung tombak kedamaian bagi seluruh Pack. Jika di isi dengan makhluk-makhluk tidak kompeten macam diriku, bisa di pastikan bangsa ini akan musnah dalam satu jam. Bahkan bila aku memiliki beberapa orang yang aku tidak ingin berada di dunia yang sama dengan mereka dan bahagia bila mereka lenyap. Aku masih tidak tega membiarkan mereka yang tidak ada hubungannya ikut terkena dampaknya dan lagi akan menjadi sangat tidak tahu terima kasih pada leluhur jika membiarkan kebebebasan yang mereka raih dengan darah musna begitu saja.

"Paling tidak, tingkatkan semangatmu, kalau masih mau bernapas lebih lama. Kita tak tau kapan akan bertemu ROUGE kan."

"Seperti mereka akan mencapai tempat ini saja."

Sekolah ini bukan hanya di atas bukit yang curam, tetepi juga terletak di jantung utama Pack, di sektor segitiga emas, tempat paling aman dan terlindungi. Butuh setidaknya menghancurkan lima garis pertahanan para WARRIOR dari masing-masing Pack yang mengelilinginya untuk mencapainya. Bahkan ROUGE kelas paling ganas pun akan sulit untuk memasukinya. Sejauh aku hidup belum sekalipun para ROUGE sampai ke tempat ini. Kelompok paling ganas pun hanya sampai pada pertahanan ketiga, itupun harus bersusah payah. Belum lagi para GUARDIAN yang menjadi kekuatan di balik bayang-bayang.

"Persiapan matang adalah pertahanan diri paling sempurna."

"Yah, yah." Aku berdiri malas. Enggan menanggapi omongan Grace, jika sudah berurusan dengan bela diri ia akan menjadi sangat keras kepala. "Berhenti mengoceh, aku butuh telinga sehatku untuk MISS. Sellin."

Memikirkan apa yang akan kuhadapi setelah ini membuat bukan hanya tubuhku yang merintih oleh rasa sakit, tapi otakku juga. Untuk sesaat godaan melanggar perintah melayang dalam benakku, tapi kuhalau dengan cepat. Aku tidak bisa mempertaruhkan masa depanku, terlalu berisiko.

"Kenapa tidak berhenti saja?"

"Kau sudah menanyakan itu dari sejak empat bulan lalu dan jawabannya akan tetap sama. Aku butuh jabatan pesuruh kelas untuk bisa meninggalkan sekolah dengan baik."

Aku buruk dalam kegiatan fisik, yang mana bagi makhluk seperti kami adalah kesuraman, karena itu aku harus memiliki sesuatu untuk masa depan. Paling tidak dengan otakku dan sikap baik, misalnya.

Mengabaikan Grace yang perlahan berjalan ke arah sebaliknya, aku mulai mendekati gedung utama yang jadi tempat berkumpul para pelatih. Bangunan serba hitam dengan beberapa tanaman rambat di sekitarnya itu memberi kesan tidak sinkron seperti biasa sense pewarnaanya sangat unik sampai-sampai menjadi olok-olokan para siswa. Aku selalu bertanya-tanya mengapa mereka masih mempertahankan model yang sudah kuno begitu. Menghargai peninggalan masa lalu itu sah-sah saja, tapi tidak berarti itu harus menyakiti mata para siswa yang memandangnya setiap hari begini.

Setelah merapikan diri seadanya, secepat yang kubisa, aku mengetuk pintu sebagai tanda sopan santun, dan mulai mengembangkan senyum.

"Selamat siang, Miss Sellin. Aku datang untuk tugas berikutnya."

Aku sudah mempersiapkan diri untuk semua balasan kelewat kreatif Miss Sellin, bahkan sudah melatih kegesitan fisik sebagai antisipasi. Namun apa yang kuharapkan tidak pernah datang, alih-alih balasan dari Miss Sellin yang kuterima hanya kekosongan. Ruangan utama yang biasanya ramai oleh para pelatih itu kosong.

Apa yang sedang terjadi di sini? Berhubung tidak akan ada yang memberiku jawaban untuk pertanyaan itu. Aku memutuskan untuk mencari tahu, sekalian mengistirahatkan diri, kurasa duduk sebentar tidak masalah. Bukan aku yang terlambat di sini.

Tepat ketika punggungku akan menyentuh dudukan bangku, sesuatu dengan sangat cepat melintas dari arah luar gedung. Terlalu cepat sampai-sampai kupikir hanya halusinasi. Mungkin hanya perasaanku saja, pikirku melongokkan kepala ke luar jendela. Seharusnya aku mengabaikannya saja, tapi rasa penasaranku sayangnya keluar sebagai pemenang setelah bertempur sengit selama beberapa detik tadi. Lagipula tidak ada tanda-tanda MISS. Sellin akan segera datang. Jadi kuputuskan untuk keluar mengikuti insting dan menuju ke hutan di belakang sekolah.

Ketakutan perlahan mulai mengambil rasa penasaran bodoh yang menuntunku menejelajahi hutan ketika perjuanganku hanya menghasilkan sebuah kesia-sian. Selain mencederai harga didriku sendiri yang menganut paham enggan membuang tenaga percuma, tubuhku pun mulai menunjukkan tanda- tanda lelah. Aku kehilangan arah dan insting bodoh ini sama sekali tidak bisa diandalkan untuk menemukan jalan kembali. Setelah semua ini, aku hanya punya dua pilihan ekstrim untuk bertahan. Menunggu sampai seseorang menemukanku atau berusaha menemukan jalan keluar sendiri dan keduanya sama-sama akan menyengsarakanku. Jika mom atau Jaxon tahu perbuatan bodoh in, aku yakin mereka akan memberiku hukuman kurungan sebulan penuh. Bagaimana aku bisa begitu ceroboh? Aku baru akan memulai fase melankolis saat tiba-tiba suara teman sekelasku terdengar.

“Sedang apa kau di sini?”

Aku terlonjak kaget dan gagal menahan pekikan. Nyaris saja potongan dahan kayu yang sedari tadi kupegang kelempar ke arah Brian, ia datang dari kedalaman hutan. Ekpresinya berkerut saat menemukanku.

“Kau beruntung tanganku memiliki pengendalian hebat, jika tidak kelapamu pasti sudah bocor,” kataku menikmati aliran perasaan lega di dalam dadaku.

Untuk pertama kalinya sejak aku mengenal Brian ketika berusia tujuh tahun, aku berterima kasih atas keberadaannya yang sudah hidup.

“Seperti aku tidak bisa menghindarinya saja.” Brian melempar cemoohan kasar. “ tapi apa yang coba kau lakukan di dalam hutan sendirian?”

Matanya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bersimpati, ia murni bertanya karena keterkejutan. Ia juga pasti tidak mengira akan bertemu denganku di sini.

“Aku mengejar sesuatu yang kupikir ada tapi rupanya cuma halusinasiku saja.”

Sebuah pengakuan memalukan yang pasti akan jadi bahan olok-olokan Brian di kedepannya. Bahkan sekarang saja aku sudah memiliki gambaran bagaimana Brian akan memanfaatkan situasi ini untuk menggangguku. Visi masa depan itu membuatku mual seketika. Aku tidak seharusnya memberikan moment semacam ini padanya, tapi situasiku sekarang tidak memberikan pilihan selain membiarkannya. Aku masih ingin pulang.

“Kau sendiri sedang apa?”

“Aku mengejar sesuatu tapi gagal.”

Aku nyaris gagal menahan kikikan geli, seorang Brian sang pembuat onar gagal? Floren pasti seang membagikannya sebagai gossip panas. Namun aku harus merelakan kesempatan itu dengan suka rela. Berhubung aku sangat membutuhkannya sebagai penuntun jalan, untuk hari ini saja, aku akan jadi gadis penurut.

Hukuman

Bayangan hitam itu, jika memang benar-benar ada, aku bersumpah akan membuat perhitungan dengannya suatu saat nanti. Kalau bukan gara-gara dia, aku tidak akan berada di sini sekarang. Di lapangan latihan becek bersama seluruh teman sekelasku, bersiap diri menerima hukuman dari MISS. Sellin yang berdiri dengan kemarahan besar dalam sorot matanya.

Ia berkacak pinggang bersama aura panas yang menakutkan, seperti raja kegelapan dari dunia bawah. Bahkan dengan awan mendung di langit yang sudah siap menangis tak mampu menahan niatnya untuk menghukum kami.

“Bagus sekali anak-anak.” Nada suara MISS. Sellin rendah, menakutkan hingga tubuhku bergetar dengan sendirinya. “Rupanya kalian telah mengsalahartikan kemurahan hatiku memebaskan kalian dari hukuman tadi pagi.”

Ia berjalan pelan dengan tongkat pemukul di tangannya, matanya sedetikpun tak pernah lepas mengawasi kami.

“Aku ingin alasan jelas dan masuk akal untuk pelanggaran kalian tadi.” Nada suaranya rendah, penuh peringatan, dan ada sedikit ancaman terdapat di dalamnya.

Untuk bagian ini, aku sama sekali tidak mengerti. Aku dan Brian memang bersalah karena terlambat, terutama aku pribadi karena seenak jidat meninggalkan tugas dari MISS. Sellin, tapi untuk teman-temanku yang lain? Apa yang sudah mereka perbuat?

Aku tidak sempat menanyakannya pada Grace tadi karena terlalu lelah. Belum lagi aku berhasil menghimpun tenaga dan kewarasan kedatangan MISS. Sellin yang tiba-tiba menyuruh berdiri di lapangan sudah lebih dulu mengambil alih ...

“Stanford? Kau bersedia mewakili yang lain untuk berbicara?” MISS. Sellin menatap tajam pada Floren yang sedetik lalu menelan ludah takut. Ia berdiri kaku menggiggit bibir dengan raut wajah membiru.

Satu menit berlalu dan Floren masih setia dalam kebungkamanya. Hal yang mana mengundang seringai iblis MISS. Sellin bermain di bibirnya. Matanya berkilat berbahaya menyapu kami dalam satu lintasan.

“Aku memberi kesempatan satu kali lagi, siapapun yang bersedia menjelaskan alasan mengapa kalian semua berada di danau, saat di mana seharusnya berada di kelas tadi untuk bebas dari hukuman.” Ia mengawasi kami bak kucing yang sedang bermain-main dengan tikus kecil yang terpojok. Ketika hening menjadi jawaban MISS. Sellin menggeleng prihatin “Baiklah, jika memang itu keputusan kalian.”

“Kuharap bukan hukuman yang berat,” gumam Flo bersama ******* napas pasrah.

Aku meliriknya sebentar, mendengus sinis tanpa sadar. Dia bodoh atau apa? Aku benar-benar gagal paham, maksudku Floren atau siapapun kecuali aku dan Brian punya kesempatan terbebas dari semua ini, tapi mereka lebih memilih untuk menjalaninya. Entah karena alasan kesetiaan atau yang lain, bungkam adalah pilihan yang buruk mnurutku, terutama untuk situasi saat ini.

Walau tampaknya presentasi untuk terbebas sepenuhnya dari hukuman itu tipis. Namun setidaknya masih ada kesempatan untuk mengurangi kadarnya, sayang sekali mereka melewatkan kesempatan emas itu.

“Lakukan semua yang ku perintahkan,” MISS. Sellin berteriak nyaring.

“Tiarap,” perintahnya tegas. Bukannya segera melakukan perintah anak lain malah saling pandang. Aku juga bingung untuk apa kami disuruh tiarap. Sudah jadi rahasia umum jika hukuman MISS. Sellin itu aneh-aneh, tapi tiarap? Apa yang ia rencanakan?

“Apa yang kalian pikirkan? Cepat lakukan,” suara MISS. Sellin naik dua oktav.

Mendengar bentakan keras itu sontak aku dan murid lainyanya segera tiarap melakukan perintah MISS. Sellin.

“Berguling kekanan,” perintahnya lagi dan kali ini semua langsung melakukan tanpa perlawanan. “Kekiri, berdiri, terlentang.”

Ia terus mengulang perintah.

“Sekarang lakukan seperti tadi, tanpa kesalahan dan terus lakukan sampai aku meminta kalian berhenti,” ucapnya dengan suara menggelegar menyaingi suara guntur.

Hujan turun dengan intensitas sedang, tapi cukup membuat baju kami basah, di tambah tanah yang becek lengkap sudah, sekarang kami tak ubahnya patung tanah liat yang bergerak. Tubuhku lengket, kotor, bahkan rambutku sudah menggumpal menjadi satu.

Pasti akan membutuhkan banyak pembersih nanti. Satu menit, dua menit, kapan ini akan berakhir? Aku hanya bisa meluapkan semua emosi di dalam kepala, menguncinya agar tidak bocor sekuat yang kubisa. Aku tidak ingat sudah berapa lama kami melakukan ini, mungkin satu jam lebih.

Di sebelahku Floren gagal menahan laju pekikkannya ketika kakinya tertekuk dalam posisi yang salah saat hendak tiarap. Hal itu langsung saja memancing perhatian anak-anak lain, juga MISS. Sellin itu sendiri. Aku yang berada di posisi terdekat dengannya sempat ragu sejenak, bimbang antara membantunya dengan resiko mendapat hukuman tambahan atau membiarkannya saja.

“Bagaimana, Stanford? Masih ingin tutup mulut?”

Lumpur yang sepenuhnya menutupi wajah Floren membuat sulit untuk membaca ekspresinya, tapi dari ringisan dan matanya yang berair, aku menduga ia sedang menahan tangis.

Aku memahami perasaannya, cuma bisa bersimpati dalam hati, tanpa bisa membantunya. Gadis yang biasanya energik itu sekarang kuyuh menyedihkan. Ia menderita, aku tahu itu, tapi semua terjadi karena pilihannya sendiri. Lagipula aku tidak sedang dalam suasana yang harus mengkhawatirkan orang lain.

“Baiklah, siapa yang meminta kalian untuk berhenti?” Pandangan MISS. Sellin berpindah cepat pada anak-anak yang memanfaatkan moment jedah tadi untuk beristirahat.

“Lakukan seperti tadi.”

Dengan seluruh anggota tubuh yang sudah berteriak meminta berhenti, aku kembali tiarap, pasrah pada keadaan. Lonceng penanda berakhirnya jam pelajaran berbunyi mengerikan mencapai terlingaku.

Dalam waktu yang sama pula kepanikan dalam diriku melejit secara drastis. Aku sedang dalam keadaan yang tidak ingin dilihat oleh siapapun, dan pikiran tentang bagaimana tanggapan Alison dan Jaiden ketika melihat keadaanku menimbul kan rasa merinding. Bukan penampilan menyedihkan yang kukhawatirkan, tapi mereka pasti akan menanyai alasan mengapa semua ini bisa menimpaku nantinya.

Namun aku tidak punya tenaga untuk sekadar mengasihani diri sendiri, dan rasa takut dari visi masa depan acak ketika dilihat saudaraku itu sirna dengan sendirinya saat rasa lelah mengambil alih. Badanku mati rasa, satu-satunya alasan mengapa ia masih bergerak, yang mana sejujurnya membuatku ngeri ketika menyadarinya, adalah murni ketakutan. Maksudku, ini bukan seperti takut saat kau akan kehilangan nyawa, meski sesungguhnya aku memang sedang sekarat, tapi lebih ke sesuatu yang menggerakkan diri tanpa sadar. Pikiranku terlalu kacau untuk menafsirkannya dengan benar.

Aku sedang berpikir tentang bagaimana cara menyisahkan tenaga agar bisa menulis surat wasiat nantinya, jika hukuman ini berakhir dengan kematian. Ketika suara semerdu malaikat, atau mungkin itu memang malaikat, aku sangat kekurangan tenaga untuk mencari tahu, terdengar.

"Bukankah, ini agak berlebihan, MISS. Selin?"

Suara malaikat itu menegur lembut dan penuh wibawah.

Bukan lagi agak berlebihan, tuan malaikat, pikirku seolah sedang berbicara dengannya, ini sudah keterlaluan, sudah termasuk kategori penyiksaan.

"Saya baru saja akan mengakhirinya, Alpha," kata MISS. Sellin, tutur katanya sopan dan penuh rasa hormat.

Hah! Dasar pembohong. Aku mencibir keras dalam pikiran, berharap tuan malaikat itu akan mendengarnya. Jelas sekali ia masih berencana memperpanjang masa hukuman tadi.

"Kalau begitu kenapa tidak segera kau lakukan? Mereka sudah diambang batas, dan kita tidak perlu menambah pekerjaan baru, apalagi gara-gara hal sepeleh. Terlebih di saat situasi sedang genting begini. Kau mengerti maksudku, kan?"

Tuan malaikat itu berbicara lagi. Kali ini aku mendeteksi nada perngatan di dalam kalimatnya. Yah, marahi saja dia bila perlu beri dia hukuman seperti yang kami dapatkan, pikirku semakin liar.

“Maaf, kan kekurangan pengendalian diri saya, Alpha. Pikiran saya sedang terganggu.”

Lalu kau melampiaskannya pada kami begitu? Aku berhenti bergerak dan menahan tubuh dalam posisi tengkurap selagi mendengarkan pembicaraan mereka. Kulihat anak-anak yang lain juga melakukan hal serupa, memanfaatkan jeda pendek ini untuk mengistirahatkan tubuh.

Beberapa langkah ke samping, tepatnya di koridor kelas, anak-anak lain berdiri menonton kami. Mereka tak kunjung bergerak dan hanya diam menonton, dan aku menduga alasannya bukan karena hujan.

“Seperti yang Alpha David katakan kalian boleh berhenti dan pulang.”

Aku terlalu lelah untuk sekadar membersihkan wajah dan langsung pergi begitu saja. Setelah memisahkan diri dengan anak-anak lain di gerbang pertama tanjakan aku berjalan gontai seorang diri.

Aku mempercepat langkahku ketika merasakan seseorang mengikutiku. Sungguh aku tidak punya tenaga untuk melawan jika seseorang yang mengikutiku itu memiliki niat yang buruk. Sekarang saja rasanya tubuhku remuk dan di tambah perutku yang keroncongan karena tidak sempat makan siang tadi menambah buruk keadaan.

Aku tidak tau kemana perginya Alison dan Jaiden, seharusnya mereka menungguku di gerbang pertama, setelah dibubarkan secara paksa oleh Alpha tadi, tapi aku sama sekali tidak melihat satu pun dari mereka barusan.

Persendianku terasa kaku setelah bergerak secara ekstrim tadi, rasanya aku sudah tidak sanggup berjalan lagi dan pandanganku mulai kabur. Apakah ini akhir bagiku? Tubuhku oleng, tapi tepat sebelum kepalaku menghantam tanah seseorang menangkap dan menahan tubuhku.

Posisiku sekarang setengah berbaring di tanah karena seseorang itu menahan pinggangku dengan lengannya. Membuka mata aku berhadapan dengan sosok berjubah biru dengan tudung jubah besar yang menyembunyikan wajahnya.

Meskipun pandanganku tidak jelas, tapi aku bisa memastikan jika dia adalah sala satu anggota WARRIOR karena hanya mereka yang memakai jubah biru.

“Kau baik-baik saja? “ Suaranya terdengar khawatir, tapi aku tidak mau membuang tenaga untuk menjawab pertanyaan bodoh itu, maksudku, dia bisa melihat sendiri bagian mana dari keadaanku sekarang yang baik-baik saja? Mataku medndadak terasa berat, sebelum kegelapan benar-benar merenggut kesadaranku. Aku sempat mendengar suara Alison dan Jaiden yang berteriak panik memanggil namaku.

TBC.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!