NovelToon NovelToon

Antara Cinta Dan Obsesi

ACDO Bab. 1

Bab. 1

Mentari berpendar diatas cakrawala. Memancarkan sinarnya membawa panas yang hampir membakar kulit. Areta berjalan tergesa-gesa menyusuri trotoar sembari menempelkan ponsel ke telinga. Teriknya mentari tak ia hiraukan. Hatinya diliputi kegelisahan, cemas berbungkus ketakutan saat ini.

Sudah beberapa menit lalu Areta memesan taksi online. Tetapi taksi yang dipesannya belum juga tiba. Sampai membuatnya kesal. Areta terpaksa harus meninggalkan salon kecantikannya di tengah keadaan genting. Padahal pelanggan sedang banyak-banyaknya.

Telepon dari Wirda, ibu mertuanya, tidak bisa ia abaikan begitu saja. Pasalnya Wirda lah yang belakangan ini menjaga Rosa di rumah sakit. Beberapa saat lalu Wulan menghubunginya, memberitahukan soal kondisi Rosa yang mendadak memburuk. Membuat Areta panik, cemas, takut luar biasa.

Sembari menelepon Angga, suaminya, Areta berjalan tergesa-gesa keluar dari salon kecantikannya, menyusuri trotoar tanpa memusatkan perhatian. Alhasil beberapa kali tanpa sengaja ia menabrak orang.

Beberapa kali mencoba menghubungi, beberapa kali itu pula panggilan Areta tak terhubung. Nomor yang ia tuju sedang sibuk setiap kali ia menelepon. Membuat wanita cantik itu menggerutu kesal.

"Kenapa teleponku tidak di angkat sih? Apa yang dia lakukan sekarang?"

Piiip piiip piiip ...

Bunyi klakson saling bersahutan, jalanan sedang padat-padatnya. Volume kendaraan yang meningkat di jam-jam makan siang seperti ini sedikit mengakibatkan kemacetan.

Sesekali dengan wajah cemas Areta melirik arloji di pergelangan kirinya. Keringat mengucur deras di keningnya.

Piiip piiip piiip ...

Suara klakson Fortuner hitam mengagetkan Areta. Tanpa berpikir panjang lagi Areta langsung saja naik ke mobil itu. Areta mengira mobil itu adalah taksi online yang dipesannya melalui aplikasi.

"Ayo jalan, Pak." Areta berkata tanpa memperhatikan keadaan begitu mendaratkan pantat di jok penumpang.

Seorang pria dalam balutan jas berwarna hitam itu melirik Areta dari kaca spion di atas dashboard. Sejenak pria itu tertegun dengan dahi berkerut. Diperhatikannya wajah Areta dari kaca spion tersebut.

"Ayo Pak, buruan jalan. Saya harus cepat sampai." Areta mendesak si supir. Ia belum menyadari situasi. Ia masih mengira mobil yang dinaikinya adalah taksi online yang telah ia pesan. Dan pria berjas lengkap dengan dasi di balik kemudi itu adalah si supir taksi.

"Kita mau ke mana, Bu?"

"Rumah sakit Sinar Harapan. Ayo Pak, cepat. Saya diburu waktu nih Pak. Saya harus cepat sampai ke rumah sakit itu. Keadaan saya darurat. Tolong ya Pak?" Dengan raut cemasnya Areta memohon.

Si pria bersorot mata tajam di balik kemudi itu pun menyanggupi. "Baik, Bu. Saya pastikan Anda akan sampai dalam waktu sepuluh menit." Sembari melirik Areta dari kaca spion.

...

Sementara di lain tempat. Di sebuah gedung bertingkat, PT. Dreams Food.

Seorang wanita paruh baya nan cantik dan anggun tengah mondar-mandir gelisah. Sesekali ia melirik arloji di pergelangan tangannya.

"Gimana? Kamu sudah berhasil menghubungi Henry?" Wanita itu bertanya pada seorang pria yang berdiri di sebelahnya yang tampak sibuk dengan ponsel di tangannya sedari tadi.

"Belum, Bu Agatha. Tadi sempat tersambung, tapi Pak Henry tidak menjawab panggilan saya." Pria itu menyahuti.

"Terus sekarang gimana? Henry sudah mengangkat teleponnya?" Wanita paruh baya yang dipanggil Agatha mendesak. Sangat kentara cemas, terlihat dari raut wajahnya.

"Tidak, Bu. Handphone Pak Henry malah nonaktif kali ini."

"Aaah ... Sial! Ke mana saja sih anak itu? Apa dia lupa kalau hari ini adalah hari pertamanya memimpin perusahaan ini. Belum lagi, hari ini dia harus menghadiri pertemuan penting dengan kolega dari Jepang. Gimana sih anak itu? Ngapain saja dia semalam? Apa kamu tidak mengingatkan dia soal hari ini, Fabian? Kamu itu kan sekretarisnya, seharusnya kamu perhatikan dia dong." Agatha malah mengomeli pria itu, yang diketahui adalah sekretaris Henry, sang Presiden Direktur Dreams Food. Perusahaan yang bergerak di industri makanan cepat saji, instan, dan masih banyak lagi produk Dreams Food yang terbilang laris di pasaran.

"Sudah, Bu. Saya sudah mengingatkan Pak Henry. Bahkan saya sudah mengirim ulang via email jadwal beliau hari ini." Fabian, sekretaris Henry tak terima disalahkan atas kelalaian atasannya sendiri.

"Makanya, segera nikahkan Pak Henry. Biar dia tidak kelayapan setiap malam. Masa aku harus selalu mengurus dia seperti seorang anak kecil? Memangnya aku ini siapa? Baby sitternya yang harus dua puluh empat jam mengawasinya? Aku juga punya keluarga yang harus aku perhatikan." Fabian menggerutu dalam hatinya. Atasannya yang masih betah melajang itu terus saja merepotkannya dengan urusan-urusan pribadinya. Termasuk soal kebiasaan kelabing Henry. Tetapi untungnya, Henry tidak suka bermain perempuan.

...

Sementara di ruangan yang lain, di divisi pemasaran PT. Dreams Food. Di sudut ruangan itu Angga tengah menerima panggilan telepon.

"Maaf, Bu. Aku belum bisa ke rumah sakit. Masalahnya hari ini perusahaan kedatangan pimpinan baru. Aku sibuk sekali hari ini, Bu. Ibu tolong jaga Rosa dulu ya? Oh ya, apa Areta sudah sampai?" tanya Angga memelankan nada suaranya.

"Ya sudah, kerja yang rajin. Rosa biar Ibu yang jaga. Pokoknya tahun ini, kamu harus naik jabatan. Biar gaji kamu naik, agar kamu bisa membiayai pengobatan Rosa. Ibu kasihan melihat Rosa, semakin hari kondisinya semakin memprihatinkan. Penghasilan salon Areta juga tidak bisa diandalkan. Pokoknya tidak usah mencemaskan Rosa. Ada Ibu yang akan menjaganya. Kamu kerja saja yang rajin, biar cepat naik jabatan. Kalau perlu kamu cari muka sama atasan baru kamu itu. Biar dia simpati sama kamu."

"Iya, Bu. Doakan aku ya? Semoga saja tahun ini aku dipromosikan. Minimal jadi manajer pemasaran. Ya sudah, teleponnya aku tutup ya, Bu." Angga segera mengakhiri panggilan teleponnya.

Kemudian ikut bergabung bersama rekan-rekannya yang tengah bergosip tentang pimpinan baru mereka. Yang menurut kabar berembus, pimpinan mereka yang baru ini berhati dingin. Tidak segan-segan memecat jika karyawannya melakukan kesalahan. Tidak pandang bulu, tidak menyukai penjillat atau tukang cari muka, dan tidak mudah menaikkan jabatan bagi karyawan yang tidak berkompeten.

Untuk itulah, Angga tidak ingin melewatkan kesempatan ini untuk menunjukkan loyalitasnya dalam bekerja.

"Siap-siap saja kalian di pecat. Dengar-dengar Pak Henry akan mengevaluasi kembali kinerja semua karyawan. Karyawan yang tidak maksimal bekerja bakalan di depak. Jangan berharap ada yang akan naik jabatan selama Pak Henry yang memimpin perusahaan ini." Rekan Angga berkata. Terdengar seperti menakut-nakuti rekannya yang lain.

Angga menelan salivanya kasar mendengar perkataan rekannya. Dalam hati ia bertekad akan melakukan apa pun untuk bisa merebut hati pimpinan baru mereka ini.

Perlu di garis bawahi, apapun!

Apapun akan dilakukan Angga, asalkan ia bisa mendapatkan kenaikan jabatan. Jangankan cari muka, bahkan jika diminta menjilati sepatu pimpinan pun ia akan menyanggupi. Asalkan jabatannya naik. Yah, minimal jadi manajer.

Sudah bertahun-tahun Angga bekerja di perusahaan ini, tapi statusnya masih karyawan rendahan. Padahal ia sudah bekerja keras, bahkan ia termasuk salah satu karyawan yang rajin. Dan tidak pernah bolos kerja. Berdasarkan hal itulah, Angga merasa ia sangatlah pantas mendapatkan promosi.

...

Sementara di sisi lain. Fortuner hitam memasuki pelataran parkir. Lalu menepi tepat di depan pintu masuk rumah sakit.

Sebelum turun dari mobil itu, Areta merogoh tas. Mengambil selembar uang pecahan seratus ribuan. Yang ia sodorkan kepada si supir.

"Ini Pak, ongkosnya," kata Areta mengangsurkan lembaran uang tersebut.

Si supir pun menoleh. Tak terkejut disodorkan uang sebagai ongkos tumpangan. Justru Areta lah yang terkejut. Sebab si supir tampaknya bukan orang sembarangan. Sebab mana ada supir taksi mengenakan jas lengkap dengan dasinya. Belum lagi supir itu ternyata berparas tampan.

"Maaf? Bukankah ini taksi online yang saya pesan dari aplikasi?" Areta memastikan dengan kening berkerut. Kemudian menyapukan pandangannya menyisir setiap sudut interior mobil itu.

Si supir tersenyum simpul. Lalu kembali ke wajah datarnya begitu Areta menoleh kepadanya.

"Simpan saja uang Anda. Saya tidak membutuhkannya." Si supir berkata. Membuat Areta salah tingkah seketika, lalu menyimpan kembali uang itu ke dalam tas nya dengan ragu.

"Tapi, Anda sudah mengantar saya sampai tujuan. Saya tidak enak hati jika Anda ti_"

"Saya bukan supir taksi online. Anggap saja saya sedang berbaik hati hari ini, dan Anda sedang beruntung." Si supir tak tahan untuk tidak tersenyum. Ia menyunggingkan senyumnya menatap lekat sepasang mata teduh Areta. Yang membuat Areta meneguk ludah tanpa sadar. Senyum si supir itu sangat menawan, menunjang parasnya yang rupawan.

"Kalau begitu terima kasih banyak. Maaf sudah merepotkan. Saya permisi." Bergegas Areta turun dari mobil itu. Lalu mengayunkan langkahnya cepat memasuki rumah sakit.

Sementara si supir, mengembangkan senyumnya sambil menatap punggung Areta sampai menghilang dari pandangan matanya.

"Areta Karenina. Kita bertemu lagi," ucap si supir tampan dengan sorot mata berbinar.

*

Hai Hai Hai ... 👋😊

Selamat datang di cerita receh terbaru author abal² ini. Mari kita berpetualang di dunia Henry dan Areta. Semoga kalian suka ya dengan ceritanya😊😊

Jangan lupa jejak-jejak cinta kalian Author tunggu.

Salam sayang😘

Author Kawe❤️

ACDO Bab. 2

Bab. 2

Mendorong daun pintu terbuka, Areta bergegas masuk. Dengan wajah cemasnya ia menghampiri Rosa yang terbaring di ranjang rumah sakit dengan alat bantu pernapasan terpasang, menutupi mulut dan hidungnya.

"Tadi kondisinya sempat memburuk. Dia sesak napas. Jadi dokter memasangkan oksigen. Kamu kenapa bisa lama?" sembur Wirda setengah ketus.

Menarik bangku kecil mendekat, Areta lantas mendudukkan diri di sana. Diraihnya jemari mungil Rosa ke dalam genggamannya. Rosa baru berusia lima tahun, tetapi sudah di vonis dokter mengidap penyakit kelainan jantung bawaan. Penyakit yang dibawanya sejak lahir.

"Tadi di salon banyak pelanggan, Bu. Belum lagi taksi yang aku pesan online datangnya telat. Maaf sudah merepotkan Ibu," kata Areta tanpa melepaskan tatapannya dari wajah sang putri. Yang terlihat pucat dan semakin kurus.

Areta merasa miris, hatinya laksana teriris sembilu setiap kali melihat Rosa terbaring di ranjang rumah sakit seperti ini. Rosa sudah menjadi langganan rumah sakit sejak anak kecil itu menginjak usia dua tahun.

Selama ini Areta sudah bekerja keras siang dan malam demi mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk pengobatan Rosa yang selalu menelan biaya yang tak sedikit.

Demi mengupayakan pengobatan terbaik bagi Rosa, Areta rela memforsir dirinya sendiri bekerja sepanjang waktu. Bahkan tak jarang, jam tidurnya pun berkurang hanya demi si rupiah.

Angga Adinata, suaminya, hanyalah seorang karyawan rendahan sebuah perusahaan yang bergerak di industri makanan pun gajinya masih belum bisa diharapkan untuk membiayai perawatan terbaik untuk Rosa. Seringkali Areta mengajukan pinjaman ke bank setiap kali penyakit Rosa kambuh dan bertepatan ketika ia tak punya uang.

Namun meski begitu, Areta tidak pernah mengeluh. Ia bersabar mengahadapi ujian hidupnya. Ia tetap optimis dan tak pernah menyerah.

"Ibu sudah menghubungi Angga?" tanya Areta. Menoleh, melayangkan pandangan kepada Wirda yang duduk di sofa sudut ruangan.

"Sudah. Katanya hari ini dia sibuk. Kamu sebaiknya tidak usah mengganggu Angga. Biarkan dia bekerja. Masalah Rosa biar Ibu yang jaga. Kalian bekerja keraslah. Cari uang yang banyak untuk pengobatan Rosa. Biar Rosa cepat sembuh. Kasihan dia, Ibu tidak tega melihat Rosa dalam keadaan seperti itu."

Areta mengembuskan napasnya pelan. Bukannya Areta tidak menyukai Angga loyal terhadap pekerjaannya. Hanya saja, terkadang Angga malah lebih memprioritaskan karirnya ketimbang Rosa, putrinya. Setiap kali Areta membahas soal itu, Angga selalu saja berdalih jika semua itu dia lakukan demi Rosa. Demi mengupayakan pengobatan terbaik bagi Rosa. Walau tak jarang, Angga bahkan tidak sempat menjenguk Rosa di rumah sakit.

"Iya, Bu. Terimakasih atas perhatian dan bantuan Ibu," ucap Areta lesu. Selalu saja hal seperti ini terjadi. Karir lebih penting bagi Angga dibanding kesehatan sang putri.

...

Di lain tempat, di waktu yang sama.

Henry Adiswara, pria tampan rupawan yang ditunjang dengan postur gagah nan kekar itu melangkah panjang menuju ruangannya. Di belakangnya setengah berlari Fabian menyusul. Mensejajarkan diri begitu berada dekat dengan atasannya itu.

"Bu Agata marah besar, Pak. Pak Henry datang terlambat hari ini. Dan Pak Henry juga melewatkan acara penyambutan Bapak." Fabian berkata.

"Aku tahu. Untuk soal itu aku punya alasan."

"Macet?" Fabian menebak, mengangkat sebelah alisnya. Sebab tak jarang kata itu yang kerap menjadi alasan Henry. Bahkan ketika pria itu mengepalai sebuah kantor cabang di luar kota. Dan Fabian sudah bekerja dengannya bertahun-tahun lamanya.

"Lalu apa lagi?"

Fabian mengangguk. Sebuah alasan yang masuk akal. Sebab jika alasannya perempuan, justru itu yang tidak masuk akal. Karena Henry bukan tipe pria yang suka bermain perempuan. Walau pria itu suka mendatangi kelab-kelab malam.

Setahu Fabian, hanya ada satu wanita yang mengisi relung hati Henry. Seorang cinta lama yang belum bisa dilupakannya sampai detik ini. Pernah sekali tanpa sengaja Fabian melihat foto seorang perempuan cantik tersimpan di laci meja kerja Henry. Hanya sebuah foto lama. Terlihat dari seragam putih abu-abu yang dikenakan perempuan itu. Jadi Fabian berkesimpulan, bahwa perempuan itu kemungkinan adalah cinta pertama Henry. Namun masih senantiasa mengisi hatinya hingga kini.

Mungkin.

Sebab atasannya yang tampan itu masih betah melajang sampai hari ini. Padahal ada banyak perempuan cantik di luar sana mengantri untuknya. Namun pria yang satu itu tak pernah memperlihatkan ketertarikannya.

"Oh ya, Pak Henry ada pertemuan dengan klien dari Jepang satu jam lagi." Fabian mengingatkan.

"Aku tahu. Walaupun aku datang terlambat, apa pernah sekali pun aku melewatkan pertemuan penting, Fabian?" Henry melirik Fabian, menarik sudut bibir tipis. Lalu menghentikan langkah.

Di depan pintu ruangannya berdiri seorang pria. Yang menunggu gelisah kedatangannya. Tangan pria itu mendekap sebuah buket bunga mawar merah. Senyum pria itu terkembang begitu netranya menangkap dan mengenali sosok Henry.

"Selamat siang, Pak Henry. Saya Angga, Pak. Karyawan divisi pemasaran. Saya hanya ingin memberikan ucapan selamat datang untuk Pak Henry di kantor pusat." Angga berkata sembari menyodorkan buket bunga mawar merah itu kepada Henry. Yang diterima Henry dengan berkerut dahi.

"Maaf, Pak. Jangan salah paham dulu. Itu adalah bunga kesukaan istri saya." Angga memberi penjelasan agar tak mengundang salah asumsi. Karena buket bunga mawar merah biasnya sering diberikan oleh seorang pria kepada pujaan hatinya sebagai tanda cinta. Dan Angga tidak sedang jatuh cinta saat ini. Angga hanya meminta bantuan Areta, istrinya untuk membelikan buket bunga untuknya sebelum Areta berangkat ke salon. Tak disangka Areta malah memilih bunga kesukaannya.

Henry menaikkan sebelah alisnya. "Jadi kamu ngasih istri kamu buat saya?" kelakarnya.

Angga kalang kabut. Kebingungan sembari menggaruk tengkuk. "Bu-bukan begitu maksud saya, Pak. Saya ... Saya ..." Angga mencari-cari jawaban yang tepat untuk menanggapi candaan Henry. Agar jangan sampai menyinggung Henry.

Tak disangka, bukannya marah Henry malah tertawa melihat tingkah Angga. Angga pun ikut tertawa. Padahal ia bingung entah apa yang membuat Henry tertawa.

"Saya hanya bercanda." Henry berkata tiba-tiba.

Angga pun menghentikan tawanya seketika.

"Tapi jika seandainya saya meminta istri kamu, apa kamu mau ngasih istri kamu ke saya?" sambung Henry. Entah bercanda atau serius berkata demikian.

Angga pun kembali di buat kebingungan. Bola matanya berotasi liar, ia berada diantara kebingungan dan keraguan hati. Memberikan jawaban tidak, tapi ia kini sedang dalam misi mencari muka. Dan jika ia memberikan jawaban iya pun, apakah hal itu terdengar keji? Sebab terkesan seperti ia menjual istrinya sendiri.

Sedangkan Fabian hanya berkerut dahi mendengar kelakar atasannya yang terdengar aneh dan garing itu.

"Ya sudah. Kalau begitu saya masuk dulu. Tidak usah ditanggapi serius omongan saya. Saya hanya bercanda. By the way, terima kasih bunganya. Saya suka. Permisi!" Henry pun bergegas masuk setelah Fabian membukakan pintu untuknya.

"Terimakasih, Pak Henry." Angga meniupkan napasnya lega begitu Henry berlalu. Semula ia mengira Henry adalah tipe atasan yang arogan. Rupanya Henry tidak seperti kabar yang berembus, bersifat dingin dan angkuh. Namun ternyata Henry adalah orang yang supel, ramah, bahkan sopan meladeni karyawannya.

Baru saja Henry mendaratkan pantat di kursi kerjanya, pintu ruangan kembali di dorong terbuka oleh seseorang. Yang mengalihkan perhatian Henry seketika.

"Ya ampun, Henry. Kamu bikin Mama kesel dari tadi. Ke mana saja kamu, hah? Kok bisa di hari sepenting ini kamu malah datang terlambat, sayang." Agatha langsung mencerocos begitu memasuki ruangan. Seraya menghampiri Henry.

Henry menegakkan punggung. Lalu meraih buket bunga mawar merah di atas mejanya. Buket bunga itu ia berikan kepada Agatha.

"Ini buat Mama." Sembari mengulum senyumnya, Henry menyodorkan bunga itu.

Agatha memicing sebelum akhirnya menerima buket bunga tersebut. "Kok sempat-sempatnya kamu beli bunga buat Mama. Bunganya cantik lagi. Ini kamu sendiri yang pilihin buat Mama?" Kebawelan Agatha langsung menguap ketika menerima seikat bunga mawar merah kesukaannya. Jarang-jarang sang putra membelikannya bunga seperti ini, selain mendiang suaminya.

"Apa sih yang tidak buat Mama. Mama suka dengan bunganya?"

"Jelas suka dong. Selain almarhum papa kamu, Mama tidak pernah lagi menerima buket bunga mawar merah kesukaan Mama seperti ini. Oh ya, nanti malam kamu ada acara tidak?" Bukannya melanjutkan omelannya, gelagat Agatha malah terlihat mencurigakan kali ini.

"Kenapa memangnya?"

"Teman arisan Mama mengundang Mama makan malam di rumahnya."

"Terus?"

"Anaknya baru pulang dari Amerika. Dia baru menyelesaikan studinya di sana."

"Anak teman Mama itu perempuan atau laki-laki?"

"Perempuan sih ... Tapi_"

"Sorry, Ma. Aku tidak punya waktu malam ini. Aku sudah ada janji dengan teman." Henry langsung menyela ucapan Agatha. Karena ia tahu Agatha selalu saja mencari celah untuk menjodoh-jodohkannya. Dan Henry sungguh sangat tidak menyukai hal itu.

Agatha meniupkan napasnya kesal. "Ya sudah. Kalau begitu Mama ke salon dulu sama kakak kamu. Mama sudah janji soalnya. Oh ya, tapi jangan lupa ya, sejam dari sekarang kamu temui klien kita yang dari Jepang itu."

"Don't worry, Mom."

"Ya sudah, Mama pergi dulu." Agatha pun bergegas meninggalkan ruangan direktur.

Membuang napasnya lega, Henry menyandarkan punggung. Lantas merogoh ponsel dari kantong dibalik jasnya. Beberapa menit berselang, seulas senyum tipis terukir di wajah Henry. Sembari menatap sebuah foto lawas di layar ponselnya itu.

"Areta ..." Henry bergumam sambil tersenyum. Membuat Fabian yang berdiri di seberang meja berkerut dahi.

*

ACDO Bab. 3

Bab. 3

Kenjiro Hiroshi, seorang klien dari Jepang terpukau oleh kepiawaian Henry dalam mempresentasikan produk-produk Dreams Food. Kesantunan Henry dalam bertutur dan bersikap menjadi salah satu nilai tambah bagi pria berusia 32 tahun tersebut. Selain paras yang rupawan serta postur yang menunjang daya pikatnya.

Dreams Food berhasil menjalin kerjasama dengan perusahaan yang bergerak di industri yang sama di Jepang. Produk-produk Dreams Food tak hanya di ekspor ke Jepang, tetapi sebagian akan di produksi langsung di Jepang dan akan di pasarkan di banyak pusat perbelanjaan di Jepang.

Hal ini merupakan keberhasilan Dreams Food dibawah pimpinan Henry Adiswara. Sebelumnya kepemimpinan berada di tangan ibunya setelah ayahnya meninggal. Sedangkan Henry sendiri masih bekerja di kantor cabang, memulai karirnya dari awal hingga akhirnya ia siap memimpin kantor pusat.

Meeting penting dengan Kenjiro Hiroshi berlangsung satu jam lamanya. Usai meeting mendadak Henry memiliki urusan penting lain di luar kantor. Fabian menawarkan diri menyupiri Henry, namun Henry menolak. Sebab Henry lebih suka menyetir sendiri.

Fortuner hitam yang dikendarai Henry terlihat memasuki pelataran parkir rumah sakit Sinar Harapan. Tak bergegas turun, Henry malah berdiam diri di dalam mobil itu sembari mengamati keadaan di luar. Sepasang netranya senantiasa mengawasi pintu masuk rumah sakit tersebut.

"Areta ..." gumam Henry lirih dengan senyum tipis mengukir di bibirnya. Dengan pandangan fokus pada pintu masuk.

...

Rosalina Adinata, gadis kecil berusia lima tahun yang sering disapa Rosa itu sudah siuman tiga puluh menit yang lalu. Duduk di bangku kecil di sisi ranjang, Areta tengah menyuapi sang putri dengan potongan apel.

Kata dokter, Rosa mengalami sesak napas. Sebuah kondisi yang kerap terjadi pada penderita kelainan jantung seperti Rosa. Hal ini merupakan suatu kondisi yang tidak bisa dianggap remeh. Karena jika tidak cepat tertangani bisa berakibat fatal bagi si penderita.

"Rosa makan yang banyak ya sayang, biar cepat sembuh." Kalimat itu sudah terlalu sering didengar Rosa keluar dari mulut Areta, ibunya.

Dengan lesu Rosa membuka mulutnya, menerima potongan apel yang disuapi Areta.

"Papa di mana, Ma?" Lirih Rosa bertanya, menatap lesu Areta.

"Papa kamu kerja sayang. Papa kan harus cari uang yang banyak buat Rosa. Biar papa bisa ngajak Rosa jalan-jalan Disney Land, seperti yang Rosa inginkan." Cepat Wirda menyahuti pertanyaan cucunya. Sembari menghampiri, berdiri di sisi ranjang.

"Tapi Rosa maunya papa ada di sini temenin Rosa," kata Rosa pelan dengan mimik wajah merajuk cemberut.

"Kan di sini ada Oma sayang. Oma akan temani Rosa sampai kapan pun. Rosa sebaiknya jangan ganggu papa. Papa sedang sibuk cari uang yang banyak untuk biaya pengobatan Rosa. Biar Rosa cepat sembuh, biar Rosa bisa main lagi sama Oma, yah?"

Rosa tidak membalas lagi ucapan Wirda. Kini gadis kecil itu menekuk wajah. Setiap kali ia masuk ke rumah sakit, Angga jarang sekali menjenguknya. Angga lebih menyibukkan diri pada pekerjaannya, dengan dalih mengumpulkan uang untuk biaya pengobatan Rosa.

Angga akan datang menjenguk Rosa hanya jika sempat saja.

"Ibu kenapa bicara seperti itu? Rosa itu masih kecil, Bu. Anak seusia Rosa belum bisa memahami seperti apa kesibukan orangtuanya." Areta melayangkan protes, tak terima Wirda membebani pikiran seorang anak kecil seperti Rosa. Apalagi Rosa sedang sakit.

"Tidak apa-apa, Areta. Kadang anak kecil juga harus dikasih tahu. Agar mereka mengerti seperti apa orangtuanya bekerja keras banting tulang untuk menafkahi keluarganya." Wirda pun terkadang tak terima diprotes dan diremehkan oleh menantunya. Sebagai orangtua Wirda merasa sudah paling benar dalam hal berpendapat. Apalagi dalam soal rumah tangga.

"Tapi cara Ibu itu salah. Ibu tahu kan Rosa usianya baru lima tahun."

"Iya, Ibu tahu. Tapi Rosa ini anak yang pintar. Dia pasti bisa mengerti kalau kita sering memberitahu dia."

"Tapi bukan seperti itu caranya, Bu. Ibu su_"

"Aaah ... Sudahlah, Areta. Ibu tidak mau berdebat. Sekarang cepat kamu suapi Rosa. Bukankah kamu juga harus segera kembali ke salon? Kamu itu seharusnya mendukung Angga biar dia cepat mendapatkan promosi. Yah, minimal jadi manajer. Biar gajinya juga naik. Dan Rosa bisa secepatnya mendapatkan perawatan terbaik. Apa kamu tidak kasihan melihat anak kamu hanya menempati kamar kelas seperti ini? Sekali-sekali dia juga harus di rawat di kamar VIP." Wirda menyela ucapan Areta. Karena tak ingin kalah beradu argumen dengan sang menantu.

Areta pun hanya bisa meniupkan napasnya panjang. Tak ada kata lagi yang bisa ia layangkan sebagai protes. Ia tahu, memiliki mertua seperti Wirda yang terkadang bawel ini, ia harus menyiapkan mental sekeras baja. Sebab Wirda tidak pernah kehilangan alasan untuk beradu pendapat dengannya.

Namun meski begitu, Wirda adalah seorang mertua yang baik dan perhatian. Tetapi terkadang caranya dalam memberikan perhatian seringkali berada pada konsep yang berbeda.

...

Berdebar menunggu, Henry tampak gelisah. Pandangannya tak beralih dari pintu utama rumah sakit Sinar Harapan. Berharap yang ia tunggu-tunggu menampakkan wujudnya dari sana.

Entah hal apa yang membuat Henry mendatangi rumah sakit ini. Dorongan hatinya begitu kuat. Sepasang netranya ingin sekali melihat wajah itu lagi. Wajah wanita dambaannya.

Harapannya pun terwujud, seorang wanita cantik dalam balutan dress sederhana terlihat keluar dari pintu utama. Berjalan menghampiri mobilnya, lalu bergegas naik.

"Areta?" Henry tersenyum begitu Areta mendaratkan pantat di kursi samping kemudi.

Areta pun tersenyum sembari menyelipkan sebagian rambutnya yang tergerai ke telinga.

Senyuman Areta begitu manis, mampu menggetarkan kalbu. Henry pun terpesona. Lama tak bersua, Areta kini terlihat lebih menawan dan mempesona di usianya yang matang. Membuat kekaguman Henry bertambah berkali-kali lipat.

Semenjak dahulu, sejak masa putih abu-abu, Henry sudah mengagumi Areta dalam diam. Henry tidak memiliki keberanian untuk mengutarakan perasaannya kepada Areta kala itu. Sebab Areta termasuk salah satu bunga sekolah yang dikagumi dan didekati oleh banyak kumbang. Bersaing dengan teman-temannya yang lain, Henry merasa tidak percaya diri. Sehingga Henry memilih mengagumi Areta diam-diam. Bagi Henry, bisa melihat Areta saja sudah lebih dari cukup memberikan ketenangan di jiwanya. Sudah cukup mengobati hatinya yang dilanda kasmaran.

Sampai suatu ketika, Henry harus pindah sekolah ke luar negeri. Mengikuti ayahnya yang saat itu sedang merintis karirnya di sebuah perusahaan swasta. Areta berbeda kelas dengannya, sehingga ia tidak bisa berpamitan dengan wanita yang dikaguminya itu.

Percuma juga jika Henry berpamitan, sebab mungkin Areta tidak mengenalnya. Di sekolah, Henry termasuk siswa yang pendiam. Sehingga keberadaanya di sekolah itu sering terabaikan. Dengan kata lain, kurang populer.

Namun kini, dipertemukan kembali pada keadaan yang berbeda dan di usia yang sama-sama dewasa adalah suatu keberkahan tersendiri bagi Henry. Dunianya kembali berwarna dengan hadirnya Areta.

"Areta, aku ... aku ..." Henry mengatur deru napasnya yang mulai tak beraturan. Gugup menderanya seketika. Ia tak menyangka berada dalam jarak yang dekat dengan Areta seperti ini serasa membuat nyalinya menciut. Sama seperti dahulu.

Dilihatnya Areta tersenyum menatapnya. Dengan mengumpulkan keberanian, Henry mengulurkan tangan perlahan hendak menyentuh wajah Areta. Bersamaan dengan wajahnya yang perlahan mulai mengikis jarak.

Sedikit demi sedikit jarak itu semakin terkikis. Menurunkan pandangan dari sepasang mata teduh Areta, tatapan sayu Henry kini terfokus pada bibir merah merekah Areta yang sedari tadi menggodanya.

Jarak yang terkikis perlahan-lahan itu pun kini tak bersisa. Dengan lembutnya bibir Henry memagut mesra bibir Areta. Henry memejamkan matanya, menikmati sentuhan lembutnya, meresapi rasa yang merayu hati.

Betapa bahagianya Henry bisa meneguk manis bibir Areta setelah sekian lama mengagumi wanita itu. Henry semakin terbawa arus suasana yang ia ciptakan sendiri. Perasaan asing yang mulai menjalari aliran darah di sekujur tubuhnya, memaksa sesuatu yang tersembunyi di bawah sana bergejolak. Lalu mulai menuntut.

Henry semakin memperdalam ciumannya. Tak lupa jemarinya mulai nakal, menelusup masuk dari balik dress Areta. Jemari Henry mulai mengusap lembut paha mulus Areta, lalu ...

Drrrt ... Drrrt ... Drrrt ...

Suara getar ponsel disusul suara dering nyaring ponsel di atas dashboard mobil pun membangunkan Henry dari tidurnya.

"Oh, ****!" Henry mengumpat. Ia mengira yang terjadi beberapa saat lalu itu adalah kenyataan, namun ternyata hanyalah mimpi. Tetapi mengapa mimpi itu serasa nyata?

Henry pun tertawa kecil sembari menggeleng. Lalu hatinya bergumam,

"Andai mimpi itu menjadi kenyataan."

*

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!