Afrinda Sinatrani.
Hay! Aku Afrinda Sinatrani, sipemilik senyum manis dan kelembutan hati. Kenapa begitu? Tanya pada murid-muridku saja, mereka yang mengatakannya. Aku adalah salah satu pengajar di TK Bina Insani, di sekolah aku biasa disapa 'Miss Frind' tapi kalau sehari-hari aku disapa "Frinda atau Afrinda'.
"Afrinda, sudah jam berapa ini! Cepatlah bersiap, ojol kamu sudah di depan itu!"
"Iya, Strid. Ini udah selesai kok!" sahutku dari dalam kamar. Itu teman satu kostku, Astrid Banyu Wulandari.
Berkaca sekali lagi, semua sudah siap! Melangkah dengan hati gembira hari pertama bekerja setelah libur semester. Ah iya. Hampir lupa pesan kepala sekolah tadi malam, hari ini ada murid baru, senyumku makin mengembang sudah membayangkan akan seperti apa keriuhan anak-anaku di kelas.
"Afriiii!!"
Suara Astrid sudah menungguku di depan, panggilan yang kuanggap spesial dari temanku yang satu ini.
Aku sudah rindu anak-anakku!
🍆🍆🍆
Gharda Niell Alfonso.
Banyak orang yang bilang
Aku tampan rupawan
Tubuh tegap berisi
Dengan tatapan seksi
Membuat wanita tergila-gila!!
Ketukan pintu menghentikan aktifitas Gharda, pria duda matang itu sedang menata berkas pekerjaannya untuk dibawa rapat penting pagi ini. "Masuk!" suara dinginnya membuat pria yang baru saja membuka pintu itu sedikit segan.
"Tu-tuan Gharda, apakah anda ti-tidak berniat mengantar Nona Jelita ke sekolahnya?" Choki Rivzal Dean Putra, panggil dia Rivzal, asisten pribadi Gharda.
Mengesah napasnya kasar, Gharda berpikir sejenak. Pada akhirnya ia lebih memilih rapatnya dari pada putri semata wayangnya.
"Bi Emma yang mengantar Jelita. Saya ada rapat penting pagi ini," ucap Gharda tegas.
Ya. Inilah yang dialami keluarga kecil ini, ayah yang kurang memberikan kasih sayang pada putrinya.
Buk!
Satu boneka panda kecil mendarat mengenai bahunya, berbalik menatap tajam pada gadis kecil yang sedang mematung si pelaku pelempar boneka di anak tangga.
"Jelita," lirih Gharda menahan emosi. Tidak boleh sampai membentak putrinya, jangan.
Dipungut boneka lalu memberikannya pada bibi Emma.
"Maaf Tuan, Nona tidak menyukai boneka itu. Itu pemberian dari Nona Tiffany tadi malam, dan maafkan Nona Jelita sudah bersikap tidak sopan pada Tuan." Bibi Emma berucap takut-takut.
Gharda tidak menyahut, ia hanya menatap nanar boneka malang itu. Lagi dan lagi Jelita melawannya jika tentang kekasihnya, Tiffany.
Sebuah kesalah pahaman yang tidak kuat dasarnya, tega menyimpan rasa tidak suka pada anaknya Sendiri. Dialah Gharda, ayah yang meragukan tentang anaknya sendiri.
🍆🍆🍆
Jelita Niellxie Alfonso.
"Oma Bibi, aku nggak mau sekolah," rengeknya pada pengasuh yang sangat dekat dengannya.
Bibi Emma terus merayu nonanya untuk tetap bersekolah, setelah kepergian ayahnya dan penolakan tidak mau mengantarnya tadi, Jelita menangis kencang dan merusak tatanan rambutnya.
Semakin dibujuk semakin kencang tangisannya, digendong dipaksa menaiki mobil masih terus menagis dipangkuan pengasuhnya. Waktu semakin berlalu, hampir saja gerbang ditutup karena sudah memang waktunya.
Jelita masih dalam gendongan Bibi Emma dan penampilannya berantakan, tidak sempat merapikan kembali karena ini sudah terlambat.
Sekecil Jelita masih hanya bisa menagis meluapkan rasa kekecewaannya, tatapannya kosong mengintai ruang kelasnya.
Bibi Emma mengusap air matanya merasa ikut sedih, ia tahu betul kisah kelahiran Jelita. Ibu kandung Jelita sudah tiada karena kecelakaan yang menewaskan dirinya dan yang katanya selingkuhannya, meninggalkan sejuta kebencian dan dendam di hati Tuan Gharda, Bahkan Jelita turut kena imbasnya. Padahal Jelita masih satu tahun waktu itu, tapi rasa kecurigaan bukan darah dagingnya dan dendam penghianatan ibu kandung Jelita membuat hati Tuan Gharda membeku.
Jelita tidak tahu apa yang menyebabkan ayah tidak menyayanginya, dia hanyalah korban kesalahpahaman orang dewasa itu. Semampu mungkin ia masih berharap agar ayahnya datang menggendongnya dan mengantarnya ke sekolah seperti anak yang lain.
🍆🍆🍆
Jessica Tiffany Areva.
Tiffany si gadis penuh obsesi dan ambisi!
"Hah! Masih pagi sudah buat emosi!" serunya kesal melempar ponsel ke atas ranjangnya, Gharda sedang sibuk dan menolak ajakan makan siang bersama.
Padahal dia sudah sengaja mengosongkan jadwalnya dua jam siang nanti, tapi Gharda justru sibuk terus.
Beginilah perjalanan hubungan mereka yang tidak ada perkembangan, mau putus tapi ini aset. Gharda sangat kaya raya dan mudah menjaga ketenaranya di dunia entertaimant, mana mungkin ia memutuskan Gharda. Tetapi Gharda adalah pria bukan typenya, tidak romantis dan sangat kaku. Royal sih royal, tapi ia butuh semuanya dari Gharda.
Saat Gharda tidak sibuk, justru ia yang sangat sibuk. Meminta Gharda mampir menemaninya syuting, sampai dirayu berapa kalipun pria itu tidak mau. Ia yang datang ke kantor Gharda, tetapi rasanya ia gengsi sekali.
Pernikahan, itu belum terpikirkan. Apalagi ada Jelita yang masih tidak suka padanya, anak sialan itu! Jujur saja ia sangat membenci Jelita, jika boleh ia menikahi Gharda tapi tidak dengan Jelita anak tirinya. Ia hanya butuh Gharda dan hartanya, karena baginya Jelita adalah pesaingnya.
Tapi sampai sekarang pun ia masih berpura-pura baik pada anak itu, apa lagi setelah ia mendengar teguran dari Gharda untuk tidak memberi jelita apa-apa dulu. Boneka yang dibelikannya tadi malam justru dilemparkan pada ayahnya sendiri.
"Tiffany, coba lihat foto cowok ini?"
Tiffany menerima uluran tangan Shandi managernya, tersenyum sekilas.
"Siapa dia?"
"Fotographer yang akan bekerja sama dengan kita besok, umurnya masih dibawah kamu. Prestasinya dalam bidang fotographer sangat memukau, dan dia tampan'kan?"
"Baiklah, aku sendiri yang jadi model majalahnya kali ini. Batalkan saja model yang sudah kau pesan itu, dan aku akan menggatur jadwal syuting filim yang akan kubintangi."
"Kenapa begitu? Kau bisa rugi, mereka bisa mencari aktris lain menggantikan peranmu?"
"Tidak masalah, masih banyak job lain menantiku. Dan aku sudah tidak sabar untuk bekerja sama dengan pria itu. Juardan Pratama Ikshandar!" ucapnya dengan tatapan aneh pada foto yang masih dipegangnya.
Tiffany dia mampu melakukan apa saja demi mencapai keinginannya, menutupi identitas aslinya demi menjerat seorang pria yang bisa mempertahankan popularitasnya.
🍆🍆🍆
Juardan Pratama Ikshandar.
Untuk menghilangkan rasa bosan di dalam pesawat, ia menatap dan mengusap lembut sapu tangan biru muda di tangannya. "Semoga Tuhan merestui langkahku untuk mencarimu, gadis sapu tanganku," gumamnya penuh harap.
Ardan sengaja menerima tugas penerbangan ke kota ini sekaligus mencari gadis sapu tangannya, karena ia bertemu di kota ini dan terpikat gadis senyum manis itu.
Setelah dua tahun kejadian pertemuan itu, barulah ia punya kesempatan untuk kembali ke kota ini. Tentu ia masih ingat sekali wajah gadis itu, suaranya, senyumnya, aroma tubuhnya, hanya namanya yang lupa-lupa ingat. Semoga mereka dipertemukan.
Sipencari cinta sejati, harus sepintar mungkin mempertahankah miliknya.
👇👇👇
Nada irama bel sekolah berdering pertanda jam pelajaran dimulai, murid-murid berbaris rapih di lapangan mini menunggu arahan kepala sekolah.
"14,,,kurang satu murid lagi atau bagaimana?" lirih Ticha guru pengajar menghitung barisan siswa. Netranya menelisik satu-persatu barisan.
"Miss Ticha, ada apa?" Afrinda datang menghampiri guru satu team di ruang kelasnya.
"Miss Frin, katanya hari ini ada murid baru ya? Tapi kok siswa di kelas kita masih 14?"
Afrinda menenangkan partnernya yang kelihatan kebingungan, tidak sengaja matanya bertatapan dengan salah satu muridnya. Menunduk wajahnya mengusap punggung murid perempuan itu lembut. "Allen kenapa, sayang?"
Yang dipanggil Allen tersenyum sejenak. "Miss, tadi waktu Allen masuk kelas, ada teman baru duduk di samping bangku Allen. Tapi karena dia terus menangis, jadi orang tuanya membawanya keluar," cerita Allen.
Paham apa yang terjadi, Afrinda menitipkan anak-anaknya untuk Miss Ticha yang lebih dulu membuka kelas, berjalan ke arah ruang guru mencari dimana murid yang diceritakan Allen tadi.
Tidak jauh dari lokasi gedung sekolah, Afrinda melihat sosok wanita paru baya duduk di salah satu bangku ruang tunggu sedang membujuk gadis kecil.
Perkenalan singkat antara Afrinda dan Bibi Emma, namun saat Afrinda mencoba mengajak Jelita berbicara dan gadis itu buang muka.
"Oma Bibi, boleh tinggalkan kami ber dua?"
Bibi Emma tersenyum mengangguk menyingkir dari bangku, dari wajah wanita ini terlihat ketulusan di sana.
"Siapa namanya, sayang?" tanya Afrinda lembut.
Satu detik....
Satu menit...
Menghela napas kasar Afrinda tetap tersenyum. Perlahan tangannya terulur menggapai ujung rambut panjang gadis ini yang tergerai bebas. "Rambutnya cantik sekali," pujinya menyentuh lembut helaian rambut gadis ini.
Tidak ada penolakan, Afrinda mulai berani menata rambut halus milik gadis ini. "Boleh Miss ikat rambutnya?"
Anggukan kecil gadis ini menyetujui.
"Coba lihat, sayang. Miss ada bawa karet cina warna-warni loh, cantiknya suka warna apa mau diikat di rambutnya?"
Tampaknya usahanya tidak sia-sia, gadis ini mengangkat wajahnya menatap sedikit berbinar plastik bening yang berisikan karet cina cukup menarik perhatianya.
"Semuanya," jawabnya malu-malu.
"Semua karet cinanya atau suka semua warna, sayang?" Afrinda terus memancingnya agar berbicara.
"Warna."
"Baiklah. Belakangin Missnya, ya, biar Miss ikat rambutnya."
Memuatar badannya Afrinda mulai menyisir lembut rambut gadis ini. Sembari mengikat rambut Jelly, Afrinda kembali bertanya "Miss boleh tau tidak siapa namanya, mengaSayang?"
"Kan'tadi Oma Bibi sudah beritahu siapa nama aku."
Nyesss..
Sepertinya anak ini sulit didekati, pikir Afrinda. "Iya juga ya. Tapi Miss mau tahu langsung dari kamunya langsung."
"Jawabannya pasti sama saja, namaku tidak akan ganti." Suaranya memang imut tapi ucapannya sangat menohok.
Afrinda gemas sendiri tapi dia tidak akan menyerah mendekati gadis ini. "Baiklah, Miss kalah. Jelly, nama kamu Jelly, J-e-l-l-y!"
"Bukan itu nama aku," sahutnya culas tidak terima namanya diganti namun tidak menolak kepalanya yang disentuh Miss ini.
"Tapi Miss lebih suka memanggilmu Jelly, karena wajah kamu semanis Jelly," rayu Afrinda.
Jelita diam mencerna ucapan Missnya. "Jelly, Jelita, Jelly," lirihnya kecil seraya memikirkan nama panggilan itu.
"Sudah Selesai! Ayok pegang rambutnya, Jelly. Pasti Jelly suka sama ikatan Miss."
Benar saja. Jelita tersenyum-senyum meraba kepala belakangnya sesekali memainkan ikatan rambutnya, "Jelly."
"Cantik'kan?" tanya Afrinda antusias.
Jelita mengangguk antusias dan senyumnya mulai merekah.
"Sekarang Miss mau lap wajah sedihnya Jelly pakai tissu basah, kan'jelek wajah murung begitu. Mau'kan?"
"Mau," jawab Jelita mulai mengeluarkan suaranya.
Dengan lembut Afrinda menyeka seluruh wajah Jelly dan setelah itu memberinya permen manis sebagai tanda perkenalannya. Jelly menggemgam erat tangan Miss Frin sudah berani mengangkat wajahnya.
"Nama aku Jelita Niellxie Alfonso." Bahkan Jelly sudah mulai tersenyum oada teman-temannya.
"Namanya panjang sekali."
"Namanya sulit diingat."
Bisik-bisik ruangan kelas menanggapi perkenalan teman baru mereka.
"Anak-anak Miss yang cantik dan tampan, panggil teman barunya Jelly, J-e-l-l-y!" seru Afrinda memperjelas nama Jelita.
"Haiii Jelly!!"
Di luar kelas di balik jendela kaca, Bibi Emma menangis terharu sambil merekam kejadian itu menggunakan ponselnya.
👇👇👇
Sibuk bekerja satu harian membuatnya lupa waktu sampai jam 18:30 tidak pulang, merapikan berkasnya membuka ponselnya.
"Kita makan malam sekarang! Mengganti makan siang yang tertunda tadi, aku tunggu di kafe FrendFOOD.
❤Tiffany❤*"
Sebenarnya ia sudah lelah sekali, tapi akan lebih rumit lagi bila menolak kemauan kekasihnya ini. Melepas jasnya lalu keluar dari ruangannya.
Belum sempat menginjak pedal gas mobilnya, dering ponsel membuat moodnya hancur.
"Sabar dong, Tiff. Aku juga mau berangkat ini!" serunya nada tinggi tampa membaca nama sipemanggil.
"Mau kemana kamu sama perempuan itu?"
Suara itu! Astaga! "Ma-ma," lirihnya.
"Dengarkan Mamah. Jangan sampai kedatangan mamah sia-sia dan kamu memilih pergi bersama perempuan itu, mamah tunggu kamu di rumah. Pulang sekarang!"
Gharda memijat keningnya frustasi, Tiffany pasti sudah menunggu di sana.
.
.
"Oma, Jelita lapar," rengek Jelita mengusap perutnya menatap makanan yang tersaji di depannya.
"Sabar ya cucunya oma. Ayah kamu sebentar lagi pulang, kita makan sama-sama," bujuk Mamah Syeni mengusap rambut cucunya. "Jelita kok masih ikat rambut udah malam gini?" Mamah Syeni merasa ini tidak biasa, bahkan Jelita cendrung tidak suka rambutnya diikat sampai sebegininya.
Mendengar pertanyasn omanya, ingatan kejadian tadi mengalihkan rasa laparnya berganti menjadi antusias menceritakan Miss Frindnya. "Missku itu baik sekali, Oma. Ikatan rambutku juga cantik, makanya Jelly tidak mau lepaskan, biar ikatan ini sampai besok saja terus tadi Miss frind udah janji mau mengikat rambutku besok di sekolah," ceritanya panjang lebar.
"Oh ya? Eh tapi, Oma tadi dengar kata Jelly. Jelly itu apa?" Mamah Syeni terlihat bahagia dan terharu melihat perubahan drastis cucunya, sudah mau membuka diri berbagi cerita tentangnya. Sepertinya ia harus berterima kasih bila perlu besok ia harus bertemu dengan Miss Frind yang dipuji-puji cucunya.
"Jelly itu aku, Oma Cantik. Miss Frind memanggilku Jelly, dan teman-teman baruku juga."
Senyum itu sudah sangat jarang sekali, cucunya tidak pernah selepas itu saat bercerita. Syeni bisa merasakan ketulusan guru itu melalui kejujuran hati Jelita.
"Mulai sekarang Oma juga akan memanggilmu, Jelly. Bahkan seluruh penghuni rumah ini pun akan memanggilmu Jelly. Jelly suka?"
"Sukka Oma, Jelly!" Jelita bersorak sambil tepuk tangan.
Bahkan para maid di rumah itu pun turut menangis terharu menyaksikan senyuman ceria nona kecil mereka.
"Mama!"
Seketika mendengar suara itu, senyum Jelita menghilang berganti wajah masam melihat siapa yang datang bersama daddynya. "Tante Menor," ucapnya pelan.
"Tan-" Tiffany mengatupkan bibirnya hendak menyalam, Mamah Syeni langsung membuang mukanya.
"Langsung makan saja, cucuku sudah kelaparan," ujar Syeni datar.
Mereka makan dengan suasana mencekam tidak ada percakapan sama sekali, Jelita sudah mandiri dengan cara makannya tapi sesekali omanya tetap memantau Jelita makan.
"Uhhuk uhukk!"
"Jelita!" Tiffany sigap menolong Jelita yang sedang batuk saat menguyah. Memasang wajah khawatir tangannya mennepuk lembut punggu Jelita yang masih mengemut makannya.
"Huuekk!!" Jelita memuntahkan makanan dari mulutnya ke dalam tangan Tiffany yang memang berada di bawah bagian rahang Jelita.
"Jelita," Gharda mendesis tajam. Sementara Jelita menunduk takut air matanya mulai tumpah.
"Tidak apa-apa, kok. I-ini tinggal dibersihkan saja." Sumpah demi apa pun, ini menjijikan sekali. Tiffany menahan rasa mualnya dan kesal setengah mati.
"Minta maaf sekarang juga, Jelita." Gharda tanpa sadar membuat Jelita semakin ketakutan karena suara ayahnya yang terdengar mengancam.
"Jelita!"
"Gharda!" Syeni berdiri membentak putranya menatap tajam. Tangannya memeluk Jelita yang sudah menagis sesenggukan.
"Kau membentak putrimu!"
"Tapi dia harus diajarkan meminta maaf, ini kesalahannya." Gharda tidak terima.
Syeni semakin mengrutkan pelukannya pada cucunya yang sudah sesenggukan menangis.
"Tiffany. Atas nama cucu saya, saya minta maaf. Dan sekarang bersihkan tanganmu. Kau Gharda. Harusnya kau bisa menilai mana musibah yang tidak disengaja dan yang mana kesalahan. Bukannya mencemaskan putrimu sendiri, justru mencemaskan orang lain. Kau antar Tiffany pulang, setelah itu kau langsung pulang. Mamah mau bicara!"
Setelah mengatakan itu Syeni mengendong Jelita menuju kamarnya. Berlalu meninggalkan Gharda dan Tiffany, berbalik sebentar menatap nyalang pada keduanya..
👇👇👇
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!