Devano Michael Kenaan pemuda tampan dengan tingkat kedisiplinan tinggi di SMA Dirgantara. Statusnya sebagai ketua OSIS membuat siapapun siswi di SMA Dirgantara mengaguminya.
Sikapnya dingin, keras dan tak segan kepada siapapun yang tidak menaati peraturan. Namun, dibalik topengnya itu ia menyimpan banyak rahasia.
Brukkkk!
Keyra, gadis berkaca mata murid baru di sekolah itu tak sengaja menabrak Devano yang tengah mendisiplinkan murid-murid yang terlambat.
"Lo telat lima belas menit, keliling lapangan 10 kali tanpa protes." Devano menatap sengit ke arah Keyra.
"Heh, cupu! Malah bengong!" bentak Devano seketika membuat Keyra tersadar.
"Hmmm." Keyra hanya berhmm ria sambil berlalu.
"Huh, dasar iblis menyebalkan, kalau bukan karena penampilan gue yang seperti ini. Gue yakin, lo gak bakalan berani bentak-bentak," batin Keyra menahan kesal.
Mau tak mau, Keyra pun akhirnya menyusul murid-murid yang sedang menerima hukuman dengan mengelilingi lapangan. Devano melipat tangannya di depan dada sambil mengawasi mereka satu persatu.
"Heran! Setiap hari gue selalu disiplin meski pulang malam. Tapi, mereka? Si cupu dan para sampah itu justru tidak bisa disiplin sama sekali." Devano menggelengkan kepala.
Keyra Alzein, ia terpaksa menyamar menjadi cupu demi sebuah misi dari Papanya. Menjadi anak pemilik yayasan sama sekali bukan kemauannya. Namun, demi bisa menikmati hidup dan demi menyelidiki kejanggalan kematian saudaranya, Keyra rela melakukan apapun termasuk mengubah penampilan saat masuk SMA Dirgantara.
"Gue udah selesai." Keyra berujar tanpa menatap Devano.
"Balik ke kelas!" titah Devano.
Keyra tak menjawab, ia mempercepat langkahnya untuk sampai kelas. Begitu pun Devano yang berjalan di belakang Keyra dengan tangan dimasukkan ke saku celana. Seketika kelas menjadi riuh karena kehadiran keduanya yang bersamaan.
"Wihhh si buruk rupa dengan pangeran tampan, Ck! Pemandangan langka. Heh cupu! Punya muka ya lo jalan barengan sama ketua OSIS kesayangan kita." Moza dan teman-temannya tersenyum sinis.
"Berisik!" desis Keyra melewatinya begitu saja, ia masuk ke dalam kelas dan duduk. keyra bukan tidak tahu siapa Moza, sebelum masuk ia bahkan sudah mendapatkan informasi dari guru kesayangannya perihal sebagian siswa-siswi SMA Dirgantara yang memiliki kelakuan absurd.
Devano hanya melewati mereka dengan ekspresi datar dan masuk menyusul Keyra. Bukan, bukan menyusul lebih tepatnya ia masuk ke dalam kelas. Tempat duduk yang berdekatan, membuat Devano tekesan mengikuti Keyra padahal sebenarnya ia sedang menuju tempat duduknya sendiri.
"Pinjem penghapus, punya gak lo?" Devano menusuk-nusuk punggung Keyra dengan pensil.
"Gak usah colek-colek juga, risih." Keyra meletakkan penghapusnya di depan Devano, cowok itu menyeringai.
"Dasar cupu!" bisik Dev membuat Keyra hanya mampu berdecak.
Menyembunyikan identitas, berpenampilan culun kini ia bisa merasakan bagaimana menjadi orang biasa. Ternyata kebanyakan dari mereka hanya menilai dari wajah dan status sosial, mengerikan!
Dalam hati, Keyra menggerutu. Bagaimana bisa cowok sekejam Devano menjadi ketua OSIS dan dipercaya menghukum setiap murid yang terlambat di pagi hari.
Bell tanda istirahat berbunyi. Keyra masih belum mau beranjak dari bangkunya, hingga deheman Devano membuyar lamunan.
"Ehm, Cupu! beliin gue es dong," perintahnya. Keyra tak bergeming, bahkan sama sekali tak ingin menoleh ke arah Devano. Batinnya sebal, sangat sebal dengan si ketos yang berlaku seenak jidatnya itu.
"Eh Cupu! Budek ya, Lo?"
Merasa kesal, Devano setengah berteriak, hingga berhasil membuat penghuni kelas sebagian memilih kabur keluar.
Keyra menoleh, menatap segit ke arah Devano, "punya kaki 'kan? bisa jalan nggak? kecuali kalau lo lumpuh, baru deh gue beliin." Keyra beranjak dan berlalu begitu saja. Di balik jendela, Moza dan dua temannya memperhatikan Keyra dan Devano. Mereka merasa sangat emosi, lalu melangkah mengikuti kemana arah Keyra pergi.
"Kebetulan!" gumam Moza.
"Eh, mau ngapain kita bestie?" tanya Dina yang melihat seringaian dibibir Moza.
"Kalian, bantu gue kerjain si cupu!" perintahnya dengan senyum devil.
Dina dan Andin saling pandang, lalu sejurus kemudian ikut tersenyum.
"Siap, kemana si cucunguk itu?" tanya Andin yang sebenarnya juga tak suka dengan Keyra.
"Ke toilet, hahaha. Emang dah tu anak, yuk cuss kita mandiin," ajak Moza.
Dina dan Andin mengikuti di belakang ketua gengnya.
Tanpa sadar kelakuan mereka mendapat sorotan dari seorang Devano, akan tetapi laki-laki tampan itu tak perduli. Keyra bukan orang yang penting dan ia sedang kesal. Jika Moza mengerjai gadis itu, bukan hal yang merugikan untuk Devano.
"Bestie, waktunya beraksi!" ujar Moza, yang telah menyiapkan se ember air yang diambil dari belakang sekolah.
Bau busuk air got menyeruak indra penciuman mereka.
"Iyuhh, bau sekali bestie! Yakin mau disiram ke muka Keket?" cibir Andin.
"O iya dong, siapa suruh mau jadi pesaingnya my princess Moza." Dina mengompori sang ketua geng.
Sementara Moza hanya berdecih sebentar lalu pandangannya fokus menatap sekeliling.
"Aman, let's go!"
Meski seember kecil, jikalau toilet dalam keadaan rame tentu sudah pasti orang-orang curiga. Moza memastikan toilet dalam keadaan sepi, barulah ia mengkode dua bestie-nya untuk beraksi.
"Itu dia," ujar Moza menunjuk Keyra yang keluar dari pintu toilet.
Moza dan teman-temannya yang berada di tembok menunggu gadis itu muncul dan siap menyiram.
Satu, dua, tiga...
Byurrr!
"Aduh bestie, gue kira lo belum mandi. Makanya sekalian gue kotorin kan ya, biar wajah lo lebih estetic!" Moza tersenyum sinis, meski meleset target tapi nyatanya air got itu mampu membasahi sebagian tubuh Keyra yang terbalut seragam.
"Kalian ya!!!" Keyra mengepalkan tangannya geram. Moza dan kawan-kawannya sudah melewati batas.
"Ups! Dia marah bestie hahaha..." Dina tertawa, merasa lucu melihat si cupu begitu menjijikkan.
Amarah mengusai diri Keyra, terlebih saat Moza berusaha meraih kacamatanya.
"Balikin! Jangan mentang-mentang lo orang kaya terus bisa seenaknya sama gue. Gue gak akan takut sama kalian!" teriak Keyra, berusaha merebut kembali kaca matanya.
Tar!!
Kaca mata itu jatuh, saat tangan Keyra berusaha meraihnya, Dina dan Andin mencekal erat tangannya dan Moza menginjak kaca mata itu hingga pecah.
"Ups, Sorry egen, sengaja!"
"Yuk gaes! Balik, sebelum dia nangis dan ngelapor ke Guru BK," ajak Moza.
Mereka bertiga berlalu, sementara Keyra meratapi tubuhnya yang bau dan kaca matanya yang rusak. Tangannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Belum selesai penderitaannya, kini sepanjang jalan keluar toilet orang-orang melihatnya jijik, ada yang tertawa, mengolok bahkan ada yang sengaja meleparinya permen karet.
"Ya Tuhan, rambutku!" teriaknya frustasi. Air matanya meleleh, bahkan ia hanya bisa menangis di kursi belakang sekolah, dibawah rindangnya pohon dan jauh dari jangkauan orang-orang.
Keyra menatap rambutnya, seorang siswi dengan sengaja melempar permen karet bekas kunyahan ke arahnya. Sial sekali, permen karet itu sekarang bersarang di rambutnya membuat Keyra bukan hanya mendekus sebal tapi juga hampir menangis lagi. Rambut panjangnya, rambut kesayangannya apakah akan berakhir dengan dipotong?
"What the hell, orang-orang itu! Aku akan membalasnya suatu hari nanti."
"Kalian, berani-beraninya merudung Keyra!" Suara serak Pak Reyhan menggema.
Moza, Andin dan Dina hanya menunduk. Sementara Keyra, ia telah izin pulang satu jam yang lalu sebab seluruh seragamnya kotor dan tubuhnya bau.
"Kami hanya bercanda, Pak!" elak Moza, masih dengan wajah menunduk dan tangan memainkan jari-jarinya. Sementara Dina dan Andin hanya diam saling pandang dengan bahu saling menyenggol.
Devano, sebagai Ketos sekaligus kepercayaan Pak Reyhan masuk ke dalam ruang BK.
"Devano, hukum murid-murid ini! Mereka sudah menyiram anak..." Reyhan hampir keceplosan, diam sebentar lalu mengantur napas.
"Mereka menyiram Keyra dengan air got, kamu tentu tahu hukuman apa yang pantas bagi murid yang sudah berani merudung murid lain. Hal seperti ini, mana bisa dibiarkan!"
"Baik, Pak! akan saya laksanakan," ujar Devano. Meminta Moza dan kedua teman mengikuti langkahnya menuju kamar mandi.
"Kalian bertiga, bersihkan kamar mandi sampai bersih. Itu masih belum seberapa, dibanding apa yang sudah Keyra alami hari ini," tegasnya dengan tatap mata tajam.
"Dev, kita bisa bicarakan ini baik-baik kan?" Rayu Moza, tangannya mengusap-usap dada Devano lantas tersenyum manis agar ketos dingin itu terpikat.
"Jauhkan tangan lo, lancang sekali!" makinya.
"Pria normal manapun tidak akan menolak wanita seperti gue, apa lo gila?" kesal Moza, merasa tak terima dirinya ditolak oleh Devano.
"Tapi sayangnya gue gak normal!" tegas Devano, ia melangkah meninggalkan tiga wanita itu. Sebelum benar-benar menjauh, kembali menoleh dan menatap sengit geng Moza.
"Bersihkan sampai bersih, jangan sampai aula depan menanti kalian karena tak membereskan hukuman!"
Namun, hukuman hari itu tak menjadi sesuatu yang membuat mereka bertiga jera. Saat melihat Keyra masuk dengan rambut yang sudah dipotong, Moza dan kawan-kawannya kembali berulah di kantin.
"Ups, kemana rambutmu bestie? Apakah digantung lalu dipotong karena jelek," ujar Moza tersenyum sinis, meraih ujung rambut Keyra dan menariknya.
"Ups sorry, ketarik! Sengaja," ujarnya lagi.
Brakkkk!
Keyra menggebrak meja, membuat siapapun disana terkejut akan sosok gadis berkaca mata itu.
"Lo pikir kalau lo narik rambut gue, gue gak berani bales hah?" Keyra langsung menarik rambut Moza bahkan menjatuhkan wajah gadis itu hingga membentur meja. Moza yang tanpa persiapan mendapat serangan Keyra hanya bisa meringis menahan sakit hidung dan dahinya karena benturan tangan Keyra cukup keras.
"Eh buset, arogan amat sih lo. Moza gak sengaja, ya kan teman-teman!" Andin bangkit, mengompori yang lain seolah tindakan Keyra sangat keterlaluan.
Dan keberuntungan seolah berpihak pada Moza, sebab orang-orang langsung menatap Keyra sengit.
"Rambut gue..." Ratap Moza setelah melepaskan diri, memandang sinis ke arah Keyra, merebut kembali kaca matanya lalu melempar ke sembarang arah.
"Burem kan lo? ngaca sana! Lo tuh cuma si cupu yang gak ada apa-apanya masih sok ngelawan gue, mau ngelawak lo hahaha!" Moza terbahak, senang sekali ia membully Keyra.
"Terus kenapa? Hah? lo pikir gue perduli sama kaca mata itu?" Keyra melipat tangannya di dada. Mulai hari ini, siapapun yang berusaha merudungnya, akan ia balas bagaimanapun caranya.
"Dasar lo, ya!" Dina langsung menyerang dari belakang, disaat yang sama, Moza meraih gelas berisikan es teh dan menyiramnya ke wajah Keyra.
"Moza!!!" bentak Devano. Ia baru saja memberi peringatan kemarin pada geng gadis itu, dan hari ini mereka berulah lagi.
"Key, lo gak papa?" tanya Devano. Pemuda itu menyodorkan sapu tangannya ke arah Keyra.
"Hm, thanks!" Keyra berujar singkat, meraih sapu tangan itu. Sementara geng Moza langsung digiring ke ruang BK setelah Devano meminta langsung Pak Reyhan datang ke tempat kejadian perkara.
"Ikut gue ke ruang BK," ajak Devano, tanpa permisi meraih tangan Keyra dan menariknya pelan berjalan menuju ruang BK.
Lagi lagi suara Pak Reyhan menggema, jelas beliau marah. Tiap kali melihat Keyra dirudung teman-temannya membuat laki-laki berumur dua puluh tujuh tahun itu geram ingin mengungkap identitas Keyra.
Menghela napas, Keyra mengusap wajahnya dengan sapu tangan milik Devano kedua kalinya. Merasa aneh, sebab laki-laki itu hari ini membelanya.
"Kalian ini bandel sekali, sudah dibilang jangan melakukan perudungan berapa kali hah? Mau saya panggil orang tua kalian?" bentak Pak Reyhan.
"M-maaf, Pak!" jawab Moza dan teman-temannya serentak.
"Apa gunanya minta maaf, kalau besok, besoknya lagi dan besoknya lagi kalian ulangi hah?"
Ketiganya masih menunduk, saat Devano masuk membawa Keyra, Guru BK itu semakin terkejut.
"Astagfirullah Key!" kesalnya setelah melihat wajah Keyra acak-acakan.
"Gak apa-apa, Pak! Sudah biasa, tapi tolong beri hukuman agar mereka lebih jera. Sebab, sekolah high class seperti ini sangat disayangkan jika memiliki murid berjiwa sampah!" desis Keyra.
Moza, Dina dan Andin langsung mendongkak, menatap sengit ke arah Keyra.
"Kondisikan mata kalian!" bentak Devano.
"Pak Reyhan, hukuman kali ini lebih baik Bapak saja yang memutuskan, agar kedepannya mereka punya rasa jera!"
"Baiklah, karena sudah begini! Saya akan buatkan surat panggilan untuk orang tua kalian," tegas Reyhan tanpa bantahan.
"Keyra!" Moza membatin dengan dada emosi.
Devano mengajak Keyra memasuki ruang OSIS.
"Ngapain kita kesini?" tanya Keyra tak mengerti.
"Mengganti seragam, itu basah." Devano menunjuk bagian da da tubuh Keyra.
"Hanya sedikit," gumam Keyra masih belum mengerti situasi sebenarnya.
Devano tak perduli, ia menarik tubuh kurus Keyra menyusuri ruangan OSIS.
Membuka pintu ke arah ruangan kecil khusus. Devano membuka lemari, ternyata disana tersimpan banyak seragam cadangan yang masih baru.
"Ini pakailah, lo bisa ganti di ruang kecil ini. Gue akan tunggu di luar!"
Keyra terdiam, masih enggan meraih seragam itu sebab seragamnya hanya basah sedikit, pikirnya.
"Apa perlu ganti?" tanyanya.
"Hm, terserah. Tapi..." Devano melirik ke bagian da da Keyra membuat gadis itu melotot kesal.
"Baju dalam lo keliatan dari luar, mana pink gitu!" Devano menaikk turunkan alisnya menahan tawa.
"Ishhh dasar lo m*sum!" maki Keyra, langsung menyambar seragam di tangan Devano dan mengusirnya keluar.
"Keluar kalau gak mau liat gue telan jang disini," ucap Keyra kesal.
"Ck! bukan gue juga yang rugi, malah bagus bisa dapat tontonan gratis disini!" Devano mencibir lantas keluar.
Tak berselang lama, Keyra keluar mengenakan seragam baru yang ternyata kebesaran di tubuhnya.
"Begini lebih baik, sangat cocok dengan penampilan lo yang cupu! tapi, ngomong-ngomong mata lo burem gak, kalau gak pake kaca mata?"
Keyra menyadari sesuatu, meraba wajahnya. Ia bahkan lupa kalau kaca matanya tak lagi ada diwajah karena kejadian di kantin tadi.
"Astaga, lupa gue!"
"Bisa liat jelas gak?" tanya Devano khawatir kalau-kalau Keyra memiliki masalah penglihatan.
Keyra menghela napas, " bisa lah!"
Melangkah keluar meninggalkan Devano yang terbengong-bengong karena jawabannya.
'Kalau bisa liat ngapain pakai kaca mata, aneh!' Batin Devano tak mengerti.
***
Kelas masih rame dengan masuknya Devano dan Keyra yang hampir bersamaan. Sorot mata siswa-siswi cenderung ke arah Keyra. Meski begitu, mereka hanya bisa membenci Keyra dari belakang dan tak sefrontal Moza si bunga sekolah.
"Kaca mata lo mana, Key?" tanya Maya. Satu-satunya siswi yang sering mengajaknya berinteraksi. Meski bukan teman baik, Maya juga bukan orang yang jahat. Ia hanya siswi yang mau mencari aman tanpa ikut campur perkara orang lain.
"Dilempar Moza," jawab Keyra singkat.
"Bisa ngeliat gak lo, burem gak?" tanya Maya lagi.
Devano yang duduk tepat di belakang Keyra hanya menyimak pembicaraan mereka.
"Bisalah, itu kan cuma kacamata pajangan. Bukan kacamata min atau plus!"
"Oh." Maya mengangguk-ngangguk.
"Kaca mata lo itu merusak pemandangan, bagusan juga gak pakai," bisik Devano saat Maya dan Keyra berhenti mengobrol.
Keyra tersenyum sinis, masih enggan menoleh. Lalu meraih sisir dan pemerah bibir di saku tasnya. Melepas ikatan rambut lalu merapikannya. Sedikit memakai pewarna bibir dan menoleh ke arah Devano.
"Lo mau bilang gue cantik tanpa kaca mata kan?" Sinis Keyra.
Namun, tidak dengan Devano. Ia justru menatap Keyra tak percaya bahkan tak berkedip.
"Kok lo cantik?" beo-nya.
Mengambil tisu, mengikat kembali rambutnya kemudian menghapus pewarna bibir merah muda itu. Keyra terkekeh melihat reaksi Devano.
"Gue emang cantik dari orok!" menjulurkan lidahnya sambil mengejek.
Tak ada yang menyadari tingkah Keyra, sebab ia melakukannya cepat hanya agar Devano saja yang melihatnya. Bukan mau menunjukkan dirinya yang asli, tapi karena membalas kekesalannya yang menumpuk dari kemarin- kemarin.
Dan benar saja, Devano sikapnya berubah dan lebih sering mengajaknya bicara.
"Kalau lo gitu aja cantik ngapain begini," protes Devano tak mengerti.
"Mau begitu begini juga terserah gue. Gue cuma gak mau ada buaya, bapaknya buaya, kakeknya buaya, omnya buaya atau sejenisnya deketin gue!" cibir Keyra.
"Ck!" Devano memutar bola mata demi mendengar jawaban Keyra.
Pulang sekolah, Devano setia mengikuti kemana Keyra pergi, hingga tanpa sadar membuat orang-orang yang menatap semakin benci pada Keyra.
"Kok lo ngintil mulu, sih?" kesal Keyra.
"Tar lo dibully lagi sama mereka. Udahlah, gue cuma mau mastiin lo aman dan nyaman!" alibi Devano.
"Nyaman sama lo? Heh, lo lupa kalau lo itu sama kaya mereka!" Keyra berlalu cepat setelah mengatakan gerundelan hatinya. Namun, bukan berhenti Devano malah terus mengejarnya bahkan saat mereka sudah sampai di gerbang pintu keluar sekolah hingga berhasil membuat Keyra semakin terkesal-kesal.
"Keyra, sini!" Bram menepuk sofa sebelahnya agar sang putri kesayangan duduk.
"Iya, Pa." Keyra menurut, duduk di sebelah Bram tanpa ragu. Sebentar lagi kebebasan akan dikantonginya, Pikir Keyra.
"Gimana sekolah kamu?"
"Aku masih belum bisa memastikannya, Pa! Bisa jadi Arin dibully, atau bisa jadi ada faktor lain."
Bram mengusap lembut rambut putrinya, "kematian Arin masih terasa mengganjal dan Papa yakin, ada siswa yang terlibat atau paling tidak menjadi penyebab Arin nekad!"
Ingatan Keyra menerawang pada kejadian satu tahun yang lalu, dimana saudara kembarnya, Arin meninggal dengan cara mengenaskan. Arin ditemukan tak bernyawa sore hari di kamar dalam keadaan masih memakai seragam sekolah.
Saat itu, Keyra sekolah di tempat berbeda karena lebih memilih satu sekolah dengan Aron, Keyra hanya bisa menatap nanar nasib Arin. Beberapa baris tulisan menjadi tanda tanya terbesar untuk dia dan sang Papa.
"Arin, hal berat apa yang sudah kamu lalui? Apakah mereka salah satu penyebab kamu nekad?" batin Keyra bertanya-tanya.
Arin dan Keyra adalah anak Bram, buah dari pernikahan keduanya setelah pernikahan pertamanya dengan Elen gagal. Dua gadis cantik yang hanya berbeda beberapa menit itu memang bukan kembar identik. Terlebih, semakin mereka tumbuh remaja semakin kentara perbedaannya. Arin yang lembut, cantik dan sederhana, sementara Keyra memiliki sifat keras dan tangguh. Penampilan mereka pun berbeda, Arin dengan penampilan kalem, sementara Keyra selalu tampil cantik setiap saat.
Semua berubah setelah kematian Arin. Keyra dipaksa pindah sekolah demi sebuah misi, berpenampilan culun agar bisa mengungkap misteri kematian saudaranya.
"Papa tahu kamu dibully, dibenci banyak murid bahkan rambutmu yang indah ini terpaksa kamu potong ke salon karena siswi yang sengaja melemparimu permen karet..." Bram menjeda ucapannya, menghela napas sesak.
"Keyra, Papa tahu kamu anak yang tangguh. Tapi pembully-an itu belum bisa dipastikan ada kaitannya dengan Arin. Pergilah, nikmati kebebasan pertamamu dari Papa!"
"Benarkah? Aku akan pergi bersama Aron boleh, Pa?" tanya Keyra.
"Boleh, asal Aron yang kesini menjemputmu! Dan dia juga yang harus bertanggung jawab mengantarmu."
"Ah oke, Papa memang terbaik!"
Bram menghela napas sejenak, kejadian tak terduga yang menimpa tiga tahun belakangan ini menyisakan duka yang tak akan pernah habis. Kehilangan sang istri kemudian Arin putrinya membuat hidup Bram nyaris berantakan. Untuk ketiga kalinya, ia berada dalam fase terendah. Beruntung masih ada Keyra, gadis tangguh kebanggaannya yang tetap berada di sisi. Menyemangati dan mengembalikan senyumnya yang pudar dengan ambisinya.
"Apakah aku gagal sekarang, sayang?" gumamnya dengan mata terpejam dan tubuh bersandar lemas di sofa, tangannya memegang bingkai foto pernikahannya dengan Zahira.
**
"Aku tidak akan lama, Pa! Jangan lupa makan, gak boleh banyak pikiran. Papa harus tetap sehat untuk aku," ujar Keyra berpamitan.
Pukul tujuh, Aron sudah sampai di kediaman Bram. Meminta izin membawa putrinya keluar.
Bram mengulas senyum menatap keduanya.
"Kemana kita, Baby!" tanya Aron.
"Gue kangen suasana Club malam, bisa lo bawa gue kesana?" tanya Keyra.
"Jangan gila, Key!"
"Gue sehat, lo ga liat gue udah cangtip gini?" Keyra mengambil cermin kecil di saku tas kecilnya untuk memastikan penampilannya tak terlihat berantakan.
"Gue takut dimarahin bokap lo!"
"Gue gak akan minum, ayolah! Gue cuma mau liat-liat, kan lo tau gue udah tobat!"
"Hm, ck tobat?" cibir Aron.
"Lo gak percaya?" Keyra menekuk wajahnya.
"Percaya sama lo itu musrik, Key! Hm, oke. Tapi gak sampai malam!" putus Aron.
Club Redzone adalah club terkenal di Jakarta. Devano dengan gaya jumawa duduk di meja bartender dengan seorang wanita. Tangannya memegang gelas berisi wine, sementara tangan satunya memeluk pinggang wanita sexy.
Keyra dan Aron masuk, langsung menuju meja bartender memesan minuman.
"Red Wine satu," pesan Keyra.
"No, jangan! Bir bintang saja dua," ralat Aron.
Keyra mengerucutkan bibirnya, menatap Aron kesal.
"Bibir lo bakal bau alkohol kalau minum wine," ujar Aron memperingati.
"Yah, lo pelit!"
"You know lah, gue yang bertanggung jawab apapun soal lo!" Aron bersedekap dada.
"Hm." Keyra menghembuskan napas, sempat membuang muka karena kesal. Namun, Keyra tertegun melihat sosok di depan matanya. Seorang Devano, si ketos menyebalkan berada disana, tepat di hadapannya.
***
Devano masih menikmati segelas wine di dekat meja bartender bersama Emily.
Tanpa menyadari keberadaan Keyra yang tak luput memandangnya. Masih terheran-heran dengan sosok ketos di sekolahnya. Pemabuk dan pemain wanita, apa bagusnya?
"Dev, lo udah mabuk! Kita pulang ya," ajak Emily.
"No, Em. Gue males di rumah."
"Bapak lo bakal ngomel lagi kalau tau kelakuan lo begini."
"Ada lo yang bakal lindungin gue kan?" Tatapan Devano tampak sayu, menatap ke arah Emily.
Keyra bisa menyaksikan perdebatan itu, Devano dengan wanitanya. Saat matanya melihat dengan jelas wajah Emily, ia hampir tak bisa menahan gelak tawa.
"Kenapa lo ngakak, Key?" Aron mengerutkan keningnya.
"Tak apa, hanya ada lelucon di depan mata."
Devano mendengar samar ucapan Keyra, pandangannya menoleh dan terkejut.
"Cupu!"
Keyra menoleh, mengerlingkan matanya sinis.
"Eh cupu." Devano langsung menghempas Emily karena merasa melihat Keyra di club itu.
"Ckk!" Emily berdecak, lalu memilih menghubungi Albert.
"Tunggu, kok lo disini?" tanya Devano, mencekal pergelangan tangan Keyra hingga membuatnya tersentak.
"Lo siapa?" tanya Keyra mengerutkan keningnya. Aron langsung menjauhkan Keyra dari jangkuan Devano.
"Lo Keyra kan, si cupu?"
"Gue Arin, lo salah orang!" kesal Keyra.
Devano langsung mundur dua langkah, "A-arin, gak mungkin! Arin..."
Tiba-tiba Devano memegangi kepalanya pusing. Aron mengajak Keyra menjauh.
"Tunggu Aron, dia emang temen sekelas gue! tapi, gue gak nyangka reaksinya jadi gitu setelah mendengar nama Arin."
"Apa mungkin ada kaitannya sama dia?" tanya Aron.
"Entah, gue belum bisa menemukan apapun!"
Emily yang melihat Devano limbung, spontan menarik tangannya. Devano belum sampai jatuh ke lantai, ia mulai mendapat kembali kesadarannya.
"Arin, lo beneran Arin..."
Keyra hanya menatap datar Devano tanpa berniat menjawab gumaman laki-laki itu.
"Lo apain temen gue, hah?" bentak Emily kesal.
"Temen? Aduh, gue kira lo pacarnya! Temenan sekarang emang ngeri sih, udah digrepe-***** ternyata cuma sebatas temen." Sindiran telak Keyra berhasil memancing emosi seorang Emily. Ia memang memiliki perasaan lebih ke Devano, akan tetapi sadar betul tak akan bisa memiliki apalagi menjadi seseorang spesial di hati laki-laki itu meski Devano kerap kali bersikap seenak jidat mempermainkannya.
Keyra mengajak Aron pergi dari club, moodnya berubah karena ulah Devano dan kini gadis itu meminta Aron membawanya keliling kota tanpa tujuan.
"Menurut lo? Kenapa Arin sampai nekad bunuh diri?" tanya Keyra meminta pendapat Aron.
"Sampai sekarang, gue masih gak ngerti sumpah! Arin bukan type orang yang lemah, dia justru lebih badas dari gue kalau ngamuk. Tapi..."
Keyra menerawang, ia jadi menyesal tidak mengenali saudara kembarnya dengan baik.
Sementara Aron terdiam mendengar rentetan pertanyaan dari Keyra, ia tak tahu harus menjawab bagaimana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!