..."Dari buku yang ku baca kita tidak pernah tahu akan berakhir seperti apa sebuah pertemuan antara sepasang insan. Tapi apakah bertemu dengan mu akan berakhir baik bagi kita?"...
...~ Beryl Ara Lavel ~...
.......
.......
.......
.......
Aku terbangun dari sebuah mimpi yang sangat aneh.
Nenek ku yang sudah lama meninggal itu menyambut ku dengan tatapan penuh kasihan dan pakaian aneh nya menarik perhatian ku. Nenek memakai pakaian bagus berwarna hijau daun muda ditambah beberapa renda-renda di bawah gaunnya. Nenek juga memakai sepatu yang bagus dan terlihat cantik saat nenek memakainya lalu ada hiasan rambut, apakah itu bros atau jepitan rambut? sungguh menawan! aku jadi ingin mencobanya. Tapi nenek malah melarang ku dan menasehati ku seperti sewaktu nenek belum meninggal.
"Beryl, kamu jangan terlalu gampang percaya pada orang lain. Mungkin kamu banyak mengenal orang-orang baik dan mempercayai nya karna kamu berada ditengah-tengah orang baik tapi pasti ada satu waktu lingkungan mu berubah dan saat itu tolong berhati-hati lah, tetaplah hidup cucuku"
Setelah mengatakan itu tanpa memberi ku waktu untuk berbicara nenek pun menghilang dan aku terbangun dari tidur. Aku mencoba untuk mengartikan apa maksud perkataan nenek tapi semakin aku berusaha mencari tahu semakin gelisah yang ku dapatkan. Jadi aku memutuskan untuk tidak memikirkan itu dan bersiap-siap untuk memanjakan diri.
Aku memakai dress hitam bertali dengan garis bawah nya hijau muda tapi hari ini musim semi jadi aku memakai cardigan rajut berwarna hijau tua. Untuk aksesoris aku hanya memakai gelang pemberian nenek yang selama ini tidak pernah ku lepas bertuliskan L A V E L dengan ukiran yang sangat ku sukai dan memakainya ditangan kanan ku juga cincin pemberian orang tua ku yang bernamakan nama ku, Beryl. Lalu untuk rambut aku hanya setengah mengikatnya dengan poni tipis yang membuat diriku terkesan lebih anggun.
Kalau kata nenek 'sesuatu yang kita sukai akan menjadi kekuatan untuk rasa percaya diri' dan sekarang rasa percaya diriku meningkat 100 %.
Ternyata emang benar ucapan nenek.
Aku pun melangkah keluar dari rumah, hari ini aku ada waktu untuk meliburkan diri dari aktivitas yang super menyibukkan hampir setiap hari. Bahkan untuk mendapatkan libur aku harus mencapai target itu pun susah sekali untuk ku capai.
Walaupun begitu pekerjaan ini begitu berharga untuk ku yang sudah sejak lama tinggal sendiri. Tidak ada tempat untuk ku bertumpu dan bermanja-manja, sayang sekali orang-orang yang ku cintai cepat sekali meninggalkan ku.
Hari ini aku akan ketempat wisata yang baru dibuka bulan lalu, Istana de Ramor namanya.
Tempat wisata ini sangat hits dikalangan anak muda, saking terkenalnya dihari pertama buka tempat wisata ini sudah banyak orang yang mengantri sejak pagi hari. Dengar-dengar ada pertunjukan spektakuler sampai diliput media loh, wow!!
Mendengarnya saja membuat rasa ingin pergi ku meningkat.
Aku bergegas menaiki bus menuju ketempat wisata, cuaca kali ini memang bagus dan lebih bagus lagi bila aku membawa seorang kekasih. Sayang sekali, aku tidak memiliki kekasih.
Apakah ini sebuah keberuntungan atau kesedihan untuk ku yang tidak memiliki kekasih? entah lah.
Dari sini ke tempat wisata itu kira-kira memerlukan waktu 30 menit, syukurlah hari ini tidak terlalu macet. Jika macet parah aku berani taruhan! karna jika sudah macet parah akan memerlukan waktu 1 jam lebih dan saat itu aku lebih memilih berdiam diri di rumah dibandingkan duduk menunggu lama di dalam bus.
Aku memandang kearah jalanan terlihat banyak pejalan kaki yang berpasangan. Ada yang muda, ada yang tua ada juga yang sudah memiliki anak dan apa itu? bahkan beberapa pelajar saja menggandeng pasangannya untuk jalan-jalan.
Aahh ... para pelajar sekarang sudah mulai terang-terangan ya berpacaran tidak seperti ku dulu.
Waktu aku masih pelajar tidak pernah sedikit pun berpikiran buat pacaran. Jangankan untuk berpacaran dekat dengan siswa cowok saja bikin aku khawatir.
Nenek ku pernah bilang kalau aku harus rajin belajar, jangan kebawa arus negatif dan tak boleh deket-deket dengan cowok. Karna aku yang terlalu patuh membuat diriku dulu ketar-ketir kalau ada siswa cowok yang menyukai ku.
Dan sekarang umur ku sudah 25 tahun, umur yang sudah cukup pas untuk menikah tapi dengan siapa? aku tertawa sumbang jika memikirkan soal ini dan juga perasaan ku begitu sensitif bila ada yang menyinggung tentang ini.
Aku terus memandang kearah jalanan, supir bus memutarkan beberapa lagu yang menyenangkan. Perasaan ku pun kembali membaik karna hari ini aku tidak boleh bad mood. Tak berapa lama aku sampai ditujuan, Istana De Ramor.
Seperti apakah tempat itu? aku sangat tidak sabar untuk mengunjungi nya.
Aku berjalan kearah loket tiket yang berpapan nama 'Gerbang Istana De Ramor' aku memesan tiket full untuk ku sendiri dan diskon bila membawa pasangan. Aku yang merupakan pecinta diskonan sedikit menyesal.
Apa seharusnya aku membawa teman kantor saja lalu berpura-pura mengatakan kalau kami berpacaran? tapi ya sudahlah, bye-bye diskonan.
Setelah membeli tiket aku berjalan menuju dua orang penjaga, mereka meminta ku untuk menunjukan tiket. Tapi ada sesuatu yang mengejutkan seakan-akan aku orang yang penting mereka memanggil ku Nona Bangsawan, walau begitu aku juga cukup senang.
Aku berjalan memasuki sebuah terowongan yang gelap dan sunyi, aku menikmati suasana ini. Langkah kaki ku yang mantap membawa ku ke suatu sumber cahaya.
Aah ... apa aku sudah mulai memasuki taman istana? dan benar saja terpampang sebuah taman yang besar dan megah
Pandangan yang pertama kali ku lihat adalah air mancur yang cukup tinggi dan besar, mungkin tinggi nya sekitar 3 sampai 4 meter. Aku terpana melihat air mancur itu karna ini pertama kalinya aku melihat air mancur yang cukup megah dan aku mengambil beberapa foto. Sangat bagus kalau aku posting di Instagram, 'kan?
Setelah dari air mancur aku pergi ke ladang bunga.
Disini terdapat banyak jenis bunga bahkan bunga langka pun ada. Seperti Chocolate Cosmos, Lady Slipper, Mawar Juliet, Middlemist Merah juga Anggrek Hitam. Dari jarak jauh pun aromanya bisa tercium, luar biasa sekali pengelolanya menanamkan dan merawat bunga-bunga yang langka ini.
Aku melihat beberapa orang mengambil foto di tengah-tengah ladang bunga, beberapa dari mereka meminta bantuan ku untuk memfotokan nya dan aku pun sebaliknya. Bagi ku bunga-bunga ini lebih indah dilihat daripada dipetik, sayang sekali rasanya jika dipetik tanpa tujuan yang tidak jelas karna kalau sudah dipetik bunga itu bakalan layu dan tidak lama mati karna ulah si tangan jahil.
Setelah puas di ladang bunga aku melanjutkan perjalan ku ke dalam inti istana.
"Megahnya."
Itulah kata yang keluar dari mulut ku saat menatap sebuah istana buatan di depan mata ku. Ukiran pintu masuknya memang sangat indah dipadu dengan cat berwarna kuning ke emasan yang mengkilat, pintu nya juga begitu besar saat terbuka dengan dua buah lonceng yang bertengger di atasnya.
Sedikit yang ku ketahui, bila lonceng itu berbunyi tandanya seorang bangsawan akan masuk dan yang aku dengar juga dari beberapa pengunjung kalau lonceng itu tidak sering berbunyi, hanya beberapa kali. Sekali pun dibuka dengan lebar dan kuat lonceng itu tidak berbunyi.
Jadi, ada rumor yang mengatakan kalau lonceng itu akan tahu siapa yang sebenarnya bangsawan dan siapa yang tidak bangsawan tapi apakah itu bisa dipercaya? aneh memang.
Saat aku mulai memasuki pintu itu dua orang penjaga berpakaian ksatria istana membukakan pintu dengan perlahan tapi lihat apa yang terjadi!
Kedua buah lonceng itu berbunyi cukup keras.
"Selamat datang Nona Bangsawan de Ramor, atas kemurahan hati anda izinkan kami menyambut anda dengan sambutan yang megah," ucap kedua penjaga yang berpakaian ksatria istana itu.
Mereka memegang kedua tangan ku dan membungkuk seolah-olah memberiku salam, kemudian mereka mengeluarkan sebuah kotak kecil yang berkilauan lalu menyematkan isinya ke jari manis ku.
Sebuah cincin permata yang berkilauan, aku pun menatap cincin yang tersematkan di jari manis ku namun entah mengapa air mata ku bercucuran melihat cincin permata ini seakan-akan ada 'sesuatu' yang membuat ku menangis.
Aku langsung masuk ke dalam tanpa bertanya alasan nya dan menghiraukan perasaan aneh itu. Sebenarnya aku ingin bertanya namun rasanya mulut ku terasa berat untuk bertanya.
Ada apa dengan diriku?
Beberapa orang yang berpakaian seperti dayang-dayang istana menyambut ku, seseorang menghampiri ku dan memperkenalkan diri nya.
"Selamat datang Nona Bangsawan de Ramor, perkenalkan saya adalah kepala dayang di istana ini. Izinkan kami untuk menunjukan tiap sisi istana kepada Nona," ucap nya.
Kepala dayang dan dayang lainnya berdiri dalam posisi sedikit membungkukkan badan juga tangan kanan mereka memegang dada kiri masing-masing, salamnya pun persis seperti komik kerajaan yang pernah ku baca.
Aku hanya mengangguk tanda setuju dan berjalan terlebih dahulu dengan diikuti para dayang di belakang ku. Istana ini benar-benar megah seperti yg dirumorkan bahkan sangat megah jika melihat langsung.
Kepala dayang tadi menjelaskan kepada ku kalau di tempat sekarang aku berada adalah aula istana.
Aula ini berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para Bangsawan secara umum, aku juga melihat beberapa orang-orang yang diikuti para dayang seperti ku saat ini. Ada seorang Tuan Bangsawan, ada seorang Nona bangsawan juga ada sepasang Nyonya dan Tuan Bangsawan jadi tidak hanya ada aku saja.
"Apa pelayanan seperti ini didapat semua orang yang masuk ke istana ini?" tanya ku pada kepala dayang.
"Tentu saja orang-orang yang masuk ke istana ini setelah melewati gerbang akan dilayani dengan baik namun itu hanya tergantung tiket apa yang dibelinya, Nona. Tiket full, setengah full maupun tiket beberapa tempat saja," tutur kepala dayang.
"Aahh begitu ... pantesan saja tiket full harganya lumayan mahal ya!" ujar ku sembari tertawa.
Aku sengaja tertawa untuk mencairkan suasana soalnya mereka kaku dan tidak menatap mata ku, memang begitu totalitas sekali mereka berakting.
Aku masih setia mengambil beberapa foto di aula istana dan sedikit meminta bantuan kepala dayang untuk mengambilkan foto ku, dengan senang hati kepala dayang itu membantu ku.
Aku melanjutkan perjalanan ku dari aula menuju ruang pertemuan pribadi bangsawan.
Aku harus melalui sebuah lorong yang terhubung dengan pintu belakang aula istana. Di lorong ini aku dapat melihat lukisan-lukisan mengenai kerajaan juga lukisan beberapa Raja tanpa digambar anggota wajahnya. Aku rasa lukisan seperti tanpa menggambar anggota wajah itu belum cukup untuk mengetahui kalau itu adalah lukisan Raja.
Ada lima Raja yang dilukis, saat aku memperhatikannya terdapat tiga nama keluarga yang sangat berbeda dengan dua orang yang nama keluarga nya sama.
Raja ke-1 adalah Marza Davon Aister, Raja ke-2 adalah Norvant Ge Luister, Raja ke-3 adalah Zaru Deru Athinium, Raja ke-4 adalah Gergo Tarta de Ramor dan Raja ke-5 Eugene Zen de Ramor.
"Mengapa dua orang raja terakhir ini nama belakangnya sama? apakah mereka adalah keluarga?" tanya ku pada kepala dayang.
"Benar nona, Raja ke-4 dan ke-5 adalah ayah dan anak. Mereka memimpin kerajaan selama sisa umur mereka," jawab kepala dayang itu.
"Lalu adakah raja yang ke-6?"
Aku penasaran karna tidak ada lukisan raja ke-6 disini.
"Tidak ada nona," ucap kepala dayang.
"Mengapa?"
"Karna kerajaan berlangsung hanya sampai Raja ke-5 saja nona," jawabnya.
Aku mengangguk paham dan melihat-lihat lagi lukisan disepanjang lorong tapi satu lukisan mencuri perhatian ku dan membuat ku cukup lama berdiri memandang nya.
Lukisan itu adalah lukisan seorang Pangeran Mahkota de Ramor yang bernama Aksa Oliga de Ramor, di bawah lukisan itu tertulis penjelasannya.
"Ini adalah lukisan Pangeran Mahkota de Ramor pertama, wajahnya tidak pernah terlihat oleh orang lain kecuali keluarga kerajaan yang benar-benar dipercayai nya. Dialah satu-satunya Pangeran Mahkota yang tidak menunjukan wajahnya karna suatu alasan namun meninggalnya Pangeran Mahkota ini membuat kerajaan runtuh sebelum penobatannya menjadi Raja ke-6." Seperti itulah penjelasannya.
Aahh ... kenapa rasa nya sesak sekali
Setelah membaca itu aku merasakan sesak yang melimuti dadaku, perasaan sesak yang bahkan belum pernah ku rasakan.
Hari ini diri ku begitu aneh, dimulai dari mimpi bertemu nenek ku lalu cincin permata yang membuat ku tiba-tiba menangis dan sekarang perasaan sesak didada ku.
Aku mencoba menenangkan diriku.
"Hhuuuhh ... hhaaahh ... hhuuuhh ... hhaaahh ..." aku menarik napas lalu membuangnya.
Setelah merasa cukup tenang, aku melanjutkan kembali perjalan ku dan berusaha menampik perasaan aneh ini.
Sekarang aku memasuki sebuah ruang pertemuan pribadi Bangsawan.
Disini aku melihat meja panjang di tengah ruangan dan 10 kursi yang melingkari meja itu. Kepala dayang tadi menjelaskan kalau ruangan ini adalah ruangan pribadi yang dibuat untuk diskusi atau rapat antar Bangsawan dengan anggota kerajaan. Ruangan ini juga mewah karna tiap kursi dilapisi satu permata, apakah itu permata asli? kurasa begitu.
Aku lalu pergi menuju ruang pribadi pertemuan anggota kerajaan lalu ke ruang kerja Raja dan Pangeran Mahkota berlanjut ke dapur istana, ke ruang khusus para ksatria, ke ruang belajar Pangeran Mahkota, ke ruang belajar Pangeran dan Putri Raja, ke rumah kaca istana dan perpustakaan istana.
Lalu aku juga pergi ke pavilun Raja, pavilun Pangeran Mahkota, pavilun Ratu, paviliun Pangeran dan Putri Raja juga pavilun para Selir Raja.
Sebelum memasuki ruangan ada lorong yang menghubungkan antara ruangan satu dengan ruangan lainnya. Jarak antar pavilun satu dengan paviliun lain nya tidak begitu jauh dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 10 menit kecuali paviliun Pangeran Mahkota yang cukup memakan waktu 20 menit dari istana utama, setiap paviliun memiliki taman juga pelayan dan dayang pribadi.
Setelah aku berpikir semua tempat sudah ku datangi ternyata ada satu tempat yang belum ku datangi, sebuah Menara.
"Tempat ini adalah tempat di mana Pangeran Mahkota dikurung sebelum naik jabatan menjadi Pangeran Mahkota. Dia di kurung selama 15 tahun lamanya semenjak umurmya 10 tahun lalu dikeluarkan saat sudah mendekati waktu untuk pemilihan Pangeran Mahkota," kata kepala dayang.
"Belum lengkap rasanya jika Nona tidak mendatangi menara ini."
Dan aku mengangguk mengiyakan perkataannya tanpa mengetahui apa pun yang ada di dalam sana.
Menara ini cukup tinggi dari air mancur tadi, aku sebenarnya phobia ketinggian tapi karna ucapan kepala dayang itu membuat ku penasaran seperti apa isi di dalam sana.
Toh lagian kalau aku tak lihat sekarang akan rugi bagi ku, mana tiket full ini mahal.
Pintu menara dibukakan oleh ksatria penjaga menara, mereka mempersilahkan aku masuk. Dayang-dayang yang sedari tadi mengikuti ku hanya menunggu dibawah, aku akan naik ke atas dengan ditemani oleh kepala dayang.
Pintu pun tertutup setelah kami masuk, kepala dayang juga membawa obor karna di dalam menara ini penerangan nya sangat minim.
"Nona, menara ini di buat sesuai keadaan menara pada saat itu. Tidak ada penerangan dan dayang yang berjaga namun agar perjalanan anda nyaman kami menambahkan obor di setiap lantai, semoga anda menikmati perjalanan di wisata ini," tutur kepala dayang.
"Baiklah," jawab ku.
Kepala dayang berjalan lebih dulu dan aku mengikutinya dari belakang, tiap 100 anak tangga terdapat sebuah ruangan yang terkunci.
"Nona, ini adalah replika dari kamar yg dipakai Pangeran Mahkota," ucap nya jadi kalau aku hitung ada 10 kamar dan 1000 anak tangga yang sedang ku lalui.
Hhhaaa ... rasa nya seperti mau mati saja naik anak tangga ini! pasti berat sekali menjadi Pangeran Mahkota, aku merasa kasihan padanya.
Tak berselang lam, akhirnya aku sampai di puncak menara tepat di kamar ke-10 Pangeran Mahkota. Aku membuka jendela di samping kamar itu dan merasakan angin sepoi-sepoi membelai wajah ku lalu memberantakan sedikit rambut ku.
Aku menikmati sensasi di menara ini dan mencoba memberanikan diri untuk melihat ke bawah tapi aku tak bisa! aku langsung pusing dan mual ku muncul.
"Mari kita turun, saya sudah cukup menikmati ini," tutur ku pada kepala dayang.
Aku turun ke bawah dengan langkah gontai, kepala ku mendadak pusing dan penglihatan ku pun mulai buram. Tubuh ku mengeluarkan reaksi yang tak tepat waktunya karna sekarang aku sedang berdiri jauh dari tanah.
"Aku harus bertahan ..." lirih ku.
Tapi setelah mengatakan itu seperti ada sesuatu yang menutup penglihatan ku dan dalam sekejap aku jatuh pingsan lalu berguling ke bawah, samar-samar aku mendengar suara teriakan dari kepala dayang sebelum semuanya terasa gelap.
..."Aku tidak pernah percaya pada orang lain karna mereka sering menyiksa ku lantas dengan mu haruskah aku mempercayai mu?"...
...~Aksa Oliga De Ramor~...
.......
.......
.......
.......
.......
Aku mendengar sesuatu, semakin lama semakin jelas suara itu. Aah ... ternyata suara nyanyian Burung Common Nightingale yang beradu nyanyian dengan Burung Canary.
Apakah ini malam hari atau pagi hari? aku tak bisa membuka mata ku untuk melihat situasi sekarang, seperti ada lem yang melengket dimata ku. Aku juga mencoba untuk duduk dari posisi ku saat ini yang tengah berbaring tapi rasanya tubuh ku begitu lemas.
"Hhuuhh ... hhaaahh ..."
Aku mencoba untuk diam sebentar lalu mengatur pernapasan dan mencoba untuk bangun kembali tapi tidak bisa. Aku yang sibuk berpikiran ada apa dengan diriku pun baru menyadari ada sesuatu yang terasa cukup dingin di belakang punggung ku. Aku merabanya dan menyakini kalau itu adalah rumput basah, ya aku baru menyadari kalau sekarang aku tengah berbaring dirumput yang basah, pantesan saja rasa nya dingin.
Aku mencoba sekali lagi untuk bangun dan usaha ku berhasil, mata ku yang tadi melekat sekarang bisa dibuka. Aku memandang ke kanan dan kiri mencoba melihat di mana aku sekarang, tepat saat aku membuka mata banyak pohon yang rimbun menyapa indera penglihatan ku lalu disusul dengan aroma-aroma daun, rumput juga angin dingin.
Selain rumput yang basah aku juga diterpa suhu yang dingin disini tapi, "Mengapa aku bisa berada disini dengan kondisi hutan yang gelap?"
Aku mencoba mengingat apa yang terjadi pada diriku, bukankah aku tadi tengah berada di atas menara tempat wisata Istana de Ramor lalu kepala ku pusing dan aku mual, kemudian ...
"Bukankah aku berguling jatuh kebawah?! seharusnya aku berada dirumah sakit namun mengapa aku sekarang berada ditengah hutan yang gelap ini?!"
Sekarang perasaanku sangat tak enak, seperti ada sesuatu yang menganjal. Aku berpikir lagi lalu memutuskan untuk berlari, bagaimana bila di hutan ini ada hewan buas lalu aku dimakan? kan aku masih ingin hidup.
Jadi, tanpa berpikir dua kali aku langsung berlari cepat tapi beberapa kali aku terjatuh karna tersandung akar pohon yang kebanyakan mencuat keluar tanah.
Tepat saat aku berhasil keluar dari hutan dan berhenti berlari, rasa sakit tadi mendadak menyerbu ku tanpa ampun.
"Hhhaaahh ... hhaahh ... capek banget!!" Aku pun memeggang dada ku, merasakan seberapa cepatnya jantung ku berdetak.
"Aahh ... kaki ku sakit !!"
Banyak darah yang keluar dari sela-sela luka di kaki ku, sekarang terasa sangat sakit dan ngilu. Aku menangis kesakitan juga sekaligus merasa lega karna aku pikir aku sudah keluar dari hutan itu.
"Aku haus sekali ..." lirih ku.
Tapi kaki ku tidak bisa diajak berkompromi ditambah lagi rasa sakit yang tak mau pergi. Aku tidak ada tenaga lagi, tubuh ku rasanya remuk semua dan perlahan pandangan ku memudar lagi.
Dalam keadaan gelap aku berjalan gontai, walau bulan memang muncul tapi tidak bisa menerangi jalanan. Aku menatap bulan yang tinggi itu, cukup lama aku menatapnya hingga suara langkah kaki seseorang membuat ku membalikan badan.
"Nenek!!" seru ku pada seorang wanita paruh baya yang ku sebut nenek itu.
Aku berjalan mendekati nenek dan hampir memeluknya tapi nenek menghindar dan membuat ku bingung karna nenek tidak seperti biasanya.
"Nek, kenapa menghindar? akukan ingin memeluk nenek," tutur ku sedih.
"Nak, mengapa kamu kembali lagi? bukankah hidup mu sudah senang disana? disini berbahaya nak ... banyak orang yang mengincar mu," ucap nenek dengan memandang ku sedih.
Tapi setelahnya nenek pun menghilang seperti yang lalu dan aku terbangun lagi, ternyata itu hanya mimpi. Tak berapa lama sebuah perasaan aneh menyergap ku, lagi dan lagi hal ini terjadi setelah bertemu dengan nenenk dimimpi.
Pemandangan yang ku lihat tadi berbeda dengan yang sekarang, matahari mulai bersinar dan burung-burung maupun ayam saling bersahutan untuk membangunkan orang-orang.
Aku yang tengah terluka memaksakan diri untuk berjalan walau hanya terbata-bata dengan rasa sakit yang belum berhenti, pokoknya aku harus bertemu orang untuk membantu ku.
Aku memang tak tahu arah hanya saja aku berjalan sesuai perkiraan ku.
Diperjalanan aku menemukan sebuah ranting pohon yang cukup besar dan kuat, aku mengambilnya untuk memudahkan ku berjalan. Ya, setidaknya dengan ini bisa membuat ku mengurangi rasa sakit kaki ku.
Aku berjalan terus hingga bertemu padang rumput ilalang yang luas, bahkan luasnya mungkin sama dengan lapangan sepak bola nasional.
"Tunggu ... lapangan sepak bola nasional? apa itu? mengapa aku bisa terpikirkan itu?"
Rasamya ada yang aneh dengan diriku, sesuatu muncul secara tiba-tiba dipikiran ku lalu dalam sekejap aku tidak tau apa itu. Aku mencoba untuk mengingat lebih keras namun yang ku dapat hanya sakit kepala yang mulai menyerang.
Saat aku sibuk sendiri ada suara tapak kaki kuda yang sedang berlari kearah ku lalu berhenti tepat dihadapan ku dan membuat ku kaget.
Terlihat seorang pria berpakaian rapi berwarna hitam dan sebuah pedang di samping pinggangnya tengah menatap ku, dia tampan. Rambutnya berwarna hitam legam yang terlihat basah juga ada beberapa bulir keringat menghiasi wajahnya. Alisnya yang tebal, garis wajahnya yang tegas dan tatapan matanya yang ramah membuat dada ku berdegup.
Deg!!
"Tampan."
Sebuah ucapan spontan keluar dari mulut ku.
"Tampan? tumben sekali kamu memuji ku Nona hutan," tuturnya dengan menertawakan ku.
Aku cukup kaget, apa dia barusan memanggil ku Nona hutan?
"Kenapa memanggil ku seperti itu? aku punya nama dan nama ku—"
"Beryl!" jawabnya.
"Ke ... kenapa kamu bisa tau?"
"Ya an memang nama mu Beryl, kamu pikir aku tidak tahu apa. Lagian ya Nona hutan ... kemana saja kamu selama seminggu? apa sudah ketemu tanaman obat nya?" tanyanya yang semakin membuat ku bingung.
Apa maksudnya? tanaman obat apa? mengapa dia membicarakan hal yang tak aku mengerti?
Aku memikirkan ucapannya barusan sedangkan dia hanya menatap ku heran hingga suara de-sa-ha-n nafasnya pun menyapa indera pendengaran ku. Aku mengangkat kepala ku untuk melihatnya dan tatapan mata kami bertemu tapi sesuatu bereaksi pada diri ku, sebuah ingatan yang datang tiba-tiba.
"Aku tidak tahu ... tapi Wasa aku tidak suka kamu memanggil ku Nona hutan lagi," tutur ku tiba-tiba.
Aku kaget, tanpa ku sadari mulut ku mengucapkan nama seseorang. Sejujurnya aku sama sekali tidak mengenal orang yang ada dihadapan ku ini, tapi mengapa bisa namanya ku sebut begitu saja? padahal aku dan dia tidak berkenalan sejak tadi.
"Sudahlah ... ayo naik, pegang tangan ku, ayo!" ucapnya, tangannya terjulur dihadapan ku dan membuat ku tak bisa menolak.
Aku ditarik olehnya untuk menaiki kuda dengan enteng, hal itu membuat ku kaget sekaligus membuat rasa sakit ku muncul lagi. Aku refleks mencubit lengannya tapi dia hanya tertawa tanpa dosa.
"Mengapa ditubuh mu ada darah?" tanyanya.
Kuda yang dikendarainya melaju dengan cepat, angin memberantakan rambut ku dan membuat ku merasa takut.
Gila! lelaki ini apa tidak memperdulikan aku yang sedang terluka?
"Berhenti!!! aku takut"
Tapi dia tidak berhenti, dia malah makin mempercepat laju kudanya. Lelaki ini tidak mendengarkan ku, aku yang merasakan ketakukan mencoba untuk menenangkan diri. Menghitung satu dua tiga dan menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya namun tidak berhasil.
"Pegang yang erat, kita akan melompat!!" seru nya lantang dan membuat jantung ku tambah berdegup.
Apa? melompat? lompat kemana? ke jurang? Gak, aku takut!
Aku memejamkan mata dan memegang tali kemudi dengan kuat, aku merasa akan melayang jika tidak memegang itu namun kemudian rasa sentak dari kuda membuat ku makin kuat memejamkan mata.
"Sampai kapan kamu akan menutup mata begitu?" ucapnya.
Aku tidak menjawab walaupun aku mendengar perkataannya karna sekarang rasa takut ku lebih besar dari pada rasa ingin menjawab pertanyaannya.
"Kita sudah sampai Beryl ... kamu udah bisa buka mata dan turun." Dia memegang kedua bahu ku dengan lembut, aku dapat merasakan sentuhan hangat dari kedua tangannya.
"Aku tak percaya, tangan ku masih gemeteran gara-gara kamu!"
Aku kesal pada nya, dia hanya menghela nafasnya dan seperti tadi tanpa ku minta dia tiba-tiba menurunkan ku.
"Aaahh ... lepaskan aku!!" teriak ku padanya.
Eehh sebentar ... aku berdiri? berarti sudah di atas tanah?
"Buka matamu atau ku gendong sampai kedalam rumah?" ucapnya dengan nada menggoda.
Dengan cepat aku membuka mata dan menjauh darinya, gerakan tiba-tiba yang ku buat membuatnya heran dengan diri ku. Aku mencoba untuk mengalihkan pandangan ku kearah yang lain, walau tidak melihatnya langsung tapi aku bisa merasakan tatapan matanya tertuju pad ku dan itu membuat ku risih.
"Hhhaaahhh ...."
Lagi-lagi dia menghela nafasnya, entah mengapa dia terus melakukan itu membuat ku seakan-akan bersalah tapi tanpa ku sadari dia berjalan mendekat kearah ku, semakin dia mendekat semakin cepat aku menjauh darinya, aku tidak mengenal orang ini dan aku perlu waspada.
"Berhenti!!" pintanya.
"Aku takkan menyakiti mu, Beryl ... aku tak tahu apa yang terjadi padamu selama seminggu diluar, tapi bisakah kamu masuk kedalam? kamu harus beristirahatkan juga membersihkan diri," lanjutnya.
Suaranya berubah, tidak seperti diawal bertemu tadi.
Kini suaranya menjadi lebih lembut, aku merasakan kekhawatiran dari ucapannya dengan refleks aku mengiyakan lalu masuk ke dalam sebuah rumah tua yang beratapkan jerami.
Aku berjalan gontai dihadapannya tapi menolak bantuan darinya, aku hanya tidak ingin menyusahkan orang lain apa lagi orang ini baru saja bertemu dengan ku.
Aku mengedarkan pandangan ke setiap sisi rumah ini, tidak ada barang-barang yang spesial. Hanya ada satu kursi tua, satu meja kecil, satu tempat tidur yang hanya muat untuk satu orang juga beberapa alat makan yang sudah usang.
Siapa pemilik rumah ini? apakah lelaki yang membawa ku kesini?
Lelaki yang mengikuti ku masuk dari belakang itu duduk di kursi tua yang berada didekat jendela. Dia menatap ku dari ujung kepala hingga ujung kaki tanpa satu pun terlewatkan selama beberapa saat lalu dia beranjak dari duduknya dan menghampiri ku yang tengah melihat-lihat.
Sebuah tepukan dipundak ku membuat ku terkejut, "Apa lagi yang kamu tunggu? ayo bersih-bersih sana."
"Aku tidak tahu kearah mana untuk membersihkan tubuh," tutur ku tak tahu padanya.
Dia menatap ku dengan heran, seakan-akan dari tatapan mengatakan ada apa dengan ku.
"Itu ada pintu masuk, kamu akan temui tempat mandi," tunjuknya kearah belakang meja makan.
Aahh ... pintu itu? ku pikir hanya pintu belakang rumah.
"Baiklah," ucap ku mengerti.
Aku berjalan gontai kearah yang ditunjukannya, kaki ku masih sakit tapi untungnya darah yang keluar sudah mengering hanya tinggal dibersihkan saja. Tapi sebelum ke tempat mandi aku berhenti dan refleks mengambil baju disalah satu kotak di samping pintu tempat mandi.
Sebelum masuk ke tempat mandi aku berdiam diri sebentar di depan kotak yang isinya baju, lagi-lagi ingatan tiba-tiba dan refleks yang tidak ku sadari membuat ku kaget.
Jelas-jelas ini bukan kebetulan, sebenarnya apa yang terjadi pada diriku?
Aku menyelesaikan mandi ku dengan cepat lalu memakai baju yang ku ambil tadi, baju ini adalah dress panjang dengan lengan panjang yang sudah usang, bisa dilihat dari warna kuningnya yang mulai luntur. Dress ini tidak ada motif tanpa tambahan tali di pinggangnya, jadi saat aku memakainya terkesan tidak terlihat pinggang ku.
Aku keluar dari tempat mandi dengan rambut basah yang tergerai, aku keluar hanya untuk mencari semacam kain untuk mengeringkan rambut ku yang basah tanpa ada pikiran untuk menghampiri lelaki yang tengah menatap ku kini. Saat sedang mencari kain itu, lelaki yang tadi duduk di kursi tua itu menghampiri ku dengan kain ditangan kanannya.
"Ini yang kamu carikan? nih," tuturnya di hadapan ku.
Aku mengangkat kepala untuk melihatnya lalu mengambil kain di tangannya. "Terima kasih"
Tapi dia tertawa, aku menatapnya heran.
"Kenapa tertawa? kan tidak ada yang lucu," ucapku.
"Ada, tumben sekali hari ini kamu aneh," jawabnya santai.
"Ayo sini!" pintanya lalu menarik lengan ku.
Aku mengikutinya dan duduk di kursi tua yang di dudukinya tadi, angin sepoi-sepoi dari luar masuk kedalam rumah ini. Aku mengeringkan rambut yang basah ini dengan kain yang diberikannya tadi tapi aku tidak melihatnya saat ini, pandangan ku hanya tertuju pada luar jendela.
"Beryl ..." lirihnya lembut, membuat ku berbalik menatap lelaki yang berdiri di hadapanku.
"Pertanyaan ku belum kamu jawab, kemana saja kamu seminggu ini? apa tanaman obatnya sudah didapat? kenapa tubuh mu berlumuran darah?" tanyanya tanpa berhenti, tatapan matanya yang terlihat khawatir membuat jantung ku berdetak keras.
Fokus Beryl, fokus!
"Aku tidak tahu apa yang kamu maksud, seminggu? tanaman obat? aku tak mengerti ... tapi kalau untuk pertanyaan kenapa aku berlumuran darah itu karna aku terjatuh beberapa kali di hutan. Aku pikir disana ada hewan buas jadi sebelum ditemukan hewan buas lebih baik aku berlari keluar hutan tapi ternyata tak semudah yang ku pikirkan," jawab ku jujur.
"Kamu kenapa? bukankah kamu bilang seminggu yang lalu kalau kamu mau pergi untuk mencari tanaman obat? kok sekarang tak tahu?"
Apa aku harus berkata jujur pada nya? tapi bagaimana kalau dia terkejut dan menggangap ku gila?
"Kamu kan ke Hutan Arieta, mana ada hewan buas disana. Bukannya hanya ada tanaman obat langka disana? apa kamu tidak ingat dengan yang kamu ucapkan dulu pada ku kalau di hutan itu banyak tanaman obat langka?" ucapnya lagi.
"Tidak ada hewan buas? jadi, aku yang berlari ketakutan itu hanya sia-sia?" tanya ku, dia hanya mengangguk dan itu membuat ku merasa seperti orang bodoh.
Duh ... aku malu sekali, rasa nya aku ingin bersembunyi dari lelaki ini.
"Aku tidak tahu bila seperti itu, tapi sungguh aku tidak mengingatnya," ucap ku dengan malu.
Aku hanya menunduk untuk menyembunyikan wajah malu ku tapi sebuah tangan menggenggam tangan ku, "Apa kamu juga tidak mengingat aku?"
Aku menggeleng tanda tak ingat dengannya.
"Ta ... tapi bisakah kamu memberitahu ku ulang siapa dirimu? aku ingin mencoba mengingat kembali," ujar ku padanya, kali ini aku memang ingin mengenalnya dan berharap sesuatu dapat ku temukan setelahnya.
"Tatap wajah ku," pintanya.
Aku mengangkat wajah ku dan menatap matanya, degup jantung ku kembali lagi.
"Aku Wasa Noren Moizs, seorang lelaki yang berteman denganmu sejak kamu umur 10 tahun dan aku adalah satu-satunya teman mu," ucapnya dengan percaya diri.
"Kamu biasanya memanggil ku Wasa, walau pun begitu aku lebih tua 3 tahun dari mu tapi kamu bebal." Dia mengatakannya dengan tertawa, tawa yang membuat ku ikutan tersenyum walau sebentar.
"Aku melihat mu diawal berpakaian rapi dan membawa pedang di pinggang, apa pekerjaan mu? ku rasa pekerjaan mu itu tinggi ya?" tanya ku.
"Iya kamu benar, aku seorang Ksatria Istana dan pedang ini adalah pemberian Yang Mulia Raja untuk ku, aku terkenal loh dikalangan bangsawan maupun rakyat," tuturnya menyombongkan diri, lihatlah gaya lelaki ini rasanya ingin sekali ku cubit pinggangnya.
"Oh yaa? masa iya kamu terkenal, emang kamu terkenal sebagai apa sih?" tanya ku tak percaya padanya.
"Aku dikenal sebagai Ksatria Pedang Kilat, Ksatria Tangan Emas dan Pembantai Misterius Perang tapi aku lebih dikenal sebagai Ksatria Pedang Kilat, karna aku sangat cepat mengalahkan musuh," jawabnya.
Dia menatap ku dengan senyumnya seakan-akan dia bangga memberitahukan tentang julukannya, lelaki di hadapan ku ini terkenal akan bahayanya dan itu sesuatu yang patut dibanggakan oleh orang-orang yang dia lindungi tapi mengapa mendengarnya membuat ku merasa tak nyaman.
Adakah hal ini berkaitan dengan dirinya?
..."Tahukah kamu satu hal yang sering ku pikirkan? bila dulu aku tidak bertemu dengan mu aku pasti tidak akan sebahagia ini walau pun hanya sebatas teman."...
...~ Wasa Noren Moizs ~...
.......
.......
.......
.......
.......
Matahari sudah terbenam beberapa waktu yang lalu dan angin dingin mulai bertiup sedikit kencang dari arah utara. Tidak ada terlihat penerangan disekitar rumah tua ini atau memang hanya ada rumah tua ini saja? aku kembali menutup pintu rumah dan masuk kedalam.
Aku duduk di kursi tua dan memandang kearah perapian yang tadi dibuat lelaki itu. Aahh Wasa ... dia meminta ku untuk memanggilnya begitu kalau tidak dia akan marah seperti tadi.
"Lain kali panggil aku 'Wasa' saja kalau tidak aku akan marah, Beryl." Dia menatap ku dengan tajam, aku sedikit takut tapi setelah nya dia tertawa karna menertawakan ekspresi takut ku.
Perasaan ku memang masih tak nyaman bila mengingat dia yang notabenenya berbahaya apalagi dengan julukannya itu tapi dia terlihat baik kepada ku. Saat aku terdiam memikirkan tentang nya, dia langsung sigap mengambilkan tanaman obat untuk ku.
Dia mengoleskan lidah buaya pada luka di kaki dan tangan ku lalu memperbannya dengan kain dikotak tadi, aku hanya memperhatikan gerakannya.
Dia cukup telaten, apa karna dia sering dimedan tempur?
"Sudah selesai, ini akan sembuh untuk beberapa hari kedepan," tuturnya, dia berdiri dari sikap jongkoknya dan menatap mata ku dengan seksama.
Aku hanya mengangguk tanda paham, aku ingin mengucapkan terima kasih namun rasanya ragu. Aku hanya tak mau dia menertawakan ku seperti tadi.
"Te ... terima kasih, Wasa."
Suasana kembali sepi, dia tak menanggapi ucapan ku, apakah dia tidak mendengar perkataan ku? namun sebuah tangan mendarat di kepala ku, dia mengusap kepala ku dengan perlahan tanpa melepaskan tatapan matanya.
"Baiklah, lain kali jangan sampai terluka," jawab nya dan tersenyum pada ku.
Manis!
Aku merasakan gerah di tubuh ku lalu menjalar panas di sekitaran pipi ku karna lelaki di hadapan ku saat ini terlihat begitu manis dengan senyumnya, seumur hidup aku belum pernah melihat lelaki memperlakukan ku seperti ini.
Bagaimana tidak? aku bergaul dengan orang-orang yang sudah berumur di kantor lalu aku tidak punya teman dekat baik perempuan atau laki-laki. Kemudian tanpa alasan yang jelas aku terbangun pada sebuah tempat yang aku gak ketahui dan mendadak mempunyai seorang teman lelaki yang katanya sudah berteman dengan ku diumur 10 tahun.
Ini memang tiba-tiba, aku yang awalnya berada ditempat wisata tiba-tiba terjatuh dan terbangun di hutan lalu sekarang aku berada dirumah tua yang sudah usang.
Apakah ini hanya kebetulan? apakah bertemu dengan lelaki ini adalah sebuah kebetulan saja? apakah nanti bila aku tertidur lagi aku berada di tempat awal?
Aku tidak menemukan jawaban atas pertanyaan ku sendiri, aku butuh petunjuk!
"Ada apa? ekspresi mu berubah?" Dia menepuk bahu dengan pelan.
"Tidak ada apa-apa, aku hanya sedikit pusing," kilah ku.
Maaf Wasa, aku masih belum bisa menceritakan ini dan percaya pada mu.
"Ya sudah kamu istirahat aja sana, aku mau buat teh jahe untuk meredakan pusing mu."
Aku melihat punggungnya mulai menjauh dari balik jendela, dia begitu sigap. Apakah memang seperti itu dirinya? namun tak lama dia kembali lagi membawakan beberapa helai daun teh dan jahe, tangannya yang telaten begitu cepat membuat teh jahe lalu memberikannya pada ku.
"Minumlah ini sebelum kamu tidur pokoknya kamu harus istirahat dan jangan kemana-mana, tunggu aku nanti malam, awas kalau kamu gk istirahat," terangnya, dia lembut dan tegas sesuai kondisi.
Lelaki di hadapan ku ini sukses membuat ku patuh, bagi ku yang tidak punya tempat buat bersandar membuat ku sulit untuk mematuhi perkataan orang lain bahkan untuk dikantor saja atasan ku menyerah untuk menyuruh-nyuruh ku, begitulah aku.
Setelah mengiyakan yang dikatakannya, aku menunggu dia disini. Aku mendekatkan tubuh ku ke perapian karna duduk di kursi tua itu saja bisa membuat ku kedinginan, aku menggosok-gosokan telapak tangan ku lalu memajukannya lebih dekat ke perapian. Setelah merasa cukup hangat aku meletakkan telapak tangan ku tadi ke wajah ku.
Rasanya hangat ... aku lebih menyukai nya dibanding kedinginan.
Tadi aku tidak bermimpi apa-apa padahal aku berharap akan bermimpi melihat nenek karna ada yang ingin ku tanyakan tapi sayang sekali itu tidak terjadi. Aku menyembunyikan wajah ku diantara kedua lutut ku, lelah sekali hari ini dan juga lelaki itu lama sekali datangnya. Sudah jam berapa ya kira-kira, jam 7? jam 8? atau jam 9? entah lah ... disini tidak ada tanda-tanda bunyi jam.
Aku masih menunggunya beberapa waktu dan mempertanyakan apakah dia akan datang atau malah tidak?
"Hhaahh ... aku paling tidak suka bila disuruh menunggu seperti ini."
Aku berdiri dari posisi ku tadi dan berjalan menuju pintu tua itu, aku berniat untuk mengunci pintu lalu tidur karna mata ku mulai mengantuk juga lelah menunggu lelaki itu tak datang-datang. Tapi seseorang membuka pintu itu sebelum aku sempat menguncinya, aku yang kaget langsung refleks berjongkok membenamkan wajah.
"Beryl?? ada apa?" Sebuah suara menyapa indera pendengaran ku.
Suara ini bukan kah suara lelaki itu?
Aku menganggakat kepala ku dan melihat siapa orang itu, "Iihh, bikin orang kaget aja!! sebelum masuk itu ketuk dulu!"
"Maaf, aku pikir kamu pergi jadi aku main masuk aja," jelasnya merasa tak enak.
"Kan kamu minta aku untuk menunggu, lupa ya?" sindir ku.
"Ya maaf Beryl"
"Lama banget tau, aku lelah nunggu jadi mau tidur aja. Kamu keluar sana, aku mau kunci pintu," tutur ku dan mencoba mendorongnya keluar tapi dia berat sekali.
"Beryl tunggu dulu ... aku minta maaf udah buat kamu lama nunggu tapi tadi aku sibuk kawal Pangeran yang akan jadi Pangeran Mahkota di Istana. Jadi, karna ada waktu ayo kita pergi, jangan tidur dulu dong."
Dia memegang tangan ku untuk menghentikan aksi yang tengah ku lakukan padanya, "Emang mau kemana? lagian ngapain dikawal?"
"Kamu tak tahu hari ini hari apa?" tanyanya dengan raut wajah heran dan aku hanya menggeleng tanda tak tahu.
"Hari ini adalah hari Festival Laister, hari yang penting bagi seluruh orang di Kerajaan ini," jawabnya.
"Apa itu Festival Laister? kenapa cukup penting?" tanya ku lagi.
"Hhaahh ..." Dia menghela nafas nya lagi.
"Beryl, apa kamu benar-benar tak ingat? seminggu yang lalu sudah pernah ku katakan padamu sebelum kamu berangkat ke Hutan Arieta," tuturnya namun aku hanya menggeleng.
Maaf Wasa ... aku memang tak tau.
"Festival Laister itu festival pengangkatan Pangeran menjadi Pangeran Mahkota untuk menjadi calon penerus kerajaan ini. Festival ini sangat penting karna hanya satu kali saja dalam masa kuasa seorang Raja di kerajaan ini juga festival ini adalah festival terbesar ke-2 setelah Festival de Ramor atau nama lainnya festival naiknya tahta kerajaan de Ramor. Jadi, ayo kita pergi di ibu kota sedang berlangsung festival ini, aku yakin kamu bakalan terpukau." Dia mengulurkan tangannya pada ku.
de Ramor? Bukankah nama itu sama dengan nama tempat wisata yang ku kunjungi itu? apakah aku sekarang berada di Kerajaan de Ramor?
"Ayo Beryl, sebelum acara inti berjalan kita harus sudah sampai," ucapnya.
Dia menggenggam tangan ku dan membawa ku keluar dari rumah, di depan sudah ada kuda miliknya yang tengah menunggu si pemilik keluar. Saat aku keluar dari rumah itu, perasaan tak menyenangkan langsung menyergap ku.
Aku hendak menolaknya tapi mulut ku tak mau terbuka dan tubuh ku mengikuti maunya, dia memakaikan sebuah jubah hitam pada ku.
Hangat.
Jubah ini mirip sekali dengan jaket yang pernah ku pakai hanya saja bedanya terletak pada modelnya, jubah yang panjang dengan kancing dibagian depan dan tali di leher untuk membuat bagian belakangnya menjadi topi yang menutupi kepala ku berbeda dengan jaket yang sepenuhnya tertutup dengan resleting dibagian depannya. Setelah itu dia langsung menaiki ku ke punggung kuda tanpa aba-aba, seperti tadi.
Kali ini dia mengendarai kuda lebih cepat dibandingkan saat tadi pagi, lelaki ini pasti sudah terbiasa mengendarai kuda dengan cepat seorang diri tapi sekarang dia sedang bersama ku.
Apa dia tidak memperhatikan aku yang takut bila kuda ini berlari sangat cepat?
Aku memejamkan mata dan dengan kuat memegang jubah ini, sekarang bukan hanya perasaan takut yang ku perhatikan tapi juga rasa dingin yang mungkin berkali-kali lipat menerpa ku. Tapi apa yang ku pikirkan ternyata tidak berlaku, nyata nya aku hanya merasa hangat, jubah apa ini?
"Bagaimana?! Kamu tak kedinginan kan?!" teriaknya disela-sela laju kuda.
"Iyaa!!! tapi apakah kamu tidak bisa santai saja membawa kuda ini?? Aku takut sekali!!" balas ku lebih kencang.
"Sebentar lagi ...."
Ya, tak berapa lama aku merasakan gerakan kuda yang mulai melambat tidak seperti tadi, apakah sudah sampai? aku memberanikan diri untuk membuka mata, gak apa-apa kan?
Aku melihat di depan ada cahaya kelap-kelip lalu suara kebisingan yang mulai terdengar, apa itu di langit? kembang api?
Waw! disini ada kembang api.
"Wasa, apa memang festivalnya semeriah itu?" tanya ku.
"Bahkan lebih meriah dari yang kamu lihat saat ini, apa kamu mau kesana?"
"Iya, ayo kita kesana!" ujar ku antusias.
Sudah lama aku tak melihat kembang api dan festival, terakhir kali aku melihatnya bersama nenek sebelum pindah ke kota yang baru. Tapi sekarang aku berada disini dengan lelaki yang baru aku kenal tadi, akan kah malam ini berakhir dengan perasaan bahagia?
Kuda yang aku dan Wasa tunggangi tadi diikat tak jauh dari pintu masuk festival, sebelum masuk lelaki di samping ku ini memakai jubah yang sama dengan ku.
"Apa kamu juga kedinginan?" tanya ku padanya.
"Tidak, tapi aku harus sembunyikan identitas ku bahaya soal nya," jawabnya santai.
"Kenapa bahaya? apa kamu tengah diincar?" tanya ku penasaran, dia hanya menatapku dengan wajah yang hampir tertawa.
"Gak kok, kalau aku gak sembunyiin identitas nanti aku diincar para gadis-gadis karna tampan." Dia membanggakan dirinya namun aku langsung mencubitnya karna kesal atas jawabannya.
"Duh ... duh sakit tau, kok dicubit sih," sontaknya.
"Aku kan nanyanya serius kenapa malah dijawab bercanda?" ucap ku kesel.
"Seriusan kok jawaban ku tadi dan kalau identitas ku ketahuan mungkin aku gak bisa bersama mu disini, kan sudah ku katakan aku ini terkenal." Dia melangkah dihadapan ku dan aku mengikutinya.
Kami memasuki kawasan festival, pandangan ku mengedar disetiap langkah. Aku melihat banyak topeng, senjata mainan, makanan, buku-buku dan permainan yang dijual. Banyak juga yang membeli nya, terutama para anak-anak. Walau begitu banyak juga anak-anak yang menangis untuk meminta agar orang tuanya membelikan apa yang mereka inginkan.
Mata ku tertuju pada sebuah mainan, aku mendekati tampat mainan itu tanpa menyusul langkah kaki Wasa.
Bukan kah mainan ini suling bambu?
"Apa nona tertarik dengan mainan ini?" tanya seseorang pada ku.
Aku menoleh kearah suara itu, ternyata pemiliknya. Dia menatap ku dengan tatapan binar, aku yang melihatnya merasa tak enak. Sebenarnya aku hanya ingin melihat karna ada suling bambu disini, tapi bila ditanya begitu dalam kondisi aku tidak punya uang—
"Berapa harga nya?" tanya seseorang di belakang ku, aku kaget karna tepukan tangannya di bahu ku, Wasa menyusul ku.
"5 koin logam tuan." Penjual itu tersenyum senang pada Wasa, "Mahal sekali, biasa nya 1 koin logam apalagi modelannya kyak begini," lanjut Wasa.
"Ti ... tidak segitu harganya tuan, memang sudah segini harga nya tuan. Ini juga lebih murah dibandingkan tempat lain ..." jawab penjual itu gelagapan.
Aku mengamati wajah penjual itu dengan seksama, dia berbohong apalagi kalau didengar dari jawabannya. Aku rasa Wasa juga tahu bila penjual ini berbohong.
"Apa kamu mau ini?" tanya Wasa pada ku.
"Gak jadi, ayo pergi saja." Aku berbalik arah dan melangkah mendahuluinya namun dia meraih tangan ku.
"Ya sudah, ini saja satu," tunjuk Wasa pada mainan suling bambu.
Penjual itu langsung sigap membungkus mainan itu dengan sebuah kain usang lalu menyerahkannya pada Wasa setelah Wasa memberinya uang.
Tapi kejadian ini mengingatkan ku sebelum aku datang kesini, dulu aku pernah dibelikan mainan oleh nenek ku. Aku yang terus menangis seperti anak-anak yang ku lihat itu dan tak mau pulang bila tidak dibelikan apa yang ku inginkan, akhirnya nenek ku membelikannya.
Sedikit perdebatan diantara nenek dan penjual itu, nenek mengatakan mengapa mahal sekali padahal kalau dilihat-lihat juga mainannya tidak terlalu bagus. Tapi penjual itu berkilah lidah dan mengatakan kalau barang-barang dijualnya antik juga kualitasnya lebih bagus dari tempat lain. Walau bagaimana pun, apa yang ku inginkan tetap dibelikannya.
Wasa menyerahkan mainan itu pada ku lalu mengajak ku pergi ketempat lain, aku hanya menatap benda yang dibelikannya dan berpikir untuk menganti rugi uangnya nanti, "Hhmm ... Wasa, kalau aku udah punya uang aku bakalan ganti uang kamu, ya?"
Dia berhenti setelahnya lalu berbalik ke belakang dan menatap ku, tak ada suara. Dia hanya diam di hadapan ku untuk beberapa saat, "Baiklah ...."
Aku mengikuti langkahnya hingga sampai pada kerumunan orang-orang seperti semut, aku yang penasaran langsung mempercepat jalan dan sejajar dengan dirinya. Karna tak bisa melihat dengan jelas aku melompat-lompat untuk melihat namun Wasa menggenggam tangan ku dan berjalan melewati kerumunan.
"Wasa ... memangnya mereka sedang melihat apa?" tanya ku padanya.
"Lihat saja nanti pasti kamu suka."
Kalau Wasa sudah berkata seperti itu aku hanya tinggal mengikutinya dan sampailah kami dibarisan paling depan. Aku dapat melihat dengan jelas apa yang mereka kerumuni, sebuah pertunjukan.
"Itu apa?" tanya ku.
"Itu pertunjukan bola api, keren kan?"
"Bola api? Wah!! Kok bisa sih mereka gak kebakar waktu nyentuh bola nya? gimana cara nya?!" seru ku penasaran.
Aku melihat pertunjukan dengan seksama, pertunjukan seperti ini belum pernah ku lihat. Apakah mereka baik-baik saja? tapi wajah mereka malah tersenyum menandakan kalau baik-baik saja.
Tanpa ku sadari Wasa melihat ku dengan tatapan senang, wajahnya melukiskan senyum yang indah tapi sayang sekali tidak terlalu terlihat karna memakai tudung jubah.
Saat aku berbalik menghadap nya, pipi ku langsung memanas, "Aku senang kalau kamu sesenang ini melihat pertunjukan, apa kamu suka?"
"Eehh ... hhm iiyaa ... aku pertama kali melihat ini, kamu juga suka? eh tapi pertanyaan ku belum kamu jawab loh," ujar ku sembari mengalihkan pandangan ku darinya.
Syukur saja aku memakai tudung jubah ini, pipi ku mungkin tidak terlihat olehnya, 'kan?
"Ohh itu, mereka gak bakalan terbakar karna ada cara rahasia buat mereka gak terbakar. Lagian mereka udah terlatih, kamu tenang aja dan nikmati pertunjukannya," jawabnya.
"Apakah kita harus membayar untuk pertunjukan ini?" tanya ku.
"Iya, kamu mau coba membayarnya?"
Dia menyerahkan 2 koin perak pada ku, aku hanya menatap uang itu lalu menatapnya kembali, bolehkah aku memberi dengan uang lelaki di hadapan ku ini aku menggeleng dengan cepat dan menolak uang yang diserahkannya.
"Kamu saja, aku tak bisa."
"Padahal kamu tak perlu sungkan pada ku, Beryl."
Dia menerim uang yang diberikannya pada ku tadi dengan berat, aku hanya tersenyum canggung mendengar ucapannya. Walau begitu dia mengalah pada ku dan memberikan 2 koin perak pada mereka. Orang-orang pertunjukan itu langsung membungkuk pada Wasa berulang kali dan membuat ku heran.
"Kenapa mereka membungkuk? apa kamu ketahuan?" tanya ku was-was, kalau sampai Wasa ketahuan aku—
"Tidak, mereka membungkuk karna ku beri koin perak."
"Loh hanya karna koin?" tanya ku heran, Wasa hanya mengangguk atas pertanyaan ku.
"Tapi tadi sama penjual mainan berbeda?"
"Itu karna tiap koin berbeda nilainya, kamu tahukan mainan tadi aku bayar pakai koin logam? lalu untuk pertunjukan ini pakai koin perak, mata uang disini punya tingkatannya," jelasnya.
"Untuk koin logam biasanya banyak dipakai oleh rakyat biasa, untuk koin perak biasanya digunakan untuk bangsawan tingkat rendah dan untuk koin emas biasanya digunakan bangsawan tingkat tinggi. Tiap koin logam bila berjumlah 50 bisa ditukar sama 1 koin perak, tiap 100 koin perak bisa ditukar sama 1 koin emas. Tapi untuk rakyat sendiri sangat susah mengumpuli 50 koin logam karna itu mereka yang dapat koin perak walau cuma 1 koin bakalan sangat berterima kasih. 1 koin perak juga bisa dijadikan investasi tapi jarang sih dan karna kamu suka pertunjukannya aku kasih mereka koin lebih," lanjutnya lagi.
Jadi dia ngasih koin lebih karna aku? kenapa laki-laki ini perhatian sekali.
Aku baru tahu kalau sistem uang disini seperti itu, berarti jadi rakyat biasa itu susah sekali ya! aku jadi merasa kasihan sekaligus senang atas tindakan Wasa tadi. Jadi, aku harus lebih berusaha lagi buat dapat uang untuk mengaganti uang nya.
Aku kembali menonton pertunjukan bola api tapi penglihatan ku menangkap sesuatu, seperti ada seseorang yang berdiri sejajar di hadapan ku dengan memakai jubah yang sama dengan ku juga tengah melihat kearah ku.
Mata ku dengan mata orang itu bertemu namun mengapa dada ku berdebar?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!