NovelToon NovelToon

Tears In Marriage

Berita perjodohan

Alora hanya bisa terdiam ketika papanya baru saja menyampaikan berita yang membuatnya tidak  bisa berkutik sama sekali. Genggaman tangan mama membuat Alora semakin yakin jika ini adalah hal yang serius yang harus ia turuti. Tetapi menurut Alora hal ini sama sekali tidak masuk di akal. Bagaimana bisa papanya berniat untuk menjodhkannya di saat mereka tau jika Alora sudah memiliki kekasih. Alora bahkan sering membawa sang kekasih ke rumah dan bertemu keluarganya.

"Papa harap kamu mau menerimaya ya sayang.. Semua ini demi kebaikan kamu,"  tutur papa Alora dengan senyuman di wajahnya. Alora seketika menggelengkan kepalanya.

"Gak mungkin dong pah.. Aku udah punya Dimas. Gak mungkin aku ninggalin dia haya karena perjodohan gila ini. Lagian aku udah besar pa.. ma. Aku bisa nentuin calon suami aku sendiri. Udah jaman modren tapi kenapa kalian malah pemikiannya masih gak mdren sih? Aku gak mau dengan masalah ini lagi."

Alora sama sekali tidak berniat untuk menerima  tawaran perjodohan yang papanya buat. Ia segera bangkit dari duduknya dan hendak pergi meninggalkan ruang tamu. Tetapi baru beberapa langkah berjalan, Alora menghentikan langkahnya ketika papanya kembali bersuara.

"Besok kamu akan ketemuan sama calon suami mu. Kamu harus datang dan ketemu sama dia. Papa gak mau tau!" Perintah papanya. Alora kembali menatap kedua orang tuanya. Ia sangat ingin menolak perintah itu, tetapi ketika ia  melihat mamanya yang menggelengkan kepalanya, tanda bahwa Alora tidak boleh mengatakan apapun. Alora hanya bisa menahan kekesalannya dan kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar.

Sesampainya di kamar, Alora segera melepaskan seluruh kekesalannya dengan berteriak sekencang yang ia  bisa. Untung saja kamar Alora kedap  suara. Jadi tidak akan ada yang mendengarya jika ia berteriak seperti ini.

Alora bukan hanya berteriak, ia juga memberantakkann buku-buku bacannya yang tersusun rapi di rak. Napas Alora memburu. Ia sangat tidak terima dengan permintaan papanya itu. Tanpa ia sadari, air mata Alora sudah memasahi kedua pipinya. Dengan kasar Alora menghapus air matanya itu. Ia tidak mau terlihat terpuruk hanya karena masalah sepele seperti ini.

Satu jam berlalu, Alora sudah bisa menenangkan dirinya. Ia membaringkan tubuhnya di atas kasur empuk miliknya sambil menatap langit-langit kamarnya. Alora hanya diam dan memikirkan apa yang akan ia lakukan kedepannya. Disela Alora memikirkan rencana, seseorang masuk ke dalam kamarnya tanpa mengetuk pintu kamarnya. Alora sangat tau itu siapa.

"Bisa gak sih ngetuk pintu dulu?!" Tanya Alora dengan sedikit bentakkan. Orang yang Alora bentak hanya bisa tertawa mendengar bentakkan dari adiknya itu.

Ia naik ke atas tempat tidur dan memeluk tubuh Alora. "Ada masalah apa lagi?" tanya pria itu.

"Papa lagi gak waras kayaknya. Masa dia mau jodohin gue... kenapa papa enggak jodohin lo aja. Umur lo kan udah pantas untuk berumah tangga," jelas Alora.

Pria yang ada di samping Alora tertawa mendengar perkataan adiknya ini. Umurnya memang sudah saatnya untuk berumah tangga. Tetapi dia masih belum bisa melakukan hal tersebut.

"Coba aja dulu. Mana tau dia ganteng."

Alora menatap saudaranya dengan tatapan tajamnya. "Lo tau sendiri gue udah punya Dimas, Bara.. Gak mungkin gue ninggalin dia gitu aja."

Pria yang bernama Bara itu menganggukkan kepalanya. Ia sebenarnya sudah sangat yakin hal ini akan terjadi kepada Alora. Sudah sangat jelas terlihat dari wajah kedua orang tuanya kalau mereka tidak terlalu suka dengan keberadaan Dimas di dekat Alora.

"Lo gak pernah sadar ya? mama sama papa itu enggak terlalu suka sama Dimas. Pegawai swasta.. enggak akan jadi kriteria calon menantu mereka," jelas Bara sambil menatap Alora lirih. Ia seperti Dejavu. Bara sangat mengerti mengapa kedua orang tua mereka melakukan hal ini. Ia sudah pernah memperkenalkan seorang wanita yang sangat ia cintai. Tetapi kedua orang tuanya itu menolak dengan mentah-mentah wanita yang ia kenalkan.

"Tapi... mereka menerima baik pas Dimas berkunjung ke rumah."

"Sama seperti lainnya, mereka hanya menganggap Dimas sebagai tamu enggak lebih."

Alora terdiam mendengar perkataan Bara. Semakin ia mendengar perkataan dari Bara, semakin yakin Alora bahwa ia akan segera menikah sesuai dengan pilihan orang tuanya.

Bara memiringkan badannya agar menatap wajah Alora dengan leluasa. Ia merapikan beberapa anak rambut Alora yang berantakan. Memberi senyuman terbaik untuk adiknya ini.

"Lo gak usah takut.. kalau Lo enggak suka sama dia, bilang aja langsung. Gue yakin mama sama papa akan mempertimbangkannya," tutur Bara untuk menenangkan Alora.

Bukannya tenang, Alora malah semakin takut. Ia takut kalau kedua orangtuanya tidak akan mendengarkannya. Alora sangat tau kisah percintaan Bara dan mantannya dulu. Wanita yang dulu sangat dengan dengan Alora, yang bahkan sudah Alora anggap sebagai kakak sendiri. Sekarang malah sudah memiliki keluarganya sendiri.

"Gimana kalau mereka tetap pada keputusannya?" tanya Alora.

"Lo bisa ketemuan sama pria itu. Minta untuk dia membatalkan perjodohannya. Gue yakin, dia memiliki harga diri yang kuat. Gak mungkin dia mau menikah sama wanita yang udah nolak dia," jawab Bara.

Alora tersenyum mendengar jawaban Bara. Apa yang dikatakan Bara ada benarnya. Alora akan mencoba cara itu.

"Makasih udah ngasih saran."

Alora menyenderkan kepalanya ke dada bidang Bara. Ia memeluk tubuh Bara dengan erat. Alora tidak pernah membayangkan bagaimana kehidupannya jika tidak ada Bara. Hanya Bara yang bisa menyelematkan dirinya.

"Gue akan ngelakuin hal apapun buat lo. Karena gue hanya punya lo dan lo hanya punya gue. Gue gak mau lo menghabiskan hidup lo dengan orang yang gak lo cintai," Balas Bara sambil mengelus lembut punggung Alora.

***

Alora menatap dirinya di depan cermin. Penampilannya yang rapih dan anggun membuatnya kembali tersenyum. Ia sangat suka tersenyum ketika melihat dirinya di depan cermin.

Alora berpenampilan menarik seperti ini bukan untuk bertemu dengan pria yang ingin dijodohkan dengannya. Ia ingin bertemu dengan Dimas. Ia sudah tidak keluar dari kamar sejak tadi pagi. Alora tidak mau kembali di ingatkan untuk bertemu dengan pria itu. Saat ini Alora sangat yakin mama dan papanya sudah pergi bekerja. Jadi tidak akan ada yang menyuruhnya untuk bertemu dengan pria itu.

Ia pun segera mengambil tas sandangnya dan berjalan keluar dari rumah. Alora kembali tersenyum ketika melihat rumah yang sudah sepi. Ia akhirnya bisa bernapas lega.

Alora mempercepat langkahnya menuju garasi untuk mengeluarkan mobil miliknya. Tetapi belum sampai ia menuju garasi, ia dapat melihat kedua bodyguard papanya sudah berdiri di hadapannya.

"Maaf non. Bapak nyuruh kami untuk mengantar non bertemu dengan calon suami non," tutur salah seorang bodyguard tersebut.

Alora mencoba untuk tersenyum agar kedua bodyguard papanya ini tidak curiga kepada dirinya.

"Gak usah pak. Bapak kasih aja alamat tempatnya, biar saya yang pergi sendiri ke sana," jawab Alora. Tentu saja dia tidak akan pergi ke sana.

"Maaf non.. bapak memerintahkan agar kami sendiri yang mengantar non ke sana. Mobil sudah siap di luar non, ayo berangkat sekarang."

Jika sudah seperti ini, Alora tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia tidak mungkin lari karena ia sangat yakin kedua bodyguard ini akan langsung menangkapnya.

Alhasil Alora pun mengikuti keinginan kedua orangtuanya untuk pergi bertemua dengan pria itu. Alora merutuki dirinya. Kalau tau seperti ini, ia akan berpenampilan yang buruk agar pria itu tidak menyukainya.

***

Pertemuan

Alora hanya diam menunggu seseorang yang akan ia temui. Lemon tea yang ada di depannya belum ia sentuh sama sekali. Sudah sepuluh menit ia menunggu kedatangan pria yang akan dijodohkan untuknya.

Ingin sekali Alora kabur dari cafe ini. Tetapi kedua bodyguard papanya dengan setia menatap dirinya dari luar cafe.

Agar tidak bosan menunggu, Alora pun mengeluarkan handphone miliknya untuk mengirim pesan kepada Dimas. Alora sangat yakin Dimas sudah menunggu dirinya di tempat yang mereka janjikan.

Belum sempat Alora mengirim pesan, seseorang menegur dirinya. "Alora?"

Alora menoleh ke sumber suara dan menganggukkan kepalanya. Pria itu tersenyum dan duduk di bangku yang ada di depan Alora.

Untuk sesaat Alora kagum dengan penampilan pria ini. Pria ini sangat tampan. Alora tidak munafik soal hal ini. Bahkan Dimas kalah tampannya dari pria yang ada di hadapannya ini. Hidung mancung, tinggi, kulit putihnya serta bola matanya yang berwarna coklat itu semakin membuat Alora terpikat dengan penampilannya.

Alora segera menyadarkan dirinya. Ia menggelengkan kepalanya dan mencoba untuk fokus dengan tujuannya datang ke sini.

"Reinal Abara," ucap pria yang ada di depan Alora sambil menjulurkan tangannya.

"Alora Dwana," sahut Alora tanpa membalas uluran tangan Reinal. Reinal hanya tersenyum dan menurunkan uluran tangannya itu.

"Sorry udah buat kamu menunggu. Tadi ada klien saya yang harus ditemui terlebih dahulu."

"Gak masalah. Emang... type pria kayak kamu itu suka gak tepat waktu. Saya sudah menghabiskan waktu berharga saya selama sepuluh menit untuk menunggu. Padahal saya masih harus bertemu denga seseorang yang penting!" ucap Alora dengan penekanan di setiap kaliamatnya.

Alora sengaja berkata dengan kasar agar Reinal tidak menyukai dirinya. Pria berkelas seperti Reinal pasti menyukai wanita yang lemah lembut.

"Saya tau.. kamu setelah ini akan bertemu dengan pacar kamu kan? siapa namanya? Dimas kan?"

Ekspresi wajah Alora seketika berubah. Ia melebarkan kedua matanya mendengar pertanyaan Reinal. Bagaimana bisa Reinal tau jika ia akan betemu dengan Dimas.

Reinal tersenyum melihat wajah terkejut Alora. "Saya sudah mencari tau semua tentang kamu setelah saya tau kalau kamu dijodohkan sama saya," sambung Reinal menjawab kebingungan Alora.

"Saya gak tau sudah sebanyak apa kamu mencari tau tentang saya. Saat ini saya hanya mau menyampaikan bahwa saya menolak perjodohan ini. Saya tidak akan pernah menikah dengan kamu," ucap Alora to the point. Ia tidak mau berbasa-basi dengan Reinal.

"Waw... ini kali pertama saya mendapatkan ponalakan secara langsung. Saya bahkan belum memperkenalkan diri saya kepada kamu, Alora. Mungkin saja kamu akan berubah pikiran setelah mendengar tentang saya."

"Tidak. Saya tidak akan berubah pikiran sama sekali."

Alora berdiri dari duduknya. "Saya harap kamu bisa bilang ke orang tua kamu kalau saya menolak perjodohan ini," sambung Alora.

Reinal masih dengan duduk santai dan senyuman tipisnya menatap ke arah Alora. Alora seketika merinding melihat tatapan yang Reinal berikan. Ia memang tersenyum kepada Alora tetapi tatapan yang Reinal berikan sangat tajam.

"Saya harap kamu juga harus bersiap-siap dengan apa yang akan kamu dengar nantinya. Penolakan kamu ini, akan membuat orang yang kamu sayangi hancur satu persatu."

Alora seketika tertawa mendengar ancaman yang Reinal berikan kepadanya.

"Saya tidak takut dengan ancaman muruhan kamu. Permisi!" Setelah mengatakan itu, Alora berjalan pergi meninggalkan Reinal.

Alora segera masuk ke dalam mobil miliknya. "Antar saya ke kantor Bara!" perintah Alora kepada kedua bodyguard. Tanpa menjawab, mobil berjalan pergi meninggalkan Cafe dan Reinal yang masih setiap menatap ke arah Alora.

***

"Iya sayang... sorry. Atau kamu mau nyusul aku ke kantor Bara aja?"

Alora berjalan menuju ruangan Bara sambil menghubungi Dimas. Ia terpaksa untuk membatalkan pertemuannya dengan Dimas karena Alora ingin bertemu dengan Bara langsung. Ia ingin menceritakan mengenai ancaman yang Reinal ucapkan tadi.

"Atau kita ketemuannya malam aja? Kita sekalian dinner. Maaf ya sekali lagi," sambung Alora lagi. Ia sebenarnya tidak tega kepada Dimas tapi apa mau buat.

Setelah mendengar persetujuan dari Dimas, Alora segera memutuskan panggilan mereka. Ia sesekali tersenyum ketika beberapa pegawai menyapa dirinya.

Alora menekan tombol Lift menuju lantai sepuluh. Lantai dimana ruangan Bara berada. Alora menatap keluar Lift yang mana langsung menuju ke arah jalan raya. Ia memikirkan tentang dirinya. Alora sangat bangga dengan Bara yang berhasil mendirikan perusahannya sendiri. Ia langsung menolak tawaran papa mereka ketika ditawari untuk melanjutkan bisnis keluarga.

Alasan yang diberikan oleh Bara cukup membuat Alora kembali memikirkannya sekarang. Bara tidak mau papa mengatur dirinya nantinya.

Sekarang Alora mengerti mengapa Bara memilih hal ini. Kalau saja ia tau akan seperti ini jadinya, mungkin Alora akan berusaha lebih keras untuk membangun bisnisnya sendiri. Tapi apa daya, Alora sama sekali tidak ada minat di bidang bisnis dan perkantoran. Ia malah suka melukis. Alora tidak tau dari mana bakatnya ini berasal.

Pintu Lift terbuka di lantai sepuluh dan seketika Alora keluar dari lift. Ia berjalan menuju ruangan Bara. Alora mengernyitkan dahinya ketika tidak melihat sekretaris Bara di mejanya. Biasanya sekretaris Bara akan dengan sibuk mengatur jadwal Bara di deoam ruangan Bara. Tapi kali ini tidak ada, padahal ini masih belum jam istirahat.

Alora mencoba untuk tidak menggubrisnya. Ia berjalan mendekati pintu ruangan Bara dan membuka dengan pelan pintu tersebut.

Baru beberapa senti pintu terbuka, mata Alora seketika melebar melihat apa yang dilakukan oleh Bara dan sekretarisnya itu.

Bara yang sedang bercumbu dengan sekretasnya membuat Alora tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Suara ******* yang terdengar ketika Alora membuka pintu membuatnya jijik mendengar suara tersebut.

Dengan pelan Alora kembali menutup pintu tersebut. Ia menghela napas panjang dan duduk di kursi sekretaris Bara. Menunggu Aktrasi kedua insan yang sedang bercumbu di dalam selesai.

Alora tidak mungkin menggangu mereka, ia tidak mau membuat sekretaris tersebut malu terhadap dirinya. Beberapa detik kemudian Alora tersenyum. pantas saja selama ini Bara selalu malam pulang ke rumah. Ia jadi penasaran sejak kapan Bara menjalin kasih dengan sekretasnya sendiri.

Tiga puluh menit Alora menunggu dan akhirnya membuahkan hasil. Pintu ruangan Bara terbuka dan menampakkan sekretaris Bara yang keluar dengan penampilan yang sudah rapih. Hanya lipstiknya saja yang sudah tidak terlihat di bibirnya.

Alora tersenyum manis melihat keterkejutan sekretaris Bara. "M.. Mbak Alora."

Alora bangkit dari duduknya dan mendekati sekretaris tersebut. "Jangan lupa pakai lipstik lagi ya. Udah hilang soalnya lipstik kamu," tutur Alora dan segera masuk ke dalam ruangan Bara.

"Hai! Gimana? udah segar?" Tanya Alora ketika ia sudah masuk ke dalam ruangan Bara dan melihat Bara yang sedang merapikan dasi miliknya. Bara yang melihat kehadiran Alora dan mendengar pertanyaan Alora hanya bisa tertawa. Ia menganggukkan kepalanya, tanda mengiyakan pertanyaan Alora.

"Gimana pertemuan Lo sama calon suami lo? lancar?" tanya balik Bara sambil berjalan mendekati Alora yang sudah duduk di sofa.

"Lancar... gue juga udah bilang apa yang lo ajarin kemarin," jawab Alora dengan senyumannya.

"Apa responnya?" tanya Bara lagi dengan antusias.

Alora terdiam sejenak. Ia memikirkan hal yang seperti ada yang tertinggal. "Ada apa?"

Alora melebarkan matanya ketika mengingat apa yang ia lupakan. "Astaga! Gue belum bayar minuman gue tadi!"

***

Tamparan

Tawa lepas Bara mengisi keheningan ruangannya ini. Ia merasa sangat lucu melihat ekspresi wajah Alora yang lupa membayar minumannya.

"Aduh... udah lo tolak dia, eh malah Lo suruh dia bayar pesanan lo." Alora melemparkan tatapan mematikan kearah Bara.

"Jangan buat gue semakin kepikiran!" ketus Alora.

"Okey.. Sekarang cerita sama gue, gimana tanggapan dia tentang penolakan yang Lo kasih?" tanya Bara mengubah topik pembicaraan mereka.

Helaan napas Alora terdengar. Kali ini ia memasang wajah serius. Melihat perubahan ekspresi Alora, membuat Bara menegakkan badannya.

"Dia ngancem gue," ucap Alora dengan serius. Bara terlihat tidak terkejut mendengar perkataan Alora.

"Udah bisa gue tebak. Tapi Lo gak usah khawatir sama sekali. Ancamannya tidak akan pernah terjadi, percaya sama gue." Bara mencoba untuk menenangkan Alora. Alora sangat ingin mempercayai ucapan Bara, tetapi ia tetap saja memikirkan ancaman yang Reinal lontarkan.

"Tapi... gimana kalau dia benar-benar nge-"

"Alora." Ucapan Alora seketika dipotong oleh Bara. Ia menggelengkan kepalanya kepada Alora, menandakan bahwa Alora tidak perlu memikirkan apapun.

"Gue takut, Bara. Gak masalah kalau dia mau ngelakuin apa aja ke gue. Tapi gimana kalau dia ngelukain lo atau mama dan papa? Dari tatapan dia tadi buat gue semakin yakin kalau ucapannya enggak main-main. Dia seperti akan melakukan apa yang ia ucapkan," sahut Alora.

"Keluarga Abara memang sangat berpengaruh di dunia bisnis. Dibandingkan keluarga kita, tidak ada apa-apanya dari mereka. Tapi gue yakin, Reinal Abara tidak mungkin mau menjatuhkan bisnis orang lain hanya karena masalah sepele seperti ini. Dia enggak akan ada waktu untuk ngurusin semua hal seperti ini. Percaya sama gue," jawab Bara dengan santai. Menurut Bara, Reinal tidak  akan terganggu hanya karena Alora. Pasalnya, Alora terlihat bukan salah satu wanita yang biasanya Reinal kencani. Bara sangat tau seperti apa wanita-wanita yang sering Reinal kencani dan bahkan ia ajak tidur bersama.

Alora sama sekali tidak sesuai dengan tipe wanita yang Reinal sukai. Bukann berarti Alora tidak cantik, hanya saja penampilan Alora yang polos tidak akan membuat Reinal merasa tertarik.

"Oke.. Gue akan percaya sama lo. Lagian perusahaan keluarga kita tidak mungkin hancur hanya karena keluarga Abara. Gue cabut kalau gitu," putus Alora. Ia bangkit dari duduknya dan merapikan bajunya yang sedikit berantakkan.

"Udah gitu aja? Lo cuman mau ngomongin masalah gak penting ini sama gue?" Anggukkan dari Alora membuat Bara menggelengkan kepalanya. Tidak percaya dengan apa yang Alora perbuat.

"Lo udah buang waktu gue, Alora."

Alora terwa sinis  mendengar penuturan Bara. "Waktu yang mana sekarang? Waktu bercinta lo sama sekretaris lo itu?" tanya Alora dengan wajah mengejek.

"Sialan lo!"

Tawa Alora semain lepas mendengar umpatan yang Bara lontarkan untuk dirinya. Bukannya kesal, Alora malah menikmati umpatan tersebut.

"Udahlah gue cabut, pacar gue udah nungguin di bawah. Bye... Bara." Alora berjalan pergi meninggalkan ruangan Bara untuk menghampiri Dimas.

***

Semilir udara Pantai membuat Alora menyenderkan kepalanya kebahu Dimas. Ia tidak akan pernah bosan menikmati waktu bersama dengan Dimas, walaupun hal sederhana seperti ini.

Kesibukan Dimas dan Alora membuat mereka sangat jarang ketemu. Tetapi hal itu sama sekali bukan suatu masalah.

Dimas mengecup kening Alora yang bersandar di bahunya. Ia mencoba untuk memilih kata yang akan keluar dari mulutnya mengenai pertanyaan yang sering berseliweran di kepalanya.

"Jadi kapan keluarga aku bisa ketemu sama keluarga kamu?" tanya Dimas. Ia sudah sering bertanya kepada Alora mengenai hal ini. Tetapi selalu saja Alora mengalihkan pembicaraan mengenai masalah ini.

"Kenapa sih, kamu kebelet nikah banget sama aku ya?" tanya balik Alora.

Sebenarnya Alora sangat senang mendengar pertanyaan itu dari Dimas. Tandanya Dimas serius dengan hubungan mereka. Tetapi Alora masih belum bisa menjawab pertanyaan Dimas itu. Ia masih harus meyakinkan kedua orang tuanya, terlebih lagi perihal perjodohannya masih belum selesai.

"Aku gak mau kita pacaran terus, Lora. Aku mau kamu jadi istri aku. Udah hampir lima tahun kita pacaran dan aku yakin kamu itu pilihan yang tepat untuk aku dan ibu dari anak-anak kita nantinya. Aku gak tau alasan kamu kenapa terus mengundur waktu yang baik ini. Atau ada pria lain?" Mendengar pertanyaan itu, Alora langsung menegakkan badannya. Ia menatap wajah Dimas dalam. Detik berikutnya Alora mengelus pipi Dimas dengan lembut sembari memberikan senyuman tipisnya.

"Enggak ada dan enggak akan pernah ada, Dimas. Dari dulu aku enggak pernah bisa berpaling dari kamu. Aku tau aku terus mengundur itikad baik kamu itu, tapi aku memang harus melakukan itu. Kamu tau sendiri bagaimana orang tua aku, terlebih lagi papa. Tapi kamu gak perlu khawatir, aku akan segera kasih tau kamu kapan waktu yang tepat untuk membicarakan itikad baik kamu itu."

Dimas berusaha untuk tersenyum kepada Alora. Ini adalah hal yang terus menghantui pikiran Dimas. Memiliki hubungan dengan wanita yang ekonominya lebih jauh dibanding dirinya akan terasa sulit. Dimas sudah lama memikirkan apakah hubungannya dengan Alora akan berjalan dengan lancar atau tidak. Sesuai dengan dugannya, hubungan mereka memang lancar tetapi tidak dengan keluarga Alora.

Mungkin Dimas masih harus menuggu lagi. Menunggu agar keluarga Alora merestui hubungan dirinya dan putri tunggal mereka.

***

Senyuman Alora masih belum bisa ia hentikan. Pertemuannya dengan Dimas tadi masih terus ia igat sampai sekarang. Alora mencoba untuk menghentikan pikirannya tentang Dimas untuk saat ini karena ia akan masuk ke dalam rumah dan tentu saja akan bertemu dengan mama dan papanya.

"Terimakasih pak," ucap Alora ketika supirnya membukakkan pintu mobil untuk dirinya. Alora pun keluar dari mobil dan berjalan memasuki rumah. Alora berusaha berjalan dengan sangat pelan agar suara langkah kakinya tidak terdengar oleh kedua orang tuanya. Tetapi sepertinya niatnya itu tidak sesuai dengan apa yang ia inginkan.

"Alora!"

Panggilan keras itu membuat Alora seketika menoleh ke sumber suara. Ia dapat melihat mama dan papanya yang sedang duduk di sofa ruang tamu. Melihat dari raut wajah papa, Alora sangat yakin ia akan segera mendapatkan masalah.

Alora pun berjalan mendekat ke arah papa dan mamanya. Papa Alora segera berdiri ketika Alora sudah berada di depannya.

PLAK.

Suara keras dari tamparan papa Alora terdengar di ruangan itu. Rasa sakit menjalar di pipi kiri Alora. Ia masih belum bisa mencerna apa yang terjadi sekarang.

"Anak tidak tau diuntung!"

Perlahan air mata Alora membasahi kedua pipinya. Ia menoleh ke arah mamanya agar mamanya dapat membantunya  untuk meredahkan amarah papanya. Tetapi malah sebaliknya, mamanya terlihat sedang meredahkan amarahnya sendiri. Melihat suasana seperti ini, Alora yakin ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!