NovelToon NovelToon

My Love Teacher

Dipecat

"Ayah, Ibu. Aku berangkat dulu."

"Eh sarapan dulu Ra."

"Nanti saja dikantin sekolah, bu. Sudah terlambat nih."

"Kamu itu, kalau malam jangan bergadang." ucap ayah.

"Gimana nggak bergadang, yah? Nilai ujian harus terkumpul hari ini. Besuk anak - anak akan terima raport."

"Ya sudah sana berangkat, hati - hati dijalan."

Setelah mencium tangan kedua orang tuanya, Cyra segera mengendarai sepeda motor menuju ke sekolah dimana ia mengajar.

Sebenarnya waktu kuliah Cyra mengambil jurusan bahasa. Awalnya ia ingin menjadi seorang guide agar bisa keliling dunia tapi harapannya harus ia pupus karena yang mau menerimanya bekerja hanya di sebuah sekolah dasar di mana ia tinggal. Kota Surabaya merupakan kota besar akan tetapi lowongan pekerjaan belum mencukupi jumlah pengangguran. Semua harus pintar bersaing, berkreasi untuk menciptakan lapangan kerja sendiri. Sudah dua tahun ini Cyra mengajar anak kelas satu sekolah dasar. Pengalamannya dalam beberapa mata pelajaran makin bertambah beriring dengan waktu. Cyra sangat sabar dan cepat belajar, dalam waktu beberapa bulan saja ia sudah bisa menguasai semua mata pelajaran.

"Selamat pagi, pak Joko." sapa Cyra pada penjaga sekolah.

"Selamat pagi bu Cyra. Wah hampir saja saya tutup gerbangnya. Kok tumben berangkatnya agak terlambat, bu?"

"Iya nih pak, semalam bergadang mengerjakan nilai raport anak - anak." jawab Cyra sambil memarkirkan sepeda motornya. "Saya masuk dulu pak."

"Ya, silahkan bu."

Dengan setengah berlari Cyra segera menuju kantor dan menaruh laptopnya di meja. Di kantor sudah agak sepi karena beberapa guru sudah masuk dalam kelas. Setelah membawa beberapa buku ia bersiap menuju kelas satu.

"Bu Cyra."

"Oh, Bu Lina memanggil saya."

"Nanti setelah mengajar ke ruangan saya sebentar."

"Baik bu." jawab Cyra.

Bu Lina adalah kepala sekolah dimana ia mengajar.

Karena hari ini anak - anak bebas dari kegiatan belajar mengajar setelah satu minggu mengerjakan tes akhir semester, Cyra hanya akan memberikan permainan - permainan yang menarik untuk anak didiknya. Bahkan terkadang ia juga membacakan cerita dari tokoh - tokoh terkenal di dunia. Semua anak didik sangat menyukai kepribadiannya yang sabar dan ramah.

Setelah hampir dua jam asyik bermain bersama anak didiknya, Cyra segera menghadap kepala sekolah sesuai dengan perintahnya tadi.

Tok! Tok! Tok!

"Masuk."

"Selamat siang bu."

"Oh bu Cyra, ayo masuk. Silahkan duduk."

"Terima kasih."

Setelah Cyra duduk dengan nyaman, Bu Lina memulai pembicaraan.

"Sudah berapa lama kamu kerja disini?"

"Sudah dua tahun bu."

"Bu Cyra anak - anak sudah selesai di semester ini dan sebentar lagi akan libur panjang." bu Lina menghela napas sebentar. "Saya tahu selama mengajar di sekolah ini kamu sabar\, serius\, berdedikasi dan terus terang anak - anak menjadi semangat untuk sekolah\, akan tetapi___." bu Lina tidak meneruskan perkataannya.

"Akan tetapi apa bu?"

"Apa kamu ada pekerjaan lain selain mengajar disini?"

"Tidak ada bu." jawab Cyra. "Ada apa sebenarnya bu Lina? saya semakin tidak mengerti."

"Hmm, jadi begini bu Cyra. Selama ini kamu hanya tenaga kontrak disini. Dan setelah liburan semester ini akan ada tenaga pengajar tetap yang baru yang akan mengisi posisimu disini."

"Sssa.. ssaaya di pecat bu?" suara bergetar yang keluar dari mulut Cyra seakan mewakili perasaannya yang kecewa.

"Maaf bu Cyra, saya hanya melaksanakan perintah kantor Diknas."

"Tapi saya kan bisa diperbantukan disini bu?"

"Bu Cyra kan tahu kondisi sekolah ini. Kami tidak ada biaya untuk membayar bu Cyra."

Untuk beberapa saat Cyra terdiam. Pikirannya berkecamuk, dadanya terasa sesak. Darimana ia akan mendapatkan uang untuk membantu kedua orang tuanya.

"Baiklah bu, jika itu memang keputusannya."

"Ibu sebenarnya sangat menyayangkan pemecatan ini, karena ibu tahu bagaimana kinerjamu di sekolah ini. Tapi mau bagaimana lagi, ini sudah keputusan dari Diknas."

"Iya saya mengerti, saya menerima keputusan ini. Walaupun memang terus terang ini berat dan terlalu mendadak untuk saya. Saya sudah terlalu mencintai anak - anak dan tentu saja ini akan berat berpisah dari mereka."

"Sekali lagi saya minta maaf bu Cyra."

"Tidak apa - apa bu Lina. Saya akan segera mengemasi barang - barang saya." Cyra beranjak dari tempat duduknya, ia mengulurkan tangannya. "Terima kasih bu Lina, sudah mau menerima saya selama dua tahun untuk mengajar disini."

Dengan tersenyum bu Lina membalas jabat tangan dari Cyra.

"Kalau begitu saya permisi."

Cyra segera meninggalkan ruang kepala sekolah, ia menuju ke taman belakang sekolah yang ia buat bersama dengan anak didiknya. Ia melihat taman itu dengan tatapan yang dalam, matanya berkaca - kaca. Banyak kenangan indah yang terpaksa harus ia tinggalkan. Berat.. dan terasa sangat berat. Pemecatan ini begitu tiba - tiba, bagaimana sedihnya kedua orang tuanya mendengar hal ini.  Apalagi mereka berhutang kesana kemari untuk membiayainya sekolah.

Sudah cukup aku bersedih, aku tidak bisa seperti ini terus, pikir Cyra sambil menghapus air matanya. Ia segera kembali ke dalam kantor dan membereskan barang - barangnya ke dalam sebuah kardus kecil. Setelah semua selesai ia berpamitan pada beberapa guru disana. Ia sengaja tidak berpamitan pada anak didiknya karena bisa dipastikan akan membuatnya menangis dan lebih sedih.

"Bu Cyra beneran keluar dari sini?"

"Eh, iya pak Joko. Tapi lebih tepatnya di perhentikan."

"Wah, anak - anak pasti sedih."

"Iya, makanya saya tidak pamitan pada mereka."

"Yah, saya doakan bu Cyra segera dapat pekerjaan yang baru."

"Terima kasih pak Joko, kalau begitu saya permisi."

"Iya hati - hati bu Cyra."

Dengan perlahan Cyra mengendarai motor melawan teriknya matahari siang hari ini. Tidak sampai lima belas menit ia sudah sampai di rumah. Setelah menaruh sepeda motornya di halaman rumah, Cyra menurunkan kardus dari atas motornya dan duduk sebentar di teras depan.

"Loh, kok jam segini sudah pulang?" tanya ibu yang terkejut dengan keberadaan Cyra yang sudah duduk diteras.

"Aku diperhentikan dari sekolah bu." jawab Cyra lirih.

"Loh kok bisa!" ibu tampak terkejut. "Pak! Pak! kesini sebentar." panggil ibu.

Ayah Cyra yang baru mempersiapkan pupuk segera keluar bergabung bersama Cyra dan ibu. "Ada apa teriak - teriak bu?"

"Ini lo, anakmu dipecat."

"Hah! dipecat? kok bisa? apa kamu buat kesalahan fatal di sekolah."

Cyra hanya menggeleng.

"Jangan hanya diam, ayah sama ibu ingin mendengar penjelasanmu."

Cyra menarik napas panjang, ia mempersiapkan mentalnya untuk bercerita pada kedua orang tuanya. "Ayah sama ibu duduk dulu."

Ayah dan ibu segera duduk bersama diteras.

"Jadi begini, ada guru tetap yang baru yang dari Diknas ditunjuk untuk menggantikan posisiku mengajar disana."

"Apa kamu tidak bisa diperbantukan disana?"

"Aku sudah memohon kepada kepala sekolah, Yah. Tapi sekolah tempatku mengajar adalah sekolah kecil jadi tidak ada biaya untuk menggaji seorang guru kontrak sepertiku."

Mereka terdiam untuk beberapa saat.

"Ya sudah, kalau memang seperti itu kondisinya. Yang penting kamu tidak dikeluarkan karena korupsi atau tindak kekerasan pada anak."

"Nggak mungkin itu pak, anak kita ini guru teladan di sana." sanggah ibu.

Cyra hanya tertunduk, ia tidak berani memandang raut wajah kedua orang tuanya yang kecewa.

"Kamu nggak usah sedih, Ra. Mungkin di sana bukan rejeki kamu."

"Tapi, Yah. Aku nggak bisa bantu ayah dan ibu lagi, bagaimana dengan butang - hutang kita?"

"Kamu tenang saja, jika kita mau berusaha dan berdoa ayah yakin akan ada jalan keluarnya."

"Betul kata ayahmu, ibu masih ada perhiasan yang bisa kita jual. Dan kamu bisa mencari pekerjaan yang baru lagi."

"Tapi bu, perhiasan itu peninggalan nenek."

"Tidak apa - apa, yang penting kamu tetap semangat. Ibu yakin kamu kuat dan akan segera dapat pekerjaan baru lagi."

Air mata Cyra mengalir membasahi pipinya. ia sangat terharu dengan apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya.

"Sudah nggak usah menangis, sambil kamu cari pekerjaan yang baru kamu bisa bantu bapak disawah. Sebentar lagi panen."

Cyra memeluk kedua orang tuanya. "Terima kasih Yah, Bu."

"Sudah tidak usah menangis. Sedih boleh tapi patah semangat jangan."

Cyra menganggukkan kepalanya sambil berusaha tersenyum dihadapan orang tuanya.

"Bawa masuk barang - barangmu, setelah itu kita makan bersama."

"Baik, bu."

Cyra segera membawa kardus itu ke dalam kamarnya. Ia sangat bersyukur bisa dibesarkan oleh orang tua yang sangat menyayanginya. Mudah - mudahan setelah ini akan ada kebahagiaan yang akan datang menghampirinya.

🍀🍀🍀🍀

Sudah hampir seminggu ini Cyra disibukkan dengan mengirimkan surat lamaran pekerjaan di beberapa sekolah swasta dan hotel. Akan tetapi tidak satu pun dari mereka yang memanggilnya untuk wawancara. Bukan Cyra namanya jika ia pantang menyerah. Rencananya hari ini ia akan mendatangi sekolah dan hotel satu persatu untuk menanyakan lowongan pekerjaan, ia ingin memastikan sendiri. Jika memang tidak ada lowongan disana ia akan menyetujui tawaran temannya untuk memberi les privat. Walaupun gajinya sangat kecil tapi itu lebih baik dari pada menganggur.

"Tumben bu hari ini masak banyak?"

"Pak Uo Syamsudin mau datang kesini."

"Pak Uo mau kesini?"

"Iya."

"Sendirian?"

"Iya mau sama siapa lagi? sejak Mak Uo mu meninggal dan anak semata wayangnya menikah ia lebih suka menghabiskan waktunya dengan pekerjaan." jawab ibu sambil menggoreng ayam.

"Sudah hampir empat tahun aku tidak bertemu dengan Pak Uo." kenang Cyra. "Pak Uo sekarang kerja dimana bu?"

"Di sebuah perkebunan di Bogor. Dia mandor dan orang kepercayaan bos nya."

"Benarkah? Wah enak dong."

"Eh kamu kok pake baju rapi, mau kemana?" tanya ibu keheranan.

"Mau cek surat lamaranku, sudah masuk ke bagian HRD atau belum."

"Sudah besok pagi saja, hari ini kamu bantu ibu. Sebentar lagi Pak Uo mu datang. Ayahmu sudah menjemputnya di bandara."

"Baiklah." Cyra segera mengganti bajunya dengan baju rumahan dan mulai membantu ibu memasak.

Ibunya Cyra bernama Nuraini berasal dari Minang menikah dengan ayah Mahmud asal Surabaya, ia memiliki adik bernama Syamsudin yang menikah dengan orang bogor. Tapi meninggal empat tahun yang lalu karena sakit kanker. Sejak saat itu Pak Uo tidak pernah mengunjungi mereka di Surabaya. Hanya komunikasi lewat telepon dan sesekali videocall.

Setelah hampir satu jam ikut membantu ibu akhirnya pekerjaannya selesai. Dan bertepatan dengan kedatangan Pak Uo Syamsudin ke rumah.

"Cyra kamu tambah dewasa."

"Selamat datang di rumah kami Pak Uo." Cyra mencium tangan Syamsudin.

"Ayo masuk dulu, kamu pasti lelah." ucap ibu.

Mereka berempat duduk di ruang tamu, Cyra segera membuatkan minum dan membawa beberapa kue ke depan.

"Sudah lama aku tidak kesini, dan banyak yang berubah." Syamsudin mengawali pembicaraan sambil menyeruput kopi buatan Cyra.

"Kenapa kau tidak mengunjungi kami lagi? Apa pekerjaanmu begitu sibuk?" tanya ibu.

"Yah bisa dibilang begitu Uni, istri pemilik perkebunan empat tahun yang lalu juga meninggal. Ia sangat mencintai istrinya sehingga larut dalam pekerjaan sama sepertiku."

"Kasihan sekali." timpal  ayah.

Mata Syamsudin tampak berkaca - kaca mengenang wanita yang sangat ia cintai.

"Sudahlah, biarkan ia tenang disana." ibu berusaha menghibur.

"Oya, kamu sudah lulus Cyra?" tanya Syamsudin mengalihkan pembicaraan.

"Sudah Pak Uo. Dua tahun yang lalu."

"Sudah bekerja?"

"Sudah, di sebuah sekolah tapi seminggu yang lalu aku diberhentikan."

"Kenapa?"

"Ada tenaga tetap yang menggantikan posisiku, Pak Uo."

Syamsudin tampak terdiam sejenak. "Kebetulan.. sangat kebetulan."

"Hei apa maksudmu Syam bicara seperti itu." ucap ayah

"Kebetulan aku membutuhkan tenaga pengajar, Uda."

"Untuk siapa?"

"Anak bosku."

🍀🍀🍀🍀

Pak Uo : Panggilan untuk paman dari Minang

Mak Uo : Panggilan untuk bibi dari Minang

Uni : Panggilan kakak perempuan dari Minang

Uda : Panggilan kakak laki - laki dari  Minang

Kerja di Perkebunan

"Anak bosnya Pak Uo?"

Syamsudin mengangguk.

"Yang bener kamu Syam, jangan bercanda ah." ucap ibu.

"Iya bener Syam, mana mungkin orang kaya membutuhkan guru seperti Cyra. Mereka pasti akan mencari guru lulusan dari luar negeri."

Syamsudin tersenyum sambil mengangguk - angguk, ia seakan mengerti ketidak percayaan kakaknya itu. "Guru lulusan luar negeri belum tentu bisa mengajar anak bos ku itu."

"Maksudmu?"

"Uda, anak bos ku ini memiliki sifat dan kepintaran yang istimewa, ia sangat aktif hingga sekolah dan puluhan guru yang di datangkan di rumah tidak sanggup mengajarnya."

"Orang lulusan luar negeri saja tidak sanggup apalagi anakku, jangan bercanda di siang bolong."

"Aku tidak bercanda Uda, yang dibutuhkan oleh anak bos ku itu adalah kesabaran dan kasih sayang dan aku melihat itu semua ada di Cyra. Jadi aku memang sengaja berkunjung ke sini untuk hal itu."

Syamsudin mengambil napas. "Tuan Aroon sudah tidak sanggup mendidik anaknya sendiri, apalagi keterpurukan atas kehilangan seorang istri membuatnya semakin jauh dari tuan muda."

Ayah dan ibu memandang Cyra untuk melihat responnya.

"Bagaimana nak?"

"Aku perlu waktu untuk berpikir, bu."

"Aku tidak memaksamu Cyra, tapi aku rasa kamu harus mencoba hal yang baru dan juga gaji yang diberikan sangat banyak." ucap Syamsudin.

"Eh, gaji banyak kalau menderita mending nggak usah." sanggah ibu.

"Ini juga tidak masalah gaji saja, Uni. Tapi untuk menambah pengalaman Cyra. Ia harus melihat dunia luar, tidak hanya terpaku disini."

"Sebenarnya yang dikatakan Pak Uo memang benar dan patut untuk di coba." jawab Cyra. "Nanti malam aku akan memikirkan tawaran ini. Dan itu pun kalau ayah dan ibu mengijinkan." Cyra melirik kedua orang tuanya.

Ayah menarik napas panjang. "Pada dasarnya ayah dan ibumu setuju jika kamu ingin menambah pengalaman kerja. Apalagi ada Pak Uo mu di sana. Kami tidak perlu khawatir."

"Nah Cyra, pikirkan baik - baik dan mantabkan hatimu. Besok kau bisa memberikan jawaban itu padaku, karena lusa aku sudah harus kembali ke perkebunan."

"Siap Pak Uo, aku akan memikirkannya baik - baik." jawab Cyra.

"Ya sudah ngobrolnya kita lanjutkan nanti, sekarang ayo kita makan dulu." ajak Ibu.

Malam ini ayah, ibu dan Syamsudin berjalan - jalan sambil menikmati angkringan malam. Sudah lama Syamsudin tidak menikmati itu semua. Sedangkan Cyra merenung di dalam kamarnya, kepergiannya ke kota Bogor nanti tentu saja harus meninggalkan kedua orang tuanya. Dari kecil sampai berumur sekarang ia tidak pernah berpisah jauh dari mereka. Tapi dengan gaji yang ditawarkan terus terang membuat Cyra tergiur, ia bisa membantu orang tuanya membayar hutang akibat membiayai kuliahnya dulu. Setelah memantabkan tekadnya sekali lagi, Cyra segera tidur dengan nyenyak.

🍀🍀🍀🍀

"Ayah, Ibu, Pak Uo aku sudah mengambil keputusan." ucap Cyra tiba - tiba memecah keheningan pagi hari ini.

"Bagus, aku suka dengan kecepatan berpikirmu dan membuat keputusan." balas Syamsudin.

"Apa keputusanmu?" tanya  ayah.

Cyra menarik napas panjang sambil mengucapkan keputusannya dengan mantab. "Aku akan ikut Pak Uo bekerja di perkebunan."

"Kamu yakin? Kamu sanggup hidup di kota asing?"

"Aku yakin bu, seratus persen yakin. Benar kata Pak Uo, aku harus memperbanyak pengalamanku. Siapa tahu ini awal dari kesuksesanku."

Ayah menghela napas. "Aku menghargai keputusanmu."

"Kalau ayahmu setuju maka ibu juga setuju. Ada Pak Uo mu, jadi ibu sedikit lega."

"Ayah dan Ibu tidak perlu khawatir, aku akan baik - baik saja disana." Cyra tersenyum lega karena orang tuanya mendukungnya.

"Baiklah kalau begitu kita kan berangkat besok." ucap Syamsudin

"Apa tidak terlalu cepat Syam?"

"Aku tidak bisa ijin terlalu lama, walaupun bos ku itu orang yang baik tapi dia orang yang disiplin."

"Kalau begitu ibu akan membantumu berkemas."

"Tidak perlu, bu." Cyra menggenggam tangan ibu. "Aku sudah melakukannya semalam, apalagi tidak banyak baju yang aku bawa."

"Uda, Uni kalau begitu aku akan memesan tiket untuk Cyra."

"Aku akan mengantarmu." ucap ayah.

"Tidak perlu, aku akan pergi bersama Cyra. Ada beberapa hal yang harus aku bicarakan dengannya."

"Baiklah." ucap ayah. "Pergilah bersama Pak Uo mu memesan tiket."

"Baik ayah, aku pergi dulu."

Dengan mengendarai sepeda motor mereka berdua pergi ke kota untuk memesan tiket. Setelah semuanya selesai mereka mampir ke kedai untuk makan siang.

"Kamu yakin dengan keputusanmu?"

"Yakin Pak Uo. Dan tidak akan mundur selangkah pun."

"Bagus, aku suka dengan semangat dan tekadmu itu." ucap Syamsudin. "Tapi ada beberapa hal yang harus kamu ketahui tentang bos ku itu."

"Tentang apa itu?"

"Bos ku bernama tuan Aroon Tanawat Siriporn seorang pria yang berasal dari Thailand. Ia membeli sebuah tanah di Bogor dan berkat semangat dan kegigihannya ia membuat perkebunan itu tambah sukses. Tiga tahun kemudian ia menikah dengan nyonya Davira dan dikaruniai seorang putra yang sangat tampan bernama Gio Ram Tanawat. Setelah melahirkan Gio, nyonya Davira menderita sakit kanker. Ketika Gio berumur dua tahun, nyonya Davira meninggal. Itu sebuah pukulan yang sangat berat untuk tuan Aroon."

"Meninggalnya nyonya Davira berbarengan dengan Mak Uo, empat tahun yang lalu?"

"Yah kamu benar. Kami berdua kehilangan orang yang kami cintai."

"Maaf, karena pembicaraan kita ini membangkitkan kesedihan Pak Uo."

"Tidak apa - apa, setiap orang suatu saat akan mengalami kehilangan." ucap Syamsudin. "Akibat terlalu larut dalam kesedihan, tuan Aroon jadi jarang memperhatikan tumbuh kembang tuan Gio."

"Jadi itu yang membuatnya tumbuh jadi istimewa?"

"Tuan Gio hanya hidup dengan pengasuhnya, Tuan Aroon hanya sesekali saja mengajaknya berbicara. Sebenarnya tuan Gio anak yang pintar dan cerdik."

"Kasihan, anak kecil yang tidak tahu apa - apa harus menjadi korban keegoisan cinta dari ayahnya."

"Sudah banyak sekolah yang menyerah menerima murid istimewa seperti tuan Gio."

"Apa yang dilakukan oleh tuan Aroon?"

"Hanya marah dan menyerahkan semua itu pada pengasuhnya."

"Huh jadi geram aku melihat keegoisan tuan Aroon."

"Awalnya aku sudah banyak memberi masukan untuk tuan Aroon, tapi sepertinya beliau tidak suka dan akhirnya memutuskan untuk membawa guru ke rumah. Tapi kamu tahu apa yang terjadi?"

"Tidak." Cyra menggelengkan kepala.

"Mereka semua angkat tangan dan menyerah untuk mendidik tuan Gio."

"Kenapa?"

"Nanti kamu akan tahu kalau sudah melihatnya sendiri, biasa kenakalan anak - anak." jawab Syamsudin. "Setelah mendengar ceritaku ini apa kamu akan tetap pada keputusanmu."

Cyra terdiam, tak lama kemudian ia menarik napas panjang. "Apa yang sudah menjadi keputusanku, aku tidak akan menyerah ataupun mundur. Jadi aku akan tetap ikut Pak Uo ke Bogor."

"Bagus aku suka dengan keteguhan tekadmu." puji Syamsudin. "Habiskan makanmu, kita segera pulang. Besok kita harus berangkat pagi."

"Baik Pak Uo."

🍀🍀🍀🍀

Pagi ini air mata membanjiri ibu, walau bagaimanapun ia akan berpisah sementara dengan anak semata wayangnya.

"Kamu jaga diri baik - baik disana. Setiap saat telepon ibu dan ingat harus nurut sama Pak Uo mu."

"Iya bu, pasti." Cyra memeluk ibu yang membuat matanya sedikit berkaca - kaca.

"Kamu tidak usah memikirkan kami, konsentrasilah pada pekerjaanmu sehingga kamu bermanfaat disana."

"Iya ayah." Cyra melepas pelukan ibu dan berganti memeluk ayah. Selama ini orang tuanya lah yang selalu menguatkan setiap langkahnya. Mereka tidak pernah menuntut apa - apa dari Cyra.

"Ayo kita berangkat Cyra, keburu terlambat." ajak Syamsudin.

Cyra membawa koper dan sebuah tas berisi buku - buku. Syamsudin membantunya memasukkan itu ke dalam taxi yang akan mengantarnya ke bandara.

"Ayah, ibu aku pergi dulu."

"Hati - hati dijalan Cyra." ucap mereka bersamaan.

Setelah berpamitan Cyra segera masuk ke dalam taxi dan memulai perjalanannya ke tempat yang baru. Cyra bertekad akan bekerja sebaik - baiknya entah cobaan apa yang nanti akan ia terima disana, ia akan berpegang teguh untuk bertahan.

Ini pertama kalinya ia naik pesawat, biasanya ia melakukan perjalanan melalui jalur darat. Ia menikmati setiap perjalanan hingga tidak tidur. Tidak membutuhkan waktu lama mereka tiba di kota Bogor dimana Cyra akan memulai hidup barunya.

"Cyra."

"Ya, Pak Uo."

"Kamu bisa mulai kerja besok pagi saja. Hari ini pasti kamu lelah."

"Baiklah kalau begitu."

"Sementara ini kamu tinggal dulu di rumah Pak Uo."

"Bukankah Pak Uo tinggal diperkebunan?"

"Iya, itu karena Mak Uo mu meninggal. Terlalu banyak kenangan manis di rumah itu. Jadi aku memilih tidur diperkebunan." Syamsudin memberi kunci rumahnya pada Cyra. "Aku akan mengantarmu kesana. Rumah itu bersih karena setiap hari ada yang membersihkannya dan sesekali ditempati oleh anakku jika pulang bersama anak istrinya."

"Baik Pak Uo."

"Besok pagi kamu bisa datang ke perkebunan jam sembilan pagi. Ingat jangan sampai terlambat."

Cyra hanya mengangguk.

"Kalau begitu aku tinggal dulu, sore ini aku harus melapor pada bos."

Sepeninggal Syamsudin, Cyra segera menata pakaiannya. Karena hari masih sore ia memutuskan untuk jalan - jalan sebentar menggunakan sepeda yang ada di sana. Letak perkebunan sangat dekat dengan rumah Syamsudin, Cyra melihat dari jauh hamparan tumbuhan yang menghijau sangat menyegarkan pandangan matanya. Setelah puas melihat ia memutuskan untuk pulang, ia melewati sebuah pasar yang saat ini masih cukup ramai. Besok pagi aku akan belanja makanan disini sebelum berangkat ke perkebunan pikirnya.

Ia mengayuh sepedanya dengan cepat karena hari mulai petang, saatnya untuk istirahat.

Pagi yang cerah dan udara yang segar membuat Cyra semakin bersemangat. Waktu masih menunjukkan pukul enam pagi, ia memutuskan untuk jalan - jalan ke pasar membeli sarapan. Dengan wajah berseri - seri sambil menghirup segarnya udara pagi, Cyra mengayuh sepedanya dengan perlahan. Ia mengedarkan pandangannya ke kanan dan ke kiri hingga tanpa sadar.

Tiiinnnn!!! Tiiinnn!!! Tiiinnnn!!!

Suara sebuah klakson mobil membuyarkan dan merusak momennya yang sedang mengagumi keindahan perkebunan.

"Siapa sih." ucapnya kesal. Ia berusaha meminggirkan jalannya sepeda.

Tiiinnn!!! Tiiinnn!!! Tiiinnn!!!

"Hei minggir!" teriak sang pengemudi.

"Gila apa! ini sudah minggir." umpat Cyra. Memang posisinya sudah minggir karena ada beberapa lubang di sebelah kirinya yang harus dia hindari.

Tiiinnn!!! Tiiinnn!!! Tiiinnn!!!

Pengemudi itu terus membunyikan klakson membuat Cyra menjadi gugup dan Brraakk!!!

Jatuhlah ia dari sepeda karena ada lubang yang cukup besar.

"Hei pengemudi sialan!!!" teriaknya.

Dan ciiitttt... mobil itu berhenti. Turunlah seorang pria berbadan kekar dengan tato di beberapa lengannya dan berambut gondrong. Melihat itu Cyra agak ketakutan. Waduh jangan - jangan preman pasar pikirnya. Ia menunduk dan berusaha untuk berdiri. Ia membersihkan beberapa debu yang menempel pada pakaiannya.

"Kamu yang nggak punya mata!" teriak pria itu dan segera berbalik masuk kembali ke dalam mobilnya.

What! aku yang salah. Gila! ini tidak bisa dibiarkan. "Hei harusnya kamu minta maaf!" teriak Cyra. Tapi sepertinya pria itu tidak menggubrisnya dengan tetap melajukan mobilnya. Dengan perasaan kesal, Cyra mengambil sebuah batu ukuran sekepal tangan orang dewasa dan melemparkannya ke mobil itu. Duaakkk!!! yes kena.

Tiba - tiba mobil itu berhenti membuat wajah Cyra menjadi pucat.

Waduh kalau preman itu ngamuk, bisa babak belur badanku. Padahal hari ini aku harus mulai bekerja. Tanpa pikir panjang Cyra segera mengambil sepedanya dan mengayuhnya dengan cepat menghindari pria tadi.

🍀🍀🍀🍀

Tuan Aroon

Dengan napas terengah - engah Cyra akhirnya bisa menghindari pria berpenampilan seperti preman tadi.

"Huff, syukurlah aku bisa selamat." ucapnya lirih sambil menepuk - nepuk dadanya bernapas lega.

Ia segera memarkirkan sepedanya dan membeli sarapan. Aroma nasi uduk membuat perut Cyra semakin keroncongan. Setelah membeli dua bungkus ia segera kembali ke rumah Syamsudin.

Cukup lama Cyra diam mematung di depan cermin. Ia melihat penampilannya yang bisa dibilang sangat sederhana. Dengan mengenakan celana panjang berbahan kain warna mocca dipadukan dengan kemeja warna cream.

"Hufh kenapa penampilanku tidak menarik sama sekali." gumamnya. Ia kembali melihat baju di dalam kopernya, tapi segera ia urungkan karena memang itu baju terbaik yang ia punya. "Ah masa bodoh dengan penampilan, yang penting bersih dan rapi." gumamnya lagi.

Ia menarik napas panjang sebelum memutuskan keluar rumah menuju perkebunan. Ia melirik jam tangan. Hmmm sudah setengah sembilan, aku berangkat sekarang saja putusnya kemudian. Perjalanan dari rumah Pak Uo nya sampai ke perkebunan hanya lima belas menit dengan menggunakan sepeda. Di jamin tidak akan terlambat.

Dan benar saja tidak sampai lima menit Cyra sudah sampai di gerbang perkebunan dimana Syamsudin bekerja. Dimana Pak Uo ya, pikirnya. Ia mengedarkan pandangannya tapi pria yang dicari tak kunjung ia temukan. Apa aku langsung masuk saja pikirnya lagi. Cyra terdiam cukup lama. Ah sudahlah aku langsung masuk saja putusnya.

Dengan menuntun sepedanya ia berjalan menuju ke rumah utama dari perkebunan. Sebelum sampai di rumah utama ia harus melewati jalan setapak yang dikanan kirinya terdapat pagar yang terbuat dari tanaman. Cyra tersenyum karena nantinya ia akan menikmati pemandangan seindah ini. Namun tiba - tiba.

"Awas kalian nanti, akan aku laporkan ke polisi! dasar kurang ajar!" umpat seorang wanita.

Hampir saja Cyra tertawa melihat kondisi wanita itu yang seluruh badannya gosong dengan rambut yang penuh tepung.

"Hei nona apa yang kau tertawakan?"

"Maaf aku tidak tertawa." jawab Cyra.

"Hati - hati dengan penghuni rumah itu! semuanya gila! gila!" teriaknya memperingatkan.

"Yyya." jawab Cyra gugup.

"Ingat hati - hati!" teriak wanita itu lagi sambil berlari keluar dari perkebunan.

Apa yang terjadi pada wanita itu? Kenapa nasibnya sangat tragis? Apa aku kabur saja? Tidak.. tidak.. aku tidak mau jadi pengecut pikirnya. Apalagi aku belum tahu persis dengan apa yang terjadi. Ia menarik napas panjang lagi dan memutuskan untuk terus masuk ke dalam.

Aneh kenapa tempat ini sepi. Cyra mencari orang untuk menanyakan keberadaan Pak Uo nya. Dan akhirnya ia menemukan seorang pria memakai topi sedang merawat sebuah tanaman.

"Permisi." sapanya.

Pria itu hanya diam tidak menoleh sama sekali.

Apa suaraku kurang keras. "Maaf permisi." sapanya lagi dengan suara agak keras. Dan ternyata membuahkan hasil. Pria bertopi itu menghentikan kegiatannya dan berbalik ke arah Cyra. Deg.. Deg.. Deg..

Aduh sial benar nasibku, itu pria yang tadi pagi mobilnya aku lempar batu. Ternyata ia bukan preman tapi pekerja perkebunan. Mudah - mudahan ia tadi tidak mengenaliku. Aku pura - pura saja berlagak baru bertemu. Cyra segera mencoba tersenyum menyembunyikan wajahnya yang terkejut.

"Maaf, saya mencari pak Syamsudin apa dia ada?"

Pria itu hanya memandang tajam ke arah Cyra tanpa menjawab sepatah kata pun.

"Saya keponakan pak Syamsudin. Apa dia ada?"

Pria itu masih saja diam.

Waduh jangan - jangan dia mengenaliku pikir Cyra. Baru seorang pekerja saja sudah sombong. Nanti kalau sudah ketemu Pak Uo akan aku laporkan perbuatanmu.

"Maaf bisa sa___." belum selesai Cyra berbicara sudah dipotong oleh seseorang.

"Cyra!"

"Pak Uo."

"Kamu kemana saja? Aku mencarimu."

Hmmm kebetulan ada Pak Uo, aku akan melaporkan pria angkuh itu agar mendapat peringatan tegas dari Pak Uo. "Aku tadi menunggu Pak Uo di gerbang depan, karena lama jadi aku memutuskan untuk masuk sendiri. Oya Pak Uo, tolong ya beri peringatan pada pria itu. Jangan sombong dengan tamu."

Syamsudin melihat ke arah pria yang dimaksud oleh keponakannya itu. "Sssstt... Sssttt." Syamsudin menaruh telunjuknya di bibir.

"Kenapa Pak Uo? Memang benar kok, dia sombong. Hanya pekerja biasa sudah berlagak seperti bos."

"Ssssttt.. Sssttt.. Sudah diam, tenang dulu."

"Tidak bisa Pak Uo, dia harus mendapatkan sangsi atau minimal peringatan karena perbuatan yang tidak menyenangkan terhadap tamu. Ingat dia bukan bos disini." Cyra mencibir ke arah pria tadi. Huh tahu rasa kamu akan mendapat hukuman batinnya bersorak senang.

"Cyra.. Cyra dengarkan aku. Dia tidak berlagak seperti bos." ucap Syamsudin.

"Pak Uo tidak percaya padaku!" matanya membelalak lebar seakan tidak percaya jika Pak Uo nya itu tidak berada dipihaknya.

Syamsudin menghela napas. "Dia tidak berlagak seperti bos, tapi memang dia bos disini."

"Aaa.. Appa?! Dia bbbos disini?!" tanya Cyra gugup.

Syamsudin mengangguk.

Tampak aura ketakutan menghiasi wajah Cyra, Aduh gagal bekerja disini, kesan pertama saja sudah tidak baik pikir Cyra pasrah. "Mmma... Mmaaf." ucapnya lirih.

Pria itu tetap berwajah datar tanpa ekspresi memandangi wajah Cyra. "Siapa dia Syam?"

"Dia keponakan saya tuan."

"Keponakan? Aku tidak yakin. Sikapnya tidak sepertimu." ucapnya sambil tersenyum smirk.

"Maaf tuan, ia masih sangat muda dan belum mengenal tuan. Maafkan saya."

"Untuk apa dia lancang masuk kemari?"

"Ini orang yang saya ceritakan, yang akan mengajar tuan muda."

"Kau yakin merekomendasikan dia untuk mengajar putraku? Dia melempar mobilku dengan batu tadi pagi."

"Apa?! Melempari mobil tuan?"

Tuan Aroon mengangguk

.

"Pak Uo aku bisa jelaskan." sahut Cyra.

Syamsudin terdiam sejenak, ia tahu keponakannya tidak mungkin melakukan itu jika tidak ada alasannya. "Maaf tuan emosinya masih labil."

"Masih labil? Aku semakin yakin ia tidak akan bisa mengajar putraku." ucap tuan Aroon.

Sial, dia meremehkan kemampuanku. Pengen aku jitak kepalanya. Huh benar yang dikatakan Pak Uo orang ini sangat arogan ucap Cyra dalam hati.

"Saya mohon beri dia kesempatan sekali lagi." mohon Syamsudin. Ia juga menyenggol Cyra agar ikut memohon.

"Maafkan saya." ucap Cyra. "Saya mohon beri saya kesempatan."

Tuan Aroon memandang Syamsudin dan Cyra bergantian.

"Baiklah ikut aku kedalam."

Mereka mengikuti  Aroon ke ruang kerjanya. Rumah Aroon ini terbuat dari kayu seperti rumah klasik, rumahnya sangat mewah dan besar.

Syamsudin segera menyerahkan berkas berisi data diri dari Cyra. Dengan perlahan  Aroon membuka dan membacanya.

"Namamu Cyra Hanifa?"

"Benar pak."

"Aku bukan bapakmu!"

"Mmmaaf." sahut Cyra menunduk.

"Kau anak tunggal? Manja?"

"Saya anak tunggal ppa eh maksud saya tuan, tapi saya tidak manja dan pekerja keras."

"Oh orang tuamu seorang petani."

Cyra mengangguk.

"Kau tidak punya mulut?"

"Iiya tuan."

"Oh benar kau tidak punya mulut. Dasar bisu!"

"Maksud saya, iya untuk pertanyaan tuan apakah orang tua saya petani. Dan tidak karena saya punya mulut dan tidak bisu."

Aroon menatap tajam Cyra karena ia tidak suka dengan jawaban yang keluar dari mulut gadis itu. Syamsudin tahu apa yang dirasa Aroon sehingga memberi tanda agar Cyra menahan emosinya.

"Syam."

"Ya tuan."

"Kau ingin membuat anakku menjadi semakin bodoh."

"Maksud tuan? Maaf saya tidak mengerti."

"Dia lulusan bahasa. Kenapa kau suruh dia mengajar anakku?" Aroon berganti menatap tajam Syamsudin.

"Maaf tuan, walau keponakan saya ini dulu hanya lulusan bahasa akan tetapi dia sudah dua tahun bekerja di sekolah dasar. Jadi pengalamannya mendidik anak sudah tidak diragukan lagi." Syamsudin berusaha meyakinkan Aroon.

Aroon melempar berkas ditangannya ke atas meja. "Berapa bahasa yang kau kuasai?"

"Ada empat bahasa tuan, Indonesia, Inggris, Perancis dan Mandarin."

Aroon mengambil beberapa buku, ia membuka salah satunya dan memberikannya pada Cyra. "Baca dan artikan."

"Baik." Cyra menerima buku itu ia melihat sekilas. Itu buku biografi salah satu tokoh terkenal di negara Perancis dan tentu saja tertulis dengan menggunakan bahasa Perancis. Dengan segera Cyra membaca sesuai artikulasi dan kemudian mengartikannya. Melihat wajah Aroon yang datar saja sepertinya ia bisa menerima kemampuan Cyra.

"Baiklah aku akan memberimu kesempatan satu hari."

"Satu hari tuan?"

"Yah satu hari cukup untuk membuktikan kau guru yang baik untuk anakku atau tidak. Sudah tahan setengah hari saja sudah aku anggap luar biasa."

What! ayahnya sendiri mengatakan hal seperti itu, berarti selama ini belum ada yang sanggup mengajarnya ucap Cyra dalam hati. Ia menelan ludah beberapa kali membasahi kerongkongannya yang tiba - tiba saja kering.

"Sanggup?" tanya Aroon membuyarkan lamunan Cyra.

"Sanggup tuan." jawab Cyra mantab.

"Syam."

"Ya tuan."

"Kau panggilkan Gio kemari."

"Baik tuan."

Sepeninggal Syamsudin, Cyra masih dengan posisi berdiri ia tahu sopan santun, selama tuan rumah tidak mempersilahkan duduk maka ia akan tetap berdiri. Aroon beralih untuk duduk di kursi kerjanya asyik dengan laptop dihadapannya.

Cyra memandangi Aroon dengan lebih seksama. Hmmm sebenarnya tuan Aroon ini cukup tampan, badannya yang kekar dan juga gagah. Tapi sayang rambutnya yang agak panjang dan tatto ditubuhnya membuat ia lebih mirip preman tampan pikir Cyra. Ada senyum disudut bibirnya.

"Apakah sekarang pandanganmu berbeda mengenai aku? Masih menganggap aku preman atau seorang pria yang tampan?" tanya Aroon tiba - tiba.

"Mma.. Maksud tuan?"

"Kau memandangi ku seperti itu. Tentu ada maksudnya bukan."

"Saya? Memandangi tuan?"

Aroon beranjak dari tempat duduknya dan berjalan mendekati Cyra. "Jangan bohong. Aku bisa melihatnya."

"Tti.. Ttidak seperti itu tuan."

Aroon memegang dagu Cyra dan menaikkan ke atas agar Cyra memandang wajahnya. "Aku tidak suka dipandang seperti itu, mengerti?!"

Cyra membalas tatapan itu dan memandang jauh ke dalam mata Aroon. Tatapan Aroon sangat menusuk sehingga membuat lemah seluruh tubuh Cyra membuatnya kaku tak bergerak.

"Apa yang Phoo lakukan?" suara anak kecil menghentikan kegiatan saling tatap mereka.

Aroon melepaskan tangannya dari dagu Cyra. "Kemari Gio."

Anak laki - laki yang kecil, berkulit putih dan manis itu mendekat pada Aroon. "Ini guru barumu. Dia yang akan memberikan pelajaran untukmu setiap harinya." Aroon memperkenalkan Cyra.

Dengan tersenyum manis Cyra jongkok agar tubuhnya sama tingginya dengan Gio. "Hai, aku bu Cyra. Katakan padaku, aku bisa memanggilmu apa?"

"Gio, panggil aku Gio." jawab anak laki - laki itu dengan tatapan tajam tak kalah dari tatapan Aroon.

Hmm, ayah dan anak sama saja. Tatapannya bisa membunuh orang pikir Cyra.

"Baiklah aku akan memanggilmu Gio. Senang berkenalan denganmu Gio dan kau bisa memanggilku bu Cyra." Cyra mengulurkan tangannya dan Gio tersenyum smirk. Ia membalas jabat tangan Cyra.

Hei apa ini? kenapa tanganku terasa mengganjal, apa yang diberikan Gio padaku pikir Cyra. Setelah melepas jabat tangan Cyra segera melihat benda apa yang ada di tangannya.

Oh seekor laba - laba ucapnya dalam hati. Ia tersenyum karena di hari pertama Gio sudah melancarkan serangan penolakan terhadapnya.

Menarik dan menantang, untung aku bukan tipe wanita yang suka jijik dengan binatang - binatang seperti ini, kalau hanya seekor laba - laba di rumahku banyak, Cyra tersenyum penuh kemenangan.

"Wow kau memberiku seekor laba - laba?" tanya Cyra. Tampak raut terkejut terlihat jelas di wajah Gio. Ia kecewa karena Cyra tidak menjerit - jerit seperti guru - guru yang lainnya.

Cyra segera meletakkan laba - laba itu di meja kerja Aroon. "Terima kasih Gio, kau memang murid yang istimewa. Di hari pertama kau memberiku hadiah yang istimewa. Tapi sayang sekali kalau laba - laba ini harus aku letakkan di meja ayahmu kalau tetap di genggamanku pasti akan mati. Aku harap kau tidak keberatan."

Wajah Aroon terlihat kaget dengan apa yang dilakukan anaknya. Tapi ia juga kagum dengan sifat Cyra yang begitu tenang menghadapi Gio. "Gio!" teriak Aroon.

"Tidak apa - apa tuan Aroon." Cyra mencoba menenangkan Aroon. "Saya sangat menghargai pemberian Gio. Hmmm bisa kita mulai belajar hari ini Gio?' tanya Cyra.

"Bisa."

"Syam." panggil Aroon.

"Ya tuan."

"Tunjukkan dimana mereka akan belajar."

"Baik tuan."

Cyra mengikuti Gio dan Syamsudin menuju ke suatu tempat.

Tiba - tina langkah Gio terhenti dan membalikkan badannya hingga berhadapan dengan Cyra.

"Bu Cyra."

"Ya Gio."

"Ini tadi baru permulaan."

"Ya, ibu tahu dan akan menantikan setiap kejutan darimu." jawab Cyra sambil tersenyum manis.

🍀🍀🍀🍀

Phoo : Panggilan ayah dari bahasa Thailand

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!