"Kita putus," ucap seorang pemuda dengan entengnya.
Kal, gadis yang di baru saja di putuskan itu masih terdiam. Sungguh kalimat yang tak pernah terduga yang akan di dengarnya.
Bagaimana tak terduga? mereka pacaran baru 3 bulan lamanya. Padahal sebelumnya, pemuda bernama Boy itu yang mengejar-ngejar dirinya.
"Kamu yakin?" Tanya Kal meyakinkan.
"Tentu saja, kamu bukanlah tipe ku sebenarnya."
"Hanya karena itu?"
Kal masih menanggapi dengan tenang, bahkan wajahnya nampak biasa saja. Meski dalam hati sudah sangat sedih dan bergejolak amarahnya.
"Bisa iya, bisa tidak."
"Biar aku saja yang memberitahunya, sayang."
Kal melihat seorang perempuan yang datang mendekat ke arah meja mereka.
"Wina!" Kaget Kal.
Kaget bukan karena kehadiran teman dekatnya itu. Melainkan karena panggilan sayang yang di ucapkannya.
Siapa yang di panggilnya sayang? Batin Kal.
"Kamu sudah datang."
"Iya, tadi macet"
Kal menatap tak percaya melihat interaksi kedua orang di depannya. Bermesraan di hadapannya, bahkan menunjukkan kasih sayang yang sangat memuakkan bagi Kal.
"Apa maksud kalian berdua? Apa kalian memiliki hubungan?" Tanya Kal penasaran.
"Tentu saja kami berpacaran, bahkan sudah setahun labih kami bersama. Boy mendekati kamu, itu cuma demi kemenangan taruhan. Tuh, hadiah taruhannya."
Wina menekan sebuah tombol di remot kunci mobil yang di pegangnya.
Kal melihat keluar kafe dan melihat mobil spot berwarna hitam dengan lampunya yang berkedip.
"Jadi kamu, Boy. Dekatin aku cuma demi sebuah mobil spot hitam itu?"
"Iya, karena aku kalah dalam minum-minum. Teman-temanku memberiku tantangan untuk mendapatkanmu. Mereka janji akan memberikanku mobil itu." Tunjuk Boy ke arah luar.
"Kamu menerimanya?"
"Tentu saja di terimalah, gimanasih?" Kekeh Wina dan Boy bersamaan.
"Kamu pikir Boy mau sama kamu karena apa? Hah? Kamu itu cuma perempuan tomboy. Gak ada cantik-cantiknya, apa lagi gaya kamu yang norak itu? Iuh bener-bener kampungan," ejek Wina.
"Intinya kalian mempermainkan aku. Kalian sudah setahun pacaran, Boy deketin aku untuk jadi pacarnya cuma demi mobil itu. Sekarang kalian udah dapetin mobil itu, kalian akhirnya ungkapkan semua kebenarannya. Bener?"
"Iya, mulai sekarang kita putus. Jangan pernah tunjukkan lagi wajah kuno kamu itu di hadapanku," ucap Boy.
Kal mengangguk sembari mengangkat ponselnya. Gadis itu ternyata diam-diam merekam percakapannya dengan pasangan di depannya.
Ketika bertanya mengenai hubungan Boy dan Wina tadi, tangan Kal bergerak membuka aplikasi kamera dan mulai merekam. Semua apa yang di katakan oleh Boy dan Wina terekam di ponsel Kal.
"Boleh aku mengatakan sesuatu?" Kal tersenyum pada pasangan di depannya.
"Silahkan, aku harap itu kata-kata terakhirmu," cibir Wina.
"Iya, memang aku ingin mengucapkan beberapa kata pada kalian berdua. Tapi bukan kata-kata terakhir." Kal tersenyum misterius.
Wina dan Boy menatap Kal dengan pandangan meremehkan. Tapi itu tidak lama sebelum Kal buka suara.
"Wanita dan pria penipu memang sangat cocok bersama. Sama-sama pengerat murahan, tidak tahu malu lagi." Gantian Kal yang mencibir Boy dan Wina.
"Apa maksud ucapanmu itu?" Marah Wina berteriak sembari menggebrak meja.
"Mbak, ada orang gila yang buat keributan." Wina melongo mendengar ucapan Kal.
"Jaga ucapanmu! Kamu yang orang gila!" Marah Boy.
"Ck, kok bisa sih orang gila di ijinin masuk kesini. Buat tidak nyaman saja."
"Maaf, Nona. Ada apa ya?" Seorang pelayan kafe datang tergesa-gesa.
"Usir dua orang gila ini, Mbak. Saya benar-benar tidak nyaman makan di sini karena mereka berdua."
"Kamu yang gila, dasar tomboy kampungan!" Marah Wina berteriak.
"Ish, ganggu banget sih."
Kal pergi meninggalkan kafe itu dengan perasaan puas setelah mempermalukan kedua orang penghianat itu.
Sedangkan di dalam kafe, Boy dan Wina masih menjadi pusat perhatian para pengunjung kafe lainnya.
"Silahkan pergi dari sini! Kalian berdua sudah mengganggu kenyamanan pelanggan kami," usir pelayan kafe dengan wajah kesal.
"Siapa kamu berani mengusirku, hah? Kamu cuma pelayan kafe tapi berani memerintahku?" Bentak Boy dengan gaya sombongnya.
"Maaf, Mas. Saya hanya menjalankan tugas, kenyamanan dan kepuasan pelanggan adalah prioritas kami. Jika satu pelanggan sudah mengajukan protes, maka harus segera kami tindak. Sebelum pengunjung lain melakukan hal yang sama dan tidak puas dengan pelayanan kafe kami."
Pengunjunga lain mulai terlihat membicarakan Boy dan Wina yang di nilai tidak sopan.
"Siapa mereka berdua itu? Tidak punya sopan santun."
"Tidak punya malu, sudah buat keributan tidak mau di salahkan pula."
"Dasar anak jaman sekarang, bukannya menyadari kesalahan malah bersikap sombong."
Boy dan Wina benar-benar merasa terhina dengan semua ucapan orang-orang itu. Belum lagi pelayan kafe itu yang benar-benar membuat mereka malu.
Keduanya keluar dari kafe karena tak tahan lagi mendengar semua hinaan orang-orang di kafe.
"Kurang ajar banget si tomboy kampungan itu. Gara-gara dia, kita jadi di permalukan di sana," ucap Wina kesal.
"Iya, kamu benar. Kita harus balas perbuatannya itu."
"Harus, kita harus buat perhitungan sama dia."
Kedua orang itu memasuki mobil spot hitam yang tadi di pamerkan pada Kal.
Kal yang sudah meninggalkan kafe melajukan motor besarnya dengan kecepatan tinggi. Hati gadis tomboy itu benar-benar sakit saat mengetahui fakta yang ada.
Pemuda yang selama 8 bulan lalu terus mendekati dirinya. Selalu hadir di mana ia berada di kampus. Tapi kini Kal tahu apa alasan pemuda itu melakukan semuanya.
Kal melajukan motornya menuju sebuah perusahaan. Sampai di sana, Kal langsung masum begitu saja.
"Nona, maaf sebelumnya. Nona, siapa ya? Ada perlu apa datang ke sini?" Tanya satpam perusahaan menghentikan langkah Kal.
"Saya mau menemui, ayah," sahut Kal.
"Kalau boleh tahu. Siapa nama ayah, Nona?"
"Indra Misfan."
Mata Satpam itu melotot kaget, lalu tak lama ia tertawa.
"Jangan asal bicara, Nona. Apa anda tahu siapa beliau?"
"Yang punya perusahaan," sahut Kal sembari mengeluarkan ponselnya dan melakukan panggilan.
"Kalau tahu siapa beliau, jangan buat masalah di sini, Non. Beliau ..."
"Halo, sayangnya Ayah." Terdengar suara yang sangat di kenal pak Setpam yang membuatnya tak melanjutkan kalimatnya.
"Kamu dimana? Kok sepertinya Ayah tahu."
"Aku di lobi perusahaan, Ayah."
"Oh ya, tunggu di sana. Ayah jemput kamu."
Panggilan terputus begitu saja oleh pak Indra yang bergegas turun menemui anaknya.
"Ja-jadi, Nona. Benar-benar anaknya pak Direktur?" Tanya pak Satpam kaget.
"Iya," sahut Kal santai.
"Maaf, Nona. Saya sudah bertindak tidak sopan pada, Nona."
"Tidak apa-apa, Pak."
Kal berdiri dengan satu tangannya di masukkan ke dalam jaket denim yang di pakainya. Gaya Kal benar-benar seperti pria, hingga pak Satpam melihat Kal dari atas hingga bawah.
Memakai celana jeans panjang dan jaket denim dengan dalaman kaos putih ketat.
Sepatu putih, helm hitam yang biasa di pakai pria ada di tangannya. Belum lagi kepangan rambut panjangnya. Siapa yang akan percaya kalau gadis ini anak Direktur perusahaan, batin si Satpam.
"Kal!" Panggil seseorang yang merupakan ayah dari Kal.
"Ayah," seru Kal senang berjalan mendekati ayahnya.
"Kangen, Ayah." Kal memeluk ayahnya dengan manja.
"Astaga, baru juga sebentar kita tidak bertemu. Bahkan belum ada 12 jam."
"Memangnya kalau kangen harus pakai jam, ya? Tidak boleh kangen kapan saja?" Cemberut Kal.
Ayah Indra tertawa mendengar ucapan anak gadisnya.
"Gemesin banget sih, gadis Ayah."
"Ih, Ayah. Aku bukan anak kecil lagi, jangan cubit pipiku." Protes Kal karena ayahnya yang masih saja suka mencubit kedua pipinya gemas.
"Baiklah, baiklah, sekarang anak gadis Ayah sudah besar. Kita keruangan Ayah dulu, sebentar lagi Ayah ada rapat."
Kal hanya menurut saja, karena ia memang sedang membutuhkan ayahnya.
"Pak! Sini!" Pak Satpam yang tadi bersama Kal datang mendekat.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
"Kasih helm kamu sama bapak ini," ujar ayah Indra pada Kal.
Kal menyerahkan helmnya seperti apa yang di katakan ayahnya.
"Kuncinya juga."
"Untuk apa, Yah? Nanti aku pulangnya gimana?" Tetap melakukan apa yang ayahnya katakan.
"Nanti pulangnya sama Ayah."
Setelah helm dan kunci motor Kal di berikan pada pak Satpam. Ayah Indra membawa Kal ke ruangannya.
"Tolong minta seseorang antar motor itu ke rumah," ucap ayah Indra pada Satpam sebelum pergi.
"Baik, Pak."
Ayah dan anak itu berjalan bersama menuju lift. Kal yang memang manja pada ayahnya sudah menempel di lengan ayah Indra dengan nyamannya.
"Tumben banget kamu mau datang ke sini? Biasanya kalau Ayah ajakin, kamu tidak pernah mau."
"Tadi, kan udah aku bilang."
"Kangen, Ayah? Biasanya kalau kangen Ayah, tidka pernah mau datang. Malah Ayah yang di suruh pulang."
"Kali ini lain, Yah. Kangennya sudah tidak tertahankan."
"Ada-ada saja kamu." Ayah Indra mengelus kepala putrinya sayang.
Semenjak ibu kandung Kal meninggal saat putrinya masih berumur 10 tahun. Ayah Indra mencurahkan segala cinta dan kasih sayangnya pada sang putri dan kedua anak laki-lakinya.
Bahkan saat ibu dari ayah Indra menjodohkannya dengan seorang janda anak satu. Kasih sayang ayah tiga anak itu tidak pernah berkurang.
Ayah Indra sempat menolak perjodohan yang di atur oleh ibunya. Tapi yang ada justru hinaan yang di dapatkan ayah Indra dan anak-anaknya.
Karena memang ibu kandung ayah Indra tak peenah merestui pernikahan ayah Indra dengan ibu kandung Kal.
Demi kedamaian keluarganya dan diamnya sang ibu. Ayah Indra menikahi wanita pilihan ibunya secara sirih. Sempat mendapat penolakan dan amarah dari ibunya, namun ayah Indra tegas dengan keputusannya.
Menikah sirih atau tidak sama sekali, akhirnya ibu dari ayah Indra setuju. Dan terjadilah pernikahan itu, ayah Indra terus memantau apa yang terjadi di rumahnya.
Terutama dengan anak-anak yang di tinggalkannya di rumah. Juga putri satu-satunya yang paling di khawatirkannya.
"Kamu tunggu di sini sebentar, ya. Ayah, pergi rapat sebentar."
"Kok ayah pergi sih? Kal masih kangen, Yah."
Kal memeluk erat ayahnya, tak ingin di tinggalkan.
"Sebentar aja kok, Nak. Ayah, janji deh."
"Tidak mau, Ayah di sini aja temenin aku."
Kal menangis di pelukan ayahnya, ia benar-benar butuh ayahnya untuk mengobati sakit di hatinya. Kal tak pernah ragu memeluk dan menunjukkan kelemahannya di depan sang ayah.
Karena hanya sang ayah dan kedua saudara laki-lakinya yang mengerti dirinya.
"Eh, eh, eh, kok menangis? Kamu kenapa, Nak? Apa ada masalah di kampus?" Tanya ayah Indra khawatir.
"Jangan pergi, Yah! Di sini aja." Kal semakin mengeratkan pelukannya pada ayahnya.
"Baiklah, baiklah, Ayah tetap di sini. Tapi kenapa kamu menangis?"
Kal tiba-tiba melepaskan pelukannya dan menatap ayah Indra cemberut.
"Ayah, biar aku selesai nangis dulu. Nanti baru Ayah tanya lagi kalau sudah selesai."
Hahahaha
Ayah Indra tertawa melihat wajah cemberut anak gadisnya. Bagaimana mungkin orang menangis bisa mengajukan protes dengan wajah cemberut saat ada yang bertanya padanya.
Apa lagi di minta untuk menunggu sampai yang menangis selesai baru bertanya. Ada-ada saja anaknya ini.
"Maaf, sayang. Silahkan di lanjutkan menangisnya," ucap ayah Indra.
"Sudah tidak bisa menangis lagi. Ayah, sih." Protes Kal masih cemberut pada ayahnya sembari mengusap air matanya.
"Astaga, Nak. Orang lain kalau menangis, ya menangis saja. Jika ada yang bertanya seperti Ayah tadi, mereka pasti akan menjawab. Bukan protes dengan wajah cemberut seperti kamu."
Ayah Indra masih tertawa akibat ulah anaknya. Ia senang juga karena Kal berhenti menangis. agi ayah Indra, air mata Kal merupakan kehancuran hatinya.
Ayah tiga anak itu selalu berusaha bagaimanapun caranya agar anak-anaknya tidak menangis. Terutama Kal, yang paling membutuhkan kasih sayang penuh darinya.
"Huh, Kal marah."
"Ya sudah, Ayah pergi sajalah."
"Ayah ..." rengek Kal kembali memeluk ayahnya.
Kal menangis tadi bukan karena tidak mau di tinggalkan ayahnya. Melainkan karena rasa sakit di hatinya yang tiba-tiba mencuat kala bersama sang ayah.
Pelukan nyaman ayah Indra membuat Kal betah berlama-lama di peluk. Mencurahkan sakit hati melalui tangisan memang berguna untuk sedikit mengurangi beban di hati.
"Tadi siapa ya, yang bilang kalau dirinya bukan lagi anak kecil? Tapi, kenapa sekarang orang itu malah merengek seperti anak kecil?" Kekeh ayah Indra menggoda anaknya.
"Ayah yang buat aku jadi anak kecil."
"Loh, kok ayah?"
"Ayah sering peluk aku, trus juga Ayah masih suka perlakukan aku seperti anak kecil."
"Ya, karena kamu memang putri kecil Ayah yang paling cantik dan menggemaskan."
"Sayang, Ayah."
"Ayah, juga sayang kamu. Anak gadis, Ayah."
Tiba-tiba pintu di ketuk dari luar, membuat pelukan ayah dan anak itu terlepas.
"Masuk," ucap ayah Indra.
Pintu terbuka, muncullah seorang pria tampan ke dalam ruang kerja ayah Indra.
"Kal!" Ucap pria itu kaget akan keberadana adik perempuannya di ruangan sang ayah.
"Mas Edo." Kal berdiri dari duduknya dan memeluk Edo.
"Tumben kamu di sini? Kapan kamu datang?"
"Tadi sampai. Aku lapar, Mas." Kal tersenyum lebar menatap Edo.
"Kamu tunggu di sini aja, ya? Mas sama Ayah mau rapat dulu. Kamu pesen aja makanan yang kamu mau, Mas yang bayar."
Edo mengeluarkan dompetnya lalu menyerahkan beberapa lembar uang pada Kal. Tentu saja Kal tidak akan menyia-nyiakan kesempatan baik itu.
"Ya, sudah. Kal tunggu di sini, lama juga tidak masalah." Senyumnya menatap Edo senang.
"Ayah sama Mas Edo pergi sekarang, sudah mepet waktunya." Ayah Indra berdiri pula mendekati kedua anaknya.
Bersyukur ia dengan kedatangan Edo, ada orang yang dapat mengalihkan kemanjaan Kal. Jadi ia bisa di tinggalkan sebentar tanpa banyak protes lagi.
Kal mengangguk, tak masalah baginya di tinggalkan di ruang kerja ayahnya sendirian. Asal ada makanan, maka gadis itu akan duduk diam di tempat.
"Jangan nakal kamu, duduk yang anteng di sini." Perintah Edo.
"Siap, bos." Kal mengangkat tangannya ke atas alis memberi hormat pada Edo.
Setelah memastikan Kal duduk diam dan tidak menolak di tinggal. Barulah ayah Indra dan Edo pergi dari ruangan itu dengan Kal yang duduk anteng bermain ponsel memesan makanan yang ia inginkan.
Tentu saja dengan uang pemberian Edo untuk membayar makanan yang di pesan Kal.
Kal tinggal sendirian di ruang kerja ayahnya, dengan beberapa makanan yang tadi di pesannya sudah ada di hadapannya.
Dengan wajah senang dan bersemangat, gadis muda itu makan semua makanan yang rata-rata pedas. Ada pula dua gelas besar minuman dingin di meja.
Kal menimati makanan pedasnya, sesekali mulut gadis itu terbuka karena kepedasan. Kal ingin melampiaskan rasa sakit hatinya dengan makanan pedas.
Karena menangis di pelukan ayahnya tadi tidak sampai membuat hatinya lega. Akibat pertanyaan ayahnya yang membuat air matanya berhenti seketika.
"Hah, pedas banget sih! Apa aku salah pilih level pedesnya, ya?" Gumam Kal sembari terus menikmati makanannya.
Setengah jam berlalu, makanan pedas di meja masih tersisa satu porsi lagi. Wajah Kal sudah memerah akibat kepedasan.
"Mbak, boleh minta tolong buatin susu?" Kal berbicara pada asisten ayahnya yang duduk di meja depan pintu ruang kerja ayahnya.
"Maaf Non, tapi tidak ada susu di pantri," ucap sang asisten.
"Kalau jus?"
"Jus juga tidak ada, Non. Yang ada hanya kopi dan teh."
"Kopi aja deh, Mbak. Tapi yang pahit, trus tambahin es kalau ada."
"Iya, Non. Sebentar, saya ambilin dulu."
Kal masuk lagi ke dalam ruangan ayahnya dengan pintu ruangan yang tetap terbuka.
Gadis yang sedang kepedasan itu nampak berusaha menetralkan rasa pedas di mulutnya. Dua gelas minuman dingin yang di belinya tadi sudah habis.
Sedangkan makanan pedasnya masih ada satu porsi lagi. Kal memakan makanan itu pelan-pelan sembari menunggu kopinya.
Tak berapa lama, datanglah asisten ayahnya membawa secangkir kopi hitam.
"Ini kopinya, Non. Tapi tidak ada es, jadi saya pakai air dingin saja."
"Tidak apa, Mbak. Terimakasih."
Kal yang masih asik makan sembari kepedasan meneruskan makannya setelah melihat sebentar pada asisten ayahnya. Tanpa menyadari keberadana orang lain di belakang wanita itu.
"Silahkan duduk, Tuan. Maaf, atas ketidak nyamanan tempatnya. Pak Indra akan selesai rapat 5 menit lagi," ucap wanita itu.
"Jika Tuan tidak berkenan menunggu di sini, saya akan antarkan ke ruang tunggu."
Asisten ayah Indra tidak bermaksud menyinggung keberadaan Kal yang membuat berantakan ruangan ayahnya.
Hanya merasa takut akan pandangan buruk tamu mereka dengan keadaan ruangan sang Direktur.
"Bagaimana, Bos?" Tanya pria yang berdiri di belakang seseorang yang di panggil bos.
Tanpa menjawab apapun, pria itu langsung duduk di sofa tepat di hadapan Kal yang masih asik dengan dunianya sendiri.
"Tidak masalah, kami akan menunggu di sini," ucap pria bawahan si bos.
"Baiklah, kalau begitu saja permisi." Si asisten keluar dari ruangan setelah memastikan tamunya tidak terganggu dengan keberadaan anak tuannya.
"Huah, pedas." Kal yang sudah menyelesaikan porsi terakhirnya langsung menyambar kopi dingin buatan asisten ayahnya.
Meminum kopi pahit itu hingga tandas meski dengan kedua mata di pejamkan erat.
"Uwek, pahit banget sih," keluhnya sembari mengeluarkan lidah.
Setelah meletakkan gelas kopi di meja, barulah Kal mengangkat pandangannya ke depan. Keningnya berkerut dalam melihat ada dua orang asing di ruangan sang ayah.
"Siapa kalian?" Tanyanya.
"Kami tamu," sahut pria yang berdiri di belakang sofa.
"Tamu? Tamu ayah?"
"Ayah? Ayah siapa?" Tanya si pria yang berdiri.
"Ayah Indra ... astaga."
Kal yang baru menyadari apa yang di bahasnya dengan orang asing di hadapannya langsung merapikan meja. Semua wadah makanan dan minumannya di masukkan ke dalam plastik.
Lalu di bawa buang ketempat sampah, tak lupa pula dengan meja yang terkena cipratan kuah dari makanannya tadi.
Karena tidak ada lap, maka Kal menggunakan tisu di meja untuk membersihkannya. Setelah di rasa meja bersih, mata Kal melihat ada bekas sobekan plastik makanannya di bawah meja.
Gadis itu tanpa malu menunduk ke bawha meja dan mengambil sampah itu. Saat akan keluar, tanpa sengaja kepalanya menghantam meja kaca berwarna hitam itu.
"Aduh, siapa sih yang taruh meja di sini? Kesal Kal sembari memegangi kepalanya yang sakit keluar dari kolong meja.
"Kamu sedang apa, Nak?"
Kal menolehkan kepalanya ke arah pintu, ada ayah dan kedua saudara laki-lakinya di sana.
"Kepala kamu kenapa?" Panik ayah Indra kala menyadari putrinya yang memegangi sembari mengelus kepalanya.
"Kehantam meja, Yah." Semakin paniklah ayah Indra mendengar ucapan Kal.
"Kok bisa? Siapa yang lakuin itu sama kamu?"
"Yang pasti ulah dia sendiri, Yah." Edo mengusap kepala Kal.
"Siapa suruh mejanya di situ?" Cemberut Kal.
"Mejanya memang di situ sejak awal, kamu aja yang ceroboh," ucap Ferdi.
"Biarin, blekk."
Kal semakin cemberut mendengar ucapan Ferdi.
"Sudah, sudah, malu ada tamu." Lerai ayah Indra.
"Ferdi, bawa adik kamu jalan-jalan sebentar. Ada yang mau Ayah dan Mas Edo bahas dengan Pak Delon."
"Tidak mau, nanti bukannya jalan-jalan malah Mas Ferdi asik pacaran online," cibir Kal.
"Yang penting tidak jomblo seperti kamu," balas Ferdi pada adiknya.
Memang di keluarga ayah Indra, tidak ada satu orang pun yang tahu kalau Kal pernah pacaran. Alasannya, Kal yang tidak mau mengenalkan pada keluarganya.
Antara ragu dan takut tidak di setujui, Kal tidak pernah membahas tentang Boy pada keluarganya.
Jadi ketiga pria tercinta Kal itu tahunya bahwa Kal masih jomblo. Pada hal baru patah hati.
"Ya sudah, kalau tidak mau. Kamu duduk di kursi kerja Ayah saja," ucap ayah Indra.
Kal menatap Ferdi mengejek, lalu mengarahkan jari telunjuk serta jari tengahnya ke arah kedua matanya. Kemudian di arahkan kedua jari tadi ke tatapan Ferdi.
Pertanda kalau urusan mereka belum selesai. Ferdi sendiri hanya terkekeh melihat kelakuan adiknya yang selalu saja saling menjahili dengannya.
Kal duduk di kursi empuk milik ayahnya dengan santai. Meski duduk santai, tetap saja Kal tidak mau diam di tempatnya.
Kursi empuk itu di putar-putar oleh Kal, bahkan sesekali gadis itu terkekeh karena merasa senang mendapatkan mainan baru.
Kal bahkan memutar kursi ayahnya sampai berputar 360%. Gadis itu tertawa lepas bermain kursi putar sendirian tanpa perduli dengan para pria yang sedang sibuk.
Ayah Indra bahkan sampai harus menegus Kal karena suara tawa gadis itu yang menggema di dalam ruangan.
Gadis itu hanya diam sesaat saja ketika di tegur, selanjutnya akan tertawa lagi ketika merasa sangat bahagia.
Delon, pria pendiam yang sedang mendiskusikan bisnis dengan ayah Indra sesekali curi pandang pada Kal.
Tawa lepas gadis itu yang tanpa beban begitu menarik perhatiannya.
Apa seseru itu bermain kursi? Bahkan itu terlihat membosakan bagiku. Tapi dia malah tertawa begitu bahagia, batin Delon.
Kal yang lelah bermain akhirnya terdiam dengan kursi menghadap kaca jendela. Menatap pemandangan kota dari ketinggian. Hingga tanpa sadar kedua mata gadis itu terpejam.
"Terimaksih atas kerja samanya, Pak Delon." Ayah Indra menjabat tangan Delon setelah selesai diskusi mereka.
"Sama-sama, Pak Indra. Kami permisi," ucap Delon.
"Silahkan. Edo, antar tamu kita." Edo mengangguk mengiyakan.
Setelah kepergian tamunya, ayah Indra melihat ke arah kursinya yang sudah senyap dan tak ada pergerakan.
"Sudah tenang?" Pria paruh baya itu berjalan mendekati kursinya.
"Paling tidur, Yah. Kecapean main," sahut Ferdi.
Ayah Indra menghela napas sembari tersenyum melihat anak gadisnya tertidur meringkuk di kursinya.
"Ayah pulang duluan," ucap pria itu.
"Iya," sahut Ferdi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!