Bab 1 TCSM
Sebuah mobil mercy warna putih melaju tak terkendali.
"Ayah, apa yang terjadi?" Suara sang istri terdengar panik. Dia duduk di samping kursi kemudi.
"A-aku juga bingung, aku sudah menekan pedal rem ini!" Pria itu menatap wajah sang istri dengan nanar.
Dia juga menoleh ke arah kursi belakang tempat dua putrinya berada dan saling berpelukan.
"Maafkan ayah," lirih pria itu yang akhirnya menyerah.
Mobil tersebut meluncur menabrak dinding tebing lalu menikung dan menghantam pembatas jalan di seberangnya. Mercy putih itu terjun bebas menuju jurang. Namun, si kuda besi beroda empat itu masih sempat tersangkut di antara batang pepohonan di sisi tebing di ketinggian dua puluh meter. Padahal jurang tersebut memiliki ketinggian seratus meter.
Gadis berusia dua puluh tahun bernama Sandara itu masih tersadar. Dia menatap wajah sang ayah dan ibunya yang sudah bersimbah darah akibat benturan. Sang adik di sampingnya juga tak sadarkan diri.
"Sandrina, bertahanlah …," lirih Dara.
Namun, ledakan mobil itu tak terelekkan saat menghantam tebing.
...***...
Malam itu, Sandara tampak menangis, meringkuk di belakang pohon di tepi sungai. Tiba-tiba saja dia berteriak ketika dua sosok menyeramkan hadir di hadapannya.
"Aaaaaaaaa!!! Pergi jangan deket-deket sama aku, pergi!" Sandara membentak sosok pocong yang menghampirinya.
"Hantu baru tuh, biasa masih panik," ucap sosok hantu perempuan berdaster lusuh yang ada di samping si pocong.
"Hahaha, iya ya bener. Dulu juga aku gitu. Aku panik pas tau aku di bungkus dan lompat - lompat, hihihihihihi," ucap si pocong seraya tertawa ala kuntilanak.
"Eh, Cong! Itu ketawa ala saya, kamu nggak boleh meniru! Nih, ya, image saya itu ketawa cekikikan kayak gitu, kalau kamu itu cukup lompat-lompatan aja," ucap si kuntilanak sampai gemas menarik ikatan kepala si pocong.
"Heh, pada bisa diam nggak, sih?! Alam kalian tuh beda sama saya, jadi jauh-jauh sana!" Sandara mencoba mengusir para hantu tersebut.
"Hihihihi, siapa yang bilang alam kita beda? Alam kita udah sama, Non! Situ lupa, ya? Makanya ngaca tuh sana!" ucap si Kunti.
"Apa maksudnya, ya? Masa iya alam aku sama sih dengan mereka," gumam Sandara.
Gadis itu akhirnya memberanikan diri untuk melihat dirinya di permukaan air sungai. Ia melihat sosok perempuan berambut panjang sesungguhnya yang mengenakan kaus putih dan celana jeans seperti dirinya. Namun, di wajah perempuan yang dia lihat itu tampak luka di bagian kirinya dan masih mengeluarkan darah. Makin ia perhatikan wajah perempuan itu mirip dengannya. Sontak saja Sandara berteriak.
"Nggak mungkin! Nggak mungkin banget kalau aku penuh luka kayak gitu! Tapi, kenapa aku nggak ngerasa sakit? Itu bohong, kan?" Sandara mencoba menyangkal berkali-kali.
"Eh, Cyinnn … jelas aja nggak sakit, kan kamu udah jadi hantu. Jadi, welcome to the club, Cyin!" ucap si hantu kuntilanak itu.
"Aku hantu?" Sandara menunjuk dirinya.
"Tepatnya calon kuntilanak sepertiku, tapi baju kamu lebih kekinian hihihihihi. Cuma kalau aku lihat lihat cantiknya kita sama, kok." Kuntilanak itu makin tertawa melengking.
"Tapi cantik dia kemana-mana, Kun! Lagian dia bukan kuntilanak yang dasteran kayak kamu! Dia hantu perempuan biasa," sahut si pocong menunjuk ke arah Sandara.
Terjadi pergelutan antara si pocong kemayu dan kuntilanak tomboi itu.
Sekali lagi Sandara mengamati dirinya di permukaan air dan akhirnya berteriak.
"TIDAAAAAAKKK!!!"
...***...
Satu hari sebelumnya…
Masih teringat jelas pagi tadi kala
gadis cantik berusia dua puluh tahun itu melangkah ke area dapur rumahnya. Dia menghampiri sang ibu yang sedang menyiapkan bekal.
"Hmmm … wangi sekali masakan ibuku yang cantik ini," puji gadis berkulit kuning langsat tersebut. Wajahnya mirip sekali dengan sang ibu, hanya saja Sandara memiliki lesung pipi.
"Terima kasih, putri cantiknya Ibu. Bagaimana kegiatan libur kuliahmu, Nak? Kegiatan apa yang hendak kau lakukan selama liburan ini?" tanya Nyonya Susanti Mahardika.
"Ummm … sebaiknya aku ikut Ibu bekerja saja. Adakan lowongan anak magang untukku?" tanya gadis cantik dengan tinggi 170 cm itu.
"Wah, boleh juga. Kau bisa membantu Ibu memilih para model untuk produk terbaru nanti." Guratan keriput di ujung kelopak matanya itu mulai terlihat.
Namun, bagi Sandara ibunya tetap masih sangat cantik untuk wanita seusianya.
"Lalu, bagaimana denganku?" Sandrina si adik perempuan Sandara yang berusia sepuluh tahun itu datang seraya meraih segelas susu di atas meja yang memang sudah disiapkan untuknya.
"Lho, bukannya lusa kau mengikuti summer camp di sekolahmu?" tanya Dara yang tengah membantu ibunya menyiapkan bekal.
"Oh iya ya, aku lupa kalau aku sudah mendaftar summer camp." Drina meringis menunjukkan deretan gigi putih nan rapi miliknya.
"Ya kan, kau pasti tak akan melewatkan kegiatan itu karena ada pacarmu, hahaha." Sandara meledek sang adik yang langsung mengejarnya.
"Apa? Sandrina punya pacar?" Suara berat seorang pria terdengar memasuki area dapur.
Ayah tampan bertubuh tinggi dan tegap itu tertawa seraya melangkah menuju istrinya dan memberi kecupan di pipi lembut wanitanya.
"Iya Ayah, Drina punya pacar!" seru Dara seraya berlari kecil memutari meja makan menghindari sang adik.
"Aku tidak punya pacar, Ayah! Jangan dengarkan wanita gila ini!" seru Sandrina.
"Hahaha, kalian ini. Sudah sudah hentikan! Ayo, kita sarapan dulu lalu bantu Ibu menyiapkan bekal. Kita akan ke pantai hari ini dan bersenang-senang, bukan begitu Suamiku?" Nyonya Susanti mengedipkan satu matanya pada sang suami.
"Tentu saja, Istriku Sayang. Mungkin ini terakhir kalinya kita akan piknik bersama karena minggu depan jadwal kerja Ayah akan sangat padat dan sibuk," tutur Tuan Sandi Mahardika.
Dara dan Drina lantas duduk di kursinya masing-masing. Mereka langsung menurut karena tak sabar menuju ke Pantai Pasir Putih. Momen kebersamaan bersama keluarga itu memang sangat jarang terjadi karena ayah dan ibunya merupakan pengusaha yang sukses dan kerap meninggalkan anaknya untuk bekerja.
Sandara menatap keluarganya satu persatu seraya menikmati sarapan pagi bersama yang menyenangkan itu. Gadis itu bersyukur karena lahir dan tumbuh di keluarga sempurna. Ayahnya merupakan pemilik perusahaan mebel terkenal di Kota Bunga. Pria itu menikah dengan ahli kecantikan pemilik Sue Skincare yang ternama di Kota tersebut.
Hari itu, mereka akan pergi ke pantai untuk merayakan ulang tahun Sandara yang bertepatan dengan ulang tahun pernikahan orang tuanya.
...*****...
...Bersambung....
Satu hari yang lalu, sebelum kecelakaan. Sandara dan adiknya asik bermain bola voli di pantai.
"Ayo, Kak Dara! Lempar lebih kuat lagi! Kau bukan kakak yang lemah, kan?" seru sang adik lalu tertawa.
Sandara tak mau kalah. Cibiran adiknya yang bernama Sandrina bagai lecutan semangat untuknya. Usia mereka memang terpaut cukup jauh yaitu sepuluh tahun.
Sandara lahir di keluarga harmonis dan berkecukupan karena sang ayah, Tuan Sandi Mahardika, merupakan pengusaha mebel yang terkenal di Kota Bunga.
Gadis berkulit kuning langsat itu menepis rambut hitam panjangnya yang terkena embusan angin sampai menutupi wajahnya. Ia berusaha menghindari lemparan bola voli dari Sandrina. Namun, adiknya seolah sengaja mengenainya.
"Sandrina! Awas kau, ya!" Sandara yang kesal lantas menangkap sang adik dan terjatuh bergulingan bersama di atas pasir putih yang terkena hempasan air laut asin itu.
Pemandangan di Pantai Pasir Putih itu sangat indah. Untungnya, saat itu pengunjung tak terlalu ramai jadi keluarga Mahardika bisa lebih leluasa bermain di pantai tersebut.
***
Sandara dan keluarganya menuju ke penjual cinderamata dan kuliner oleh-oleh untuk dibawa pulang. Salah satu penjual seorang gadis berkepang dua dan memakai kacamata. Sandrina mengamati dengan saksama.
"Ada yang aneh sama saya?" tanya gadis itu.
"Kamu, kamu mirip sama kakak saya," aku Sandrina.
"Hah? Saya nggak punya kembaran, kok."
"Andara! Cepat ke sini!"
Terdengar seruan seorang wanita memanggil gadis yang mirip Sandara itu. Gadis itu tersenyum pada Sandrina lalu pergi.
"Dih, mirip banget. Mana namanya Andara lagi mirip sama nama Kak Sandara. Jangan-jangan ibu punya anak kembar tapi nggak pernah tahu," gumam Sandrina.
Suara seruan Tuan Sandi memanggil Sandrina dan membuat gadis kecil itu bergegas menghampiri. Sandrina langsung menceritakan penemuannya tetapi tak ada yang percaya. Namun, tak ada waktu untuk membuktikan karena ayahnya memintanya bergegas masuk mobil untuk kembali pulang.
Kegiatan liburan mereka berakhir, hari mulai sore. Sandi melirik waktu yang berdetak di arloji tangan kirinya itu. Setelah puas memilih souvenir, ketiganya masuk ke dalam mobil jaguar hitam yang dikendarai sang ayah. Sepanjang perjalanan pulang mereka asyik bernyanyi bersama sesuai musik yang diperdengarkan di radio mobil.
Namun, hal yang tak akan pernah Sandara duga sebelumnya terjadi. Saat melewati jalan yang menurun, tiba-tiba mobil yang dikendarai Ayahnya kesulitan untuk berhenti. Pedal rem yang diinjak tak merespon sehingga membuat pria itu tak bisa mengendalikan laju mobil lalu menabrak pembatas jalan dan jatuh ke jalan raya di bawahnya.
Gelap seketika, pandangan gadis itu menutup. Sandara berteriak dan menangis memanggil keluarganya. Sosok pocong bernama Ongki dan sosok kuntilanak bernama Kunkun itu masih menemani Sandara yang sempat terlelap.
"Ih, jadi hantu baru tidur mulu. Ayo, ikut kita aja berburu manusia buat kita usili!" ajak Ongki.
"Nggak mau! Aku takut sama kalian!" pekik Sandara.
"Masih belum sadar juga ini cewek. Kamu itu hantu, udah jadi setan! Kamu mau di sini sendirian ketemu hantu yang lain? Apa mau ikut Ongki sama aku?" Kunkun memberi penawaran.
Sandara sempat melihat sosok genderuwo besar di balik pepohonan sedang mengawasinya dengan tatapan mata yang merah. Ia juga melihat hantu kuntilanak yang lain berada di atas pohon. Rasanya lebih baik mengikuti Ongki dan Kunkun saja.
"Nama kamu siapa?" tanya Ongki seraya melompat tetapi dia terantuk akar pohon yang mencuat ke permukaan tanah sampai membuatnya jatuh tersungkur.
"Huh, dasar pocong bencong! Gitu aja pake nyusruk!" seru Kunkun terbahak-bahak.
Sandara sempat tertawa dibuatnya.
"Kalau diliat-liat kamu cakep juga. Nama aku Kunkun," ucap si kuntilanak.
"Halo, Mbak Kun, Mas Ongki, nama saya Sandara," ucapnya.
"Jangan panggil aku Mbak, panggil aja Kunkun!" tukas hantu kuntilanak itu.
"Aku juga jangan dipanggil Mas, panggil aja Tante Ongki," tukas si pocong seraya terkekeh.
"Heh, jangan ngada-ngada deh! Nggak usah panggil pake tante, cukup Ongki aja!" Kunkun menarik ikatan kepala Ongki dengan gemas.
Tiba-tiba, sebuah kecelakaan mobil terjadi di hadapan ketiga hantu itu. Sebuah mobil sedan menabrak pohon besar tepi jalan. Ada tiga penumpang di dalamnya. Sandara dan kedua hantu itu bergegas mendekati.
"Hebat kan kerja gue? Salah sendiri mereka mabok pake sok sok-an nyetir segala," ucap hantu pria penunggu jalan yang kerap mencari tumbal itu.
Sandara sampai menjerit melihat penampakan itu karena tempurung kepala hantu pria itu pecah sebagian.
"Pergi jangan ganggu aku!" pekik Sandara.
"Tenang, Say, dia emang sering cari tumbal di sini buat jadi pengikutnya bahkan gantiin dia di sini," ucap Ongki.
Pandangan Sandara kini tertuju pada sosok laki-laki di kursi kedua. Dia mengenalnya.
"Itu Ari!" pekik Sandara lalu mendekat ke arah Ari.
"Dia kenal, Ki, ayo samperin!" ajak Kunkun.
"Ari bangun!" seru Sandara sambil mengguncang Ari tetapi ia tak bisa menyentuhnya.
"Hantu baru emang biasa gitu, belum bisa sentuh barang atau manusia. Minggir biar aku yang bangunin," ucap Kunkun.
Tiba-tiba, sepasang mata Ari membuka mata. Ia terperanjat kala melihat para hantu sudah mengelilinginya.
"Ka-kamu, kamu siapa?" tanya Ari dengan sangat ketakutan menunjuk ke arah Kunkun.
"Kamu bisa lihat aku?" tanya Kunkun.
Ari lantas mengamati rekannya yang duduk di depannya. Wajah rekannya yang bernama Tyo itu penuh luka, sepertinya Tyo tewas seketika. Sementara di sampingnya, Wira yang berwajah panik terus saja menangis meminta tolong karena kakinya terjepit.
"Tolong aku, Ri, tolong aku," pinta Wira ketakutan dan sangat memelas.
Bau bensin tercium dari mobil sedan hitam tersebut.
"Bau bensin nih, ayo keluar!" ucap Sandara.
"Dara? Ka-kamu, kamu di sini?" Ari menatap tak percaya.
"Ari! Kamu bisa lihat aku?"
"Nggak ada waktu buat reunian. Ayo keluar buruan! Keburu meledak ini!" seru Ongki.
"Kamu tolong bantu temen saya ini dulu," pinta Ari.
"Aku nggak bisa nolong dia, aku cuma bisa nolong kamu," ucap Kunkun mulai panik.
Kunkun menarik tangan Ari keluar dari sana sekuat tenaganya.
"Minta tolong sama yang lain buat selametin kawan aku, ayolah!" Ari memohon pada Sandara.
"Nggak bisa, Ri, aku nggak bisa berbuat apa pun," lirih Sandara.
Tak berapa lama setelah Kunkun menyelamatkan Ari, kemudian mobil tersebut meledak dengan suara menggelegar hebat. Diiringi dengan kobaran api besar yang membuat dua rekan tewas di dalamnya, terpanggang.
Ari menangis sejadi-jadinya sambil berteriak memanggil nama Tyo dan Wira yang terbakar di hadapannya.
"Puas kamu?! Puas kamu udah buat mereka mati, hah?" Sandara mendorong hantu pria yang kepalanya pecah tadi.
Hantu itu tertawa lalu menjemput arwah dua rekan Ari. Dia membawanya pergi menghilang di balik pohon besar. Tubuh tegap dengan tinggi 175 cm milik Ari mendadak lunglai dan tak sadarkan diri kemudian. Dia mengalami benturan hebat di kepala rupanya.
...*****...
...To be continued....
Bab 3 TCSM
Ari mengalami koma selama satu minggu di rumah sakit. Selama itu juga, Sandara mengajak roh-nya untuk berteman dengan para hantu. Rupanya, sepupu Sandara itu sudah memiliki bakat sejak lahir dalam melihat makhluk astral. Namun, malam itu roh Ari kembali. Tampaknya pria berusia dua puluh tiga tahun itu akan tersadar dari komanya.
"Syukurlah, kamu akhirnya sadar juga," ucap seorang wanita berusia empat puluh tahun yang menggunakan kaca mata itu.
"Ma-mami, mami a-aku, aku ada di mana?" tanya Ari.
Tubuh pemuda itu terasa sangat sakit apalagi di bagian kepala yang ia coba sentuh. Perban putih sudah melilit di dahinya. Pemuda itu juga memakai penyangga leher yang membuatnya sulit untuk menoleh.
"Kamu ada di rumah sakit, Ri. Kamu kecelakaan," ucapnya.
Pemuda itu lantas mencoba menggali lagi pikirannya yang melayang menuju seminggu yang lalu. Kecelakaan maut itu rupanya merenggut nyawa dua rekannya pasca sepulang dari pesta di sebuah klub malam.
Ari juga mengingat saat dia berhasil selamat setelah hantu Kunkun menarik tubuhnya dari dalam mobil sebelum mobil itu meledak. Ia juga ingat melihat hantunya Sandara dan sosok pocong membantunya.
"Mami, apa Mami percaya kalau aku ketemu sama Sandara?" tanya Ari.
Wanita bernama Malika itu mengernyit.
"Kamu jangan ngomong sembarangan, Ri. Sandara dan keluarganya sudah meninggal," tukas Malika.
Seorang pria berusia lima puluh tahun itu masuk ke kamar perawatan tempat Ari. Dia merupakan adik Tuan Sandi. Keluarga gadis itu bukanlah keluarga besar. Paman Andre dan Tante Malika sendiri hanya mempunyai satu orang anak. Padahal pernikahan mereka terjadi karena Malika dihamili saat bersekolah tingkat akhir di sekolah menengah atas. Namun, setelah Malika dan Andre menikah dan memiliki satu putra, mereka tak dikaruniai anak lagi.
"Bagaimana kondisi kamu, Ri?" tanyanya.
"Baik, Pi, sudah lebih baik." Ari tersenyum menatap pria yang selalu dia banggakan.
Dari balik jendela kamar Ari, Sandara menatap penuh haru. Dia rindu dengan keluarganya. Tiba-tiba, sosok Kunkun datang menabrak Sandara.
"Ada apaan sih, Kun?"
"Lihat perempuan itu! Yang bawa keranjang buah itu!" tunjuk Kunkun.
Sandara menatap punggung seorang gadis yang hendak memasuki sebuah ruangan. Sandara tersentak ketika mendapati wajah gadis itu serupa dengan paras ayu miliknya.
"Ayo, kita ikutin!" ajak Kunkun.
Gadis yang membawa keranjang buah tadi tengah menjenguk sahabatnya. Setelah mengunjungi sahabatnya, Andara pergi ke toilet. Saat Sandara mengikuti, kaki Andara tak sengaja terantuk dan hampir jatuh. Sandara menolongnya, tetapi sesuatu yang mengejutkan terjadi.
"Wooo! Sandara bisa masuk ke tubuh gadis itu!" seru Kunkun.
"Wah, apa aku akan selamanya di tubuh ini?" tanya Sandara.
"Hmmm, kadang ada yang sebentar ada yang lama. Sesuai dengan kekuatan si pemilik tubuh itu dalam menampung kamu," sahut Ongki.
"Jadi bisa aku pakai sebentar, ya. Aku ingin menemui pamanku dan Ari," ucap Sandara.
Dia menggunakan tubuh Andara untuk berjalan-jalan di rumah sakit. Meninggalkan Siska yang melongo melihatnya. Namun, tak lama kemudian tubuh Andara limbung tak sadarkan diri. Arwah Sandara akhirnya keluar dari tubuh itu.
Seketika itu juga, suster yang melihat Andara tergeletak langsung menolongnya. Gadis itu dibawa menuju ke ruang perawatan instalasi gawat darurat.
"Nanti coba lagi aja, kita awasi gadis itu," ucap Kunkun pada Ongki.
...***...
Sandara memutuskan untuk mengikuti Ari. Dia meminta sepupunya untuk menyelidiki penyebab kematian keluarganya pada Paman Andre. Saat gadis itu duduk di ruang makan, ayahnya Ari menceritakan tentang perihal kematian keluarganya Sandara.
Pria itu menyerahkan selembar foto seorang laki-laki yang memakai setelan jas hitam senada dengan celana bahan yang tampak mahal itu kepada putranya.
"Siapa dia, Ayah?" tanya Ari.
"Orang yang menyebabkan keluarganya Sandara meninggal. Kau ingin tahu, bukan?"
"Bukankah dia pemilik perusahaan otomotif terkenal di Kota Bunga, Tuan Sahid Aryan Khan?" tanya Ari.
Sandara mengamati foto itu dengan saksama dan tampak geram. Sandara bangkit dengan kekuatan yang lebih dari sebelumnya. Darahnya terasa mengalir panas saat mendengar penuturan sang paman.
"Sahid Aryan Khan bukan hanya pengusaha muda, dia juga ketua gangster The Black Cat," ungkap Paman Andre.
"Apa? Ketua Gangster The Black Cat?" Ari sampai mengernyit.
"Iya, Nak. Ayah sudah menelusuri hal ini dan dialah yang menjadi otak pembunuhan pamanmu. Sandi telah telah melanggar kesepakatan," ucap pria itu.
"Kesepakatan apa yang Paman Sandi langgar, Yah?"
"Kota Bunga ini di perebutkan oleh gangster The Black Cat dan The Dog yang bertugas untuk melindungi para pengusaha dan pejabat di kota ini. Kakakku melanggar kesepakatan itu karena ia tak mau lagi bekerja sama dengan gangster milik Sahid tersebut."
"Sampai sebegitukah ia harus membunuh Paman Sandi dan keluarganya?" tanya Ari menahan geram yang sama seperti yang Sandara lakukan.
"Dia tak pandang bulu, Nak. Siapa yang berkhianat dan melanggar kesepakatan pasti mati."
"Tanyakan pada ayahmu apa dia mau balas dendam untuk ayahku dan keluargaku?" tanya Sandara pada Ari.
Ari lalu memberitahukan pada ayahnya tentang rencana balas dendam itu.
"Sebenarnya ayah ingin melakukan itu. Tapi, Ayah butuh surat wasiat pamanmu. Ayah butuh kotak hitam tempat ia menyimpan semua berkas dan tempat penyimpanan aset perusahaan miliknya," ucap Andre.
Ari menoleh pada Sandara.
"Aku akan mencari tahu di kamar ayah atau ruang kerjanya. Katakan saja pada ayahmu kalau kau butuh akses ke rumahku," tukas Sandara pada Ari.
Sandara lantas meminta Ari ikut serta untuk membalas dendam kepada Sahid.
...*****...
...To be continued....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!