NovelToon NovelToon

Purnama Kedua

Titik Jenuh

*Story ini adalah kelanjutan dari story 'Sang Purnama' cuma berbeda genre saja.

Kalo 'Sang Purnama' termasuk genre Drama Musikal dan kelanjutannya ini termasuk genre horor atau thriller.

(bolehkan, satu story berubah genre 🤭😅😅😉🤝, )

maksud saya, kretifitas jangan terlalu dikotak-kotakkan.

Salam hangat buat semua pembaca, kalian luar biasa,,,👍👍👍*

***

Angela menuju rumahnya, rumah yang sudah sekian lama ia tinggalkan. Mungkin dua tahun, sejak ibunya minggat dan membina keluarga baru. Angela tidak ingat secara pasti, bahkan ia tidak ingin ingat sama sekali. Tapi semua sudah terjadi. Ia masuk begitu saja, gerbang tidak tertutup. Tidak banyak yang berubah. Kolam ikan dan burung-burung dalam sangkar masih ada, malahan tambah banyak. Rupanya ayahnya lebih memilih menambah hewan piaraan untuk menemani hari-hari tuanya ketimbang membujuknya pulang.

Tak bisa dipungkiri, ada hati yang sakit setiap ia mengunjungi rumahnya itu. Rumah putih dan besar yang kini sepi. Malam belumlah larut. Tapi sepi membenamkan hati.

GLEKK!!

Daun pintu ia putar, tidak dikunci. Ia buka saja pintu kayu jati itu. Ternyata pemandangan yang sangat tidak pantas ia dapati, Ayahnya sedang bergulum mesra dengan seorang wanita muda. Sontak mereka kaget. Andai saja wanita kurang ajar itu membuka sandal sebelum masuk dan Angela melihat ada sandal tamu wanita teronggok di depan pintu, demi apapun ia tidak akan sudi berkunjung lagi. Sudah bisa dipastikan apa yang sedang ayahnya lakukan dengan tamu wanitanya. Ternyata kelakuan ayahnya tidak berubah.

"Angel, kamu-" ucap ayahnya dengan kagok langsung disela oleh Angela, "Maaf mengganggu, cuma mau ngambil barang yang ketinggalan," ketus Angela dengan tatapan berpaling. Tidak sudi ia melihat kelakuan bejat ayahnya itu. Ia nyelonong masuk ke dalam dan membuka kunci kamarnya. Sejak keluarganya hancur ia tidak pernah mempercayakan kunci kamarnya pada siapapun. Tidak perduli kamarnya usang dan jadi sarang laba-laba. Ia mengambil sebuah kotak berisi perhiasan peninggalan ibunya yang tidak pernah ia sentuh sejak ibunya minggat. Angela segera berlalu. Tanpa pamit, tanpa menoleh. Ayahnya tidak tahu harus berkata apa. Baru kali ini ia benar-benar kepergok anak semata wayangnya.

Angela berlalu dengan sedannya. Ia tidak melampiaskan kekesalannya dengan tancap gas dan berharap segera mati konyol. Tidak, ia hanya bersandar dan napasnya terhenyak begitu dalam. Satu-satunya orangtua yang masih bisa ia temui itu ternyata kini ia pergoki sedang main gila di dalam rumah. Angela sudah tahu kelakuan bejat ayahnya seperti itu, suka main perempuan. Tapi yang paling membuat hati Angela kecewa adalah, kenapa harus di rumah. Paling tidak, hargailah rumah itu. Hargai kesucian cinta ibunya dulu di rumah itu. Banyak tempat untuk dipakai mesum, kenapa harus di rumah! Batin Angela menjerit. Tanpa sadar, setetes air meluncur di pipinya yang putih dan licin.

Baru saja ia putus dari kekasihnya dan kini, mau tidak mau hatinya telah merekam kejadian tadi. Angela jadi berpikir untuk melakukan sesuatu untuk menghibur diri. Terlalu tolol ia rasa kalo hanya meratapi nasib di usia yang tak lagi remaja.

Ia putar arah. Tadinya ia mau pulang saja dan tidur, lalu besok pagi ia bawa perhiasan itu ke toko emas dan menjualnya. Ia melesat menuju sebuah pub. Ia pikir, dengan beberapa gelas Alkohol syaraf-syaraf di otak bisa sedikit kendur dan ia bisa tertidur pulas.

Sesampainya ke dalam pub itu ia langsung menuju meja bartender.

"Hai angel, kemana aja," sapa si Bartender sok akrab.

"Aku mau itu tuh, satu botol," tunjuk Angela pada sebotol minuman kesukaannya. Sejenis minuman yang tidak pahit di mulut, tapi cukup satu gelas besar, keseimbangannya bisa goyah.

"Buru-buru amat, duduklah dulu," bujuk bartender tadi.

"Cepetan, nih, ambil kembaliannya." Bartender itupun segera mengemas minuman itu. Ia seakan tahu, Angela sedang tidak baik-baik saja dan dari pada kena Omelan, mending ia segerakan saja transaksi itu.

***

"Om, kenapa sih, kok malah diem?" tanya wanita itu sambil membetulkan tatanan rambutnya pada ayahnya Angela yang tampak termenung.

"Mending kamu segera pergi," ucap ayahnya Angela. Rupanya, hasratnya hilang seketika karena kedatangan Angela.

"Heah, tapi bagaimana dengan kontrak saya Om?" tanya wanita itu menahan jengkel.

"Gimana besok aja."

***

Angela nikmati cairan mahal itu, tegukan demi tegukan dalam kesendirian. Cairan mahal produk luar negeri yang konon terlarang tapi dilindungi undang-undang itu lembut menyengat dan segera meresap ke seluruh aliran darahnya.

Musik syahdu yang ia buat mengalun merdu menambah suasana menjadi indah. Syair syair cinta dari mulut mantan kekasihnya itu tetap indah di telinganya, meski kini terasa sakit di hati.

Kekasih terakhirnya adalah seorang musisi sekaligus penyanyi. Mungkin cara melupakan masalah bagi kebanyakan perempuan kota yang kesepian adalah masuk ke diskotik dan menelan beberapa pil in**s lalu joget-joget sampai pagi. Tapi Angela punya cara tersendiri. Ia terkesan menikmati kesepiannya dengan memutar musik-musik yang penuh kenangan itu. Kenangan indah bersama kekasih terakhirnya itu. Dengan begitu ia merasa hidup, walaupun kadang ia sampai menangis meraung-raung dalam apartemennya itu. Tapi setelahnya, ia akan merasa lega dan bisa menjalani hari dengan ringan. Jarang ia mabuk-mabukan sendiri seperti sekarang.

Angela sudah malas menuangkan lagi minumannya atau tubuhnya sudah benar-benar dikuasai alkohol. Kepalanya terasa berat, namun hatinya seakan melayang. Mungkin segelas lagi, nyawanya yang bakal

benar-benar melayang. Ia pun merasa cukup dan beranjak ke tempat tidur.

Tubuh Angela terjatuh ke tempat tidur seperti seorang peri yang lantas terbang ke awan. Kenangan mengecup dengan mesra. Alunan musik itu terus menghadirkan keindahan dan kenangan-kenangan itu berloncatan dalam ilusinya seiring lagu mengalun merdu.

*Bukannya, aku yang tidak mencintaimu

tetapi kenyataan yang tak ijinkan sekarang

berpisah, denganmu

sungguh aku, layu dan membeku

berpisah, denganmu

semakin aku, yakin akan cintamu

baiknya gagal dari pada kau menyesal

baiklah kita coba sama-sama tegar

hooo uwooo*

Angela kembali ke masa itu, dimana ia suka bersandar ke bahu kekasihnya yang sedang bermain gitar akustik dan menyanyikan lagu itu.

Raga Angela memang terkapar bebas seperti seorang nahkoda dalam kapalnya hancur berserakan. Kamar Angela berantakan. Angela terdampar di negeri mimpi yang penuh dongeng yang ia karang sendiri. Bahkan baju pengantin yang ia rancang sendiri sudah ia hancurkan. Hidup Angela hancur, apalagi sekedar membenahi kamar. Angela merasa berputar dan kepalanya terasa semakin pening, ia pun merasakan sesuatu mendesak di tenggorokannya. Ia hendak muntah dan sebelum itu terjadi di atas kasur, ia buru-buru merayap ke kamar mandi.

HUEKKK!

lama Angela di kamar mandi, sampai isi perutnya habis mungkin. Semua orang hanya mengenal tubuhnya yang indah dan sering terpampang di majalah-majalah. Tapi tidak ada yang tahu, isi dalam tubuh yang indah itu hancur. Berserakan seperti muntahannya itu.

Sampai habis rasa mual, baru ia bisa tertidur pulas.

BRAKKK!

Pintu rumah Angela didorong dengan keras, seperti di tendang dengan sekuat tenaga.

Kematian Yang Tragis

Seorang Penyidik senior tampak mengamati luka-luka di kedua jasad korban. Robekan-robekannya dalam dan sepertinya dilakukan dengan sembarangan. Wajah korban hampir tidak bisa dikenali. Bahkan sodetan-sodetan itu sampai mengenai tulang.

"Pak, kita lanjutkan visum di rumah sakit," ucap seorang anak buahnya dengan sopan.

"Tentu Rendi, tentu. Saya hanya tidak habis pikir saja. Siapa pelakunya, ia pasti sangat membenci korban. Kejam sekali. Kalian terus cari sidik jari atau apapun itu," tunjuk penyidik senior itu pada para anggotanya. Penyidik senior itu berpangkat sersan, biasa dipanggil sersan Heri. Beberapa anak buahnya seperti mencari jarum di tumpukan jerami.

***

Hari begitu suram. Aroma Kematian masih segar membahana di kompleks perumahan itu. Orang-orang banyak berkerumun, orang-orang ramai berbincang. Tidak sedikit juga awak media datang meliput. Rumah yang jadi TKP itu pun segera diberi pembatas dan dijaga petugas.

***

Angela terbangun, hari sudah siang. Ia pun bangkit dengan enggan. Seluruh tubuhnya terasa pegal, isi dalam kepalanya terasa berat. Saat mandi kemudian, ia merasakan sedikit perih di lengan kiri saat tersiram air, mungkin hanya sedikit lecet. "Orang mabok itu ceroboh," pikirnya. Selesai mandi ia segera berpakaian. Tidak terlalu mencolok pakaian yang ia kenakan, ia tidak ingin memancing perhatian. Bagaimanapun ia sempat terkenal sebagai pemain sinetron. Kaus lengan panjang, kerudung tipis serupa selendang plus kacamata hitam ia kenakan.

Kariernya meredup seiring keputusannya mengasingkan diri. Ada sesuatu yang harus ia lakukan sendiri. Selesai melahap dua iris roti gandum dengan selai keju, ia segera menenggak jus jeruk. Angela kini tinggal di sebuah apartemen biasa di lantai 10 di sudut kota.

Selesai sarapan ia melangkah ke toko emas langganannya, ia buka sekotak perhiasan pemberian ibunya itu yang ia kumpulkan sedari remaja. Ia pikir, buat apa ia menyimpan barang-barang pemberian ibunya itu, kalo ibunya sendiri pergi entah kemana. Ia pikir, rasanya akan impas kalo ia melepaskan diri dari barang-barang yang menyimpan kenangan itu. Terlalu sakit kalo barang-barang itu tetap ada disekitarnya, ia ingin benar-benar bebas dari beban masa lalu dan ia ingin sendiri dulu.

"Tidak ada surat-suratnya, silahkan cek saja keasliannya," ucap Angela. Sebelum melaksanakan tugasnya, si penjaga toko yang sudah mengenal Angela dengan baik itu sedikit mendelik ke wajah Angela. Angela tampak pucat dan tanpa riasan wajah. Si penjaga toko itupun tidak berani mengomentari wajah Angela yang pucat pasi itu. Penjaga toko emas itupun melakukan tugasnya dengan baik dan segera kembali ke hadapan Angela dengan selembar kertas kosong dan mulai menghitung.

Angela sudah yakin dengan apa yang sudah ia putuskan. Selain sekarang ia tidak punya penghasilan yang besar. Hanya royalti yang tidak tentu jumlahnya masuk ke rekeningnya setiap bulan. Ia juga menolak semua kontrak. Sudah seminggu ini ia istirahat total. Setelah apartemen mewahnya ia jual, sedan BMW kesayangannya pun ia jual. Ia ingin menjadi Angela yang baru, pakaian-pakaian yang baru, mobil baru, apartemen baru. Andai hati dan otak bisa diganti, ia juga ingin menggantinya dan menjadi pribadi yang baru yang tersusun oleh pengalaman-pengalaman baru.

Selesai transaksi Angela berlalu dengan lemah. Baru saja uang itu masuk ke dalam tasnya yang juga baru, ia mendapati teleponnya berdering. Uang ia simpan, telepon ia buka.

Dari Gea, teman baiknya.

"Jel, buruan pulang, gue tunggu di rumah bokap Lo, gue otw sekarang yah," suara Gea terdengar tergesa.

"Apaan sih?" heran Angela.

"Pokoknya, cepetan, gue tunggu, oke?" Setelah berucap demikian, Gea menutup teleponnya dan meraih kunci dari dalam tas.

Angela jadi penasaran, ia telepon balik si Gea. Tapi tidak diangkat. Angela jadi bete. Ia malas berurusan dengan ayahnya lagi. Ia jadi berpikir keras, apa yang terjadi. Mau tidak mau ia masuk sedan dan menuju rumahnya. Firasat buruk menggelayuti hatinya, mengingat ucapan Gea tadi.

***

Gea sampai duluan dan segera berlari menuju rumah Angela. Masih ada beberapa Polisi sedang melakukan olah TKP. Gea celingukan di balik garis polisi. Seorang Polisi segera menyadari kedatangan Gea dan menghampirinya.

"Saudari putri korban?" Tunjuk polisi itu.

"Bu-bukan Pak, saya, saya temannya. Maksud saya, teman saya yang putrinya korban," jawab Gea dengan gugup. Tapi polisi itu bisa mengerti.

"Ada nomor kontaknya?"

"Ada Pak, sudah, sudah saya telepon. Sebentar lagi dia datang," jujur Gea.

Angela pun tiba. Raut wajahnya penuh dengan tanya. Ada beberapa mobil polisi terparkir dekat gerbang rumahnya juga sebuah mobil ambulans yang menyala. Angela terus melangkah. Ada garis kuning membentang sepanjang pagar rumahnya, ada Gea yang menangis di hadapan seorang polisi.

"Ada apa ini?" gumam Angela. Gea menoleh dan langsung menubruk Angela yang melongo tak tahu apa-apa.

"Yang tabah ya Jel?" ucap Gea melipur Angela.

"Ayah saya? Kenapa dia?" Angela pun turut menangis, terbawa suasana haru yang Gea berikan.

"Maaf, saudari Angela, bisa kita ke kantor sekarang-"

"Dimana ayah saya Pak? Apa? Apa yang terjadi???" pekik Angela. Tangis Gea makin lirih dan dekapannya makin erat.

Siang yang terik terasa menyengat sampai ke jantung Angela. Ia masih belum percaya, kini ia digiring Gea dan seorang polisi itu menuju kamar mayat.

Lorong rumah sakit yang sepi, hati yang sepi. Bagaimanapun ia ingin melihat ayahnya. Seperti yang polisi itu katakan, seorang anak harus melihat wajah ayahnya untuk terakhir kali. Ia pun beranikan diri, sebejat apapun kelakuan ayahnya akhir-akhir ini. Dia tetap ayahnya yang dulu suka menggendongnya dan bahkan menemaninya main boneka. Sial!, Angela jadi ingat dulu, masa-masa riang itu muncul begitu saja, masa kecil yang penuh kebahagiaan membayang di setiap langkah menuju ke kamar mayat.

Ruangan yang lembab, ruangan yang dingin mereka masuki. Sepi meliputi hati. Dua orang perawat yang datang menyambut mereka kini membuka laci besar dan perlahan membuka resleting kantung hitam yang berisi mayat ayahnya Angela itu. Angela harus siap untuk melihatnya. Jantungnya berdegup kencang. Ia sangat menyesal, semalam ia telah ketus pada ayahnya itu. Padahal ia ingin sekali menasehati ayahnya. Tapi tidak bisa, ia selalu kesulitan dan gagal untuk memulai pembicaraan serius dan dekat dengan ayahnya dan sekarang semua itu terlambat.

Satu langkah lagi ia sampai melongok jasad ayahnya. Tercium aroma aneh. Ia pikir, mungkin ini aroma formalin. Ia pun akhirnya melihat wajah dan dada ayahnya yang penuh dengan sobekan luka. Sepertinya habis di cakar cakar oleh binatang buas dan dijahit.

"Cu-cukup, cukup." ucap Angela. Gea pun turut melihatnya dan segera membenamkan diri di pundak Angela.

"Sudah, terima kasih," ucap polisi itu pada dua orang petugas kamar mayat itu. Gea membawa Angela yang lunglai, bersama polisi itu.

Tersangka

Rendi membawa satu map berkas dengan langkah yang tegap. Ia menuju ruang interogasi dimana Sersan Heri sedang bersama seorang satpam komplek perumahan yang jaga saat malam kejadian terbunuhnya ayah Angela itu.

"Saudara yakin, Angela pulang secepat itu?" tanya Sersan Heri.

"Yakin Pak, tidak sampai 10 menit ia kembali," jawab satpam itu. Sersan Heri jadi berpikir, kalo Angela pelakunya, pembunuhan semacam itu pasti meninggalkan percikkan darah di pakaian pelaku.

"Apa saudara sempat melihat pakaian Angela, maksudnya, apakah saat Angela melewati pos jaga, apakah dia membuka kaca samping dan saudara melihat pakaiannya.

"Yah, ia membuka kaca samping, pakaiannya warna putih."

"Maksud saya, apakah ada bercak darah, atau? Apakah ia tampak berkeringat atau tidak?" lanjut Sersan Heri.

"Mmm... Tidak Pak, pakaiannya rapi, kemeja putihnya rapi. Saya juga yakin, ia tidak berkeringat. Karena kami sempat dekat, maksudnya, ia membuka kaca dan menyerahkan kartu pengunjung kepada saya sendiri," jawab satpam itu. Sersan Heri pun manggut-manggut.

Untuk sementara ini, kita cukup kan sampai di sini dulu. Tapi kapan-kapan kalo kami perlu keterangan lain, saudara harus bersedia yah?"

"Siap pak," jawab satpam itu.

TOK! TOK!

"Siang pak," sapa Rendi. Sersan Heri pun menoleh dan memberikan kode supaya Rendi masuk. Rendi masuk dan menyerahkan berkas dalam map biru itu. Satpam tadi dibawa keluar oleh seorang polisi lain yang dari tadi berdiri di balik pintu.

"Tidak ada CCTV di kediaman pak Bram, yang ada cuma di pos depan dan di semua tikungan," bilang Rendi. Sersan Heri bertanya sambil membolak-balik berkas itu.

"Jadi, malam itu tidak ada yang berkunjung ke kediaman pak Bram selain putrinya itu?"

"Iya," jawab Rendi.

"Ya sudah, kalo bisa sekarang juga saya mau interogasi Angela."

"Siap, laksanakan." jawab Rendi lantas berlalu dan segera menghubungi Angela.

***

Angela terpuruk sendiri di dalam apartemennya. Awalnya Gea mau menemaninya, menginap bila perlu.Tapi Angela menolak dan memilih tetap sendiri. Angela tampak tidak bersemangat melakukan apa-apa, ia terlentang sendiri di kamar tidurnya. Sampai akhirnya Panggilan dari kepolisian pun mengharuskan dirinya melakukan sesuatu.

"Halo, selamat siang, kami dari kepolisian, ini dengan Angela Clara?" suara di seberang telepon itu terdengar tegas dan berwibawa.

"Iya, saya sendiri, ada perlu apa yah?"

"Kami sudah di bawah, saudari kami jemput untuk kami mintai keterangan soal kematian Pak Bram."

"Ya, sebentar, saya ganti pakaian dulu," ucap Angela. Ia pun ganti pakaian dan tidak lama-lama berdandan. Sedikit bedak dan lips gloss.

Kini, ia pun melangkah digiring dua polisi. Ia memenuhi panggilan pihak kepolisian. Dalam hati ia pasti ditanyai tentang kunjungannya ke rumah itu di malam yang sama sebelum ayahnya terbunuh. Setelah ia memasuki ruang interogasi, benar saja, ia ditanyai sedetail mungkin ihwal kedatangannya malam itu. Ia pun menjawab apa adanya. Begitu banyak pertanyaan dan berbelit-belit. Sampai pada akhirnya,

"Maaf, apakah selain dengan wanita itu, apakah beliau punya affair dengan wanita lain?" tanya Sersan Heri. Di sampingnya Rendi berdiri dengan tegap. Rendi polisi muda dan tampan.

"Saya tidak tahu," jawab Angela.

"Apakah saudari kenal seseorang yang dekat dengan wanita itu selain Pak Bram?"

"Saya kenal juga tidak sama wanita itu, bagaimana mungkin saya kenal dengan seseorang yang dekat dengan wanita itu?" Angela mulai merasa jengkel. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terkesan konyol dan berbelit-belit. Angela jadi berpikir, apakah memang harus begitu, terus-menerus menanyai orang yang dicurigai sebagai pelaku? Diberondong pertanyaan dan berharap keseleo lidah dan mengarah ke pengakuan.

"Maaf Angela. Mulai sekarang, ada seorang petugas yang akan mengikuti kemanapun kamu pergi, kami khawatir kamu juga jadi target." ucap Sersan Heri

"Terserah, apa masih ada pertanyaan yang harus saya jawab?" tantang Angela.

"Untuk sementara kita cukupkan sampai di sini dulu. Tapi kami minta, kapanpun kami perlu, saudari harus bersedia kami tanyai lagi. Bagaimana?"

"Yah, saya bersedia," jawab Angela. Ia pun bernafas lega.

"Rendi Antar saudari Angela, kemanapun ia pergi, kamu harus mau mengantarnya," ucap Sersan Heri sambil menoleh ke arah Rendi. Rendi pun menjawab dengan siap yang sigap.

"Sebentar-sebentar, maksudnya? Dia ikut kemanapun saya pergi?" Angela tak mengerti.

"Yah, dia pun tinggal di apartemen di lantai yang sama. Persis di samping apartemen saudari. Apa saudari keberatan?"

"Kalo, kalo urusan tinggal di apartemen dekat saya sih tidak masalah. Tapi itu, tapi kalo urusan pergi kemana-mana-"

"Kalo saudari keberatan, berarti saudari harus mau menginap di sini, sampai waktu yang belum ditentukan, dengan kata lain, sampai pelakunya ditemukan," potong Sersan Heri dengan wajah serius. Kontan nyali Angela Ciut.

"Kami bukan menahan saudari, tapi lebih ke melindungi. Keadaannya sekarang, di luar sangat berbahaya bagi saudari. Terserah saudari pilih yang mana? Tinggal di sini, atau di temani seorang polisi muda yang sudah terlatih untuk mengawal kemanapun saudari pergi."

Angela tidak sudi kalo ia harus menginap di kantor polisi, apalagi menginap dalam artian meringkuk di dalam jeruji besi.

"Ya, sudah. Saya pilih opsi yang pertama," ucap Angela. Ia tidak punya pilihan lain. Angela bangkit dan dikawal oleh Rendi.

Di parkiran kemudian, Angela menyerahkan kuncinya pada Rendi. Keduanya pun berlalu. Sikap Rendi begitu kaku dan sopan. Angela sedikit merasa terganggu, sudah sekian lama akhirnya ia kini duduk berdampingan dengan seorang lelaki. Bisa saja ia duduk dibelakang, tapi ia tidak pernah nyaman dengan duduk dibelakang, mungkin kebiasaan membawa mobil sendiri dan melihat jalan membuatnya lebih nyaman duduk di depan.

"Kemana kita?" tanya Rendi.

"Langsung saja ke apartemen," jawab Angela datar. Tatapannya seolah ingin loncat keluar dan melepaskan diri dari kawalan polisi itu. Ia pikir, ia bakal kesulitan pergi ke pub apalagi membeli minuman keras, paling tidak, ia pasti merasa malu. Privasinya terganggu.

"Apakah Bapak juga sudah menyewa apartemen di samping apartemen saya?" tanya Angela begitu ia sampai tujuan.

"Ya, sudah. Mm, kalo boleh, jangan panggil Bapak, panggil saja Rendi. Sepertinya kita seumuran," ucap polisi muda itu.

"Oh, maaf, iya iya." Angela setuju soal usia Rendi. Polisi itu masih muda, putih bersih dengan dada yang tegap.

Sesampainya di muka pintu Angela menawari Rendi untuk masuk.

"Terima kasih, mau mampir dulu, ya sekedar minum atau kopi," ramah Angela coba memecah kebekuan.

"Ah, tidak baik saya masuk sendiri. Nanti saja bersama tim," jawab Rendi.

"Tim?" Angela tidak mengerti.

"Yah, Nanti sore kami juga mau memeriksa ke dalam," tunjuk Rendi ke pintu apartemen Angela.

"Sial!" desir Angela dalam batin. Ia harus segera merapikan kamar dan seisi apartemennya. Privasinya bakal diacak-acak. Ia pun jadi punya keyakinan, dirinya bukan hanya sebagai korban, tapi jelas disangka sebagai pelaku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!