Pagi yang cerah. Sinar mentari memaksa masuk melalui cerah-celah sempit pada tirai yang tertutup. Suasana suit room di salah satu hotel ternama cukup hening kala itu. Si penghuni yang tadinya tertidur, mengerjap sebelum menyadari ada sosok asing di tempat tidurnya.
"Siapa kau?" tanya Arsen dengan suara serak. Pria tampan itu terduduk sambil terus mengamati wanita cantik yang tersenyum menggoda ke arahnya.
"Hai, Arsen." Wanita tanpa nama itu membetulkan tali dress soft peach-nya pada bahu. Rambut coklat gelapnya terlihat sedikit kusut.
"Kutanya sekali lagi, siapa kau? Bagaimana kau bisa masuk ke kamar ini!" Kali ini suara pria bernada tinggi.
Brakk!
Belum sempat si wanita menjawab, pintu kamar hotelnya tiba-tiba terbuka dari luar. Seorang wanita muda dengan rambut panjang masuk, disusul sepasang paruh baya berpenampilan elegan yang tak lain adalah orang tua Arsen. Mereka menatap tak percaya pada dua orang yang kini berada di bawah satu selimut.
"Arsen! Apa-apaan ini?!" geram Tuan Thomas Malvori pada putra sulungnya.
"Ayah, ini semua salah paham. Aku bahkan tidak mengenal wanita ini," ujar Arsen membela diri.
"Tak mengenal? Baby, kamu lupa percakapan serius kita tadi malam?" Wanita berambut coklat menyentuh bahu Arsen tapi dengan segera Arsen menepis. Raut wajahnya tampak sangat marah.
"Kenapa kamu tega, Arsen? Kenapa?!" Sabrina, calon istri Arsen telah menangis. Wajahnya tersembunyi di balik dekapan Nyonya Malvori.
"Sabrina dengarkan aku, dia-" Arsen berusaha membela diri. Namun Sabrina memotongnya.
"Cukup, Arsen! Aku tidak mau dengar apapun lagi dari kamu. Om, Tante, saya mundur. Saya mau pernikahan ini dibatalkan."
Usai mengucapkan hal itu, Sabrina berlari, keluar dari kamar mewah dengan berlinang air mata. Orang tuanya yang baru sampai di pintu kamar berusaha menghentikan langkah wanita dengan dress hitam itu.
"Sabrina, mau ke mana kamu? Pernikahan kalian akan dilangsungkan beberapa jam lagi," ucap ibunya.
"Tidak, Ma. Tidak akan ada pernikahan hari ini. Arsen belum berubah. Lihat saja di dalam, dia tidur dengan wanita lain. Sabrina telah mengorbankan segalanya untuk perjodohan ini. Tapi apa yang Sabrina dapat?" Lagi, wanita itu terisak.
"Tapi Sayang, lebih baik kita bicarakan baik-baik dengan Keluarga Malvori." Nyonya Wills mencoba menenangkan putrinya.
"Ma, tolong. Sabrina butuh waktu untuk menenangkan diri. Tolong ...." Sabrina memohon dengan mata basah.
"Biarkan saja dia. Kita harus meminta penjelasan pada Thomas dan Lilia." Tuan Wills merangkul Sabrina sejenak sebelum membiarkan wanita muda itu pergi. Ia tahu putrinya pasti terluka.
Sementara itu di dalam kamar, situasi kian memanas. Tuan Malvori masih mengamuk hingga wajahnya memerah. Sang istri tak mampu berbuat apa-apa. Wanita yang masih cantik di awal lima puluh tahunan itu membayangkan rasa malu yang harus didapatkan jika pernikahan ini batal.
Plakk! Satu tamparan mendarat mulus pada wajah tampan Arsen.
"Aku sudah memperingatkanmu, Arsen! Jaga nama baik keluarga. Sampai kapan kau akan berpesta sana sini dan bermain dengan wanita? Hah?!" murka Tuan Thomas.
"Sudah kukatakan aku tidak mengenalnya! Tiba-tiba dia ada di sampingku." Arsen juga ikut meradang. Pria itu mengusap wajah kasar. Bekas tamparan sang ayah terasa panas.
"Kau masih bisa membantah? Kau puas telah membuat Sabrina membatalkan pernikahan?!" Tuan Thomas berbicara hingga otot pada lehernya terlihat.
Si wanita rambut coklat perlahan beringsut, tak ingin terlibat urusan dalam keluarga konglomerat yang semakin memanas. Ia memakai outer abu-abu dan berjalan keluar kamar dengan mengendap. Saat berpapasan dengan kedua orang tua Sabrina, ia menutup wajah tanpa menghentikan langkah.
Setelah memastikan keadaan aman, ia berlari menuju lift untuk turun ke lantai dasar. Tak lupa wanita itu melepas wig coklat dan mengganti outer abu-abunya.
"Selesai sudah, hufft! Kalau bukan karena dia yang minta, aku gak akan mau melakukan hal semacam ini," sungutnya dengan muka masam.
Sampai di lobby, ia langsung keluar dari bangunan hotel bintang lima itu. Di satu titik, sebuah mobil putih telah menunggunya. Wanita cantik dengan make up tipis itu langsung masuk dan bertemu dengan senyum Sabrina.
"Terima kasih banyak, Eve! Kamu memang sahabat terbaik," seru Sabrina sambil memeluknya. Tidak ada lagi air mata pada wajah menawan itu. Yang tersisa hanya raut kegirangan.
"Cukup sekali ini ya kamu minta aku lakuin hal gila. Untung aja tadi orang tuamu gak lihat wajahku. Kalau gak, bisa habis kita," ujar Eve seraya geleng-geleng kepala.
"Iya, iya. Lagi pula cuma ini satu-satunya cara untuk membatalkan pernikahan. Entah dari mana orang tuaku punya ide jodohin aku dengan playboy cap duyung macam Arsen. Ck," cebik Sabrina. Tangannya menyalakan mesin mobil.
Eve tertawa mendengar ocehan sahabatnya. Mereka telah berteman cukup lama, sejak sepuluh tahun lalu. Dan hanya karena pertemanan itulah, ia bersedia mengabulkan permintaan Sabrina untuk berakting 'tidur' dengan Arsen Malvori, pria tampan pewaris tunggal perusahaan raksasa yang menjadi kiblat bagi perusahaan lain pada sepuluh tahun terakhir, Malvis Group.
Ia juga telah mendengar sepak terjang pria itu. Arsen menggunakan ketampanan dan kekayaannya untuk menggaet wanita manapun yang ia suka. Eve tak ingin jika wanita sebaik Sabrina harus menikah dengan pria seperti Arsen.
"Mau ke mana kita?" tanya Eve. Netranya menikmati pemandangan jalanan pagi di pusat kota.
"Ke mana aja. Belanja yuk, aku yang traktir hari ini," jawab Sabrina tanpa beban. Eve mengangguk singkat, wanita itu belum menyadari petaka yang akan dihadapinya tak lama lagi.
**
Arsen terdiam di balkon. Orang tuanya dan orang tua Sabrina telah pergi. Mereka tampak marah. Percuma saja menjelaskan, ia tetap dianggap telah mencoreng nama baik keluarga. Juga tentang kerugian yang harus ditanggung dua keluarga.
Sedianya, pukul sepuluh pagi ini ia akan menikah. Pernikahan mewah yang telah diatur hanya dalam waktu tiga bulan. Sejak awal Arsen menolak perjodohan ini. Ia tipikal pria yang tak ingin terikat, baginya wanita adalah makhluk indah yang tercipta hanya untuk dinikmati.
Arsen menerima tawaran menikah dengan Sabrina setelah ayahnya mengancam akan mencoret namanya di daftar ahli waris. Namun pagi ini, terjadi hal tak terduga. Ia telah difitnah dan itu membuat seorang Arsen marah.
"Siapa wanita itu sebenarnya?" desis Arsen. Netra tajamnya menerawang.
Puas berdiam di balkon, Arsen berpindah ke dalam. Ia berniat membasuh diri dan meninggalkan kamar hotel. Tapi sesuatu menarik perhatiannya. Benda mengkilat yang tergeletak di karpet putih tepat depan nakas. Sebuah gelang emas. Terdapat liontin dengan pahatan nama. Evening Shena.
Arsen memicingkan mata, ia yakin gelang ini adalah milik wanita asing berambut coklat itu. Tangannya seketika menyambar ponsel tipis di nakas guna menghubungi nomor salah satu bawahannya.
"Cari tahu informasi tentang wanita bernama Evening Shena. Kutunggu secepatnya," titah Arsen dengan suara bariton yang khas.
"Baik, Pak," jawab suara pria di seberang.
Usai menutup panggilan, seringai kecil muncul di wajah tampan Arsen. Pria itu yakin sesaat lagi ia dan Eve akan kembali berjumpa. Hingga saatnya tiba, Arsen bersumpah untuk memberi Eve pelajaran yang akan wanita itu ingat di sepanjang hidupnya.
***
Restoran fast food di persimpangan tampak sibuk siang itu. Nyaris semua meja di lantai satu maupun dua terisi. Sedangkan di depan kasir berbaris belasan orang lain yang memesan. Maklum saja, ini adalah jam makan siang.
Di satu titik bangunan berlantai dua restoran itu, tampak wanita cantik berpenampilan rapi yang ikut berjibaku. Ia adalah pemilik restoran yang tak segan ikut membantu di dapur.
"Kak Eve, ada paket!" seru salah seorang waiter dengan apron hitam.
"Iya, sebentar." Eve mencuci tangan usai sebelumnya men-fillet dada ayam untuk dijadikan chicken katsu.
Wanita dengan setelan broken white itu tak menunggu lama untuk menyambar paket berukuran sedang. Ia melihat sekitar, memastikan jika mungkin kesibukan di tempat itu bisa ditinggalkan meski hanya sejenak.
Eve masuk ke ruangan khususnya. Bibirnya tersenyum usai membaca nama pengirim. Kiriman itu datang dari seorang kawan lama yang telah ia tunggu sejak dua minggu terakhir.
Paket itu berisi mug motif disertai inisial ES, sesuai nama panjang Eve.
"Cantik ...," komentar wanita dengan rambut kuncir kuda itu. Di bawahnya, Eve menemukan secarik kertas berisi ajakan untuk bertemu di suatu tempat.
"Restoran hotel X, pukul 20.00? Tapi kok gak ada nomor telepon?" Eve membolak-balikkan lembaran kecil dan juga memindah mug.
"Hm, Jenna masih suka bikin kejutan." Eve tertawa kecil. Sekilas, ia mengingat kebiasaan-kebiasaan konyol nan ajaib seorang Jenna, sahabatnya selain Sabrina yang sempat tidak ada kabar setelah memutuskan bekerja di luar pulau sejak tiga bulan lalu. Meski tak dipungkiri ia sedikit heran saat Jenna menghubunginya melalui alamat email yang berbeda dari biasanya.
Malamnya, Eve menyanggupi ajakan Jenna. Ia menggunakan dress simple berwarna mocca dan juga flat shoes. Dua puluh menit berada di dalam mobil, wanita cantik itu telah sampai di depan bangunan hotel yang dituju.
"Selesai jam berapa nanti?" tanya pria muda bernama Nando yang tak lain adalah tunangan Eve. Lesung pipi muncul saat senyumnya terbentuk.
"Kurang tahu, nanti aku telepon ya." Eve membalas senyum pria itu sebelum turun dari mobil merah mengkilap.
"Perlu kuantar ke dalam, Tuan Putri?" tawar Nando, kali ini diiringi kerlingan.
"Gak usah. Thank you udah diantar. Malam, Bunny?" Eve melambai ringan dan berlalu setelah mendapat balasan yang sama.
Ini bukan pertama kali bagi Eve memasuki hotel berbintang lima itu. Eve menuju lantai sembilan di mana restoran hotel berada. Langkah sedangnya memasuki lift, bersamaan dengan pria outfit serba hitam yang mengambil posisi di belakangnya.
Tanpa wanita itu sadari, si pria tengah memperhatikan postur dan gerak-geriknya dengan seksama. Begitu sampai di lantai tujuan, Eve segera keluar.
Si pria misterius mengikuti dari jarak aman. Diam-diam ia membuka percakapan dengan seseorang melalui airpods hitam di telinga kirinya.
"Target menuju titik eksekusi, Tuan."
Restoran Hotel X, pukul 20.10 WIB.
Arsen menyesap sedikit wine putih dari gelas bening. Netra tajam pria tampan itu menatap lurus pada wanita yang baru memasuki restoran.
'Cantik juga,' puji pria dengan setelan jas semi formal itu dalam hati.
Sementara sang wanita yang tidak
lain adalah Eve tak merasa curiga sedikitpun. Ia masih sempat membalas email dari seseorang sebelum akhirnya meletakkan ponsel tipis ke dalam clutch.
"Silahkan, Nona." Seorang waitress datang sembari meletakkan buku menu di atas alas meja berwarna putih.
"Saya akan memesan nanti, setelah teman saya datang," tolak Eve tak lupa dengan senyum ramah yang telah menjadi ciri khasnya.
Waitress berseragam putih hitam itu pun beringsut usai memberi anggukan sopan. Namun tak sampai sepuluh menit kemudian, ia kembali dengan nampan berisi secangkir minuman hangat.
Eve sudah hendak membuka mulut untuk bersuara tetapi si waitress berbicara terlebih dahulu guna menjelaskan.
"Hari ini adalah ulang tahun restoran yang ke sepuluh. Kami menyediakan teh lemon ini kepada semua pengunjung sebagai bentuk ungkapan syukur dan terima kasih," terang wanita dengan rambut rapi itu.
Pada akhirnya Eve mengangguk. Kebetulan teh lemon adalah favoritnya. Setelah punggung waitress tidak nampak, Eve menyesap sedikit minuman itu.
Terbentuk kerutan pada jarak di antara alis ketika menyadari rasa teh lemon agaknya berbeda dengan yang biasa ia minum. Ia juga merasa haus setelahnya. Hingga tak butuh waktu lama cangkir yang tampak mahal itu akhirnya kosong.
Bebeberapa meja di sekitar Eve, senyum Arsen terbit. Perlahan tapi pasti rencananya akan berjalan lancar malam ini. Dalam hati ia menghitung mundur dan benar saja tepat di hitungan terakhir, senyumnya melebar tatkala Eve telah tak sadarkan diri di kursinya.
**
Keesokan harinya Eve terbangun di ranjang asing. Netra cantik terbingkai bulu mata lentik mengawasi sekitar dengan bingung. Ia tak tahu bagaimana bisa berakhir di kamar mewah bernuansa putih tulang itu.
'Di mana ini? Apa yang terjadi semalam?"
Ketika ia berusaha duduk, kepalanya berdenyut. Bagian bawah tubuhnya juga terasa remuk. Untunglah, ketika diperiksa pakaiannya masih utuh. Belum sempat ia mengingat kejadian semalam, ponsel di dalam clutchnya berdering.
Tertatih Eve menghampiri clutch pemberian Nando yang tergeletak di karpet tak jauh dari ranjang. Terdapat total tiga puluh lima panggilan tak terjawab dari pria itu ditambah belasan pesan berisi ungkapan khawatirnya.
"Halo?" sapa Eve setelah ia menghubungi nomor tunangannya itu.
"Astaga, Eve! Aku menelepon sejak tadi malam. Kenapa tidak memberiku kabar sama sekali? Bukankah sudah kukatakan aku akan mengantarmu pulang?" omel Nando dari seberang.
"Maaf, aku ...." Di tengah risau bercampur kalut, hanya itu yang bisa Eve katakan.
"Sudahlah, Sayang. Siap-siap ya, satu jam lagi aku jemput. Kita harus fitting baju kedua," ujar Nando dengan nada ceria.
"I-iya. Aku tutup sekarang teleponnya," jawab Eve terbata.
Setelah memutus panggilan, Eve menghela napas kasar. Ia sadar betul harus sampai di rumah sebelum Nando datang menjemputnya.
Eve beranjak dari ranjang, tak lagi mempedulikan perasaan tidak nyaman pada tubuhnya. Dengan tergesa wanita itu menuju kamar mandi yang tersedia di dalam kamar lalu pergi tanpa menyadari noda darah yang tercetak di atas sprei.
Begitu keluar dari pintu, Eve baru mengerti jika ia masih berada di dalam bangunan hotel yang sama. Ingin rasanya bertanya tapi tidak ada satu orang pun petugas hotel di area tersebut. Tak ingin membuat masalah dengan Nando, ia pun memilih meninggalkan hotel dan pulang.
"Dari mana, Kak? Kenapa semalam gak pulang?" tanya Wina, anak dari orang tua angkatnya ketika Eve baru memasuki rumah berlantai dua melalui teras samping.
"Ehm, rumah teman," sahut Eve sekenanya.
"Oh." Wina menganggapi dengan acuh. Remaja sembilas tahun itu melanjutkan aktifitasnya mengutak-atik laptop sambil menikmati secangkir coklat panas.
Eve hanya menatapnya sekilas, sebelum beralih menuju lantai dua di mana letak kamarnya berada. Langkahnya melambat dan akhirnya berhenti saat menerima panggilan dari nomor tak dikenal.
"Halo?"
"Eveee!! Kenapa emailku gak dibalas? Nanti kita meet up, oke? Gak mau tau pokoknya kamu harus temenin aku jalan-jalan!" seru suara wanita di seberang.
"Ini siapa?" Eve hanya ingin meyakinkan meski rasanya suara dan gaya bicara wanita itu tidak asing.
"Aku Jenna. Astaga! Baru tiga bulan lost kontak, kamu udah lupa sama aku?"
Eve membeku di tempat. Ia merasa ada yang tidak beres di sini. Satu hal yang pasti, bukan Jenna yang mengundangnya semalam. Lalu siapa?
***
"Gimana bagian pinggangnya? Terlalu sempit?" Tania, selaku desainer yang menggarap gaun pernikahan Eve bertanya pada wanita yang kini termenung.
Ditanya seperti itu, Eve tak bergeming. Nando yang duduk di sofa juga menatapnya heran. Sejak mereka sampai di butik itu beberapa saat lalu, Eve memang terlihat tak seperti biasanya. Lebih banyak melamun dan enggan diajak bicara.
"Eve?" Tania yang juga sepupu Nando menepuk bahu wanita itu perlahan.
"Hm? Kenapa?" jawab Eve sambil menoleh.
"Kamu sakit ya? Apa Nando bikin kamu stress?" Tania tertawa kecil lalu menjulurkan lidah pada Nando yang merespon dengan tatapan datar.
"Gak kok, aku cuma kecapekan aja. Gaunnya bagus, Tan. Aku suka bagian yang ini," ujar Eve mengalihkan. Tangannya menyentuh aksen berbentuk bunga daisy pada gaun putih panjang itu.
"Kalau ada yang bikin gak nyaman langsung bilang ya. Pernikahan kalian tiga minggu lagi, tapi justru aku yang gak sabar," timpal Tania yang membuat Eve tersenyum.
Setelah fitting baju, Nando mengajak Eve bersantai di cafe house bernuansa cozy. Eve masih tidak banyak bicara, hal itu membuat Nando menyentuh tangan si calon istri dan menanyakan apa yang terjadi.
"Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"
"Aku cuma sedikit gugup karena harinya semakin dekat," ucap Eve berbohong. Kenyataannya ia masih memikirkan kejadian semalam.
Tak lama kemudian, ponsel Nando berdering. Pria itu bangkit begitu mengetahui si penelepon adalah salah satu manager yang bekerja di kantornya.
"Sebentar, Sayang," ujar pria itu seraya mengusap lembut pucuk kepala Eve.
Lima menit berlalu, panggilan itu membuat Nando bergegas ke kantor. Eve tak keberatan berdiam sejenak di cafe meski Nando menawarkan untuk mengantarnya pulang terlebih dahulu.
'Apa jangan-jangan tadi malam Jenna sengaja usil?' tebak Eve dalam hati setelah Nando menghilang dari pandangan.
Tak ingin larut dalam pikirannya sendiri, Eve pun menghubungi nomor yang pagi tadi Jenna gunakan untuk menelepon. Dan tidak sampai empat puluh menit, wanita cantik dengan rambut sebahu telah berada di depan Eve. Tersenyum jahil khas Jenna.
"Pagi banget udah ngajak ketemu. Duh, segitunya kangen sama aku," goda Jenna pada raut serius milik Eve.
"Jen, jawab jujur. Tadi malam kamu yang minta aku datang ke hotel X, 'kan?" Tatapan Eve penuh selidik.
"Hotel X? Aku baru sampai tadi pagi subuh di rumah, Eve. Lagian ngapain aku ngajakin ketemu di hotel X. Lebih asyik jalan-jalan ke pantai atau ke mana gitu," jelas Jenna. Tangannya terangkat, memanggil waiter untuk memesan tropical juice kesukaannya.
Lagi, Eve terdiam. Dari sikap dan ekspresi Jenna, ia tahu temannya itu tidak berbohong. Tapi tetap saja puzzle di dalam kepala Eve belum menemui jawaban.
"Eve? Halo?" Jenna melambaikan tangan tepat di depan wajah Eve.
"Hm?" gumam Eve sebagai respon.
"Kamu keliatan banyak pikiran. Apa karena hari pernikahan tinggal tiga minggu lagi?" tebak Jenna.
Eve menggeleng. Tidak, ia tidak mengkhawatirkan apapun tentang pernikahannya dengan Nando. Ia mencintai pria itu dan juga sebaliknya. Meski ibu dari Nando tak begitu menyukai Eve, nyatanya Nando mampu mendapatkan restu.
"Terus kenapa? Udah, rileks aja. Nando laki-laki baik kok. Kalian serasi," ungkap Jenna berusaha menghibur Eve.
Eve hanya bisa tersenyum. Ingin rasanya ia menceritakan perihal semalam. Namun entah mengapa lidahnya kelu. Wanita itu menggeleng tanpa ketara, berharap pikirannya kembali jernih.
**
Tiga minggu kemudian.
Momen yang ditunggu akhirnya datang juga. Hari ini Eve dan Nando akan meresmikan hubungan mereka. Di sebuah ballroom hotel mewah, para tamu undangan yang terdiri dari orang-orang penting telah hadir. Maklum saja, orang tua Nando adalah pengusaha yang cukup sukses di bidang ekspor impor.
"Cie, yang udah jadi Nyonya Nando. Nikah sama laki-laki yang dicintai, terus honeymoon ke Santorini. Duh, kamu bikin iri, Eve," goda Sabrina yang saat ini menemani Eve di ruang ganti pengantin.
Eve tertawa kecil. Wanita itu menoleh pada Jenna yang berdiri dengan jarak tiga meter dari mereka, menerima panggilan dari seseorang sejak lima menit lalu.
Pagi tadi telah dilangsungkan akad, dan malam ini adalah acara resepsi. Di balik tawa kecil Eve, tersimpan gugup yang tak bisa dijelaskan. Ia memiliki firasat buruk untuk malam ini.
Pukul tujuh tepat, Jenna dan Sabrina yang bertugas sebagai bridesmaid mendampingi Eve berjalan menuju ballroom. Semua mata tertuju pada mempelai wanita yang malam itu menjelma bak bidadari terbalut dress putih yang menawan.
Nando tidak bisa berhenti tersenyum melihat betapa cantiknya Eve malam ini. Wanita yang telah membuatnya jatuh cinta itu telah menjadi istrinya. Namun ternyata tidak hanya Nando yang tersenyum. Pria lain yang masuk dengan cara menyusup, dengan garis bibir terangkat telah menyiapkan pertunjukan untuk malam ini.
"Selamat ya Jeng, akhirnya punya mantu. Dengar-dengar istri Nando punya usaha sendiri?" Salah seorang tamu menyalami Nyonya Arum, ibunda Nando.
"Iya, cuma restoran kecil. Tapi ya sudahlah, yang penting Nando senang," balas Nyonya Arum dengan senyum dipaksakan. Ia memandang kedua mempelai yang kini duduk bersanding. Saling berbisik, dan tertawa tanpa jarak.
Para tamu pun sibuk menikmati suguhan mewah, termasuk Jenna dan Sabrina yang duduk bersama seraya mengobrol. Tidak ada yang menyadari salah seorang pria yang hadir beringsut ke satu area sepi dan memanggil salah satu pelayan.
"Kau bisa membantuku?" Suara bariton itu berkata. Satu tangannya merogoh kantung dalam jas dan menunjukkan tak kurang dari belasan lembaran berwarna merah.
"Apa yang bisa saya lakukan, Tuan?Pelayan menelan ludah melihat lembaran uang-uang itu.
Si pria yang tak lain adalah Arsen membisikkan satu perintah. Pelayan mengangguk sambil menerima flashdisk hitam dan juga lima belas lembaran merah sebagai upah pekerjaannya.
"Ingat, jangan sampai ada yang tahu jika flashdisk itu dariku," ucap Arsen bernada ancaman.
"Tentu, Tuan. Saya mengerti."
Tak lama berselang, Arsen kembali ke meja yang cukup tersembunyi dari pandangan Eve maupun Sabrina. Ya, ia tak ingin kehadirannya diketahui dua wanita yang Arsen anggap telah membuat masalah dengannya.
Sementara itu pelayan dengan flashdisk di tangan, diam-diam mendekati area operator. Ketika yakin situasi aman, ia memasukkan flashdisk dan secara otomatis tayangan pada layar besar di dekat panggung mempelai berubah. Bukan lagi guliran foto-foto prewedding Eve dan Nando, melainkan sebuah video tak senonoh dengan Eve sebagai pemeran utama. Sedangkan wajah lawan mainnya tidak terlihat jelas.
Semua yang hadir di ballroom sontak terkejut, terkecuali Arsen. Pria itu menyeringai dengan netra menatap lurus pada Eve dan Nando. Ia yakin hanya butuh beberapa detik dan acara resepsi ini akan hancur berantakan.
"Eve, apa ini?!" Nando yang sempat terbelalak kini bangkit dan menatap nyalang pada wanita yang belum sehari sah menjadi pendamping hidupnya.
"A-aku gak tahu, Nando. Tolong percaya, aku tidak pernah melakukan hal gak pantas seperti itu ...." Wajah Eve memucat. Ia berusaha menyentuh tangan Nando tapi pria itu menepis kasar. Tatapan penuh cinta Nando telah berubah menjadi jijik.
Suasana pernikahan yang semula penuh haru dan bahagia berganti kasak-kusuk tak menyenangkan dari para tamu undangan. Jenna dan Sabrina saling pandang tak percaya.
"Gak, itu pasti bukan Eve. Dia gak mungkin lakuin itu. Pasti video itu editan," ujar Sabrina setengah berbisik pada Jenna.
"Setuju, kita udah bertahun-tahun kenal Eve. Dia dan Nando juga selama ini pacaran sehat, 'kan?" timpal Jenna dengan suara pelan juga.
Percakapan mereka terhenti tatkala melihat adegan di panggung mempelai di mana Nando telah turun dengan raut kecewa bercampur marah. Eve bergegas mengejar tetapi wanita paruh baya menarik kasar tangan Eve ke sudut lain.
"Tante, sakit," keluh Eve saat Nyonya Arum terus mencengkram kuat tangannya.
"Hati saya dan anak saya lebih sakit. Dari awal saya tahu kamu bukan wanita baik-baik. Lalu apa tujuanmu mendekati anak saya? Hah?!" Nyonya Arum berkata dengan nada tinggi.
"Tapi saya-"
Plakk! Ucapan Eve terpotong karena Nyonya Arum menamparnya tanpa ampun.
"Masih berani menjawab, ya! Dasar perempuan ******!" maki Nyonya Arum.
Orang tua angkat Eve ikut menghampiri. Namun bukanlah pembelaan Eve dapatkan. Ibu angkatnya berulang kali meminta maaf pada Nyonya Arum sedangkan sang ayah angkat mengatupkan bibir. Eve tahu betul jika ayah yang selama ini selalu menyayanginya juga tengah marah.
"Ayah, Ibu, Eve benar-benar tidak tahu tentang video itu," lirih Eve memelas.
"Cukup, Eve. Belum puas kamu merepotkan kami. Kini bahkan kamu juga membuat keluarga kita malu," cecar Bu Ratih.
Eve menunduk, menangis tanpa bersuara. Acara pernikahan impiannya hancur berantakan dalam sekejap mata. Sekarang ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di tengah kalut dan bingung, kepala Eve berdenyut. Pandangannya kabur dan tubuh ramping itu pun tumbang.
Brukk.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!