NovelToon NovelToon

Blanc Carnations

1. Born Gars

Sudah selama 2 tahun aku menemaninya. Perjalanan kali pertama ku ini benar-benar sulit. Ada kalanya aku berfikir untuk menyerah, namun itu hanyalah pikiran ego ku. Tetapi saat bersama anak-anak, beban ini dengan perlahan berkurang. Mereka tertawa bahagia karena tidak memiliki beban. Namun setidaknya mereka bisa mencairkan suasana.

Rafa masuk ke dalam ruangan dengan lemas. “Maa..” Panggilnya sambil menguap dengan manis.

Aku tersenyum lalu mendekat padanya, “Ada apa sayang?”

“Rafa ngantuk,” Suaranya semakin tidak terdengar.

Dia benar-benar kelelahan setelah bermain seharian penuh dengan kakaknya, Nathan dan juga dengan teman-temannya. Aku bergegas membereskan sofa yang terletak di pojok ruangan, lalu menidurkan Rafa yang sedari tadi matanya sudah tidak kuat untuk terbuka.

Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, baru kali ini Rafa puas bermain dengan teman-temannya hingga malam.

Handphone yang ku simpan diatas meja bergetar, aku melihat papan nama dilayar, ternyata Mama. Nathan membantu menyimpan ransel adiknya ke dalam mobil, dan aku selesai memindahkan Rafa ke dalam mobil untungnya ia tidak terganggu. Ku pasangkan sabuk pengaman pada Rafa, lalu mengecup keningnya dengan lembut.

“Selamat tidur sayang,” Ucap ku.

Tak hanya Rafa, aku juga mengecup keningnya Nathan, “jaga adikmu ya sayang," Nathan mengangguk.

Mama yang telah selesai mengeluarkan tas besar dari bagasinya segera menghampiri ku. “Kali ini kamu bakal pulang?” tanyanya sambil memberikan tas besar, aku langsung menerimanya dan mengangguk.

“Mungkin aku bakal pulang malam," jawab ku dengan senyum singkat. “Maa.. maaf buat mama jadi repot," lanjut ku.

“Mmm?” aku langsung memeluk hangat mama.

“Tidak apa-apa nak, yang penting kamu harus kuat dan sabar," Mama membalas pelukan ku sambil menepuk-nepuk pelan punggung ku.

"Nanti malam Mama Agha mau jenguk. Titipkan salam mama padanya ya,"

walaupun itu pelukan singkat, setidaknya itu menjadi kekuatan ku untuk bertahan. Tapi apa aku bisa lalui ini semua?

Tas besar yang kubawa kini sudah tergeletak dilantai. Aku menangis di dalam ruangan yang sepi ini bersama kehidupan yang tak kunjung memberi jawaban. “Aghaa....” aku memanggilnya lirih dalam tangisanku saat ini.

**

Bab 1, Bon Gars

**

“Waktu itu kenapa Agha bisa di sekolah Nana?”

“Agha ada sedikit urusan disana. Liat keadaan adek,”

“Oh ternyata dia sekolah di Hylab School juga?” Agha mengangguk.

Saat itu, wajah polos Nana yang hanya bisa mengiyakan saja. Nana masih belum melihat siapa adiknya itu. Ia masih merasa baik-baik saja dan tak ada hal yang membuatnya terganggu.

Dari perilakuan Agha pada adiknya saja sepertinya adiknya pembuat onar mungkin? Makannya Agha sampai rela ke sekolah. Eh yaampun? Pikiran buruk lagi Na, gaboleh.

Nana kembali menyeruput milkshake rasa red velvet. Sambil melihat luar jendela. Ia mendapati pria yang sedang membenarkan tali sepatu kekasihnya. Nana menjadi teringat dengan pertemuan pertamanya dengan Agha.

10 juni 2011

“Ibu sudah menjelaskan mengenai sistem koloid. Kalau begitu, sampai jumpa minggu depan!" ucap Bu Anah sambil membereskan laptopnya, lalu meninggalkan kelas.

“Oh ya! Jangan lupa untuk melengkapi buku catatannya!” Bu Anah langsung pergi menuju ruang guru.

Aku membereskan buku kimia lalu memberikannya pada temanku yang duduk dibelakang.

“Hei!”

Aku memanggilnya untuk segera mengambil buku catatan kimiaku yang masih ku pegang. Aku menengok kebelakang. Dia tertidur. Tak segan aku membangunkannya dengan buku catatan kimiaku.

“AW!!”

Dia terbangun dan meringis kesakitan. “Kalau saja bukan Nana yang duduk di depanmu, pasti kamu bakal kena marah sama bu Anah,” Aku menggerutu karena tingkahnya.

“Ya dehhh..Maap, Iby capek banget makannya baru bisa kebayar sekarang,"

Kemudian aku menyimpan buku catatan kimia ku di meja Iby. Ia melihat buku yang disimpan olehnya, lalu segera membukanya. Rajinnya sahabatku yang satu ini. Ia tersenyum senang.

“Makasii yaaa!" bisik Iby pada telingaku.

Aku hanya mengangguk.

Iby memasukan buku catatan kimia miliknya kedalam ranselnya. Aku bangkit dari bangku, dan pergi keluar kelas. “Kemana?” tanya Iby penasaran.

“Toilet?" kata ku.

Aku berjalan santai di koridor sambil melihat-lihat kelas lain. “Hai Nana!” sapa salah satu anak dari kelas IPA 3 yang kebetulan lewat. Aku hanya menjawabnya dengan tersenyum.

“Nana!” panggil salah satu anak dari kelas IPS 2.

Aku tersenyum padanya. Lalu iapun menghampiriku sambil membawa kantong plastik, yang berisikan cemilan dan minuman. “Aku mau minta tolong, bisa tolong kasihin ini ke Gilby?” ia menyodorkan kantong plastik itu padaku.

“Bisa dong,” aku mengambilnya, dan tersenyum padanya.

Raut wajahnya berubah menjadi senang “Terimakasih banyak Nana, pulangnya aku bakal traktir Nana,”

“Gausah gapapa, aku nggak berharap imbalan dari kamu,” Dia mengangguk.

“Kalau gitu, aku pergi duluan ya?”

Nama lengkapku Hana Amelia. Kebanyakan orang memanggilku Nana. Dan mereka banyak yang menyukaiku. Bukan hanya karena aku cantik, melainkan karena kelebihanku. Memang, secara fisik aku memiliki visual disekolah ini. Namun, aku tidak suka mereka memandangiku hanya karena penampilan. Itu semua membuatku risih. Bisa saja mereka memanfaatkanku. Tetapi, aku benar-benar bersyukur. Karena memiliki sahabat yang sangat baik sekali padaku, Gilby Ramadhan.

Gilby sangat apa adanya padaku, sikapnya yang membuatku terus terang. Nyaman. Itu semua sisi kebaikannya yang tidak seberapa, tapi benar-benar berarti bagiku. Oh ya, hanya aku yang memanggil dia Iby. Panggilan itu buatanku saat kita masih kecil. Yaps. Iby sahabat terbaikku dari kecil. Dulu rumah kami berhadapan. Tapi saat memasuki smp, aku pindah. Entah karena apa.

Iby terkadang bikin kesal banyak orang. Tapi dia baik pada semua orang meskipun memiliki tingkah yang menjengkelkan. Makannya kebanyakan gadis terpukau pada Iby.

Aku keluar dari toilet lalu kembali ke kelas,namun saat aku akan turun tangga, ada seseorang yang menghentikanku. Aku hanya bisa memandanginya. Tak salah lagi kalau bukan Jesy dan temannya, Resa.

“Kamu masih hidup ternyata,” Cetus Jesy.

Ah, dia melakukan hal yang kejam padaku waktu minggu lalu. Dia yang menabrakku dengan sepeda motornya saat aku sedang berjalan sendirian menuju rumahku. Luka yang aku dapatkan saat itu tak seberapa.

“Kenapa kamu jadi gini? Apa kamu punya masalah?” tanyaku.

Aku sedikit khawatir, dulu kita pernah duduk di bangku yang sama saat SMP. Dia ramah pada semua orang. Dia juga menjadi salah satu kebanggaan guru IPA di sekolah SMP. Namun saat kita menjelang SMA, tiba-tiba saja dia berubah. Mungkin ada beberapa kejadian dimasa lalunya ia bisa jadi seperti itu, terutama padaku.

Jesy merasa aku merendahkannya, Ia menjadi kesal, lalu mendorongku hingga aku terjatuh dari tangga. “Jangan berharap kamu hidup dengan baik selamanya!” Peringat nya.

Jesy memperingatiku, untung saja aku tidak luka parah, karena ada seseorang yang menolongku. Dia membawaku ke UKS dan mengobati lukaku.

“Aduh Perihh.." Aku meringis.

Kini dia mengobatiku dengan hati-hati. Aku tak bisa melihat wajahnya, Karena dia memakai hoodie yang berwarna abu-abu. Wajahnya yang tertutupi oleh tudungnya.

Tak lama kemudian dia selesai mengobati lukaku, dengan memakaikan plaster. “Pergilah ke rumah sakit. Mungkin ada luka lain selain ini,” katanya sambil membereskan kotak P3K dan menyimpannya kembali ke tempatnya. Gilby berlari menuju ruang UKS. Sesampainya disana, ia melihat sahabatnya.

“Nana!”

Aku terkejut karena panggilan Iby, dan tersenyum tipis padanya. Orang yang menolongku sudah pergi menginggalkan ruang ini, padahal aku belum bilang terimakasih.

“Kamu gapapa?” tanya Iby khawatir, aku mengangguk pelan. “Pasti Jesy, ya?" Gilby memeriksa bagian lukaku.

Aku meringis. “Maaf,” ucap nya.

“Siapa lagi kalau bukan dia," Cetusku. Gilby kini memeriksa kedua lenganku.

“Aw!"

Gilby sedikit terkejut karenaku. Wah, bener kata dia. Lengan kiriku sakit. Awalnya memang tidak terasa. Tapi semenjak Iby memeriksa kedua lenganku, mulai terasa sakitnya.

"Kita kerumah sakit ya Na?” Aku mengangguk. “YES!” Gilby menjitak dahiku.

“AW!” aku mengelus-ngelus dahi dan Gilby hanya tertawa kecil.

“Kalau gitu, Iby ke ruang guru ya. Izin sama bu Ratna,” Aku mengangguk sambil mengelus-ngelus dahiku yang masih terasa sakit.

Oh iya, Bu Ratna adalah guru walikelas kami. Beliau orang yang sangat baik pada semua murid. Tapi, bu Ratna juga termasuk orang yang tegas. Makannya kebanyakan murid disini menyukainya. Bisa dibilang, bu Ratna seperti ibu kita sendiri.

Iby mengantarkanku ke rumah sakit menggunakan sepeda istimewanya. Sebenarnya dia punya sepeda motor. Tapi kalau untuk bersekolah, ia lebih baik memakai sepeda istimewanya.

“Pegangan yang erat Na," Kata Iby, aku melingkarkan tanganku pada tubuhnya. Ah, aku hanya menggunakan tangan kananku.

Dalam waktu yang sama, tempat yang sama, juga situasi yang sama. Gilby begitu berharap kalau Nana bisa mengetahui isi lubuk hatinya. Tapi Nana terlalu polos untuk bisa mengerti. Ia juga bahkan tidak tahu sejak kapan ia merasakannya. Aku hanya ingin terus menjagamu, Na. Gilby hanya tersenyum singkat sambil mengayuh sepedanya.

“Iby..” kataku lirih.

Gilby hanya diam, bermaksud untuk membiarkan Nana berbicara. “Kalau Nana yang salah, apa Iby tetep percaya sama Nana?” aku menanyakan ini pada Iby karena aku takut. Kalau orang-orang disekitarku membenciku. Termasuk sahabatku.

“Nana, apapun yang kamu bilang, meskipun kamu berbohong pada Iby.. Iby tetep bakal percaya sama Nana. Iby pasti ngerti kenapa Nana begitu. Karena Iby tahu, Nana pasti punya alasannya,” Jawabnya dengan tersenyum dalam diam.

Aku lega, dia selalu berpikir positif. Kalau saja aku bisa bersamanya selamanya. Tapi aku juga tidak bisa menentukan masa depan yang belum pasti bisa sesuai dengan ekspetasiku.

Masa depan yang belum pasti bisa sesuai dengan ekspetasiku. -'Ibyyyy   

**

                                                                    21.00

Na.

Iby besok pagi gabakal jemput nana. Iby ada latihan band.

Maaf ya ):

Waa, baru inget kalo besok pagi dia harus latihan band dulu. Aku menghela napas. Mau bagaimana lagi, kalau Gilby tidak menjemputku aku kembali lagi menaiki bus sekolah, tapi memang sudah lama juga aku tidak menaiki bus sekolah. Terakhir kali saat aku masih duduk smp. Sejak itu Gilby masih belum ingin menggunakan sepeda istimewanya ke sekolah, katanya ia tidak ingin sepedanya rusak saat ia membawanya kesekolah. Aku sih hanya menyetujui pendapatnya saja, karena apa yang dilakukan saat itu tidak mempengaruhiku. Toh kita tidak tinggal berhadapan lagi.

Aku mematikan lampu dan langsung tertidur lelap, dia baik sekali saat itu. Menggemaskan juga. Sempat berfikir kalau aku akan bertemu dengannya lagi, entah kapan dan bagaimana.

2. NOM

“Whoaaa by! Luas banget tempatnya, Jadi Iby sama anak-anak latihan disini setiap akhir pekan!” mataku terbinar-binar.

Mengagumkan berbagai material dan aesthetiknya, sederhana namun terlihat nyaman. Lebih tepatnya tempat ini bisa dijadikan tempat santai. Suasananya yang tentram, sunyi, dan sejuk membuat banyak orang tidak ingin meninggalkan tempat ini. Gilby terasa senang, Ia tidak salah mengajaknya ke tempat latihannya.

“Nana tunggu sebentar disini ya, Iby mau beli cuanki dulu,”

Tidak ada jawaban, Nana terlalu sibuk dengan tempat barunya. “Nana...” panggil pelan Gilby.

Dan akhirnya dia menoleh lalu mengangguk sambil sumringah, Senyumannya seperti anak kucing. Imutnya..

Aku melihat ada album di bawah meja, karena penasaran aku langsung membukanya. Toh siapa tahu ada foto Iby disini hihii. Mataku sibuk memindai berbagai foto didalamnya, hingga akhirnya aku mendapatkan sosok Iby. Rambutnya yang masih berantakan dan dia menenteng tas gitarnya, tampan. Aku menjadi kagum setelah melihatnya, senyumku merekah.

Dihalaman berikutnya ada salah satu foto yang dimana ada seseorang yang terlihat sangat tampan, bahkan bisa sampai menandingi Gilby. Namun pakaiannya berbeda dari yang lain, dia memakai baju putih. Mungkin? Soalnya orang itu tak sengaja tertangkap kamera dan masuk kedalam foto ini. Entah perasaan aku saja atau bagaimana, dari perawakannya seperti tidak asing. Aku merasa pernah melihatnya. Dimana ya?

“Permisi kak!" Nana langsung menoleh dan jantungnya seketika berhenti sejenak.

“Lho kirain siapa ish Ibyyy bikin kaget Nana!” Gilby hanya tertawa membuat Nana semakin kesal.

Gilby mengangkat kantong plastik.

“Nihh pesanan Nana datang!” Nana yang awalnya memasang muka sebal menjadi gembira karena makanan, secepat itu Nana berubah sikap, hahaha lucunya.

****

_24 juni 2011_

“Aku pulang duluan ya, By. Semangat latihannya!!” teriakku dari jendela luar kelas musik. Gilby hanya tersenyum,

aku mengambil kantong plastik yang berisikan cilor pesananku lalu menyerahkan bayaranku padanya.

“Makasi Neng.” ucapnya.

Aku membalasnya dengan tersenyum kemudian berjalan menuju halte. Sambil memasang airpods pada telinga kiriku, aku mengambil handphone dari saku kanan lalu memutar musik. Tiba-tiba saja, ada seorang pria terlempar keluar gang yang tepat didepanku, sehingga membuatku terkejut. Pria itu sudah babak belur. Wajahnya dipenuhi luka. Tetapi ia terlihat gigih. Dan seperti menatap tajam pada lawannya yang berada di gang itu. Aku berjalan pelan melihat apa yang terjadi dalam gang tersebut. Saat aku baru melihat sebentar, tiba-tiba saja sebuah pipa besi terlempar mengarahku. Aku hanya bisa terdiam lemas. Siapapun.. tolong.. Tapi ada seseorang yang memelukku. Sontak aku terkejut. Orang itu melindungiku dari pipa dengan tangan kanannya. Aku mencoba melihat dia. Hoodie abu-abu, perawakannya, tak salah kalau bukan dia yang mengobati lukaku.

Dia membawaku ke taman dekat gang itu. “Tunggu disini!” pintanya dan pergi sebentar.

Aku mengangguk kecil dan diam, menuruti pintanya. Kejadian tadi membuat seluruh tubuhku lemas hebat. Jantungku berdegup hebat. Bayangkan saja, bagaimana kalau pipa besi itu benar-benar mengenaiku? dia juga terluka karena melindungiku. Aku terduduk dilantai, lelah. Yang kubisa hanya memeluk kedua kakiku sambil menenggelamkan kepala. Mencoba melupakan kejadian tadi dan aku juga merasa bersalah padanya, karenaku dia terluka.

Suara hentakan sepatunya terdengar jelas oleh telingaku, tak salah lagi kalau bukan dia yang datang. Aku memberikan sedikit salep pada lukanya dengan hati-hati. Ia meringis.

“Maaf.”

Ia hanya mengalihkan pandangannya. Kemudian aku memasangkan plester pada sisi lain. Ia menarik tangannya saat aku hendak mencari obat lain untuk mengobati luka yang lain. “Gausah. Saya gapapa.” Katanya tenang sambil mengelus-ngelus luka yang lain.

Aku berhenti mencari, dan menatap tajam padanya. Ia menatapku heran, aku melihat tangan kanannya yang lebam, lalu menariknya. “Aw aw!” Ia meringis kesakitan.

“Terimakasih, dok.” Kataku, Dokter itu tersenyum pada kami.

Aku dan dia berjalan bersama, mungkin tidak. Kami berjalan tidak berdampingan, dia berjalan dibelakangku. Tapi tetap saja aku merasa tidak enak. Aku menoleh sebentar padanya, dan ia hanya membuang muka, lalu kembali melihat kedepan.

Tak terasa aku sampai didepan rumahku, begitupun dia yang terus mengikutiku sampai rumah. Aku menoleh padanya, tak salah lagi kalau bukan mengalihkan pandangan. Suka banget kayak gitu! Emangnya mukaku ada yang salah apa gimana sih!

Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil memasukan tangan satunya kedalam saku celana. “Ayo masuk! Kebetulan ibuku memasak makanan,” tawarku.

Tapi ia hanya menggeleng, doa pendiam? Jarang sekali bicara. “Kalau begitu, Hana. Namaku Hana panggil saja Nana,” aku mengampirinya dan menjulurkan tanganku padanya.

“Agha, Agha Saputra,” Agha menjabat tanganku.

Pertama kali dalam pikiranku saat berkenalan dengannya, Hangat. Aku menatapnya dan tersenyum hangat, Agha menatapku dengan malu lalu lagi lagi membuang muka.

****

"Tapi kamu gapapa kan, Na?" telepon di seberang sana.

“Tentu Nana baik-baik aja by,” aku menjawabnya sambil tersenyum senang, ada apa denganku?

"Tetep aja Iby khawatir. Lain kali hati-hati ya, Na,"

“Tapi dia lucu lho, by. Tiap kali Nana bicara sama dia, dia pasti buang muka. Mungkin kebiasaannya kali, ya? Atau jangan-jangan dia malu sama Nana.” aku tertawa kecil saat mengatakannya.

Sedangkan disebrang sana, entah kenapa Gilby merasa perkataan Nana menusuk jantungnya. Terasa nyeri namun ia tak berani mengatakannya.

“Oh, iya by! Bagaimana latihannya?” namun tetap saja, saat Nana berbicara mengenai tentang dirinya ia merasa menjadi sangat baik, tidak merasakan nyerinya lagi.

"Mm.. Iby capek banget, Na. Tapi karena kita bermain dengan maksimal, rasa capeknya hilang. Seru banget deh pokoknya. Oh iya, Besok Nana ada rencana ga?"

“Kayaknya ngga ada deh, tugas praktek udah beres, tinggal ngumpulin laporannya aja. Emang ada apa By?”

Senyum Gilby merekah. "Temenin Iby Latihan yuk!"

Nana menyerngit tidak setuju, “Loh? Nana? Ngga deh by, yang ada Iby jadi gak pokus latihannya. Trus juga Nana ngga enak sama anak-anak lain,”

Walaupun perkataan dan keinginan hati Nana berbeda, tetap saja Nana merasa tidak enak.

"Hahaha. Santai aja kok, Na. Iby latihannya Cuma sendiri. Sambil refreshing aja. Palingan kalau ada anak anak juga mereka cuma ngecek barang atau ngambil barang yang lupa ga dibawa. Jadi gimana?"

Tidak ada salahnya bukan melihat Iby latihan band? Nana bisa menjadi tahu bagaimana Iby saat dibalik layar. Pasti bakal keren ya, ga?

“Yaudah deh. Demi sahabatku, Nana ikut deh. Asal Iby traktir Nana cuanki ya?” dalam sejarah Nana kalau Iby mengajaknya pergi atau sampai memohon, harus ada syaratnya yaitu traktir Nana.

Disebrang sana Gilby hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ya.. wajar saja sih, toh Gilby yang mengajak Nana. Sahabat.. Nana menganggap Gilby sahabatnya. Tidak lebih juga tidak kurang. Namun kenapa ada rasa perih dalam hatinya Nana?

Pengucapan spontannya membuat dirinya gelisah, selalu saja berpikir yang tidak-tidak. Nana mengetahui kalau dalam sebuah ikatan persahabatan antara wanita dan pria itu pasti salah satu darinya ada yang menyimpan rasa. Baik ditunjukan maupun hanya dipendam. Nana tahu bagaimana resikonya jika ia bertindak lebih dari itu, mungkin saja itu hanya perasaan lain yang tidak ada hubungannya dengan Iby.

Nana.. Nana.. dari namanya saja terlihat lucu. Lagi pula dia baik, ramah. Pertama kalinya Agha bertemu dengan seseorang seperti dia. Ingin sekali Agha bertemu dengan Nana, kalau bisa… lebih dari sekali.

Gilby memiliki sifat manis, begitupun perhatiannya padaku. Wajar saja kami berteman sangat lama, jadi sudah mengenal satu sama lain. Baik itu pada sisi baiknya juga sisi buruknya, karena itu aku sangat menyayanginya. Namun saat itu perasaan yang membuat pikiranku kacau datang, gelisah. Dan rasa ingin memiliki. Pikiran terburuk dalam sejarah pertemanan kami. Untuk pertama kalinya, aku berusaha untuk menutupinya. Banyak hal yang tidak aku inginkan. Sehingga aku berfikir, bagaimana kalau aku menjaga jarak saja dengannya? Konyol. Tapi mau bagaimana lagi, hanya itu salah satu caranya.

Kalau diingat-ingat, pertama kali Agha berkenalan denganku itu membuatku gemas melihatnya. Ya.. aneh saja, dia terlihat pendiam, namun sebenarnya dia malu-malu. Aku merasa ingin bertemu dengannya lagi, lebih dari sekali.

3. Kepiting Rebus

Nathan berlari kecil saat masuk ke dalam café dan ia terlihat sangat senang, karena pertama kali kami mengajaknya keluar. Nana hanya bisa menggeleng-geleng bahagia, wajar bukan?

“Kakang tunggu ayah!” teriak Agha.

“Udah gede susah juga ya diaturnya," keluhnya.

Nana tertawa kecil, “Sudahlah, wajar aja Gha. Nathan masih dimasa pertumbuhan, kita harus kuat-kuat tenaga juga sabar," Agha menghela napas dan memberikan senyum manisnya pada Nana lalu mengecup keningnya dengan manis.

“Ih Agha! Ini di tempat umum, Nana jadi malu..” Agha berhasil membuat  Nana seperti kepiting rebus.

Sudah berkepala dua saja Nana masih malu-malu, Nana membenarkan gendongannya si kecil. “Agha jadi gasabar sama si kecil satu ini, Rafa cepetan gede ya.. ayah mau lihat Rafa pakai baju princess,” ucap Agha sambil memutar-mutar pipi si bayi dengan jari telunjuknya.

“Ih udah ah, ayo masuk! Kalo Nathan kesasar gimana?” kami sampai lupa anak sendiri yang satu ini, dengan cepat Agha berlari masuk kedalam café. Sudah lamanya… tidak ada yang berbeda dari tempat ini, namun pemilik yang sekarang sudah berganti. Dari foto yang terpajang disana terlihat keduanya memiliki kemiripan, mungkin diwariskan ke anaknya. Sekarang café ini menjadi bertambah ramai, tentu saja karena ciri khasnya pada menu utama selalu berbeda disetiap minggunya, mereka tidak terlambat dalam resep terbarunya. Dimulai dari menu popular sampai menu yang jarang sekali kami temui.

Nathan terlihat senang sekali sampai ia loncat-loncat saat memesan, Ayahnya juga terbawa senang karena tingkah Nathan. “Nana mau pesan apa?” tanya Agha.

“Biar Nana aja yang pesan, Agha duluan aja sama Nathan cari tempat duduk. Nana pesan sendiri saja,” Nana terima niat baiknya. Namun Nana khawatir pada Nathan takutnya dia malah kenapa-kenapa tanpa penjagaan dari kami.

Aghapun pergi mengejar Nathan. Lucu sekali bukan?

“Saya pesan grilled dori fish cheese sama milk shake red velvet nya satu. Oh iya, sama es krim rasa choco mint nya satu buat penutup,” siapa lagi kalau bukan untuk Nathan? Sebenarnya Agha melarang Nana untuk memberikannya es krim, tapi untuk sekali-sekali boleh kali ya hihii.

Nathan masih sibuk dengan melihat sekitarnya, dia benar-benar takjub dengan tempat ini. Agha tertawa melihatnya. “Kakang persis kamu banget, Na?

“Duh Aghaa…” Nana tersipu malu mengingat tingkahnya saat itu, ternyata sifat Nana ini cenderung turun pada Nathan.

21 Oktober 2011

Aku bertemu dengan Jesy di café, dia memakai pakaian formal, tumben sekali. Aku langsung memulai pembicaraan. “Kamu izin sekolah?” Jesy tidak menjawab, ia hanya terus menyeruput kopinya.

Tapi tak lama kemudian pelayan membawa pesananku yaitu coklat panas lalu meletakannya di atas meja, aku memegang gelas pesananku dengan kedua tanganku. Aku lupa membawa jaket, jadi aku kedinginan.

“Sibuk sama perusahaan mamamu ya?” tebakku. Jesy langsung menatap tajam padaku. Ia tak langsung menjawab pertanyaanku. “Bagaimana kabar mamamu?” lanjutku.

Jesy menjadi kesal dengan pertanyaan yang dilontarkan olehku. Aku hanya mengangguk-angguk, “Pasti baik-baik saja, ya?” aku menyeruput coklat panas sambil memandang kearah lain.

Jesypun langsung membayar pesanannya lalu pergi meninggalkanku, aku hanya melihatnya yang pergi menjauh. Aku menjatuhkan kepalaku pada meja sambil memandang jalanan, namun tak sengaja aku melihat Agha diantara kerumunan. Lalu ia masuk kedalam cafe, aku langsung terbangun dan melihat kearahnya. Agha sedang memesan sesuatu, sambil duduk di pojok cafe yang tak jauh dari kursinya. Aku langsung menghampirinya sambil membawa gelas coklat panas, Ia sedikit terkejut dengan kehadiranku, aku hanya menyeringai padanya.

Pesanan Agha datang, wangi pesanannya sampai merasuki hidungku. Latte. Ia menyeruput kopinya. “Jangan mendekatiku!" ucap Agha tiba-tiba, aku mengernyit kebingungan karena ucapannya.

“Nana traktir!" Agha hanya menatap dingin.

“Anggap aja ini ungkapan terimakasih dari Nana karena Agha nolongin Nana kedua kalinya,” lanjutku dan memberikannya senyuman hangat. Agha dan aku berjalan berdampingan, namun tidak dekat, aku melihatnya sekilas.

“Agha ga pulang?” Ia hanya menatapku sebentar, aku tersenyum.

“Pakai hoodie ini terus setiap Nana gak sengaja ketemu Agha,” lagi-lagi dia diam.

Rasanya aku sedang berbicara dengan patung, jarang sekali dia bicara. Nana terus berada di samping Agha. Ia merasa tak enak dengan keberadaannya, Ia takut keberadaannya membuat Nana sakit.

“Nana heran deh sama Agha, jarang banget ngomong. Kalau jawab singkat banget, syukur-syukur dijawab daripada ngga sama sekali, tapi bawaannya Nana gemes sendiri. Tiap kali Nana ajak ngobrol, Nana kayak orang gila ngobrol sendiri, Ngobrol sama patung. Kalau Nana ajak ngobrol tuh nyaut dong Gha, Nana jadi sebel dicuekin mulu. Agha kan punya mulut, gunain mulutnya dong, jangan dijadiin pajangan doang. Mulut itu fungsinya buat bicara, ini malah gak digunain,” Nana cemberut.

Melihat gerutu Nana, Agha menjadi tertawa kecill. Pertama kali dalam benakku saat melihat dia tersenyum, manis. Nana malu sendiri karena tingkahnya yang cerewet. “Ih, Nana pulang duluan! busnya udah dateng,”

Nana berlari kecil saat akan menaiki bus kemudian langsung duduk di kursi bagian depan sambil menutup muka. Kok bisa sih ada pria setampan itu? Kenapa senyumnya manis banget? Duh bikin malu aja. Kurang-kurangin sifat cerewetku, Na. Kalau dia jadi risih gimana huhu. Wajah Nana kini terlihat seperti kepiting rebus.

Nana membuka pintu rumah dan terlihat ada Iby yang sedang berbincang dengan mama. “Halo Na!" sapa Gilby dengan senyum manisnya, Nana hanya diam masih belum mencerna keberadaan Iby dan tiba-tiba saja ia mendekati Nana lalu memeriksa dahinya.

“Kamu sakit, Na?” wajah Nana bertambah merah, udah gila aku! Lagian kenapa Iby harus ngecek dahi Nana sih? Mana… itu… telapak tangannya Iby! Tanpa aba-aba Nana langsung berlari menuju kamarnya.

Iby dan mama hanya mengernyit kebingungan karena tingkah Nana dan mama mengangkat kedua bahunya pada Iby. “Nana aneh banget hari ini tante," ucap Gilby.

“Baru kali ini juga mama lihat Nana begitu,” sahut Mama. "Oh iya, mama mau nanya deh By. Apa ada orang yang lagi deket sama Nana?” karena pertanyaan itu, Gilby jadi tertuju pada orang yang sering Nana ceritakan saat dirinya dan Nana berbincang melalui telefon.

"Selama ini belum ada sih tante, cuma Iby doang yang deket sama Nana. Sama anak-anak lain juga cuma sebatas teman biasa tante,” jawab Gilby dengan santai.

Mama menghela napas, “Kirain ada yang lagi pendekatan sama Nana," Gilby hanya tersenyum manis.

Dibalik perbincangan mama dengan Gilby, Nana sibuk menahan malunya dengan menutupi seluruh wajahnya oleh bantal. Mengapa bisa dua pria ini membuat Nana menjadi kepiting rebus seperti sekarang? Dalam hari yang sama…

Bagaimana kalau Nana bertemu lagi dengan Agha? Membayangkannya saja sudah membuat Nana malu, sikapnya yang cerewet. DUH!! Setelah beberapa menit Nana menenangkan diri, sambil mencari informasi di internet tentang..

“Cara Mengubah Sikap dari Cerewet menjadi Pendiam dengan Cepat!” Nana akan mencoba mengubah sikapnya besok. Ah, apa Mungkin sekarang? Tiba-tiba saja pintu kamar Nana terbuka.

“Nana, ayo makan!” ucap Gilby lembut dengan tatapan sayunya. Nana mencoba menahan diri. Oke! Mari kita coba!

“Nana udah kenyang," jawab Nana cuek dengan mengalihkan pandangannya, Udah bener kan? Harusnya udah bener sih.

Saat Nana akan berpaling ke arah pintu kamarnya, tiba-tiba saja wajah Gilby sudah berada di depannya dan mata kami bertemu satu sama lain. “Bohong, Itu perut kamu bunyi,” Lanjutnya.

Dan benar… perut Nana jadi bunyi.

“Makannya ayo makan. Kasian tante udah nunggu dari tadi, Na..” kini Gilby memberikan senyum manisnya.

UDAH GILA! Nana berlari menuju meja makan sambil menutupi wajahnya yang menahan malu. Disisi lain Gilby menertawakan tingkah Nana.

Tangan kami bertemu saat mengambil minuman dalam kulkas. “Ah, maaf!" ucapnya sambil menarik kembali tangannya.

Aku hanya mengangguk kecil tanpa melihat siapa orangnya dan mengambil sebotol minuman susu coklat. “Nana?” panggilnya, aku sedikit terbelalak karena dia mengenaliku. “Haha halo by… sudah lama ya..” sapaku lemas.

Ini pertemuan pertama kami setelah 4 tahun aku dengan Agha menikah. Rasanya seperti asing, namun wajar saja. Iby terlihat semakin gagah dengan memakai setelan jasnya, cocok dan Juga tampan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!