Nur Rahman masih berada di tempat kerjanya pada pukul sebelas malam. Malam itu ia sengaja bekerja lembur karena ada deadline pekerjaan yang harus segera ia selesaikan malam itu juga. Besok pagi sekitar jam sepuluh, kliennya akan datang ke kantor untuk meminta hasil pekerjaannya. Ajakan pulang bos dan teman kerja yang lain sengaja ia abaikan karena tidak ingin mengecewakan kliennya itu.
“Mas Nur, kalau garapan yang ini bisa Mas Nur kerjakan tepat waktu, bos saya katanya siap bekerja sama dengan kantor tempat Mas Nur bekerja untuk dua tahun ke depan,” ucap Pak Dirga tiga hari yang lalu.
“Siap, Pak Dirga. Insyaallah, garapan yang ini akan selesai dengan lebih cepat,” jawab Nur Rahman.
“Oke, saya tunggu kabar selesanya ya, Mas Nur?” timpal Pak Dirga.
“Siap, Pak!” jawab Nur Rahman.
Dan setelah perbincangan tersebut, malamnya Nur Rahman meriang selama dua hari sehingga ia tidak bisa masuk ke tempat kerjanya. Alhasil waktu pun bergulir, dan hari ini adalah kesempatan terakhir bagi pemuda tersebut untuk menyelesaikan tugasnya demi memenuhi janjinya kepada Pak Dirga.
Tepat pukul dua belas malam, tiba-tiba bel pintu kantor berbunyi sehingga mengagetkan Nur Rahman.
“Loh, siapa tengah malam begini mencet bel? Jangan-Jangan orang gila,” pikir Nur Rahman sambil meneruskan pekerjaannya yang tinggal sedikit lagi.
Ting Tong
Kembali bel berbunyi dan kali ini Nur Rahman memilih untuk berjalan ke luar ruangan untuk mengecek siapa yang sedang berdiri di depan pintu dan menekan bel sebanyak dua kali. Setelah sampai di ruang depan, barulah pemuda tersebut mengetahui bahwa yang sedang berdiri di depan pintu adalah rekan kerjanya, Rendi.
“Ya Ampun, kamu, Ren? Kirain siapa malam-malam begini iseng mainin bel,” sapa Nur Rahman sambil membuka pintu kantor bagian depan yang hanya disekat oleh kaca transparan setebal sepuluh milimeter.
Rendi tidak menyahut. Ia tetap berdiri di depan pintu.
“Duh, Ren. Tahu, nggak? Kamu itu dicari oleh Pak Ibnu seharian. Kamu juga dicari Nizwar dan Karmin. Kamu ke mana saja, sih? Pak Ibnu sampai ngamuk-ngamuk nggak jelas kepada Nizwar dan Karmin? Lah, kok malah bengong? Ayo, masuk! Di luar dingin. Ntar kamu sakit kayak aku kemarin? Kamu naik apa ke sini? Naik taksi online, ya? Suruh siapa kamu berangkat sendiri nggak nungguin Nizwar? Ya sudah. Nanti kamu pulang bareng aku saja. Aku antar kamu sampai di depan rumahmu. Atau kalau kamu mau menginap di rumahku juga tidak apa-apa. Tapi, tungguin aku nyelesein pekerjaanku dulu, ya?” Nur Rahman nyerocos mengajukan banyak pertanyaan kepada rekan kerjanya yang terkenal paling pendiam itu.
Nur Rahman biasanya hanya berbicara sedikit kepada orang lain. Khusus kepada Rendi, dia agak bawel. Karena Rendi memang sulit diajak berbicara. Dengan berbicara agak awel seperti itu biasanya efektif untuk merangsang rekan kerjanya itu untuk lebih aktif menyahut.
Rendi tidak berkata apa-apa. Dia hanya menjawab semua pertanyaan Nur Rahman dengan menganggukkan kepalanya saja dan masuk ke dalam ruang kantor mengikuti Nur Rahman. Tak lupa pemuda itu mengunci ruangan kantor itu kembali dari dalam untuk menghindari masuknya orang lain yang berniat kurang baik. Apa lagi saat itu sudah larut malam dan kondisi di sekitar tempat tersebut cukup sepi.
“Ya sudah, kamu tunggu di sini dulu, ya? Aku menyelesaikan pekerjaanku dulu. Paling sepuluh menit lagi sudah selesai,” perintah Nur Rahman pada temannya itu.
Rendi pun mengikuti instruksi rekan kerjanya untuk duduk di salah satu kursi sambil menunggu rekannya itu menuntaskan pekerjaannya. Setelah itu keduanya tak terlibat pembicaraan sepatahkatapun.
“Yes. Selesai!” Akhirnya Nur Rahman dapat menyelesaikan tugasnya dan ia pun segera menyimpan filenya serta mematikan komputer yang telah ia gunakan.
“Yuk, kita pulang, Ren!” ajak Nur Rahman pada Rendi sambil berjalan ke luar kantor dengan diikuti oleh Rendi di belakangnya.
Setelah mengunci kantor dari luar. Tak lupa Nur Rahman memasang pintu harmonika kantor tersebut dan menggemboknya dari luar. Barulah ia menuju motor kesayangannya sejak masih kuliah. Rendi langsung duduk di belakangnya.
“Pulang ke rumahmu atau menginap di rumahku?” tanya Nur Rahman pada Rendi di tengah perjalanan mereka sebelum sampai di pertigaan yang memisahkan antara arah jalan ke rumah Nur Rahman dan ke rumah Rendi.
Rendi menunjuk lurus tangannya sebagai pertanda bahwa ia ingin menginap di rumah Nur Rahman. Nur Rahman pun menyambut jawaban Rendi dengan antusias karena ia tidak perlu pergi ke rumah Rendi terlebih dahulu sebelum pulang.
Lima belas menit kemudian, sampailah mereka berdua di depan rumah Nur Rahman. Nur Rahman langsung memarkir motornya di garasi. Setelah itu ia pun permisi kepada Rendi untuk pergi ke kamar kecil terlebih dahulu karena sudah kebelet. Sementara Rendi yang sebenarnya sudah dipersilakan masuk duluan ke rumah Nur Rahman, ternyata memilih untuk duduk di depan rumah pemuda itu. Mungkin ia menunggu Nur Rahman selesai urusannya di kamar mandi terlebih dahulu. Biasanya meskipun sudah larut malam, ada ibunya Nur Rahman yang menyambut kedatangan mereka di balik pintu, tapi karena hari itu ibunya Nur Rahman ikut suaminya ke luar kota, makanya Nur Rahman membuka sendiri pintu rumahnya.
“Ku percaya kau bisa melupakan dirinya”
“Meski hatimu masih untuknya”
“Aku sudah menunggu dalam kurun yang lama”
“Untuk bersama denganmu”
Nur Rahman menyanyikan lagu favoritnya di kamar mandi sambil meneyelesaikan hajatnya. Untunglah tidak ada ibunya yang selalu memprotes apa bila pemuda itu bernyanyi di kamar mandi.
“Nggak baik, Nur, bernyanyi di kamar mandi!” tegur ibunya.
“Kenapa, Bu?” tanya Nur Rahman.
“Bisa mengundang setan,” sahut ibunya.
“Apaan sih, Bu?” sahut Nur Rahman.
“Dasar anak sekarang kalau dibilangi susah!” protes ibunya.
Itulah percakapan default antara Nur Rahman dengan ibunya setiap Nur Rahman bernyanyi di kamar mandi.
Setelah selesai beraktifitas di kamar mandi, Nur Rahman keluar dari kamar sambil merogoh Ponsel di saku celananya. Seharian ini ia sengaja menonaktifkan Ponselnya agar bisa lebih berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Dan alhasil sekarang saat ia mengaktifkan Ponselnya kembali, banyak sekali pesan yang masuk ke Ponselnya dan juga panggilan tak terjawab. Baru saja ia akan membuka salah satu pesan yang masuk, tiba-tiba ada panggilan masuk dari Nizwar. Ia pun langsung mengangkatnya.
“Assalamualaikum. Ada apa, Nizwar, dini hari begini menelponku?”sapa Nur Rahman.
“Waalaikumsalam … N-n-nur … C-c-cepat n-nyalakan TV. Ada korban kecelakaan baru ditemukan oleh polisi. Dan pakaian korbannya itu sama persis dengan yang dipakai oleh-“ jawab Nizwar dengan suara terbata-bata.
“Oleh siapa, Nizwar?” tanya Nur Rahman sambil melangkah ke teras depan karena dari tirai kaca yang masih belum ditutup, ia melihat Rendi sedang duduk di kursi beranda rumahnya.
“Rendi, Nur!” jawab Nizwar dengan suara lemah dan diakhiri dengan tangisan.
Lain halnya dengan Nizwar, Nur Rahman bukannya sedih. Ia malah syok mendapatkan kabar seperti itu. Ia baru sadar bahwa Rendi yang ia temui tadi di kantor terlalu berbeda dengan biasanya. Tatapan matanya sayu dan wajahnya terlihat lebih pucat. Sedangkan suhu badannya terasa dingin. Saking syoknya, Ponsel yang dipegang oleh nur sampai jatuh ke lantai.
“Nur … Nur … Kamu tidak apa-apa, kan?” suara Nizwar sayup-sayup terdengar dari speaker Ponsel milik Nur Rahman.
Nur Rahman yang saat ini sudah berada di pintu rumahnya pun secara perlahan menoleh ke samping ke arah Rendi yang juga menoleh ke arahnya. Saat itulah Nur Rahman dapat melihat dengan jelas wajah pucat Rendi yang berlumuran darah. Dada pemuda itu pun bergetar dengan hebat.
“Rendiiiiiii!!!!” teriak Nur Rahman dengan keras sambil bersimpuh di kaki Rendi yang tidak menapak tanah.
BERSAMBUNG
Selamat membaca novel terbaruku ini ya, teman-teman. Semoga banyak yang suka. Kritik dan saran selalu aku tungguin, loh!
Dini hari itu juga, Pak Ibnu menjemput Nur Rahman di rumahnya untuk memastikan apakah korban kecelakaan di kaki gunung itu adalah Rendi atau bukan. Sewaktu Nur Rahman masuk ke dalam mobil yang disopiri sendiri oleh Pak Ibnu, kedua temannya, Nizwar dan Karmin sudah berada di dalam mobil itu duluan. Rumah mereka berdua memang lebih dekat dengan rumah Pak Ibnu.
“Kamu cari informasinya lagi, Nizwar! Siapa tahu sudah ada perkembangan terbaru seputar korban kecelakaan tadi,” ujar Pak Ibnu memulai pembicaraan sambil tetap berkonsentrasi pada arah kemudi.
“Belum ada, Pak! Wajah korbannya tetap diblur seperti tadi. Korban juga dikabarkan tidak membawa kartu identitas atau pengenal lainnya,” jawab Nizwar sambil membaca beritanya di sosial media.
“Kalau begitu, dini hari ini juga kita harus ke Puskesmas yang terdekat dengan kaki gunung itu untuk memastikan apakah itu mayat Rendi atau bukan!” sahut Pak Ibnu.
“Iya, Pak! Tapi, untuk sampai ke sana kita butuh sekitar dua jaman. Apa Pak Ibnu kuat menyetir selama itu?” tanya Karmin.
“Nanti saya gantian sama Nur Rahman. Kamu mau kan, Nur?” tanya Pak Ibnu.
“Maaf, Pak. Untuk sekarang saya nggak bisa,” sahut Nur Rahman pendek dengan tatapan wajah sedih.
Pak Ibnu sedikit kaget mendengar penolakan dari Nur Rahman. Nizwar sampai memberi kode dengan menginjak kaki Nur Rahman atas kekurangsopanannya itu. Tapi, Nur Rahman tetap kekeuh dengan jawabannya.
“Kayaknya Nur Rahman masih belum bisa fokus untuk menyetir, Pak. Dia kan baru saja sembuh. Belum lagi seharian ini dia juga kerja lembur,” sela Nizwar kemudian karena ia ingin menyelamatkan Nur Rahman dari kemarahan atasannya itu.
“Iya … Iya … saya paham itu. Kalau begitu kita mampir ke Intermart dulu untuk membeli minuman energi dan snack supaya kita semua bisa melek,” jawab Pak Ibnu dengan sedikit kecewa.
“Iya, Pak,” sahut Nizwar dan Karmin.
Begitu sampai di Intermart, ketiga orang itu buru-buru turun dari dalam mobil untuk membeli kebutuhan mereka masing-masing. Nur Rahman turun paling belakangan karena ia masih tidak tega meninggalkan arwah Rendi duduk sendirian di jok paling belakang. Arwah Rendi nampak sedang menangis sesegukan di dalam mobil. Hanya Nur Rahman yang dapat melihat arwah sahabatnya itu.
“Baru turun kamu, Nur? Kita semua sudah mau balik ke mobil,” tegur Pak Ibnu pada Nur Rahman.
“Iya. Maaf, Pak,” jawab Nur Rahman sedikit terbata-bata.
“Buruan, ya! Nanti keburu terlambat kita sampai di sana,” jawab Pak Ibnu dengan ekspresi kurang enak.
Nur Rahman memaklumi kenapa Pak Ibnu bersikap seperti itu karena sebenarnya atasannya itu juga sedang tidak fit. Tapi, ia harus menyetir sendirian ke tempat yang agak jauh.
“Ayo balik, Nur?” bisik Nizwar pada Nur Rahman.
“Aku mau beli roti sama minuman kopi. Aku belum sempat makan malam, Nizwar,” jawab Nur Rahman.
“Sudah. Aku sudah belikan untuk kamu. Ayo, buruan kita balik ke mobil sebelum Pak Ibnu semakin tidak enak hatinya,” jawab Nizwar kembali.
Nur Rahman pun mengikuti saran Nizwar untuk kembali ke mobil. Namun, saat ia akan berjalan balik menuju ke mobil tiba-tiba ada sebuah tangan mungil yang berusaha menarik tangan kanan pemuda itu. Karena penasaran, Nur Rahman pun menoleh ke arah kanan dan ia terkejut karena melihat seorang anak kecil sedang mengandeng tangannya.
“K-kamu siapa?” tanya Nur Rahman spontan.
“Kenapa, Nur?” tanya Karmin yang kebetulan berada paling dekat posisinya dengan Nur Rahman.
“Ada-“ Nur Rahman ingin menunjukkan keberadaan anak kecil kepada Karmin, tapi ketika ia menoleh kembali ke arah kanan, anak kecil yang baru saja ia lihat itu sudah tidak berada di sebelahnya lagi.
“Nggak apa-apa, Min,” jawab Nur Rahman pendek.
“Ayo, buruan masuk mobil!” ajak Karmin.
“Iya, Min,” sahut Nur Rahman.
Nur Rahman baru menyadari bahwa sosok anak kecil yang ia lihat barusan bukanlah manusia biasa. Wajahnya pucat dan sentuhan tangannya sangat dingin. Nur Rahman teringat dengan pesan seorang kyai yang pernah ia temui beberapa bulan yang lalu.
“Apa Mas Nur sudah yakin untuk menutup mata batin yang Mas Nur miliki sejak lahir ini?” tanya Kyai tersebut yang sudah sepuh sekali.
“Iya, Kyai. Saya sudah yakin,” jawab Nur Rahman.
“Kenapa Mas Nur ingin melakukan hal ini? Bukankah Mas Nur sudah banyak membantu banyak orang dengan kemampuan spesial yang tidak dimiliki oleh sembarang orang ini?” tanya Kyai itu lagi.
“Saya sudah capek, Kyai. Percuma saya memiliki kemampuan ini dan membantu banyak orang, kalau saya justeru tidak berhasil menyelamatkan seseorang yang saya sayangi,” jawab Nur Rahman dengan perasaan sedih.
“Maksud Mas Nur, kekasih Mas Nur, ya?” tanya Kyai.
“Dari mana Kyai tahu?” Nur Rahman balik bertanya.
“Ibu Mas Nur yang cerita kepada saya. Saya turut prihatin atas kejadian itu, ya,” jawab Kyai lagi.
“Terima kasih, Kyai,” jawab Nur Rahman.
“Mas Nur … perlu kamu ketahui bahwa saya tidak bisa menutup mata batin Mas Nur sepenuhnya karena kemampuan yang Mas Nur miliki bukan hasil lelaku tertentu. Pada keadaan tertentu, Mas Nur masih bisa melihat arwah orang yang memiliki ikatan batin yang kuat dengan Mas Nur. Seperti keluarga, sahabat, dan kekasih. Mungkin sudah tidak seintens dulu, tapi sesekali Mas Nur masih bisa melihat mereka. Terutama kalau mereka meninggal dunia secara tidak wajar. Bahkan, kalau Mas Nur terlalu sedih dengan kematian mereka, arwah-arwah lain juga bisa Mas Nur lihat lagi. Dan satu lagi, Mas Nur jangan sampai makan makanan selamatan orang mati, ya?” ucap Kyai tersebut.
“Iya, Kyai. Saya paham,” jawab Nur Rahman sambil menganggukkan kepalanya.
Dan Kyai tersebut pun mulai melakukan ritual penutupan mata batin Nur Rahman. Sejak saat itu pemuda tersebut sudah tidak pernah berinteraksi lagi dengan arwah penasaran dan hidup layaknya manusia normal lainnya.
Setelah semua orang lengkap berada di dalam mobil, Pak Ibnu pun mulai lagi menjalankan mobilnya. Semua orang yang ada di dalam mobil tersebut pun mengkonsumsi makanan dan minuman mereka masing-masing yang ditraktir oleh Pak Ibnu. Nur Rahman pun bisa menikmati roti yang diberikan oleh Nizwar, tapi baru saja ia memakan setengahnya, bulu kuduknya kembali merinding. Ia sudah curiga arwah Rendi kembali muncul di jok paling belakang. Karena penasaran, ia pun menoleh ke belakang. Dan pemuda itu menjadi terkejut karena yang ia lihat di belakang saat ini tidak hanya arwah sahabatnya, Rendi yang sedang tertunduk sedih, tapi di sebelah arwah Rendi juga ada arwah anak kecil yang memegang tangannya barusan di depan Intermart.
BERSAMBUNG
Nizwar yang duduk di samping Nur Rahman pun menegur temannya itu atas kelakuannya yang aneh sejak tadi.
“Kamu kenapa, Nur?”
“Aku nggak apa-apa, War.”
“Nggak apa-pa gimana? Kelakuanmu itu aneh sejak tadi. Apa kamu sedang memikirkan Rendi?”
“Ya,” jawab Nur Rahman pendek sambil menghela napas panjang.
“Kami semua juga memikirkan Rendi, tapi kami masih optimis bahwa korban kecelakaan itu bukan dia,” jawab Nizwar.
“Bagaimana kalau itu emang Rendi?” sahut Nur Rahman sambil mendekatkan wajahnya kepada Nizwar. Ada emosi yang berusaha untuk diutarakan oleh pemuda itu.
“Jangan sekali-kali kamu ngomong kayak gitu!” balas Nizwar sambil menarik kerah baju Nur Rahman.
Mata Nizwar menjadi sembap seketika.
“Bunuh aku, Nizwar! Bunuh!” sahut Nur Rahman dengan air mata yang semakintak terbendung.
“Hentikan! Sebaiknya kita berdoa untuk teman kita itu. Bukan malah bertingkah layaknya anak kecil!” teriak Karmin sambil menoleh ke arah mereka berdua.
Nizwar langsung menarik tangannya dari kerah Nur Rahman. Nampaknya ucapan Karmin cukup didengar oleh mereka berdua. Selanjutnya mereka pun tak saling berbicara sampai bermenit-menit. Pak Ibnu yang sedang menyetir pun tidak merespons apa yang sedang diperbuat oleh ketiga anak buahnya. Hati pria itu saat itu juga sedang tidak karuan karena memikirkan salah satu anak buah sekaligus sahabat terbaiknya.
Sepanjang perjalanan mereka terus berdoa agar ada kabar terbaik dari Rendi yang sejak pagi tadi sudah tidak bisa dihubungi. Pak Ibnu terkenang dengan pertama kali bertemu dengan Rendi.
“Mas, orang yang jual bensin eceran apa masih jauh dari sini?” tanya Pak Ibnu pada Rendi yang sedang nongkrong bersama teman-temannya di pinggir jalan.
“Waduh, kalau jam segini kayaknya sudah tutup semua, Mas. Apa Mas bersedia kalau saya dorong dari belakang?” jawab Rendi.
“Apa tidak merepotkan, Mas? Biar saya dorong sampai di rumah saja,” jawab Pak Ibnu.
“Enggak kok, Mas. Daripada Mas jauh-jauh mendorong,” jawab Rendi sambil naik ke atas jok motornya sendiri.
“Makasih banyak, Mas” sahut Pak Ibnu sambil naik ke motornya.
Demikianlah Rendi yang saat itu masih baru lulus SMA dan hobi nongkrong sampai malam hari bersama teman-temannya pun mendorong motor Pak Ibnu yang saat itu masih berstatus mahasiswa di sebuah universitas ternama di kota tersebut.
Saat itu Pak Ibnu sebenarnya agak khawatir dengan keselamatan dirinya karena ia tidak seratus persen percaya ada remaja yang mau menolongnya padahal tidak kenal. Tapi, nyatanya Rendi memang benar-benar tulus membantunya. Bahkan, ketika ia sudah sampaidi rumahnya dan mau memberikan imbalan untuk Rendi, pemuda tersebut menolaknya dan langsung putar balik ke tempat tongkrongannya itu. Makanya, ketika Pak ibnu sudah memiliki usaha percetakan kecil-kecilan dan ia membutuhkan tenaga kerja, ia ingat dengan remaja yang pernah menolongnya dulu. Dan ajaibnya, setelah ia berkeliling kota di malam hari untuk mencari remaja yang pernah menolongnya itu, Pak Ibnu berhasil menemukan Rendi kembali. Pada saat itu ternyata Rendi sudah duduk di bangku kuliah dan hobi nongkrongnya di malam hari masih tetap ia kerjakan. Pak Ibnu langsung mengajak Rendi untuk bergabung di percetakan kecil miliknya, dan tentu saja Rendi menerimanya karena ia memang sedang mencari pekerjaan part time di sela-sela waktu kuliahnya untuk membantu meringankan beban ibunya yang berstatus single parent.
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih dua jam, akhirnya mereka pun sampai di sebuah Puskesmas yang ditulis di berita tentang kecelakaan itu. Pak Ibnu langsung memarkir kendaraannya di tempat parkir yang sudah disediakan. Laki-Laki dengan sarung diselempangkan di lehernya langsung sigap membantu Pak Ibnu untuk memarkirkan mobilnya. Kondisi Puskesmas saat itu agak sepi. Tapi, ada beberapa petugas kepolisian yang sedang berjaga di depan Puskesmas.
“Selamat malam, Pak. Kami mau bertanya, apakah jenazah korban kecelakaan yang ditemukan polisi di kaki gunung masih ada di Puskesmas ini?” sapa Pak Ibnu pada polisi yang sedang berdiri di sana.
“Selamat mama. Ia benar jenazah korban masih di sini. Sebentar lagi akan kami bawa ke rumah sakit. Ada apa ya?” tanya polisi balik.
“Bolehkah kami ingin melihat korban kecelakaan itu? Kebetulan pakaian korban tersebut sangat mirip dengan teman kerja kami,” jawab Pak Ibnu.
“Oh ya … Monggo saya temani ke dalam!” sambut polisi tersebut dengan antusias.
“Terima kasih,” sahut Pak Ibnu.
Mereka pun mengikuti polisi tersebut masuk ke ruangan IGD. Setelah mengisi data-data pribadi di depan ruang IGD, mereka berempat dipersilakan masuk ke dalam ruangan tersebut. Jantung keempat orang itu berdegup keras saat melihat sesosok jenazah yang terbujur kaku di atas brankar. Keempat orang itu pun berdiri di sisi kiri dan kanan jenazah yang belum diketahui identitasnya itu.
“Silakan dibuka bagian penutup kepalanya!” perintah polisi tersebut pada Pak Ibnu.
“Iya, Pak!” sahut Pak Ibnu dengan wajah sedih.
Kenangan bersama Rendi tiba-tiba menghinggapi pikiran mereka berempat dan hal itu membuat hati keempat orang itu menjadi semakin sedih. Tangan Pak Ibnu pun gemetaran ketika secara perlahan ia menyingkap kain putih penutup bagian kepala jenazah yang terbujur kaku itu.
Nur Rahman yang saat itu sedang berdiri di bagian samping kaki jenazah tiba-tiba berdiri bulu kuduknya. Bersamaan dengan hal itu, pemuda tersebut melihat arwah Rendi tiba-tiba berdiri di antara posisi berdiri Pak Ibnu dan Karmin. Bersamaan dengan disingkapnya kain penutup di bagian kepala jenazah itu, Nur Rahman memperhatikan bahwa arwah Rendi juga melihat ke arah bagian wajah jenazah itu dan sedetik kemudian ketenangan ruangan tersebut tiba-tiba menjadi ramai oleh teriakan histeris Pak Ibnu dan ketiga anak buahnya.
“Rendiiiiiiiii!!!!”
Petugas polisi yang lain sampai harus turun tangan untuk menenangkan keempat pemuda yang histeris itu. Mereka berempat benar-benar tidak percaya bahwa korban kecelakaan yang beritanya berseliweran di media sosial itu ternyata adalah teman mereka sendiri. Nur Rahman yang sebenarnya sudah tahu duluan pun tak kalah histerisnya menghadapi kenyataan pahit tersebut. Cukup lama bagi para polisi itu untuk menenangkan perasaan keempat pemuda yang sangat akrab dengan Rendi itu.
“Siapa yang akan mengabarkan berita ini kepada ibunya Rendi?” tanya Pak Ibnu beberapa menit kemudian setelah kondisinya cukup stabil.
Tidak ada dari ketiga anak buahnya yang menyahut. Mereka tahu bahwa Rendi adalah anak tertua yang sangat dibutuhkan oleh ibu dan juga kedua adiknya yang masih kecil. Mereka tidak sampai hati menyampaikan berita tersebut pada mereka.
“Siapa yang akan membantu memandikan jenazahnya?” tanya seorang petugas Puskesmas.
Keempat orang itu langsung menoleh kepada laki-laki berpakaian serba putih itu.
“Saya, Pak!” sahut ketiga orang itu secara bersamaan kecuali Nur Rahman.
“Ayo, ikut saya!” ajak pria itu sambil berjalan dengan tegap ke arah bagian belakang gedung Puskesmas.
Nur Rahman memandang dengan penuh curiga kepada pria itu karena ia melihat arwah anak kecil yang ia temui di depan Intermart itu saat ini sedang naik ke punggung pria itu.
BERSAMBUNG
Kira-Kira ada yang tahu, nggak, siapa arwah anak kecil itu?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!