Hongkong, Juli 2004
Aroma tubuh maskulin bercampur keringat terasa menusuk penciuman. Yue Hwa terus terisak dalam sisa kekuatan yang ia miliki setelah berteriak memohon belas kasih ibunya agar tidak membuangnya. Setidaknya itulah yang ia persepsikan ketika ia diserahan kepada penjaga bernama Wei. Aroma keringat pria paruh baya itu entah mengapa terasa menenangkannya, seakan membiusnya untuk percaya ia akan baik-baik saja.
"DORRR..." bunyi tembakan memekakkan telinga.
Wei melindungi kepala Yue Hwa dengan lengannya, ia terus berlari menggendong erat tubuh mungil itu.
"Penjaga Wei, suara apa itu?" Yue Hwa bertanya polos.
"Itu petasan Nona Li, tutup telingamu ya!"
Namun tebakan peringatan kedua kembali mengudara. Wei menghentikan langkah kemudian menyelinap ke dalam gudang tua.
Sementara itu, Nyonya Li bernasib tidak baik, ia menjadi tawanan suaminya.
"Katakan saja, di mana kau menyembunyikannya? jangan paksa aku berlaku kasar padamu, Liang Jia." sergah Tuan Li, kesabarannya nyaris habis menghadapi kebungkaman sang istri.
"Bagaimana kau bisa sekeji itu? Bagaimanapun ia tetap darah daging kita. persetan dengan gendernya." cecar Nyonya Li geram.
"Persetan katamu? sudah kutegaskan sejak kelahirannya, aku hanya menginginkan anak laki-laki. Keluarga ini perlu penerus! Aku sudah bermurah hati memberinya kesempatan hidup sampai sekarang, namun fakta bahwa kau tidak bisa memberiku seorang anak laki-laki, terpaksa menyeretku mengambil keputusan ini."
"Lalu mengapa kau tidak mempermasalahkan status ke empat gadismu yang lain? kenapa harus Yue Hwa yang mau kau habiskan?" Nyonya Li mulai terisak. ketidak adilan seperti apa ini yang dialami putri bungsunya sehingga tidak berkesempatan hidup oleh ayahnya sendiri.
"Kau tidak berhak bertanya! cepat katakan di mana pengawal tuamu membawanya pergi? jika kau nurut, aku akan mempertimbangkan keselamatannya, atau kau memang tidak ingin kuberi ampun?"
***
Gudang tua tak
berpenghuni dan tak terkunci itu menjadi perisai bagi Yue Hwa dari incaran
pembunuh. Ia masih belum mengerti drama apa yang sedang ia hadapi, sampai
akhirnya Wei melontarkan kata-kata kepadanya.
“Nona Li, maafkan saya
tapi kita tidak punya banyak waktu lagi. Dengarkan saya, Nona. Apapun yang
terjadi pada saya nanti, nona harus terus bertahan hidup. Saya akan melakukan perlindungan
kepada nona dengan cara ini, kelak mohon nona bisa menjaga diri sendiri dan
andalkan kemampuan sendiri.”
Wei mengeluarkan sebuah
masker. Oh tidak, itu justru terlihat seperti sebuah kulit. Yue Hwa ketakutan
melihat benda asing di tangan Wei. Sungguh kalimat serius yang dilontarkan Wei
tidak mampu dicerna oleh pikiran anak seusianya. Namun untuk memberontak
ataupun menolak, Yue Hwa tidak punya kekuatan lagi. Selain diam dan pasrah
dalam tatapan penuh ketegangan, ia berusaha percaya pada pria yang telah
dipercaya ibunya.
“Aaarrrgghhhhhh…”
teriakan Yue Hwa memekik kesunyian. Seketika pula Wei membungkam mulut mungil
itu. Musuh masih berkeliaran memangsa mereka, sangat tidak pantas untuk menarik
perhatian lewat teriakan itu, walaupun ia tahu nona kecilnya memang kesakitan.
Masker kulit itu bukan
barang sembarang, benda berwarna kuning langsat itu menempel di wajah oval Yue
Hwa. Teksturnya yang lengket, cair,
seketika menyerap kencang hingga terasa sangat perih. Yue Hwa berusaha
melepaskannya, ia menarik, menggosoknya dengan keras tetapi malah semakin
menyakitkan rasanya.
“Penjaga Wei, wajahku
kenapa? Ini sakit sekali, aku tidak mau memakainya.”
Wei segera berlutut,
wajahnya menunduk membenamkan raut penyesalan.
“Maafkan saya Nona,
saya pantas mati. Mulai sekarang nona adalah orang baru, jangan mudah percaya
pada siapapun karena itu bisa saja mencelakakanmu. Nona tidak boleh
menceritakan tentang diri nona kepada siapapun!”
Yue Hwa menyipitkan
mata, ujung matanya makin meruncing, seruncing pikirannya yang tidak mengerti
sebenarnya apa yang sedang terjadi? Mengapa tidak ada yang menjelaskan padanya,
mengapa dan mengapa?
“Katakan sejujurnya
padaku, apa yang terjadi!”
Wei merebahkan
punggungnya ke dinding bambu, fondasi utama gudang reot itu masih cukup kuat
menahan beban pria tua itu. Sembari menghela napas panjang, ia berusaha terbuka
pada majikan kecil di depannya. Mungkin ini terakhir kalinya ia melindungi
gadis dengan wajah baru itu.
“Nona, mulai sekarang
kau tidak boleh menggunakan nama margamu. Kita akan merubah namamu. Wajahmu sekarang
bisa mengelabui musuh, mereka pasti tidak bisa mengenali. Ayahmu, Tuan Li San
hendak membunuhmu. Dan ibumu berusaha melindungimu, itulah sebabnya ia
memerintahku membawamu pergi.”
Satu persatu tetes air
mata luruh dari kelopak mata Yue Hwa. Mengapa ayahnya tega padanya? Apa salahnya?
Ia merasa tidak melakukan kesalahan besar dan selalu tunduk pada aturan dalam
keluarganya. Lalu mengapa?
“Nona, aku tahu kamu
bingung. Namun ini bukan saat yang tepat bertanya. Keadaan sangat mendesak, dan
kita masih harus melakukan satu langkah terakhir.” Desah Wei, ia paham
kegundahan hati yang tidak berdaya itu.
“Kalau begitu, lakukan
saja apapun yang bisa menyelamatkanku!” Pinta Yue Hwa Tegas.
“Baik, Nona. Tapi kau
harus berjanji untuk menahan diri. Jangan berteriak keras lagi. Gigit ini saat
kau merasa sakit.” Wei melepaskan jas hitamnya dan menyodorkan pada nona
kecilnya.
Tanpa banyak bertanya
lagi, Yue Hwa mengangguk. Ia mulai menggigit bagian lengan jas meski Wei belum
memulai aksinya.
“Maafkan saya, Nona. Tidak bermaksud lancang, semoga nona
mengampuni saya.” Wei melepas resleting belakang dress Cheongsam pink yang dikenakan Yue Hwa. Sebuah jarum suntik
mulai menusuk masuk dalam pori-pori punggung Yue Hwa. Ia terbelalak, namun
komitmen untuk tidak berteriak demi sebuah harga nyawa harus ia tepati.
Cairan dalam tabung
suntik itu menimbulkan sensasi kaku dan kebas pada punggung Yue Hwa, seketika
itu ia merasa dirinya mematung. Wei masih berkutat dengan pisau bedah dan
sebuah alat kecil mungil. Semua rencana itu sudah ia dan Nyonya Li persiapkan
secara rahasia. Hanya ini satu-satunya cara yang tersisa agar Yue Hwa tetap
hidup.
Wei melubangi 1 cm di
samping tulang punggung Yue Hwa yang telah dibius, dengan hati-hati ia selipkan
alat kecil itu ke dalam. Yue Hwa sudah tidak bisa merasakan apapun selain
sensasi kaku. Andai ia bisa melihat ketegangan di wajah Wei, mungkin ia akan
pesimis bisa tetap hidup.
Yup! Alat itu tertanam
sempurna. Wei mulai tersenyum, tangannya kian cekatan menjahit luka yang ia
sayat. “Sudah selesai, Nona.”
Wei menggeser posisi
duduk menghadap Yue Hwa. “Nona, apa kau merasa sakit?”
Yue Hwa menggeleng, ia
tidak lagi menggigit jas untuk menaham sakit.
“Aku menanam sesuatu di
punggungmu. Tidak boleh ada yang tahu, atau mengeluarkannya. Itu sangat
berbahaya pada nyawamu.”
“Penjaga Wei, kenapa
hanya aku yang merubah wajah? Kenapa kamu tidak melakukannya juga? Kita akan
pergi bersama kan?” Yue Hwa mulai dibayangi ketakutan, jika hanya ia yang
berubah, apa itu menjamin keamanan?
Wei tersenyum lirih, ia
menepuk pundak Yue Hwa pelan. “Aku…”
Ucapan Wei terputus. Bunyi
sebuah ledakan di luar mengalihkan perhatian mereka. Yue Hwa terperanjat. Apakah
musuh sudah menemukan persembunyian mereka?
Aku tahu, akan ada pelangi setelah gerimis pergi di siang hari. Namun akankah ada
bahagia setelah petaka ini pergi?
***
Sekelompok pria berperingai antagonis, gesit menelusuri setiap sudut jalan, bangunan yang
mereka intai. Sasarannya hanya satu, dan itu harus segera mereka lenyapkan
sebelum matahari terbit.
“Kau sudah menghabisinya?” suara Li San di ujung handphone.
Ia berharap kabar baik yang akan didengar.
“Beri kami waktu, Tuan. Aku akan mengabari kembali nanti.” Ujar pesuruhnya.
Percakapan berhenti. Li San *** handphonenya. Apa susahnya mengatasi seorang anak? Liang
Jia, orangmu lihai juga. Geram Li San yang mulai habis kesabaran.
***
Suara ledakan yang menggelegar disusul batu-batu kerikil yang menghujani gudang persembunyian Wei
dan Yue Hwa. Wei berusaha mencari strategi baru, di luar perkiraan musuh sudah
mencium keberadaan mereka. Sihir yang ia gunakan untuk mengelabui perhatian musuh
beransur musnah.
“Wei, kita harus bagaimana sekarang?” Yue Hwa berusaha tenang. Ia sudah mulai bisa mengontrol
rasa takutnya.
“Nona, ini saatnya kita berpencar sementara. Keluarlah dari pintu belakang, aku akan mengalihkan
perhatian mereka dengan sihirku. Bawa jimat ini, jangan sampai sobek. Mereka tidak
akan bisa melihatmu meskipun bertemu. Tunggu saya di kuil yang biasa dikunjungi
Nyonya di Kowloon.” Wei menyodorkan secarik kertas kuning lalu mendorong tubuh
mungil Yue Hwa agar segera meninggalkan tempat itu.
“Aku akan menunggumu kembali Penjaga Wei.” Yue Hwa memalingkan wajah dan berlari keluar sesuai
arahan Wei. Bulir-bulir bening membasahi pipi, membasuh serta rasa perih akan
nasib yang kini mempermainkannya.
Wei keluar dengan tenang, setidaknya ia yakin majikan kecilnya sudah menjauh dari cengkraman
musuh. Kini ia harus menghadapi serombongan pria berdarah dingin hidup atau
mati.
“Serahkan gadis itu!”
“Bahkan mati sekalipun, tidak akan kuserahkan pada tuan kalian!” Wei mengucap mantera, gudang
persembunyiannya kembali ke wujud asli. Mereka kini berdiri di tengah jalanan
sepi. Dan pertikaian itu dimulai.
***
Langit senja berwarna merah, kala matahari membenamkan sinarnya di ufuk barat. Sekawanan burung gereja
beterbangan bebas tanpa beban, sangat kontras dengan perasaan gadis kecil yang
sudah sekian lama menanti kembalinya sang pahlawan. Pandangannya sigap
mengitari sekeliling, berharap ada sosok yang ia kenal menjemputnya pergi dari
tempat ini.
Ia kesepian di tengah keramaian massa. Tidak ada satupun yang ia kenal, bahkan tidak ada satu
orangpun yang peduli padanya. Rasa lapar dan haus mulai terasa, namun ia hanya
bisa menelan ludah dan mencekik perutnya untuk menahan diri. Wei hanya membekalinya
secarik jimat. Ia tidak memiliki uang sepeserpun.
Angin dingin berembus, langit senja berganti gelap pekat. Suasana malam di depan kuil masih terasa
hidup dengan aktivitas lalu lalang orang dan ramainya kios makanan di sekitar. Yue
Hwa merapatkan jas hitam milik Wei yang masih ia kenakan. Tubuhnya nyaris
tenggelam oleh ukuran jas dewasa tersebut. Aroma tubuh Wei dari jas itu sedikit
menenangkan Yue Hwa, setidaknya ia merasa tenang, ada pria baik yang bisa melindunginya.
Namun di mana ia sekarang? Mengapa tidak kunjung datang?
Ywe Hwa menyandarkan diri di samping kios mie, ia masih bisa menatap ke arah gerbang kuil dari sana.
Lelah dan lapar memaksanya untuk pindah ke posisi yang lebih nyaman.
“Hoaaammm…” ia menguap panjang. Pelarian sepanjang hari membuatnya kehilangan waktu tidur siang. Ya,
begitulah rutinitasnya di rumah mewah orangtuanya. Bahkan kemarin ia masih
makan malam bersama dan bersenda gurau dengan kakak-kakaknya. Mengapa dalam
sekejab suasana itu berubah mengerikan? Apa salah yang ia lakukan sehingga
ayahnya ingin menghabisinya? Wei yang belum juga muncul membuat Yue Hwa lelah
dalam penantian dan tertidur.
***
Sementara itu, di kediaman Tuan Li…
Liang Jia masih disekap dalam kamarnya. Sejak kemarin ia tidak selera menyantap apapun meskipun para
pelayan berulang kali membawakan makanan. Ia berubah menjadi tahanan rumah atas
kesalahan telah menyelamatkan nyawa putrinya.
Suara derit pintu membuyarkan lamunan Liang Jia, seorang pengawal setia Li San masuk tanpa
permisi. “Nyonya, anda dipanggil menghadap Tuan besar di Aula!”
Lengan Liang Jia ditarik paksa untuk ikut. Wanita terhormat itu memberontak, ia tak rela diperlakukan
seperti itu. “Lepaskan! Aku bisa berjalan sendiri.”
Li san sudah duduk di singgasananya, tatapan tajam yang bisa menelanjangkan pikiran siapapun yang
menjadi lawan. Di ujung pintu aula, sosok wanita tercinta mulai terlihat. Ia memincingkan
mata untuk menyambutnya. Kini secinta apapun ia pada wanita yang sudah
memberikanya 5 putri yang cantik, tidak akan menggoyahkan niatnya untuk
membunuh si putri bungsu.
“Duduklah, jangan terlalu formal.” Ujar Li San kepada nyonya rumahnya.
“Terima kasih Tuan Li. Aku sudah lelah duduk sepanjang hari.” Enggan kalah, Liang Jia menolak dengan
caranya.
“Kau tidak boleh menyalahkanku. Sudah 6 tahun aku memberi kesempatan hidup untuknya sembari
menunggumu memberikanku seorang putra yang kau janjikan. Tapi sudahlah, aku
memanggilmu kemari bukan untuk menghakimi. Ada hadiah yang akan kuberikan.”
Li san mengangkat tangan kiri, memberi kode kepada para pengikutnya. Seorang pria masuk membawa
sebuah tampah yang ditutupi kain hitam. Li San menjentikkan jari telunjuk kiri,
kemudian pria itu mengangguk patuh lalu berjalan ke arah Liang Jia. Pria itu
menyibak kain hitam penutup tampah. Seketika itu mata Liang Jia terbelalak,
seluruh tubuhnya bergetar melihat sepotong kepala dari orang yang sangat ia
percaya.
“Tidaaaakkk!” Liang Jia menutup mata dengan sapu tangannya. Pemandangan di depan tak mampu disimaknya
lagi. Air matanya mengucur, membayangkan betapa berdosanya ia pada pria itu. Bagaimana
ia mampu menghadapi kehancuran keluarga Wei tanpa kepala keluarga. Dan ini
semua karena salahnya.
“Orangmu sudah tamat riwayat. Meskipun orangku belum bisa menemukan putri kita, tapi cepat atau
lambat ia pasti menyusul nasib Wei. Sudah kukatakan padamu, jangan melawanku!”
gertak Li San penuh kemenangan.
Liang Jia menunduk, sepatah katapun tak mampu terucap. Penyesalan, kemarahan, kesedihan, dan
perasaan lain yang susah dijelaskan berkecamuk jadi satu. Ia tidak lagi fokus
mendengar apapun yang dilontarkan suaminya yang kejam itu.
“Pengawal, bunuh seluruh keluarga Wei! Jangan ada sisa dari keluarga pengkhianat itu!” Li San
mengeluarkan perintah lagi.
“Siap Tuan.” Puluhan pria setia Li San segera berlutut hormat menerima tugas itu.
“Tidaaakkk! Tuan Li, harap ingat kembali kebaikan leluhur Wei terhadap keluarga Li. Jangan karena
masalah keluarga ini, anda mengabaikan titah leluhur untuk selalu berhubungan
baik dengan klan Wei.” Liang Jia berusaha mencegah kesadisan terburuk yang
direncanakan suaminya. Ia berharap hutang budi leluhur bisa mengubah pikiran
prianya.
“Hmm… Pengawal, bawa anak dan istri Wei hidup-hidup!”
Li San ternyata masih punya hati nurani untuk merubah titahnya. Liang Jia berlutut mengucapkan terima
kasih atas perubahan keputusan itu.
“Kau jangan senang dulu, kita lihat apa yang akan dilakukan kepada mereka. Pengkhianat tetap
pengkhianat.” Sergah Li San tegas.
Liang Jia bungkam. Jawaban telak dari suaminya berhasil menakutinya. Entah rencana jahat apa yang
diskenariokan untuk keluarga Wei. Maafkan
aku, sungguh maafkan aku Wei.
***
Derap langkah sepatu memecah keheningan jalan. Malam kian larut, aktivitas warga perlahan surut. Namun
tidak ada yang menyadari ada seorang gadis kecil yang nyenyak dalam lapar dan
haus. Tidur berselimut angin malam yang menembus pakaiannya, meskipun ia
memakai jas hitam peninggalan Wei.
Suara sepatu semakin jelas terdengar, membangunkan Yue Hwa dari tidurnya. Samar-samar penglihatannya
menangkap sosok seorang pria. Ia terkesiap.
“Penjaga Wei? Apa ini kamu?”
***
Segala sesuatu yang terjadi terasa wajar, kecuali kau mengingkarinya! Namun takdir yang menyedihkan
itu, apakah wajar bila harus menerimanya dengan ikhlas?
***
Aula kediaman Li didatangi oleh anak dan istri Wei yang masih polos. Mereka belum tahu apa yang telah menimpa pria malang itu. Liang Jia bahkan tak sanggup menatap wajah-wajah lugu itu, terlebih putra dan putri Wei yang menjadi anak yatim karena melindungi Yue Hwa.
“Terima hormat kami tuan besar Li.” Nyonya Wei berlutut memberi hormat diikuti oleh anak-anaknya.
“Xin Er, kamu harus tahu bahwa Wei telah lancang mengkhianatiku dan pantas mendapat hukuman mati.” Li
San dengan lantang menggertak wanita sederhana beserta anak-anaknya yang masih di bawah umur.
“Ampun Tuan besar. Hamba mohon ampun!” Xin Er bersujud hingga membenturkan kepalanya ke lantai memohon
belas kasih. Ia berharap anak-anaknya tidak terserat hukuman yang mengenaskan.
“Menimbang jasa dan bakti yang telah dilakukan leluhur Wei di masa lalu, aku hanya bisa meringankan hukuman, namun kalian akan tetap dihukum seumur hidup!” Sebuah papan keputusan dilempar kea rah Xin Er. Pertanda ia akan divonis hukuman yang sangat berat.
“Mengapa kami yang masih kecil harus dihukum? Bukankah aku tidak melakukan apapun selain belajar dan mengusili saudaraku? Apa itu salah?” Tiba-tiba suara seorang anak kecil memecah ketegangan. Nampaknya ia tidak memahami kondisi rumit yang melanda ibu dan dirinya.
“Kau… bocah lancang! Siapa namamu?” Jemari Li San menunjuk kepada bocah itu.
“Hamba Wei Li Jun.” Singkat dan acuh jawaban dari putra bungsu Wei itu mengusik hati Li San. Perasaannya
langsung tertarik pada keberanian anak itu.
“Berapa usiamu? Kau tidak diajarkan sopan santun sehingga berani selancang itu!” cecar Li San.
“Ampunilah anak hamba Tuan Besar! Ini salah hamba yang tidak mendidiknya. Hamba siap menerima hukuman.” Xin Er kembali membenturkan kepala ke lantai hingga tubuhnya roboh.
Li Jun segera berlari memeluk ibunya. Sedangkan saudaranya yang lain tidak berkutit dan hanya menunduk takut dengan kaki bersujud.
“Hmm… nyalimu cukup besar bocah! Aku sudah mengambil keputusan untuk hukuman yang tepat untuk kalian.”
Liang Jia yang sedari tadi bungkam langsung terkesiap, mata dan hidungnya sudah memerah oleh derasnya air mata. Ia terus menyalahkan dirinya yang lemah dan tidak punya posisi menguntungkan untuk melawan kehendak Li San.
“Atas kejahatan berat yang dilakukan oleh Wei Ming Fung, hukuman mati pantas ia dan keluarganya terima.
Xin Er dihukum menjadi pembantu di keluarga Li seumur hidup. Anak-anaknya akan dikirim ke perbatasan kota dan diasingkan, kecuali Wei Li Jun.” penasihat Li San membacakan surat keputusan.
Xin Er segera bersujud memohon ampun untuk anak-anaknya. Memisahkan ibu dan anak yang masih kecil sungguh tidak sanggup ia terima.
“Tuan Li, mohon kemurahan hati anda untuk menimbang kembali nasib anak-anak mereka.” Liang Jia ikut bersujud sehingga membuat Li San terkejut. Wanita terhormatnya harus merendahkan diri memohon pengampunan bagi keluarga pengawal setianya. Tangan Li San mengepal keras, wanitanya sungguh keras kepala.
“Aku mengirim mereka ke kota perbatasan untuk menjadi budak. Jika suasana hatiku bagus, kelak aku akan
pertimbangkan lagi. Memberi kalian kesempatan hidup, seharusnya kalian bersyukur, bukan malah menuntut!” ucapan Li San membuat seisi ruangan hening.
“Terima kasih Tuan besar” Xin Er terpaksa menerima semua kenyataan pahit itu. Tidak ada daya lain lagi, setidaknya anak-anaknya masih diberi kesempatan hidup.
“Lalu hamba tinggal di sini sebagai apa? Membantu ibu sebagai pembantu kah, Tuan besar?” Li Jun
mengajukan pertanyaan yang tepat. Semuanya belum tahu atas dasar apa Li Jun diistimewakan.
“Mulai sekarang kau tinggal di rumah ini sebagai anakku!” Li San beranjak dari duduk sekaligus mengakhiri eksekusi saat itu. Tanpa memperhatikan ekspresi wajah seluruh orang yang berada di aula, ia melangkah pergi tanpa sepatah kata lagi.
***
Takdir ini apakah sedang mempermainkanku? Kemarin Yue Hwa masih bersamaku, putri yang malang itu entah bagaimana nasibnya sekarang? Kini seorang anak laki-laki Wei masuk dan menggantikan posisi Yue Hwa sebagai anak. Bagaimana aku menerima kenyataan ini?
Aroma dupa penenang yang dinyalakan dalam kamar rupanya tidak mampu menenangkan pikiran Liang Jia. Enam
tahun ia berusaha memberikan keturunan lagi pada Li San, namun harapan itu tak kunjung jadi datang. Taruhannya adalah nyawa Yue Hwa, ia pikir waktu enam tahun bisa menumbuhkan rasa sayang ayah pada putri kandungnya. Ternyata dugaan itu meleset, opsesi Li San memiliki anak laki-laki tidak terbendung. Lalu mengapa ia begitu mudah mengangkat Li Jun sebagai anak?
Putra bungsu Wei yang baru mereka kenal semalam, bisa mencuri perhatian Li San pada pertemuan pertama. Jika ia tahu Li San tertarik pada anak itu, kenapa tidak terpikir sejak dulu untuk mencari anak angkat? Pasti tragedi ini tidak akan terjadi pada Yue Hwa. Tanpa Wei di sampingnya, mungkin ia juga tidak mampu bertahan hidup. Semakin
Liang Jia memikirkannya, ia makin tidak kuat menerima kenyataan. Beban itu terlalu berat ia pikirkan dan tubuhnya seketika ambruk ke lantai.
***
Semua terasa bagai mimpi yang tak berujung. Anak laki-laki yang baru berusia tujuh tahun bisa melontarkan keberaniannya sehingga menggugah hati pria berdarah dingin dan menjadikannya anak. Li San mantap dengan keputusannya mengadopsi Li Jun, bahkan kelak harta dan kekuasaannya akan ia limpahkan pada anak itu.
“Terimalah hormatku, Tuan besar.” Li Jun berlutut ketika melihat kedatangan Li San ke kamarnya.
“Bangunlah anakku. Kemarilah kita bahas sesuatu.” Li San mengisyaratkan agar anak itu tidak berlaku formal
lagi padanya.
Li Jun hanya terdiam. Ia paham betul bahwa segala tindak tanduknya mungkin bisa berpengaruh bagi ibu dan
saudaranya. Tidak melakukan kesalahan adalah strategi teraman untuk bertahan.
“Berapa usiamu sekarang?”
“Tujuh Tahun, Tuan besar.” Li San langsung menepuk mulutnya. Ia salah bicara dan itu bisa
mengundang amarah pria bertubuh besar itu.
“Mulai sekarang panggil Ayah padaku. Dan namamu adalah Li Xiao Jun, putra dari Li San Jing. Kamu harus
paham statusmu. Tidak peduli bagaimana masa lalumu, kamu harus segera beradaptasi.”
Senyuman getir tersungging dari sudut bibir kecil Xiao Jun, dengan segala hal yang baru ia harus bisa mengambil kesempatan untuk menyelamatkan ibu dan saudaranya. Mengorbankan seluruh masa kecilnya untuk dewasa sebelum waktu, apapun itu akan ia lakukan agar bersatu kembali dengan keluarga aslinya.
“Terima Kasih, Ayah!”
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!