NovelToon NovelToon

Gema Syahadat Aisyah

Perkenalkan Aku dengan Aisyah

Banyuwangi, 2015

Seorang laki-laki bertubuh tinggi berdiri di samping motornya, kulitnya yang kecoklatan tampak bercahaya saat terkena sinar matahari sore. Matanya menyorot tajam pada seseorang yang duduk di teras masjid. Jenggot tipis yang menghiasi dagunya masih basah bekas air wudhu. Harusnya ia langsung masuk tapi gadis di teras masjid itu mencuri perhatiannya.

Cahaya matahari tidak membuatnya silau berkat bulu mata tebal yang membingkai netranya dengan sepasang alis tebal melengkung seperti gunung mencetak wajahnya yang tampan.

Kenapa dia tidak bersiap untuk shalat?

Kenapa dia duduk disitu?

Kenapa dia tidak mengenakan jilbabnya dengan benar? rambutnya terlihat menjuntai dari ujung jilbab itu.

"Ustadz Umar, Maaf." Seorang lelaki yang terlihat lebih muda datang menegur.

Laki-laki bernama Umar itu mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum mengalihkan pandangan pada seseorang yang memanggilnya. Ia beristighfar dalam hati karena telah menatap seorang gadis terlalu lama.

"Hari ini jadwal Ustadz mengimami shalat."

"Iya, kalau begitu ayo masuk."

Sebelum masuk ke masjid Al-Fatah Umar sempat melirik gadis yang asyik dengan ponselnya di teras masjid tersebut. Entah kenapa ia berharap gadis itu masuk ke masjid bukannya nongkrong di teras seperti itu.

Masjid Al-Fatah mengadakan kajian rutin yang dipimpin oleh beberapa Ustadz dan Ustadzah secara bergantian setiap harinya. Hari ini Umar bertepatan mendapat giliran untuk memimpin kajian setelah Ashar.

Suara berat nan merdu Umar mulai terdengar menggema ke seluruh penjuru masjid pertanda shalat telah dimulai. Semua jamaah mendirikan shalat dengan khusyuk. Ini adalah waktu dimana mereka tak harus memusingkan tentang dunia-menghadap pada sang Maha Pencipta dengan penuh ketenangan.

Umar mengucapkan salam membuka kajian rutin sore itu, ia akan membahas tentang kisah teladan Aisyah binti Abu Bakar.

Pandangan Umar terhenti untuk beberapa saat pada gadis yang duduk bersama jamaah lain. Setelah mengenakan jilbabnya dengan rapi akhirnya Umar ingat bahwa ini bukan pertama kalinya ia melihat gadis itu. Gadis berkulit putih bersih itu sepertinya rutin hadir mengikuti kajian Umar.

Umar segera menunduk ketika gadis itu mengulas senyum padanya.

"Siapa disini yang tidak mengenal Sayyidah Aisyah istri Nabi Muhammad?" Umar mengedarkan pandangan ke seluruh jamaah laki-laki, kalimat itu tidak terdengar seperti pertanyaan karena ia yakin semua orang mengenal Aisyah.

"Aisyah adalah sosok wanita ideal yang cerdas, penuh kasih sayang dan berhati lembut, beliau adalah ibu dari orang-orang mukmin." Umar berhenti bicara ketika gadis itu mengangkat tangan, ia terpaksa mengatup bibir dengan heran-mengapa ia mengangkat tangan bahkan Umar baru mulai.

"Kamu bisa bertanya setelah sesi tanya jawab." Ucap Ilham pada gadis berjilbab putih yang mencuri perhatian jamaah lain.

"Biarkan saja." Sahut Umar. "Silakan, sebutkan nama kamu." Ia membiarkan gadis itu berbicara.

"Saya Atalie, sebenarnya saya tidak mengenal Aisyah, apakah saya bisa berkenalan dengannya sekarang?"

Kalimat itu sontak membuat jamaah lain ribut, mereka berbisik-bisik mencemooh Atalie. Bahkan mereka mengatakan seharusnya Atalie keluar dari sini.

"Dia sengaja caper kali sama Ustadz Umar."

"Nggak mungkin lah dia nggak tahu istri Nabi."

"Pulang aja mending ya."

Atalie kebingungan mendengar jamaah lain ribut, perlahan ia menurunkan tangannya. Wajahnya berubah pias. Apakah seharusnya ia tidak mengatakan hal itu.

"Atalie, kamu lupa aku tadi bilang apa sebelum kita kesini, jangan tanya apapun, cukup duduk manis aja sampai selesai, malu-maluin tahu nggak." Seorang gadis yang duduk tepat di samping Atalie berbisik, ia geram karena sahabatnya itu tidak menuruti perkataannya untuk tetap diam selama kajian berlangsung.

"Iya sorry Za, aku kelepasan." Atalie salah tingkah, ia ingin menghilang sekarang juga. "Khanza tolong selamatkan aku." Katanya dramatis.

"Ogah ah, jangan sebut-sebut nama aku sekarang." Khanza menggeser duduknya karena ikut malu.

"Tega banget sama temen sendiri, Ay tolong aku." Atalie menarik mukena Ayana yang duduk di samping kanannya.

Ayana bergeming seolah tidak mengenal Atalie karena pandangan orang-orang mengarah pada mereka.

Berbeda dengan ekspresi jamaah, Umar justru tersenyum karena kalimat polos Atalie.

"Maaf, kamu tidak bisa berkenalan dengan Aisyah tapi kalau ada kesempatan saya akan tunjukkan siapa itu Aisyah."

Atalie mengangguk kaku, sebenarnya ia tak tahu mengapa Khanza harus malu dengan pertanyaan nya tapi melihat reaksi orang-orang ia yakin dirinya sudah membuat kesalahan fatal.

Orang-orang berhenti bersuara setelah Umar melanjutkan kajian. Mereka pasti akan terus membahas kejadian ini bahkan setelah keluar dari masjid. Mereka tak pernah melihat jamaah aneh seperti Atalie sebelumnya.

"Para ulama mengatakan bahwa usia Aisyah saat menikah dengan Nabi Muhammad adalah 9 tahun, meski demikian beliau bisa mengimbangi kehidupan Nabi dan menjadi istri yang sempurna, hadits-hadits yang kita dengar sekarang banyak diriwayatkan oleh Aisyah, diusianya yang masih belia, Aisyah meriwayatkan ribuan hadits."

Atalie menatap Umar takjub-bukan karena ketampanan wajah lelaki itu tapi karena ceritanya tentang tokoh bernama Aisyah. Atalie penasaran mengapa ia tidak bisa berkenalan dengan sosok tersebut.

******

"Terimakasih Ustadz untuk kajiannya hari ini." Beberapa jamaah laki-laki bersalaman dengan Umar setelah kajian berakhir.

Umar membalasnya dengan senyum lembut, ia juga berterimakasih karena mereka mau menyempatkan diri datang ke kajian hari ini.

Umar terkejut saat melihat Atalie melepas jilbab di depan masjid. Umar tak tahan ingin menutupi rambut indah Atalie dengan kain atau apapun yang ada di dekatnya bahkan jika ada daun pun ia akan menutup kepala Atalie dengan daun. Namun Umar tidak bisa melakukannya, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah menundukkan pandangannya.

"Ilham, tolong berikan ini pada gadis bernama Atalie disana." Umar menyodorkan buku bersampul kuning berjudul Aisyah.

Ilham menuruti perintah Umar menghampiri Atalie yang terlihat sedang ribut bersama dua temannya.

"Ustadz Umar meminta saya memberikan ini untuk kamu." Ilham menyodorkan buku milik Umar pada Atalie, berkat pertanyaan aneh Atalie saat di masjid tadi, Ilham langsung bisa mengenalinya. Ditambah Atalie memang tampak menonjol di antara temannya.

"Wah makasih ya." Ayana mewakili Atalie mengucapkan terimakasih, ia merebut buku itu lebih dulu dan membolak-baliknya.

Umar melihat Atalie menganggukkan kepala padanya disertai senyum simpul. Umar membalasnya dengan anggukan samar lalu melangkah ke tempat motornya diparkirkan.

Atalie tidak melepaskan pandangan dari Umar hingga lelaki itu naik motor dan meninggalkan area halaman masjid.

Atalie kembali merebut buku pemberian Umar dari tangan Ayana dan buru-buru memasukkannya ke dalam tas. Rupanya Umar menepati janjinya untuk mengenalkan sosok Aisyah pada Atalie. Atalie jadi tidak sabar untuk membacanya di rumah nanti.

******

Deru motor Umar terdengar semakin dekat disertai suara ban yang beradu menggilas kerikil kecil di sepanjang gerbang menuju rumah. Kedatangan Umar disambut beberapa santri yang hendak menuju masjid. Mereka berbondong-bondong memberi salam pada Umar.

Tempat tinggal Umar berada satu kawasan dengan pondok pesantren Adz-Zaidan milik orangtuanya yang sudah berdiri sejak belasan tahun lalu. Adz-Zaidan tidak menampung banyak santri, hanya ada sekitar 100 santri laki-laki dan perempuan. Seleksi masuk Adz-Zaidan terkenal sulit dan hanya menerima paling banyak 15 santri setiap tahunnya.

Umar adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya Khalid sudah menikah dengan wanita bernama Khawla dan memiliki seorang anak. Adik Umar bernama Ali yang masih duduk di bangku SMA.

Berbeda dengan Umar yang sering berada di luar pesantren, Khalid lebih banyak membantu Zaid dalam membimbing santri. Khawla istri Khalid juga berperan penting dalam mengajar para santri.

"Assalamualaikum." Umar mencium tangan Khalid yang duduk di gazebo sambil memberi makan ikan lele di tambak bersama Hafiz.

"Waalaikumussalam, udah pulang?"

"Udah Mas." Umar mentowel pipi keponakannya, "ikut Om yuk."

Bocah tiga tahun itu geleng-geleng, ia nyaman di pangkuan Abi nya sambil mendengarkan bacaan Al-Qur'an dari speaker.

Umar kembali mengucapkan salam ketika memasuki rumahnya yang sederhana, tidak terlalu besar tapi cukup untuk menampung seluruh keluarga. Umar melihat Abah nya duduk di sofa ruang tamu.

"Waalaikumussalam." Zaid menjawab salam anaknya, ia mengangkat wajah sekilas lalu kembali fokus pada kitab di tangannya.

"Sudah pulang Umar?" Seorang wanita bercadar menyambut Umar, ia memegang segelas teh lalu meletakkannya di atas meja. Ia adalah Maryam—Ummi Umar.

"Sudah Ummi." Umar mencium punggung tangan Maryam lalu Zaid bergantian.

"Mau Ummi bikinin teh juga?"

Zaid menyesap teh hangat beraroma melati buatan istrinya ditemani biskuit kelapa.

"Nggak usah Ummi, sebentar lagi magrib." Umar melepas kopiahnya dan duduk bergabung dengan Abah nya.

"Gimana kajian hari ini?" Maryam duduk di hadapan Umar.

"Alhamdulillah semuanya lancar Um." Umar tiba-tiba teringat pada sosok Atalie tadi. Atalie sudah membuat jamaah lain ribut tapi Umar justru merasa gadis itu lucu dan—sedikit aneh.

"Kenapa senyum-senyum begitu?" Maryam menyadari perubahan ekspresi Umar, walaupun tipis tapi ia mengetahui bahwa Umar sedang tersenyum karena memikirkan sesuatu.

"Nggak apa-apa Um, cuma tadi ada gadis aneh di masjid."

"Aneh gimana?"

"Umar sedang menjelaskan bahwa kajian hari ini kami akan membahas teladan Aisyah lalu tiba-tiba ada yang mengangkat tangan—"

Zaid yang tertarik dengan cerita Umar reflek meletakkan kitabnya di atas meja dan melihat putranya tersebut.

"Dia bilang, sebenarnya saya tidak mengenal Aisyah bolehkah saya berkenalan dengannya sekarang?" Umar mengulang kalimat persis seperti yang Atalie katakan tadi. Ia bahkan tak bisa menahan senyum saat mengingat itu.

Zaid mengerutkan kening begitupun dengan Maryam. Sebenarnya cerita itu tidak lucu tapi Umar justru tersenyum lebar bahkan tertawa.

"Terus kamu jawab apa?" Kini Zaid bersuara, ia mengerti saat kajian memang ada banyak pertanyaan tak terduga dari jamaah.

"Ya Umar bilang kalau dia nggak bisa berkenalan dengan Aisyah tapi Umar memberinya buku tentang Aisyah, semoga itu bisa membantunya."

"Apa itu lucu, kenapa kamu tertawa?" Maryam heran melihat Umar tertawa hanya karena cerita seperti itu.

"Itu lucu loh Ummi." Umar bersikeras bahwa itu adalah kejadian paling lucu selama ia mengisi kajian.

Maryam ikut tersenyum di balik cadarnya melihat Umar masih setia mengembangkan senyum.

"Tapi kenapa dia tiba-tiba melepas jilbabnya sesaat setelah keluar dari masjid?" Senyum di wajah Umar lenyap mengingat Atalie langsung melepas jilbab ketika keluar dari masjid.

"Dia begitu?" Alis Maryam terangkat tak percaya.

Umar mengangguk.

"Mungkin dia belum terbiasa memakai jilbab."

"Itu berarti kamu harus membahas soal kewajiban berjilbab bagi muslimah." Timpal Zaid, menurutnya itu adalah pembahasan yang paling penting di tengah perubahan zaman seperti sekarang.

"Itu tugas Ummi." Umar merasa Maryam lebih memiliki wewenang untuk membahas soal itu.

"Ummi sudah sering membahasnya tapi mungkin dia nggak pernah datang ke kajian Ummi." Maryam selalu melakukan kajian rutin usai subuh tiga kali dalam seminggu di masjid yang sama dengan Umar.

"Padahal dia rutin ikut kajian Umar." Umar tampak berpikir, meski begitu ia tidak mengerti mengapa Atalie melakukan itu.

"Ada apa ini?" Ali datang bergabung, ia juga ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan.

"Ayo siap-siap shalat magrib." Zaid menepuk paha Umar beranjak dari duduknya mengakhiri cerita Umar sore itu.

Ali melongo kecewa karena ia baru saja bergabung tapi Zaid dan Umar sudah bubar. Tinggal Maryam yang hanya geleng-geleng melihat tingkah suami dan anaknya menjahili si bungsu.

*******

Halo ini adalah spin off dari Muslimah in Love dan kamu dapat membacanya secara terpisah tanpa harus membaca Muslimah in Love terlebih dahulu.

Mengagumi Ustadz Umar

Gemericik air mancur bagai musik alam yang menenangkan. Ikan koi dengan berbagai corak berenang kesana kemari. Sesekali mereka berenang ke permukaan membuka dan mengatupkan mulutnya menghasilkan gelembung yang pecah hanya dalam sepersekian detik.

Atalie tampak serius membaca buku bersampul kuning yang ia dapatkan sore ini. Taman belakang rumah adalah tempat favoritnya menghabiskan waktu senggang, membaca buku, mendengarkan musik, menonton film atau sekadar melamun.

Samar-samar Atalie mendengar mama nya memanggil namanya dari dalam rumah. Perlahan suaranya semakin dekat, tanpa mengalihkan pandangan dari buku itu Atalie tahu jika mama nya berada disini.

"Atalie, menurut kamu bagus yang mana, biru atau merah?" Renata—mama Atalie datang dengan membawa dua dress berwarna biru dan merah.

"Merah." Jawab Atalie tanpa melihat mama nya, ia tahu Renata menyukai warna merah. Kalaupun Atalie menjawab biru, Renata akan tetap menggunakan dress merah tersebut.

"Kamu bahkan belum lihat, coba lihat dulu."

Atalie mendengus meletakkan buku di meja kecil di dekatnya. Ia melihat dua dress yang mama nya bawa.

"Biru bagus." Atalie jujur, ia lebih menyukai model yang sederhana.

"Tapi merah bikin kulit Mama kelihatan lebih cerah."

Atalie memutar bola mata jengah, ujung-ujungnya Renata pasti akan memilih merah. Percuma ia bertanya pada Atalie jika dari awal sudah menentukan jawabannya.

"Kulit Mama udah cerah, pakai apapun tetap cerah."

"Oh ya?" Renata menyulitkan matanya menatap Atalie.

"Ya, aku sudah belajar dunia fashion sejak SMP, Mama nggak seharusnya meragukan kemampuan ku dalam menilai penampilan."

Renata tersenyum lebar, "kalau gitu kamu besok juga harus pakai baju warna biru."

"Siap!" Atalie mengacungkan tangannya, ia menautkan ibu jari dan telunjuknya membentuk huruf O.

"Ayo deh siap-siap makan."

"Bentar dulu, aku belum selesai baca." Atalie kembali mengambil buku yang ia letakkan di meja barusan. Ia biasa membaca buku dalam sekali duduk, jika belum selesai rasanya ada yang mengganjal. Lagi pula buku itu tidak terlalu tebal, hanya sekitar 200 halaman.

"Buku apa sih yang kamu baca, Mama lihat dari tadi sore kamu serius baca itu sampai nggak gerak dari kursi."

"Aisyah judulnya." Atalie menunjukkan sampul depan buku tersebut.

"Nama yang bagus." Renata terlihat tidak terlalu peduli dengan buku yang Atalie baca, yang penting anak sulungnya itu tidak membaca sesuatu yang buruk.

Renata kembali ke dalam rumah untuk meletakkan pakaiannya lalu bersiap-siap makan malam.

Atalie menyusul ke ruang makan setelah menyelesaikan buku Aisyah hingga halaman terakhir. Di ruang tamu sudah ada papa Atalie—Jaya, Renata dan Daniel—adik Atalie.

Atalie duduk di kursi kosong dan mengambil sedikit nasi.

"Mari berdoa dulu." Jaya mengangkat tangan untuk memimpin doa diikuti oleh yang lain. "Percaya, Iman, dalam Jesus, haleluya, Amin."

"Amin." Jawab Atalie, Daniel dan Renata serentak.

"Mama, mau semur." Atalie sudah ngiler ingin makan daging kecap yang hampir setiap hari ada di meja makan tapi ia tak pernah bosan.

Renata meletakkan dua potong daging di piring Atalie, ia juga memberikan porsi yang sama pada Daniel tanpa diminta.

"Daniel besok pakai baju biru ya ke gereja."

"Iya Ma." Jawab Daniel singkat.

"Papa juga." Renata melirik Jaya.

Jaya mengangguk, setiap Minggu Renata memang selalu riweh soal pakaian yang akan mereka kenakan ke gereja. Harus berwarna senada agar terlihat kompak katanya. Mereka tak punya pilihan selain menuruti kemauan Renata.

"Atalie, hari ini kamu kemana aja?" Jaya mengajukan pertanyaan pada Atalie, ia tidak melihat putrinya tersebut seharian ini.

"Keliling-keliling Mall sama Khanza dan Ayana, makan juga terus—" Atalie menghentikan kalimatnya, ia tak boleh memberitahu jika dirinya juga pergi ke masjid. Walaupun hanya iseng tapi Atalie takut Jaya marah.

"Sama mereka berdua aja?"

"Sama Gracia juga." Atalie tidak berbohong soal itu, ia pergi bersama Gracia tapi setelah selesai berbalanja, Gracia pulang lebih dulu.

"Kamu jangan sering bergaul sama mereka, Atalie." Renata memberi nasehat.

"Memangnya mereka kenapa Ma, kan Mama sendiri yang bilang kalau kita berteman tuh nggak boleh pandang agama, ras dan suku lagian mereka temen satu kampus aku jadi wajar kalau aku berteman sama mereka berdua."

Atalie kenal dengan Khanza dan Ayana di kampus tempat mereka kuliah. Saat ini Atalie sedang menjalani program magister manajemen sedangkan Khanza dan Ayana berada di semester akhir program pendidikan strata. Meski demikian usia Atalie dengan keduanya tidak terpaut jauh. Atalie bisa mendapat gelar S1 diusia 21 tahun berkat program akselerasi saat sekolah menengah.

"Mama tahu, tapi kamu akrab banget sama Khanza dan Ayana, Mama cuma khawatir kamu—"

"Nggak bakal, Mama tenang aja." Potong Atalie sebelum Renata menyelesaikan kalimatnya.

Daniel melirik Atalie, tadi sore ia tak sengaja melihat kakaknya itu keluar dari masjid. Awalnya Daniel berpikir mungkin ia salah tapi setelah melihatnya dengan seksama, ia yakin bahwa itu memang Atalie. Namun Daniel tak mau memberitahu orangtuanya, bukankah itu hak Atalie? Atalie sudah dewasa sekarang.

"Kak Atalie, tunggu!" Daniel menahan tangan Atalie ketika mereka hendak masuk ke kamar masing-masing. Daniel menoleh ke kanan dan kiri memastikan tak ada orang lain disini kecuali mereka.

Atalie reflek ikut menoleh ke kanan dan kiri dengan bingung, mereka sudah seperti maling yang takut tertangkap basah oleh tuan marah. Kenyataannya mereka adalah tuan rumah itu sendiri.

"Aku lihat tadi Kak Atalie keluar dari masjid."

"Ssshhh!" Atalie melotot dan segera menyumpal mulut Daniel sebelum adiknya itu berkata-kata lagi. "Jangan bilang Papa Mama." Bisiknya.

Daniel menurunkan tangan Atalie dari mulutnya, "Kakak ngapain kesana, ah aneh-aneh aja!" Daniel ikut melotot, kini dua kakak beradik itu saling adu mata.

"Iseng doang ikut Khanza sama Ayana lagian asyik juga loh dengerin Ustadz nya cerita."

"Jangan macem-macem deh, nanti ketahuan Mama dan Papa baru tahu rasa." Daniel memperingatkan, masjid itu cukup dekat dengan tempat tinggal mereka. Daniel khawatir jika papa atau mama nya melihat Atalie saat berada di masjid tersebut.

"Pokoknya kamu bisa jaga rahasia."

"Kalau ketahuan aku nggak ikut-ikutan lo ya." Daniel mendekatkan wajahnya pada Atalie seolah mengancam padahal ia tak mungkin mengadu. Itu sama saja memasukkan Atalie ke dalam mulut buaya.

"Kalian ngapain disitu bisik-bisik?"

Atalie dan Daniel terkesiap mendengar suara Renata. Atalie langsung melepas tangan Daniel dan membalikkan badan melihat Renata yang melangkah ke arah mereka.

"Nggak apa-apa, aku cuma bilang sama Daniel kalau besok mau bawa mobil sendiri ke gereja."

Daniel mendelik, sejak kapan Atalie pandai mengarang cerita padahal pembahasan mereka jauh dari hal tersebut.

"Tumben?" Kening Renata berkerut.

"Aku mau balikin buku ke rumah temen setelah pulang dari gereja "

"Oke." Renata mengizinkan Atalie membawa mobil sendiri, ia melangkah menaiki tangga menuju lantai tiga dimana kamarnya berada.

"Ma, Kak Atalie punya pacar nih pasti bukan temen." Seru Daniel.

"Ih apaan sih, bohong Ma." Atalie melotot ke arah Daniel.

Renata mengehentikan langkah dan membalikkan badan melihat dua anaknya yang selalu ribut itu.

"Ya udah Niel, Kakak kamu kan udah dewasa jadi wajar kalau dia punya pacar."

"Dengerin tuh, kamu sekolah aja yang bener." Atalie menjulurkan lidah pada Daniel lalu melenggang pergi masuk ke kamar.

Atalie menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur, sekarang ia mengerti mengapa orang-orang mentertawakan dirinya tadi. Buku itu membuat Atalie belajar hal baru dari sosok Aisyah yang masih sangat muda saat mendirikan madrasah dan melahirkan banyak ulama terkenal hingga sekarang.

"Umar nggak cuma punya publik speaking yang bagus, dia juga baik." Atalie mengubah posisinya miring ke kanan melihat buku yang ia letakkan di atas nakas. Ia ingat semua orang mentertawakan nya kecuali Umar. Tidak heran jika kajian Umar selalu penuh oleh jamaah laki-laki dan perempuan.

"Apa dia udah punya istri?" Atalie tiba-tiba penasaran soal itu. "Kita cari jawabannya besok." Tukasnya penuh semangat, ia melihat ada alamat tertulis di halaman pertama buku tersebut. Atalie menduga itu adalah alamat rumah Umar. Atalie akan mengunjunginya besok sekaligus mengembalikan buku milik Umar.

Gadis Aneh

Usai shalat dhuha dan murojaah sembari menunggu waktu duhur, Umar menyiangi rumput di kebun belakang rumah yang mulai tumbuh subur di antara tanaman sawi dan tomat miliknya. Selain sawi dan tomat, terdapat wortel, kentang, bunga kol, seledri dan cabai. Hasil panen dari kebun yang tidak terlalu luas itu biasanya akan diolah untuk dimakan bersama para santri.

Umar juga menanam berbagai buah dan umbi-umbian. Pisang, belimbing, jambu kristal, singkong dan ubi jalar yang hari ini sudah bisa dipanen. Umar akan mencabutnya nanti sore saat matahari tidak terlalu menyengat.

Senin sampai Jumat Umar sudah sibuk dengan kegiatan mengajar di kampus, ia hanya memiliki dua hari untuk merawat kebunnya.

Matahari hampir mencapai atas kepala, keringat menetes di pelipis Umar. Kaos oblong yang Umar kenakan juga basah bermandikan keringat.

"Sudah siang, istirahat dulu." Zaid datang dari pintu belakang rumah yang terhubung langsung dengan kebun.

"Tanggung Bah." Umar mencabut tanaman sawi yang layu dan hampir mati. Ia menabur benih sawi yang baru agar tidak ada lahan kosong lalu menyiramnya dengan sedikit air.

"Kenapa nggak pakai topi, muka kamu bisa gosong kena matahari." Zaid duduk di saung yang berada di pinggir kebun.

Umar terkekeh, ia bahkan tidak memperhatikan itu. Orangtua memang lebih perhatian dari pada diri sendiri. Umar memutuskan untuk istirahat sebentar di saung.

Umar meneguk sebotol air yang dibawanya dari rumah hingga tandas. Ia melempar tatapan pada kebunnya yang sebentar lagi panen. Hal yang paling menyenangkan saat berkebun adalah saat panen. Biasanya Umar akan dibantu oleh beberapa santri laki-laki.

"Kamu tahu Hilya?"

Umar memutar kepala melihat Zaid yang duduk di sampingnya. Ia tampak berpikir sebelum menjawab pertanyaan Zaid.

"Hilya putrinya Kyai Abizar?"

"Benar, besok mereka akan berkunjung kesini, kamu pulang dari kampus jam berapa?"

"Mungkin agak malam Bah karena ada kajian juga di masjid."

"Nggak bisa pulang lebih awal, mungkin mereka akan kesini sebelum magrib."

"Tapi bukannya mereka akan mengunjungi Abah?"

"Iya tapi Kyai Abizar ingin ketemu kamu juga, terakhir kesini kamu masih kuliah beberapa tahun lalu."

"Kalau begitu Umar akan usahakan pulang sebelum mereka datang."

Percakapan mereka terhenti ketika seorang santri putri datang.

"Assalamualaikum Ustadz."

"Waalaikumussalam." Umar menegakkan tubuh, seorang santri putri berdiri di dekat pagar kebun tampak ragu-ragu seperti hendak mengucapkan sesuatu. "Ada apa?" Tanyanya.

"Di depan ada perempuan yang mencari Ustadz."

"Perempuan?" Umar mengerutkan kening, tak pernah ada perempuan yang datang kesini untuk mencarinya.

"Benar Ustadz."

"Siapa?"

"Ah itu saya lupa untuk menanyakan namanya tapi—" ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Tapi apa?" Dilihat dari raut wajahnya, santri tersebut hendak menjelaskan sesuatu tapi tak bisa memilih kalimat yang tepat untuk diucapkan.

"Sudahlah Umar, kamu lihat sendiri kesana." Zaid menyentuh bahu Umar.

"Baik Abah." Umar segera turun dari saung sesuai perintah abahnya.

Umar melangkah lebih dulu, ia penasaran siapakah perempuan yang datang mencarinya. Umar yakin ia tidak memiliki janji dengan siapapun terutama perempuan.

Santri putri tampak berkerumun di depan gerbang sedangkan santri laki-laki juga ribut di depan masjid. Umar semakin mempercepat langkah penasaran dengan perempuan yang telah membuat para santri ribut.

Langkah Umar terhenti ketika melihat Ummi nya sudah berada di antara kerumunan santri perempuan. Entah kenapa perasaan Umar tidak enak menyaksikan pemandangan itu.

"Semuanya kembali ke kamar masing-masing ya." Titah Maryam, "kita siap-siap shalat duhur."

Para santri perlahan membubarkan diri sambil berbisik-bisik satu sama lain, bisikan yang tak bisa Umar dengar.

Umar berusaha melihat seseorang yang berada di depannya beberapa meter tapi terhalang oleh Maryam.

"Ummi." Panggil Umar.

Maryam membalikkan badan hingga Umar bisa melihat sosok perempuan yang katanya datang untuk mencarinya.

Alangkah terkejutnya Umar melihat perempuan itu ternyata Atalie. Umar seperti tersambar petir di tengah terik matahari. Keringat yang menetes di wajahnya mendadak beku begitupun dengan otaknya.

Mungkin Umar tak akan terlalu terkejut jika Atalie datang dengan penampilan seperti yang biasa ia lihat di masjid. Namun beda cerita jika—

"Dia mencari mu." Tukas Maryam.

"Umar tidak mengenalnya Ummi." Umar menunduk melihat tanah yang dipijaknya karena malu.

Penampilan Atalie tentu membuat semua orang terkejut tidak terkecuali Maryam. Namun Maryam berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Atalie mengenakan longsleeve knit biru muda dan celana putih sepaha memperlihatkan kaki jenjangnya yang putih bersih. Tato berbentuk planet Saturnus di betis Atalie juga tak luput dari penglihatan.

"Dia mau mengembalikan buku yang kamu pinjamkan padanya."

Umar melihat dua buah buku di tangan Atalie, salah satunya adalah buku miliknya. Benar juga, ia memberikan buku itu pada Atalie kemarin. Umar tak menyangka jika Atalie akan mengembalikannya kesini.

Kini Umar menyesal karena menulis alamat rumahnya di setiap buku yang ia beli. Awalnya itu bermaksud agar jika bukunya hilang dan ditemukan oleh seseorang, maka orang itu akan mudah mengembalikan pada pemiliknya. Bahkan Umar mencantumkan nomor teleponnya disana.

Atalie mengembangkan senyum melihat Umar, meski penuh keringat tapi Umar tetap terlihat tampan. Sadar Atalie!

"Berikan buku itu pada Ummi saya lalu segera pergi." Ucap Umar dengan nada dingin.

Senyum di wajah Atalie memudar, mengapa Umar mengusirnya. Ia jika tak akan berlama-lama disini dan pasti pulang tanpa Umar suruh.

Atalie memberikan buku itu pada wanita berpakaian serba hitam dan tertutup yang Umar panggil dengan sebutan Ummi.

"Terimakasih." Ucap Atalie dengan suara pelan hampir tidak terdengar.

"Jangan pergi dulu, karena kamu sudah kesini mari masuk sebentar, Nduk."

"Tidak usah Ummi." Atalie ikut-ikutan memanggil Ummi.

Maryam tersenyum, "tidak apa-apa, mari." Ia menarik Atalie mengajaknya masuk ke dalam rumah sebelum lebih banyak santri yang melihat Atalie.

Atalie duduk di sofa ruang tamu sementara Umar sudah menghilang tidak tahu kemana.

"Nama saya Maryam, Ummi nya Umar."

"Maaf, saya pikir nama anda Ummi." Atalie salah tingkah, bisa-bisanya ia begitu percaya diri memanggil Ummi.

"Ummi sama dengan Mama, kalau boleh tahu nama kamu siapa?"

"Maaf saya lupa memperkenalkan diri, nama saya Atalie, kalau begitu saya akan panggil Tante saja." Atalie mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh Maryam.

"Tidak masalah panggil Ummi." Maryam tidak keberatan jika Atalie memanggilnya Ummi seperti para santri disini.

Atalie mengangguk samar.

"Kamu temannya Umar?"

"Bukan, sebenarnya saya belum pernah bicara dengan Umar, saya hanya sering datang ke kajiannya." Atalie ingin berteman dengan Umar tapi sepertinya lelaki itu sudah membangun dinding kokoh di antara mereka.

"Sendirian?"

"Dengan dua teman saya."

"Kamu juga boleh datang ke kajian saya setelah subuh."

"Subuh?" Atalie mendelik, ia biasanya bangun jam 10 itupun kalau tidak ada kuliah atau ibadah pagi. "Subuh itu—"

"Sekitar setengah 5."

"Sebenarnya saya tidak pernah bangun sepagi itu."

Maryam tersenyum mendengar kejujuran Atalie, "sebentar ya." Ia beranjak dari sofa meninggalkan Atalie.

Atalie mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru. Meski tidak sebesar rumahnya tapi Atalie merasa nyaman disini.

"Kenapa Umar ngusir aku?" Atalie kembali muram mengingat ucapan Umar tadi. "Dia cuma sok baik pinjemin buku, aku juga bisa beli sendiri buku kayak gitu." Gerutunya.

Maryam mendapati Khawla berada di dapur bersama beberapa santri tengah memotong sayur untuk makan siang.

"Khawla, tolong buatkan teh untuk tamu di depan." Pinta Maryam.

"Baik Ummi, sebentar lagi saya antar ke ruang tamu."

"Terimakasih ya."

"Sama-sama Ummi."

Atalie segera memasang senyum melihat Maryam kembali membawa belimbing yang sudah dipotong-potong.

"Ini belimbing dari kebun belakang rumah, silakan."

Atalie mencomot satu belimbing dan melahapnya. Air dari belimbing yang manis sangat menyegarkan apalagi saat cuaca panas seperti sekarang.

"Manis banget Ummi." Atalie tak pernah memakan buah belimbing sebelumnya. Ternyata rasanya sangat enak.

"Umar yang menanamnya."

Atalie berhenti mengunyah mendengar nama Umar, ia telanjur kesal pada laki-laki itu.

"Ini teh nya Ummi." Khawla meletakkan segelas teh di atas meja.

"Terimakasih Khawla." Ucap Maryam.

Atalie melihat wanita bernama Khawla, ia bertanya-tanya apakah wanita itu istri Umar? Atalie penasaran tapi tak berhak bertanya.

"Maaf saya sudah merepotkan banyak orang." Atalie jadi tidak enak karena kedatangannya sempat membuat heboh. Pertama ia tidak tahu apa itu pondok pesantren, kedua ia tidak tahu jika semua orang di pesantren mengenakan baju tertutup seperti Maryam. Jika tahu, Atalie akan ganti baju dengan yang lebih tertutup sebelum kesini. Pengetahuan umumnya benar-benar sangat sedikit.

Khawla kembali ke dapur setelah mengantarkan teh untuk Atalie. Ia terkejut melihat tamu yang Maryam bicarakan, ia harap tamu itu tidak menyadarinya.

"Ini kewajiban kami menjamu tamu walaupun hanya segelas teh."

"Ini sudah lebih dari cukup, Ummi." Atalie menyesap teh beraroma melati itu. "Ah panas!" Ia terkejut ketika cairan teh itu menyentuh permukaan lidahnya.

Gila Atalie, kamu udah nggak waras ya! Jelas-jelas teh nya masih berasap.

"Pelan-pelan Nduk." Maryam mengusap teh yang tumpah ke paha Atalie.

"Ah iya Ummi." Mata Atalie berair akibat teh panas itu. Ia kembali melahap sepotong belimbing untuk meredakan rasa panas di lidahnya.

"Kamu masih kuliah?"

"Saya semester terakhir program magister manajemen Ummi."

"Ummi, sebentar lagi duhur." Umar muncul dari ruangan lain di rumah itu, ia sudah berganti pakaian. Bukan lagi kaos oblong yang basah oleh keringat.

"Ummi tahu."

"Kalau begitu saya pamit dulu." Atalie ingin segera pergi melihat Umar.

"Kamu belum minum tehnya."

Atalie meneguk teh panas tersebut hingga tandas tak peduli jika itu akan membakar kerongkongannya. Yang penting ia bisa segera pergi dari sini.

Maryam ikut beranjak saat Atalie bangkit dari sofa.

"Ummi tidak usah mengantar saya ke depan, terimakasih teh dan belimbing nya." Atalie melangkah cepat keluar rumah menuju gerbang. Ia juga memarkirkan mobilnya disana.

Maryam melihat punggung Atalie semakin menjauh lalu masuk ke dalam mobil putih yang terparkir di depan gerbang.

"Dia Atalie, yang kamu sebut gadis aneh?" Maryam menatap Umar yang duduk di sofa menggantikan posisi Atalie tadi.

"Maaf Ummi, Umar tidak tahu jika dia akan kesini."

"Kenapa minta maaf, dia datang karena hendak mengembalikan buku yang kamu pinjamkan."

"Mungkin penampilannya membuat Ummi terkejut, lain kali Umar tidak akan mengajaknya bicara apalagi meminjamkan buku."

"Ummi memang terkejut tapi kita tidak boleh membencinya."

Umar terdiam, ia hanya tidak suka melihat penampilan Atalie yang kelewat sexy dan keberaniannya datang kesini. Padahal Atalie bisa saja mengembalikan buku itu saat mereka bertemu di masjid.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!