"Bagaimana ini ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang?", gumam Raya dengan penuh kecemasan.
Ya, dua jam yang lalu ia resmi menjadi istri seorang CEO muda yang tak pernah sekalipun ia bayangkan sebelumnya. Meski sekarang lelaki yang sudah menjadi suaminya itu pergi entah kemana, Raya tetap saja diliputi kecemasan tentang bagaimana dirinya harus menghadapi sang suami setelah dia kembali nanti.
Raya menatap dirinya sendiri di cermin. Terlihat jelas riasan natural masih tampak di wajah cantiknya, gaun sederhana yang tadi ia kenakan pun masih menempel erat di tubuhnya.
Raya berkali-kali menarik nafas berat. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang, terlebih saat ini dirinya sudah berada disebuah kamar mewah yang tampak cantik dengan berbagai hiasan bunga mawar yang beraroma semerbak.
Ya, sudah lebih dari tiga puluh menit Raya ada di dalam ruangan itu. Tempat yang juga tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Meski kamar ini dihias begitu indah dan nyaman, tapi nyatanya tidak demikian dengan hatinya.
Raya kembali mengambil gawai yang sedari tadi tergeletak begitu saja di nakas. Matanya menatap sendu ke layar gawai itu. Melihat potret dirinya dengan kedua orang tuanya yang sudah tiada. Matanya mulai berkabut, menahan air mata kerinduan sekaligus kesedihan.
"Tidak ada siapapun yang bisa aku hubungi saat ini. Tuhan, kenapa aku tidak bisa memilih takdirku sendiri?", bisik hati kecil Raya. Tanpa sadar, air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya menetes begitu saja dari kedua pelupuk mata indahnya.
.
.
"Lho Zra, lo masih di sini? gue kira udah balik ke rumah. Pengantin baru kok nyangkut di club malam sih, ckckck", ucap Bagas, sahabat baik Ezra yang baru saja tiba di ruang VVIP sebuah club.
Ezra menatap sahabatnya itu dengan memicingkan matanya, "Ck, berisik lo. Gue belum mau balik, males", jawab Ezra ketus.
"Jangan gitu, Zra. Kalau gue jadi lo, gue gak akan peduli sama urusan perasaan yang penting malam pertama bisa gue nikmati. Apalagi kalau istrinya seperti Raya, gue pasti betah di atas ranjang", imbuh Dion dengan tangan yang sibuk menuangkan wine ke dalam gelas.
Ezra, Bagas, dan Dion, mereka bertiga sudah bersahabat sejak kecil. Ketiganya merupakan putra dari keluarga pengusaha yang super kaya dan sukses.
Ezra lahir dari keluarga Hadinata, pemilik usaha property yang jangkauannya sudah merambah ke luar negeri. Lalu Bagas, ia lahir dari keluarga pemilik pertambangan ternama di negara X ini, sedangkan Dion merupakan putra tertua dari pemilik beberapa bank dan lembaga keuangan.
Keluarga mereka bertiga sudah sejak lama berteman baik dan saling bekerja sama, sehingga putra-putranya pun memiliki kedekatan yang baik.
Ezra tersenyum sinis, "Otak lo gak berubah juga ya, urusannya ranjang terus. Parah", ejek Ezra.
Bagas ikut tersenyum geli mendengar ucapan Ezra.
"Ck, gue laki-laki normal, Zra. Mana bisa menahan diri kalau dapat pasangan ala bidadari macam istri lo itu", jawab Dion santai.
Ezra hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja mendengar ucapan Dion. Ya, sahabat baiknya ini memang sedari dulu terkenal sebagai pemain yang ulung dalam urusan wanita.
Meskipun perilaku Dion juga Bagas terkadang kelewat batas, tapi bagi Ezra, mereka tetap sahabat yang baik. Mereka menjadi tempat Ezra menumpahkan segala hal yang terjadi dengan dirinya, termasuk pernikahan dadakan yang harus ia jalani sejak beberapa jam yang lalu.
"Eh, jangan sampai kelapa lo teracuni sama Raya. Ingat, dia istri sah sahabat kita ini, Bro", timpal Bagas.
Bagas sudah melihat gelagat aneh dari Dion semenjak mereka menghadiri pernikahan Ezra beberapa jam lalu yang diselenggarakan dengan sederhana dan tertutup.
Dion tertawa kecil, "Tenang aja, gue gak sejahat itu kok ambil istri sahabat sendiri. Tapi kalau lelaki pemilih ini memang gak mau, tentu dengan senang hati Raya gue ambil", ujar Dion santai diikuti tawa renyah di antara mereka bertiga.
Malam semakin larut, perbincangan ketiga sahabat itu pun semakin tak karuan. Terlebih saat Dion mulai memancing Ezra dan Bagas dengan menawarkan beberapa wanita yang bisa mereka ajak bersenang-senang di club malam itu.
.
.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam dan Raya belum melihat tanda-tanda suaminya akan pulang.
"Sebaiknya aku membersihkan diri dulu saja", ucap Raya pada dirinya sendiri.
Sudah lebih dari dua jam dia diam dalam kecemasan di kamar pengantin itu dan saat ini hatinya lebih tenang setelah ia berusaha menerima takdirnya, menjadi istri dari seorang Ezra Hadinata, putra tunggal keluarga Hadinata.
Raya berdiri dari tempat duduknya, dia segera menghampiri pintu kamar untuk menguncinya. Dia tidak ingin ada orang lain masuk saat dirinya tengah membersihkan diri sekalipun yang datang itu suaminya.
Sedikit demi sedikit Raya melepaskan aksesoris yang menempel di kepalanya, lalu ia juga melepaskan jilbab yang sedari tadi masih tampak begitu rapi.
"Aduh, gaun ini, aku simpan di mana ya?", ucap Raya dengan mata yang tengah sibuk menjelajah seisi kamar yang luas itu.
"Ah sudahlah, urusan gaun nanti saja aku pikirkan. Sekarang aku harus bergegas membersihkan diri sebelum ada yang datang", lanjut Raya lagi.
Dia segera masuk ke dalam kamar mandi yang ada di kamar itu setelah melepaskan gaun pesta yang ia ganti dengan handuk kimono.
Raya cukup menikmati aktivitasnya di kamar mandi. Guyuran air hangat dari shower dapat membantu dirinya untuk lebih rileks, pun dengan aroma terapi yang juga menyeruak di dalam sana.
.
.
"Bro, nih gue kenalin Gita, Devi, dan Nita yang siap menemani kita malam ini", Dion datang bersama tiga orang wanita bertubuh sintal dengan pakaian super ketat hingga menunjukkan lekuk tubuh mereka.
"Hallo, kenalin gue Gita", wanita bernama Gita itu mengulurkan tangannya pada Bagas dan Ezra.
"Kalau gue Devi dan ini teman gue, Nita", lanjut Devi yang memperkenalkan dirinya diikuti oleh Nita.
"Gila, dapat dari mana sih lo cewek cakep semua", seloroh Bagas yang tampak semangat dengan kedatangan ketiga wanita yang kini sudah duduk di depannya.
"Ah, lo kayak gak tahu gue aja, Gas. Urusan cari cewek tuh cincai", jawab Dion bangga.
Ezra yang sedari tadi terdiam rupanya menarik perhatian Gita, "Kamu kok diam aja sih? apa ada yang salah sama kita?", tanya Gita tanpa ragu.
Ezra yang duduk di seberang ketiga wanita itu melirik sebentar, "Sorry, I'm ok", jawab Ezra pendek.
Sedari awal Gita memerhatikan Ezra. Dia tertarik dengannya dan semakin penasaran dengan sosok lelaki itu yang tampak agak cuek. Padahal selama ini tidak ada satu lelaki pun yang datang ke club dan bisa mengabaikan pesona Gita.
"Ck, Zra, lo jangan ketus gitu dong kalau sama cewek, kasihan", seloroh Dion yang sedari tadi ikut mengamati ekspresi Ezra yang tampak tak bersemangat.
Ezra tersenyum tipis, "Gue balik ya, Bro", ia bangkit dari tempat duduknya.
"Lho, kok balik sih, Zra? tadi katanya gak mau pulang, males", sindir Bagas yang kini tengah asyik merapatkan tubuhnya ke Nita.
"Iya nih, Si Ezra gak asyik. Susah payah lho gue nyari cewek-cewek tercantik di sini, eh lo malah pergi, parah", timpal Dion.
Ezra menatap kedua sahabatnya itu, "Sorry, gue berubah pikiran. Thank's ya Bro, sampai ketemu besok", ujar Ezra santai, dia sudah bersiap melangkahkan kakinya, tapi dengan cepat Gita menarik tangan Ezra.
"Tunggu, kamu yakin mau ninggalin aku di sini?", tanya Gita genit. Wanita itu sudah berdiri di samping Ezra dan menatapnya dengan penuh harap.
"Sorry, gue harus pulang. Lo bisa di sini bareng mereka", Ezra menepis tangan Gita dan berlalu tanpa menoleh lagi ke ruang tempat dirinya tadi menghabiskan waktu bersama Bagas dan Dion.
"Sial", keluh Gita. Dia meremas kedua tangannya karena kesal.
Gita tahu betul siapa Ezra, bahkan bisa dibilang hampir semua wanita di club malam ini begitu menginginkan kesempatan untuk bisa bersama lelaki itu. Sayang, saat dirinya mendapatkan kesempatan yang diidam-idamkan para wanita malam, Ezra justru menolaknya dengan mudah.
"Udahlah Gita sayang, di sini masih ada gue sama Bagas. Gue siap kok memuaskan lo juga Devi sekaligus", goda Dion yang bisa menangkap raut kekecewaan di wajah Gita.
"Gila, mana mau gue main bertiga. Gue out!", jawab Gita tegas. Ia bahkan pergi dari tempat itu tanpa berpamitan pada yang lainnya.
Sesampainya di mobil, Gita memukul stir dengan keras, "Gue gak akan nyerah, Ezra Hadinata, gue pastikan cepat atau lambat lo akan bertekuk lutut di depan gue", ucap Gita pasti.
Ezra mengendarai mobil sport miliknya dengan kecepatan maksimal. Semenjak dia meninggalkan rumah, sudah beberapa kali ibunya menelepon, tapi Ezra abaikan.
Flashback
"Sayang, Mama tahu kamu pasti tidak setuju dengan keputusan Papa dan Mama. Tapi percayalah, Raya itu anak yang baik. Papa dan Mama tahu betul orang tua dan keluarga mereka seperti apa. Jadi, Mama harap kamu bisa menerima pernikahan ini, ya", bujuk Mama Laura.
Ezra menundukkan kepalanya, ia meremas rambutnya frustasi. Entah bagaimana mulanya, ia yang baru saja kembali ke negara X setelah menyelesaikan kuliah masternya di luar negeri langsung ditodong untuk menikah dengan wanita yang sama sekali belum pernah ia lihat dan tidak pernah ia kenal.
"Ezra, Papa dan Mama selama ini selalu memenuhi semua keinginan kamu. Kami tidak pernah menuntut apapun dari kamu. Apa yang Papa dan Mama lakukan, ini untuk kebaikan kamu. Tolong, kali ini saja penuhi harapan kami", lanjut Sang Papa yang saat itu juga menatapnya dengan dalam.
Ezra merasa dihakimi dan dipaksa, tapi sebagai putra tunggal dari keluarga Hadinata, apa yang kedua orang tuanya katakan memang benar, semua keinginan Ezra selalu mereka penuhi dan tanpa syarat.
"Tapi Pa, Ma, kenapa harus secepat ini? apa tidak ada kesempatan buat Ezra mengenal dulu siapa dan bagaimana wanita itu?", tolak Ezra dengan halus namun penuh penekanan.
Mama Laura melirik suaminya, "Sayang, Raya sudah kehilangan kedua orang tuanya sebulan yang lalu. Mama dan Papa tahu dia juga masih berkabung dan ya, kami pun mengerti ini juga tidak mudah untuk kamu terima. Tapi permintaan terakhir dari orang tua Raya adalah menjadikan putrinya menantu di keluarga kita. Percayalah, setelah menikah nanti kamu akan bisa mengenal Raya dengan lebih baik", terang Mama Laura lembut.
"Tapi Ma ...".
"Tidak ada kata tapi, Ezra. Kamu adalah harapan satu-satunya dari keluarga ini. Meskipun kamu belum pernah bertemu dan belum mengenal Raya, kamu harus percaya kalau Papa dan Mama tidak mungkin asal memilihkan calon istri buatmu", tegas Papa Hadinata.
Malam itu, setelah Ezra mendengar ucapan kedua orang tuanya malam itu, ia hanya bisa pasrah menerima keputusan yang ada karena seberapa besar pun usahanya untuk menolak, keputusan Papa dan Mama tidak akan pernah berubah.
Flashback off
Ezra memasuki rumah mewah bergaya Eropa klasik dan memarkirkan mobilnya dengan cepat. Meskipun hati kecilnya enggan untuk pulang, tapi rasa lelah sepanjang hari ini lebih kuat memaksanya untuk kembali.
Baru saja Ezra turun dari mobilnya, gawainya kembali bergetar, ada nama Sang Mama di layar.
"Hallo, sayang ...".
"Iya, Ma. Ada apa?".
"Mama ganggu ya? maaf, Mama cuma mau memastikan saja, kamu bersama Raya kan?", tanya Mama Laura tanpa basa-basi.
Ezra menarik nafas berat, "Iya, Ma. Kenapa?".
"Syukurlah, tak apa, Mama hanya khawatir kamu keluyuran setelah acara pernikahan tadi. Oh ya, sebentar lagi pesawat Mama mau take off, ingat, jaga istri kamu dengan baik dan tolong segera kasih Papa dan Mama cucu, bye sayang", Mama Laura menutup teleponnya dengan cepat.
Ezra terpaku sejenak, ia tidak habis pikir dengan sikap Sang Mama yang begitu mudah menikahkan dirinya dengan wanita asing dan sekarang meminta cucu.
"Ck, permintaan gila macam apa itu?", Ezra mengeluh.
Ia segera masuk ke dalam rumah. Suasana rumah sangat sunyi karena malam memang sudah larut. Semua orang yang ada di sana tentu sudah beristirahat semua.
Ezra menatap tangga ke lantai atas, pikirannya kalut, "Apa aku harus ke sana atau ...", Ezra bergumam.
Jika ia ke lantai atas, itu artinya ia harus masuk ke kamarnya yang kini menjadi kamar milik Raya juga dan itu artinya ia akan bertemu dengan gadis itu di sana.
"Gak bisa, gue gak bisa masuk ke sana", gumam Ezra lagi. Akhirnya ia memilih untuk merebahkan tubuhnya di sofa ruang utama, meski ada beberapa kamar kosong dan juga kamar tamu, tapi Ezra enggan memasukinya, ia merasa lebih nyaman beristirahat di sofa saja.
Sementara itu, Raya yang sudah selesai membersihkan diri sejak satu jam yang lalu masih belum bisa memejamkan kedua matanya. Meski dirinya merasa lelah, tapi ia belum terbiasa berada di tempat asing seperti kamar itu.
Raya ragu untuk merebahkan diri di atas ranjang mewah yang tampak indah dengan taburan kelopak bunga mawar. Ia juga tidak mau merebahkan dirinya di sofa yang ada di sana.
"Kalau sampai aku tertidur itu akan sangat berbahaya", batin Raya.
Setelah melalui pergulatan panjang dalam dirinya sendiri, Raya memutuskan untuk keluar dari kamar itu. Dia akan mencoba mencari tempat lain di rumah megah ini yang menurutnya nyaman untuk menjadi tempatnya beristirahat.
Raya berjalan menuruni anak tangga dan saat kakinya melewati ruang utama, ia melihat lampu nakas menyala. Meski samar-samar, Raya bisa melihat ada seseorang yang tertidur di sofa.
"Siapa itu?", batin Raya.
Perlahan, ia melangkahkan kakinya untuk mendekati sosok yang tampak lelap tertidur di sana.
"Ya ampun, Mas Ezra", ucap Raya menahan suaranya sendiri.
Dag dig dug
Jantung Raya mendadak tak karuan setelah ia tahu lelaki yang terlelap itu adalah suaminya.
Sejenak Raya bingung harus berbuat apa. Ia bisa melihat raut wajah lelah Ezra, tapi ia juga tidak berani membangunkan suaminya itu untuk pindah tidur di kamar.
"Enggak Raya, kamu gak boleh sentuh dia, big no", batin Raya.
Perlahan-lahan Raya berjalan meninggalkan Ezra yang masih terlelap di sofa. Sayang, mata dan langkahnya tidak selaras, tanpa sengaja Raya menyenggol vas bunga di atas nakas.
Praaangggg
"Siapa?!", teriak Ezra yang mendadak terbangun dari tidurnya.
Raya yang juga ikut terkejut hanya bisa berdiri membeku di dekat pecahan vas bunga itu.
"Kamu? sedang apa kamu di sini?", tanya Ezra dengan mengernyitkan dahinya saat melihat Raya yang tengah mematung tak jauh dari tempatnya beristirahat.
"A ... aku, ma ... maaf, Mas. Aku ... aku tidak sengaja, aku ...", Raya begitu gugup.
Ezra bangun dari sofa dan menghampiri gadis itu.
"Kamu yang memecahkan vas bunga ini?", tanya Ezra lagi.
"Maaf, Mas", jawab Raya pendek.
"Ck, kamu berhasil mengganggu tidurku. Apa kamu tidak tahu aku sangat lelah hari ini?", bentak Ezra.
Raya menundukkan kepalanya, dia benar-benar tidak berani menatap Ezra yang berdiri sangat dekat dengan dirinya.
"Aku mau istirahat di atas dan aku tidak peduli kamu mau istirahat di mana. Jangan berulah dan jangan ganggu aku lagi!", tegas Ezra sambil lalu meninggalkan Raya yang masih terpaku di tempatnya.
Raya tak memberikan jawaban apapun, saat ini hatinya benar-benar tak karuan. Mendengar bentakan dan ucapan Ezra barusan, Raya sangat paham jika suaminya itu tidak menyukai dirinya.
Tanpa banyak berkata-kata, Raya memilih untuk membersihkan pecahan vas bunga yang berserakan di lantai.
"Setelah ini, aku akan beristirahat di mana?", gumam Raya dalam sepi.
"Lho, Non, kok tidur di sini?", terdengar sebuah suara yang membuyarkan rasa kantuk Raya.
"Mmmhh ... Mbok Nah, ini jam berapa?", tanya Raya sambil menggeliat dan mengerjapkan kedua matanya.
"Ini jam setengah lima pagi, Non. Non Raya kenapa tidur di meja makan toh?", tanya Mbok Nah bingung.
Raya menatap Mbok Nah dan tersenyum manis, "Tak apa, Mbok. Terima kasih sudah membangunkanku, aku mau sholat subuh dulu, ya", ucap Raya yang kini sudah berhasil mengembalikan setengah kesadarannya.
"Iya, Non".
"Oh ya, Mbok, kalau di rumah ini apa ada mushola atau alat sholat yang bisa aku pakai?", tanya Raya.
Mbok Nah menatap Raya dengan heran, "Anu, Non, apa di kamar Non Raya tidak ada alat sholat? seingat Mbok, Tuan dan Nyonya besar sudah menyiapkan semua keperluan Non Raya di sana", terang Mbok Nah hati-hati.
Raya terdiam sejenak, "Ah iya, terima kasih, Mbok. Aku cek ya", jawab Raya.
Mbok Nah hanya menganggukkan kepalanya.
Raya sebetulnya ragu untuk kembali ke kamar atas yang juga merupakan kamar Ezra. Terlebih semalam Ezra sudah memperingatkannya untuk tidak mengganggu istirahatnya lagi.
"Bagaimana ini? masuk atau tidak, ya?", Raya masih berargumen dengan dirinya sendiri.
Di satu sisi, dia tidak berani masuk, tapi di sisi lain, Raya membutuhkan perlengkapan sholatnya dan akan jadi pertanyaan besar kalau Raya meminjam atau menanyakan lagi hal itu pada Mbok Nah.
"Bismillah ... aku masuk saja, pelang-pelan Raya", gumam Raya sambil membuka pintu kamar dengan perlahan.
Aroma semerbak bunga mawar masih begitu menyeruak tatkala pintu kamar itu dibuka.
Suasana dalam kamar benar-benar temaram bahkan hampir gelap karena rupanya Ezra tidak menyalakan lampu tidur di dalam sana.
"Ya ampun, aku harus cari di mana alat sholatnya", batin Raya.
Ia segera merogoh saku piyama tidurnya untuk mengambil gawai dan memanfaatkan senter yang ada di sana.
"Ck, gawaiku mati lagi", keluh Raya.
Semalam gawainya memang tidak dia charge. Raya akhirnya memilih untuk merangkak mendekati tirai yang ada di dekat lemari. Ia berpikir untuk membuka sedikit tirai itu agar cahaya lampu dari balkon bisa menerangi lemari.
"Ah ..."
Brukkk
Tidak sengaja kaki kanan Raya tersandung tempat tidur. Dirinya jatuh tepat di atas tubuh Ezra yang masih terlelap.
Deg
Lagi, jantung Raya berdegup. Dia merutuki kecerobohannya, tapi sudah terlambat, Ezra sekarang mengerjapkan kedua matanya.
"Kamu? apa yang kamu lakukan di sini?", Ezra menyalakan lampu tidur di nakas dan terkejut mendapati Raya kini berada di atas tubuhnya.
Dia dengan segera mendorong tubuh Raya hingga terjatuh.
"Aduh ... sakit", keluh Raya.
"Dasar perempuan tidak tahu malu, apa yang kamu lakukan di sini? dan tadi itu, kenapa kamu bertindak seperti itu hah?", Ezra memberondong Raya dengan pertanyaan.
"Maaf Mas, itu ... aku ... aku hanya sedang mencari perlengkapan sholat dan tadi kakiku tidak sengaja tersandung, Mas", terang Raya cepat.
Ezra masih tak percaya mendengar ucapan Raya. Dia menatap istrinya itu dengan tatapan tak suka.
"Jangan banyak beralasan kamu. Jangan kamu pikir karena aku menikahimu lantas kamu bisa berbuat seenaknya di rumah ini!", tegas Ezra.
Kejadian barusan membuyarkan rasa kantuk dan rasa lelah Ezra.
"Cepat cari dan ambil barang itu. Jangan lupa, kamu kemas juga semua barang-barangmu dari kamar ini dan jangan pernah menginjakkan kaki lagi di kamarku. Aku tidak suka!", lagi, Ezra memberi penekanan pada ucapannya sebelum ia berlalu ke dalam kamar mandi.
Raya yang masih terduduk di lantai hanya bisa menundukkan kepalanya.
Tanpa menunggu waktu lama, Raya segera mencari dan mengemas barang-barang miliknya. Beruntung, barang-barang milik Raya masih tersimpan rapi dalam koper. Jadi dia bisa lebih cepat meninggalkan kamar itu.
"Lho, Non Raya mau kemana?", tanya Mbok Nah yang baru saja selesai membersihkan area ruang keluarga. Ia heran melihat majikannya sepagi ini turun dengan membawa dua buah koper.
Raya tersenyum tipis, dia bingung harus bagaimana menjelaskan keadaannya.
"Mbok, tolong jangan cerita ke Papa dan Mama, ya", pinta Raya.
Mbok Nah mengangguk.
"Di rumah ini apa ada kamar lain yang bisa aku pakai, Mbok?", tanya Raya.
"Ada, Non. Di sini ada banyak kamar. Mari, Mbok bantu dan antar Non Raya", tawar Mbok Nah. Wanita paruh baya itu segera mengambil koper dari tangan Raya.
"Terima kasih, Mbok", ucap Raya. Ia mengikuti langkah Mbok Nah ke kamar yang lain.
Sementara itu, Ezra mendapatkan pesan dari Sang Mama yang mengabarkan bahwa dirinya sudah sampai di negara Y.
Setelah Ezra menikah, kedua orang tuanya memang memilih meninggalkan negara X dan menetap di negara Y. Mereka bahkan sudah mewariskan perusahaan property di negara X kepada Ezra.
Ezra hanya tersenyum tipis melihat pesan dari Sang Mama yang disertai foto dirinya bersama Papa Hadinata.
"Semoga Mama dan Papa sehat dan bahagia selalu di sana", ucap Ezra sambil mengetik pesan balasan di gawainya.
Ezra segera melirik jam di tangannya, sudah menunjukkan pukul delapan pagi dan sejak subuh tadi dia belum keluar dari kamar.
Ezra turun setelah ia selesai berolahraga. Tubuhnya yang masih berkeringat dengan otot yang terlihat jelas membuat penampilan Ezra pagi ini sungguh memesona.
"Selamat pagi, Tuan Muda", sapa Mbok Nah sesaat setelah dirinya melihat Ezra turun menuju meja makan.
"Pagi, Mbok. Sarapan pagi ini apa, Mbok?", tanya Ezra. Ia memperhatikan menu yang tersaji di meja.
"Anu, pagi ini ada soto ayam dan jus mangga, Tuan", terang Mbok Nah.
Ezra mengernyitkan dahinya, "Soto ayam? sejak kapan makanan seperti itu disajikan di rumah ini?".
"Itu ...".
"Maaf Mas, aku yang membuatnya", tiba-tiba saja Raya muncul dari arah ruang utama.
Ezra tersenyum sinis, "Hooo kamu yang masak. Pantas saja makanan kampungan macam itu ada di sini. Mbok, tolong buatkan sarapanku seperti biasa dan antarkan ke kamar", ucap Ezra setelah ia menatap tajam ke arah Raya.
"Baik, Tuan", jawab Mbok Nah cepat.
"Dengar, jangan berlagak seperti seorang istri buatku karena sampai kapanpun, aku tidak akan pernah menerima dan mengakui kamu sebagai istriku, ingat itu!", ucap Ezra tanpa perasaan.
Raya yang mendengar ucapan itu merasakan ada sesak di dadanya. Dia tahu pernikahan mereka sangat mendadak dan penuh paksaan, tapi meskipun begitu, menurut Raya tidak pantas seorang suami berkata sekasar itu pada istrinya meski di hati mereka berdua belum ada cinta.
Raya berusaha menetralkan rasa sesak di hatinya, ia juga berusaha menahan kedua matanya agar tidak berkabut karena ucapan yang menyakitkan.
"Non, maaf ...".
Raya tersenyum tipis, "Tak apa, Mbok. Mbok lanjutkan saja membuat sarapan kesukaan Mas Ezra. Masakanku tadi biar aku yang makan nanti aku bagi bareng Mbok dan Pak Seno, ya".
"Iya, Non. Terima kasih".
Raya menganggukkan kepalanya, "Mbok, aku permisi ke kamar dulu", pamit Raya.
"Nggih, Non", Mbok Nah menatap kepergian Raya dengan perasaan haru.
"Semoga saja Tuan Ezra bisa bersikap lebih baik pada istrinya", harap Mbok Nah dalam hati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!