"Rina, Rina yang benar saja kamu." Tunjuk mama mertuaku yang menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Gak ada bagus-bagusnya kamu itu, mau diapain juga." Hardiknya membuat aku semakin menundukkan kepala.
Semenjak aku berpacaran sampai menikah pun sikap mama mertuaku semakin menjadi. Sakit. Perih yang aku rasa masih aku tahan, asalkan Mas Farhan setia dan mencintai ku dengan setianya Mas Farhan sudah cukup bagiku, ocehan dan Omelan yang setiap hari aku dengar dari mama mertua aku anggap angin lalu. Kupingku sudah terlalu kebas mendengar makian, hinaan, selalu jadi bahan perbandingan antara kakak-kakak Mas Farhan.
Mas Farhan anak bungsu dari tiga bersaudara yang pertama mas Fatah yang kedua Mas Fahmi dan terakhir Mas Farhan suamiku. Kedua kakaknya dapatkan istri dari kalangan keluarga terpandang sedangkan aku hanya anak seorang pengepul barang bekas, anak tukang rongsok.
Ya. Hari ini kita sekeluarga diundang oleh besan mama, yaitu keluarga istri Mas Fatah . Salah aku, bila mengenakan gamis dan jilbab yang senada? Menurutku tak ada yang salah.
"Septi Sayang, udah kelar belum dandanannya?" Serunya dengan nada lembut, berbeda sekali dengan ku, ucapan mama selalu menusuk ke relung hati.
Tap
Tap
Tap
Mbak Septi turun dari tangga dengan senyum merekah di bibirnya, Mbak Septi memakai gaun tanpa lengan panjang dengan belahan tinggi hingga memperlihatkan kulit kaki mulusnya.
Jujur Mbak Septi malam ini cantik sekali. Aku sesama wanita pun kagum pada kecantikan yang ia miliki. Satu kata untuknya sempurna.
"Mantu idaman Mama," ucapnya dengan memeluknya.
"Mama mertuaku yang makin sayang sama aku," balasnya sambil melirik sinis kearah ku.
"Mana Fahmi?" Tanya mama.
"Tuh, mas Fahmi," Mbak Septi tersenyum kala melihat suaminya menuruni anak tangga.
"Rin, Farhan mana, kok, belum siap-siap ntar telat loh, jangan sampai telat malu sama pak Darmawan. Beliau kan orang terkaya dan terkenal." Mas Fahmi mengingatkan aku agar jangan sampai telat.
Entah hilang kemana Mas Farhan tadi dirinya pamit untuk keluar tapi sampai saat ini masih belum pulang juga.
"Gak tau Mas, tadi siang pamit mau beli sesuatu, tapi gak pulang juga?" Jawabku dengan senyum.
"Kemungkinan besar Farhan cari pasangan yang serasi, sepadan dengan nya, kan Farhan ganteng, sedangkan yang di samping nya hanya manusia yang bisanya bikin malu! Mimpi apa Mama bisa dapat mantu zonk kayak gini." Judesnya dengan tatapan datar.
" Mungkin Farhan di pelet Ma," timpal Mbak Septi berusaha mengompori mama. Kakak-kakak iparku memang tidak suka padaku katanya bikin harga dirinya jatuh.
Salahkah bila aku terlahir dari keluarga miskin? Jujur andaikan bisa nawar aku akan meminta pada Tuhan agar aku terlahir dengan keluarga terhormat, terpandang? Ini sudah takdir ku, yang harus aku terima dengan ikhlas. Apa salah aku juga bila menikah dengan mas Farhan.
"Sttt, Sayang, jangan begitu ah, gak baik. Farhan itu anaknya tipe setia orangnya." Bela mas Fahmi.
"Rin masuk ke kamar dulu, nunggu farhan nya di kamar aja." Usirnya dengan halus mungkin malam ini dirinya tak mau mendengar keributan antara aku dan istrinya.
"Iya kak, aku masuk dulu, Ma, Mbak," ucapku dengan berusaha tersenyum.
Mungkin hatiku masih bisa aku paksakan tersenyum namun hati ini menjerit menangis atas hinaan mertua dan ipar. Semoga hatiku kuat dan sabar.
"Rina, ganti baju kamu! Jangan bikin malu, apalagi kalau Risa tau kamu datang pake baju itu."
Langkahnya terhenti saat mama mertuanya bicara seperti itu.
Aku menoleh.
"Ma, bajuku semuanya gamis, bila aku kesana dengan pakaian seperti ini hanya akan membuat malu, lebih baik aku di rumah saja."
"Good job. Gitu dong, tau diri dikit." Sindir Mbak Septi dengan mengacungkan jempolnya keatas.
"Sayang? Jangan gitu, gimanapun juga Rina adik kamu sayang," mas Fahmi menengahinya.
"Aku gak Sudi, punya adik kismin. Level kita beda jauh, dia level paling rendah," hinanya.
Tes
Tes
Tes
Air mataku mengalir tanpa aku suruh.
Aku tak berani menatap wajah cantiknya Mbak Septi. Mbak Septi memang cantik dan wanita karir anak tunggal dari keluarga Baskoro apapun yang ia mau harus dimiliki tak perduli semahal apa dan sejauh mana, pasti ia dapatkan.
"Masuk, malah bengong! Makanya jangan kebanyakan makan ikan asin. Tulalit kan."
"Sep, ayo kita berangkat, Fahmi kamu yang bawa mobilnya," mama mertuaku melengos dengan menggandeng tangan menantu kesayangan nya.
Hatiku sedih tak bisa ikut, Mas Farhan pun entah dimana, benarkah mencari pengganti diriku yang tak pantas untuk mas Farhan, hatiku mulai memanas tak sanggup mendengar kata 'memcari pasangan' disaat hatiku kalut tiba-tiba Mbak Septi memanggil ku.
"Rina. Tunggu rumah jangan sampai ada pencuri," dengan senyum dirinya menjulurkan lidahnya,"Wlee."
Dasar ipar tak tau diri, suka-suka hati menghinaku bila tanpa aku apa dia bisa makan enak, rumah bersih, percuma pendidikan tinggi wanita karir bila mengurus rumah tangga tak bisa. Hanya titel yang ia banggakan. Aku wanita yang paling bersyukur bisa mengurus suami dalam urusan dapur maupun ranjang, semua terkendali di tangan Rina si anak miskin.
Lagi-lagi aku hanya bisa mengomel dalam hati. Setelah kepergian mereka aku termenung menatap langit-langit kamar.
Tring.
Sebuah chat masuk kedalam ponselku, ku tatap layarnya yang masih hidup. Tak lama lagi suara ponselku bergetar lagi, siapa lagi yang menggangu ku, dengan malas ku raih ponsel yang tergeletak di ujung kasur.
Sebuah pesan dari sahabatku Yuni.
Yuni:" Cepetan buka isi catnya."
Yuni:" Itu laki Elo kan, si Farhan. Gila selingkuhan cantik banget. Gak nyangka gue, si Farhan main di belakang Elo."
Yuni:" kalau jadi gue, udah gue labrak acak-acak pesta kakak ipar Elo." Serentetan pertanyaan yang ia lontarkan padaku, bagaimana aku mau jawab isi vidionya juga belum tau.
"Kenapa tuh anak marah-marah gak jelas," gerutuk ku.
Isi pesan pertama membuat aku heran. Dengan tangan gemetar aku buka isi pesan yang Yuni kirim.
Si Yuni mendapatkan Vidio mas Farhan darimana dan siapa wanita cantik yang bersamanya bergandengan mesra.
Dengan lincah aku balas pesan dari Yuni.
Aku: "Kamu dapat Vidio itu darimana Yun?" Tanyaku dengan hati tak karuan.
Pesanku gak dibalas oleh Yuni, sumpah bikin aku penasaran, ini anak kalau ngasih info suka gak jelas macam di gantung gitu deh, tak lama kemudian nada dering telepon genggam ku berdendang riang ternyata panggilan dari Yuni.
Ku geser tombol hijau dan.... terdengar suara mengelegar merusak gendang telinga saja.
"Halo! Rina Khairina! Itu laki Elo kan, jawab jangan diam aja, ingat ya, laki kayak gitu jangan di tangisi buang aja kelaut, gue dukung Lo seratus delapan puluh derajat." Ucapnya dengan nada kesal.
Aku hanya gelengkan kepala heran melihat anak satu ini, heboh sendiri.
"Rin! Elo kagak pingsan kan? Halo! Halo!"
Aku menjauhkan ponsel dari telingaku, agar dapat menghindari suara toa konslet yang memang sudah konslet.
"Ya, molor," pekik nya lagi.
"RINA."
"Iya, Yun. Kalau ngomong halus dikit ngapa, gimana cowok mau sama kamu, kalau cara ngomong kamu ngegas gitu,"
"Ck, kamu itu sok tegar, sok mengalihkan pembicaraan. Itu si Farhan kan."
"Iya, itu Mas Farhan, emangnya kenapa? Dia itu sepupunya, udah ah jangan jadi kompor gosong," kekeh ku, aku tak mau aib suami di dengar orang tanpa bukti.
Biarlah aku akan mencari jawabannya sendiri.
"Ih. Kamu ini dikasih tau ngeyel. Udah aku mau jalan-jalan mumpung malam Minggu." Ketusnya Yuni dengan mematikan ponselnya secara sepihak.
Huff. Aku menyentak napas panjang lalu ku hembuskan perlahan.
Kini aku duduk termenung menatap layar ponselku nampak mas Farhan senyum lebar dengan merangkul pundak wanita cantik tersebut.
Siapa dia sebenarnya, ada hubungan apa antara mereka.
Tak terasa air mataku merembes berdesak-desakkan ingin keluar.
"Hai, air mata jangan nangis dong, aku capek harus nangis terus, sudah ya jangan keluar lagi," ucapku pada diriku sendiri siapa lagi kalau bukan aku sendiri yang memberi semangat pada ku.
Ku usap air mataku dengan kasar.
"Rina, jangan percaya sebelum melihat sendiri. Oke. Aku akan pergi ke pesta Mbak Risa, aku akan menyamar sebagai tamu undangan lainnya."
Ingin aku menolak mentah-mentah bahwa itu bukan Mas Farhan suamiku namun fakta membuktikan semuanya.
Kubuka pintu lemari ku pilih satu satu gamis yang cocok untuk aku pakai ke pestanya Mbak Risa.
Mataku tertuju pada sebuah gamis berwarna kuning mustar tak lupa aku kenakan cadar agar tak ada yang mengenalinya.
Sudah siap, kini aku sudah berpenampilan menarik, tak akan satupun mengenaliku karena gamis ini belum pernah aku pakai.
"Mama, Mbak Septi, Mbak Risa, kalian jangan remehkan seorang wanita miskin, aku tak kalah cantik dari kalian." Aku bergumam sendiri dan berjalan menuju pintu.
Ojol yang aku pesan rupanya sudah menunggu di depan gerbang.
"Sudah lama nunggunya Mas," tanyaku.
"Sama Mbak Rina ya?"
Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
"Mau kemana Mbak, kayaknya mau kepesta."
"Iya. Tolong antarkan saya ke alamat ini." Ucapku dengan menunjukan alamat yang tertera di layar ponselku.
Mas ojol anggukan kepala dan kamipun berangkat dengan kecepatan tinggi untung saja perjalanan sangat lancar tak macet, cukup dua puluh menit akhirnya aku sampai.
Setelah mas ojol memarkirkan motornya aku turun.
"Mas, terimakasih sudah antarakan saya kesini," ucapku dengan senyum.
"Sama-sama."
Lagu selamat ulang tahun bergema terdengar sampai luar, sungguh meriah sekali pestanya.
Happy birthday to you, happy birthday to, happy birthday, happy birthday, happy birthday to you....
Aku masuk dengan rasa was-was karena semua mata menatapku penuh tanda tanya karena di pesta ini tak ada yang memakai gamis hanya aku satu-satunya yang memakai jilbab.
Tak sengaja kedua netraku bersiborok dengan orang yang aku cari siapalagi kalau bukan suami tercinta.
Deg.
Jantungku seakan-akan terhenti saat melihat seorang pria yang aku kagumi kini bersama wanita lain. Tangan Mas Farhan menggenggam erat tangan nya.
Jantungku seakan-akan terhenti saat melihat seorang pria yang aku kagumi kini bersama wanita lain. Wanita cantik itu menggenggam erat tangan Mas Farhan. Namun ia menepisnya dengan kasar membuat dirinya kesal dan menghentakkan kakinya di lantai.
"Kamu kenapa sih Mas," masih kudengar suara nya yang manja.
"Kamu yang kenapa! Saya gak suka dengan sikap kamu yang agresif." Suara Mas Farhan sedikit tertahan takutnya semua orang mendengarkan nya.
Mas Farhan suamiku meninggalkan wanita tersebut. Ku lihat ibu dan Septi menyapa wanita itu, ketiganya begitu akrab ada apa dengan mereka? Apa benar Mas Farhan selingkuh? Lalu tadi apa, seakan-akan ia risih bersamanya? Atau dia tau aku disini, tapi aku rasa tak mungkin, kan, aku memakai cadar.
"Lin, Farhan mana?" Tanya Mbak Septi lembut, berbeda dengan ku nada suara melengking tinggi di telinga
"Dia pergi Mbak, Tante," ucapnya dengan nada kecewa.
Aku terus mengamati ketiga wanita itu, sekilas mama melirik kearah ku. Ada rasa was-was menyelimuti hati ini.
"Han?" Panggil mama saat melihat mas Farhan hendak keluar.
"Mau kemana?" Tanyanya lagi saat Mas Farhan mendekati dan mencium punggung tangannya.
"Farhan mau jemput Rina ma, pasti dia menunggu lama." Ujarnya.
"Si Rina gak ikut, mama sudah mengajaknya tapi dia malah nyolot sama Mama dan Mbakmu."
Wow. Keren banget akting mama, beliau menjelek-jelekkan aku rupanya. Ingin sekali aku memberikan penghargaan pada mereka aktingnya sempurna, sayangnya mas Farhan paham dengan apa yang diucapkan mamanya.
"Ma, aku tau watak dan sifat aslinya Rina, dia tak seperti yang mama ucapkan." Tegasnya lagi lalu pergi meninggalkan mereka.
Ku lihat raut wajah mama kesal dan marah. Namun hatiku bahagia dengan pembelaan suamiku ternyata suamiku lebih memilih istrinya daripada ucapan mama nya.
"Mas! Ih! Aku gimana? Jangan pergi!" Pinta Lina dengan merengek meminta mama agar mencegah mas Farhan pergi.
Aku tersenyum dan gelengkan kepala, ternyata mas Farhan sama sekali tidak tergoda dengan wanita yang bernama Lina, memang sih, penampilan nya oke bohay dan montok, jarang-jarang seorang pria di suguhkan ikan mas yang montok tapi ditolak.
Satu kata untuk mas Farhan 'goodjob' suami tahan godaan wanita lain.
"Kejar sana! Jangan sampai Farhan pulang terus datang lagi bersama istri gembelnya, Tante gak Sudi punya mantu kayak dia, mata Farhan buta kali ya, ada wanita cantik, seksi dan berpendidikan tinggi berkarier lagi gak mau, apa sih spesial nya si Rina itu," ketusnya dengan wajah kesalnya.
"Iya Lin, Mbak juga malu punya ipar kampungan banget," timpal Mbak Septi.
Tak ku hiraukan ocehan mertua dan ipar lebih baik aku pulang sebelum mas Farhan duluan yang sampai rumah. Ku rogoh tas selempang untuk mengambil ponsel lalu ku mengetuknya dengan senyum terukir indah di bibirku.
Sampai parkiran ku melihat mas Farhan menolehkan kepalanya menatap ku yang melewatinya tanpa mengedipkan matanya.
Aku sempat berpikir apakah dirinya mengenaliku, sehingga ia menatapku tanpa berkedip.
"Mas, agak ngebut ya," pintaku karena aku melihat dari kaca spion motor kalau mas Farhan mengikuti kami, apa kebetulan lewat atau? Hatiku semakin takut, takut kalau ketahuan.
"Mas, apa gak ada jalan lain gitu," aku bertanya lagi.
"Ada Mbak. Jalan tikus."
"Kita lewat situ aja biar cepat sampai."
Mas ojol anggukan kepala, akhirnya kamipun berpisah aku belok kanan masuk gang, sedangkan mas Farhan melaju lurus.
Aman.
Aku masuk lewat pintu belakang agar tak ketahuan bi Atun.
Ah. Lega rasanya.
Tok
Tok
Tok
Pintu kamarku diketuk oleh seseorang pasti mas Farhan," untung aku sudah pulang duluan," ucapku dalam hati dengan mengelus dadaku.
"Masuk, gak dikunci," seruku tanpa menoleh.
"Sayang, kok, belum siap-siap?" Tanyanya dengan berjalan menuju kearah ku.
Kutatap wajah tegas dan tampan yang sedang tersenyum padaku. Ku balas senyumnya yang menawan," duh? Suami siapa sih, ini. Gemesin banget." Godaku dengan mengelus dada bidangnya.
"Istri siapa sih, yang genit dan pintar menggoda,"
"Istrinya Bapak Farhan yang terhormat," jawabku sambil hormat pada nya.
Kami pun terkekeh berdua dalam posisi berpelukan.
"Ih. Kita mirip Teletubbies."
"Iya." Sahut Mas Farhan.
"Udah ah, jangan pelukan terus ntar kebablasan. Kan, kita mau ke acaranya Om Gani."
"Aku gak ikut ah."
"Kenapa?" Tanyanya heran.
"Gak papa sih? Cuman hawanya males, mendingan kita naik-naik puncak, gimana? Mau ngak!" Usulnya yang mendapatkan sentilan dari Farhan.
"Atit?" Rajuknya.
"Lagian isi kepala kamu itu selalu menjurus ke sana terus. Kan bisa pulangnya Sayang?"
"Maunya sekarang, gak mau nanti," ledeknya dengan mencebikan bibirnya.
Mas Farhan geleng-geleng kepala melihat kelakuan istri polosnya yang keabsurannya kumat.
"Makanya jangan kebanyakan baca novel rate 21 jadinya gini kan, isi kepalanya geser dikit." Bisiknya tepat di telinganya.
"Ih. Sebel. Aku seharian ini gak baca novel Mas? Masa mau ehem-ehem aja harus baca novel, gak asyik banget kamu Mas." Ujarnya dengan manyun.
Farhan hanya tersenyum saja dan mencium bibir.
"Manis."
"Modus! Mana ada bibir manis, yang ada juga--" Rina terdiam tak bisa melanjutkan perkataannya.
"Juga apa, hayo jawab." Sesak Farhan.
"Auh ah gelap!"
"Terang tau!"
Begitulah setiap malam kelakuan sepasang pengantin baru. Setiap malamnya penuh dengan senyum kebahagiaan.
"Rin," panggil nya.
"Apa?" Jawabnya.
"Jadi berangkat ke acaranya Om Gani gak enak kalau kita tidak datang?" Mas Farhan mengingatkan aku, dengan wajah kusut akupun melepas pelukan dan berjalan menuju kamar mandi untuk sekedar membasuh wajah.
Lima belas menit berkutat di depan cermin akhirnya selesai juga, kuletakan alat makeup di tempatnya.
Ternyata mas Farhan tadi siang pergi hanya untuk membeli pakaian baru yang sangat indah pas pula di tubuhku.
"Mas, terimakasih gamisnya bagus," ucapku.
"Kamu suka gamisnya?" Tanyanya dengan senyum terukir indah.
Aku hanya mengangguk.
Acaranya Om Gani hampir selesai karena kami baru Sampai maklum gara-gara Teletubbies jadi terlambat, lalu? Siapa yang salah?
Kami berdua mengenakan baju caupelan warna kesukaan kita berdua yaitu warna coksu mas Farhan mengapit tanganku ia tak mau jauh-jauh dari istri bar-bar nya.
"Selamat ulang tahun Om, maaf kami terlambat," mas Farhan menyalami tangannya Om Gani dan mengecup punggung tangannya.
"Gak papa Farhan, Om ngerti. Emang susah untuk membujuk istri kampungan kepesta orang kaya." Ujarnya dengan melirik sekilas ke arah Rina.
"Kata-katanya sungguh luar binasa sampai menusuk ke relung hatiku, mantap jiwa andaikan kalian semua tau siapa aku, pasti kalian akan sembah sujud padaku." Sumpahnya dalam hati.
"Han, bagaimana pekerjaan kamu, baik-baik saja," tanya Om Gani.
"Mas, aku ke taman aja ya" ucapku jujur aku muak dengan semua ini, disini pun percuma hanya di cuekin gak bapak, gak anaknya sama-sama doyan menghina orang tak berpunya.
Mas Farhan seakan-akan paham dengan keadaan yang tidak baik untuk istrinya.
"Iya, sayang mas gak lama kok, setelah selesai kita pulang."
Dari rumah sudah aku siapkan kata-kata sopan untuk Om Gani, eh ternyata di cuekin gini, sumpah demi Alek sakit banget hatiku.
Kini aku duduk termenung di taman yang berteman lampu temaram, berkali-kali ku hembuskan napas membosankan karena terlalu lama menunggu mas Farhan. Kemungkinan besar mas Farhan ditahan oleh kala Gondang agar tidak cepat pulang.
"Sungguh membosankan sendirian hanya berteman suara jangkrik." Rutuknya dengan menggosok gosok telapak tangannya yang mulai dingin.
Rina tak menyadarinya bahwa ia sedang di awasi oleh seseorang. Pria tersebut tersenyum mendengar ocehan Rina.
Pria tersebut mengikuti Rina semenjak Rina didalam. Entah maksudnya apa mengikuti Rina, apakah suruhan Om Gani atau orang lain.
"Rina, ingin sekali aku memberikan kehangatan pada dirimu, namun aku tak punya keberanian untuk itu! Aku hanya bisa melihatmu dari kejauhan. Ingin sekali aku melupakan kamu Rin, kenapa susah, semakin melupakan justru aku semakin mengingat kamu. Tolong jawab aku Rin! Aku harus bagaimana," teriaknya membuat Rina menoleh ke belakang.
"Siapa yang berteriak di sini?" Batinnya dengan mengelus tangannya.
Srek.
Rina berjalan menuju sumber suara yang mengasuh, namun kakinya menginjak botol plastik yang mengeluarkan bunyi suara.
"Hai. Botol. Kamu bikin aku kaget aja, untung aja aku gak punya riwayat jantung." Kesalnya.
Pria tersebut pergi meninggalkan taman itu sebelum bertemu dengan Rina, ia tak mau harus mendengar penolakan dari Rina cukup dua kali ditolak jangan sampai mendengar kata 'tolak' yang ketiga kalinya.
Bersambung.
Jangan lupa like dan komennya ya gaes.
Dikasih bunga kopinya juga gak nolak kok,🥰🥰
"Sayang, kamu cari apa?" Suara Farhan mengagetkan Rina.
"Mas. Bikin aku kaget aja," timpalnya dengan mengelus dadanya.
"Lagian mirip orang mau ngintip."
"Udah kelar urusannya, bagaimana acaranya asyik, sampai kelupaan sama bininya harus nunggu lama ditanam yang sepi," sindirnya dengan ekspresi wajah datar.
"Maaf, Mas mau pamit pulang, tapi Om Gani menahannya dan bertanya tentang pekerjaan Mas dikantor apa betah apa enggak, kalau gak betah Mas disuruh pindah kerja di kantornya di tawarin jabatan sebagai wakil CEO." Mas Farhan menjelaskan sedetail-detailnya mungkin takut aku salah paham oh suami ku kenapa kamu begitu suamiku.
"Di tahan apa mau dekat cewek seksi, yang bersama Mama dan Mbak Septi. Ceweknya cantik banget, kayaknya kamu cocok deh sama dia."
"Hah!"
Hanya kata 'hah' yang keluar dari mulut nya, pura pura gak tau lagi, padahal tadi udah nempel sama mas Farhan, nyebelin jujur Napa. Kesalku dengan memainkan jari-jari tangan ku.
"Jangan marah-marah ntar ada yang liat gawat. Apalagi ulat bulu yang tau pasti dia senang dengan pertengkaran yang tak ada artinya, emang kamu mau aku digondolnya."
Rina menatapnya dengan jengah.
"Kalau berani silahkan aku gak larang, tapi?"
"Tapi apa."
Senyum indah terukir di bibir nya.
"Aku potong dulu torpedo kamu Mas," ancamnya dengan wajah datar.
"Aku gak akan pernah tergoda dengan wanita manapun dan siapapun. Cinta pertama aku itu kamu," jawabnya dengan mencapit hidung bangirnya.
"Iya, aku cinta pertama kamu tapi bukan yang terakhir kan, mungkin suatu saat nanti kamu akan melabuhkan cinta terakhir kamu sama wanita diluaran sana, sifat orang kan, gak tau." Todong nya. "Hayo ngaku," desaknya membuat Farhan tak berkutik lagi dengan ocehan istrinya.
Cup
Cup
Cup
Berkali-kali Farhan mengecup bibir Rina membuat dirinya melotot melihat aksi suaminya yang bisa dibilang nekat melakukannya di tempat umum.
"Is. Nyebelin banget."
"Gak liat situasi dan kondisi." Omelnya lagi dengan raut wajah kesal.
"Aku mau pulang!'
"Bentar lagi Yang."
"AKU MAUNYA SEKARANG." Rina pergi meninggalkan Farhan yang bengong dengan apa yang barusan terjadi pada istrinya.
Langkah Rina semakin jauh dan tak terlihat lagi oleh Farhan.
"Sayang tunggu! Pulangnya bareng Mas," teriak Farhan.
Rina tak menggubrisnya kalau cinta pasti akan mengejarnya cinta butuh pengorbanan dan kepastian, itulah yang dipikirkan oleh Rina.
Masa bodoh bila harus jadi pusat perhatian banyak orang, UPS! Kan ini sudah malam gak ada orang lagi hanya segelintir saja.
"Kenapa Mas, istri kamu ngambek. Wanita kayak gitu aja kok di pertahankan, kalau aku jadi kamu udah aku buang, ups, maaf keceplosan ngomong," ujar Rina tanpa dosa.
Farhan menatap tajam kearahnya.
"Jelas sekali akan saya pertahanan dan ku perjuangan. Karena kita berdua saling cinta aku gak mau cinta kami harus goyah dengan adanya ulat bulu yang tak tau malu!" Geramnya rasanya Farhan ingin mengaruk tubuh' Lina dengan sikat WC untung saja disitu gak ada kalau ada pasti Farhan akan menggosoknya sampai tak gatal.
"Iman Farhan tak akan goyah, Lina? Imannya terlalu kuat. Jadi saya mohon jangan terus menerus menggodanya biarkan dia bahagia dengan cintanya." Terang Fahmi.
"Fahmi," sentak mamanya tak terima bila Lina di kasari oleh Fahmi bagaimana pun Lina adalah calon menantu idaman.
"Apa Ma, Fahmi mohon jangan rusak kebahagiaan mereka. Please!" Fahmi menatap wajah mamanya yang tak muda lagi.
"Udah Mas, jangan memojokan Mama kasian," lerai Septi.
Tin. Tin. Tin.
Suara klakson mobil Farhan terus bersuara agar Rina berhenti dan masuk kedalam mobil, Farhan khawatir takut bila istrinya digoda preman apalagi jalanan sepi.
"Sayang, masuk mobil ya, Mas gak mau kamu kenapa-napa," bujuknya.
Rina hanya memutar bola mata malas nya.
"Jangan sok perhatian deh," judesnya.
Farhan keluar dari mobil dan setengah berlari mendekati Rina. Diraihnya tangan sang istri tercinta dengan mengecup punggung tangannya berkali kali.
"Sayang jangan ngambek, Mas gak bermaksud seperti itu. Pokoknya kamu satu-satunya wanita dihati Mas yang bertahta paling tinggi tak tergantikan." Farhan menyakinkan Rina agar mau masuk ke dalam mobil.
"Mas, akan melakukan apa saja demi kamu percaya, kalau perlu Mas akan minum sianida agar kamu percaya."
Rina mengeryit dengan menyipitkan matanya.
"Hahaha," tawa Rina mengelegar.
Kini giliran Farhan yang mengeryitkan dahinya bingung kenapa Rina tertawa apakah ada yang lucu? Pikir Farhan.
"Hebat! Kamu mas. Kamu tau arti dari singkatan sianida?" Tanya Rina judes.
Farhan geleng kepala.
"Sianida itu adalah kamu siap nikah sama janda MASSS." Bentaknya dengan mata melotot seakan-akan ia akan menelan Farhan hidup-hidup.
Farhan benar-benar di uji kesabarannya.
Kalau bukan karena cinta mungkin sudah di tinggal pulang.
"Punya bini satu cerewetnya minta ampun." Lirihnya untung saja Rina sudah masuk mobil jadi tak mendengar ocehan nya kalau mendengar pasti akan terjadi perang dunia se-Indonesia.
Wajah Rina semakin press setelah selesai mencuci muka dan mengunakan cream malam, ia mengenakan piyama panjang.
Rina merengangkan otot-otot tubuhnya ia merebahkan tubuhnya di kasur dengan posisi membelakangi Farhan.
"Yang, gak jadi naik puncaknya?" Tanya Farhan dengan napas memburu.
"GAK. AKU CAPEK. Kalau mau naik pohon mangga sana!" Titahnya tanpa membuka matanya.
"Emang Mas kuntilanang, malam-malam begini harus bergelantungan manja di pohon, ih, dingin? Mending bobok sama ayang sambil peyukan kan anget."
Farhan tak mendengar ocehan istrinya lagi hanya suara dengkuran halus mungkin karena kecapekan marah-marah.
Saat tidur terlelap tiba-tiba harus dikagetkan oleh suara kucing yang mengeong.
Meong, meong, meong, suara kucing itu sungguh mengganggu kenikmatan orang lain yang sedang tidur, dasar kucing tak berahlak.
"Kucing!" Teriak Farhan yang terkejut mendengar suara kucing.
"Ck. Sama suara kucing aja takut, lebay deh. Malu tuh, sama belalai." Kesal Rina dengan menatap ponsel jadulnya yang berteriak memanggil pemiliknya.
"Itu suara ponsel kamu?" Tanya Farhan merasa heran bukannya ia sudah membelikan ponsel android untuknya? Tetapi kenapa harus pake yang jadul? Beribu-ribu pertanyaan bergelayut manja di benaknya.
"Masih di peliara tuh, si meong."
"Ya, masih lah, ntar aku buang bila udah dapet pengganti dirinya. Kalau masih berfungsi ngapain di ganti? Mas Farhan ku Sayang? Sama seperti KAMU kalau masih setia pasti aku pertahankan." Jawabannya sakmat penuh kemarahan.
"Stttt, jangan berisik ibu telpon."
"Halo Bu, ada apa malam-malam telpon, apa bapak sakit?" Tanya Rina dengan nada lembut dan khawatir jika memang bapaknya sakit atau ibunya.
"Rina, bukannya ngucapin salam malah nanyanya begitu, apa ibu ganggu kamu," jawab sang ibu dari nada suaranya menandakan adanya kekecewaan atas sikap Rina.
"B-bukan begitu Bu, maaf bila kata kata Rina membuat hati ibu sakit." Ucapnya dengan mata berkaca-kaca dirinya merasa bersalah atas sikapnya yang sudah melukai perasaan seorang ibu.
"Nggak apa-apa Rin, ibu sama Bapak kangen sama kamu dan suamimu hampir lima bulan kalian berdua gak berkunjung ke rumah," ibu memberi jawaban yang menohok.
Karena kesibukan membuat aku melupakan wanita yang sudah melahirkan aku kedunia ini, dunia yang penuh warna-warni, wara-wiri, hiruk-pikuk.
Polusi udara bikin sesak.
Aku terdiam saat ibu menyindirnya, ya, memang aku salah sudah melupakan orang tua ku. Maafkan anakmu ibu.
Mas Farhan merebut ponselku dan berbicara dengan ibu.
"Halo, Bu, ini Farhan."
"Nak Farhan, kalian sehat-sehat saja kan," tanya ibu diseberang sana.
"Sehat Bu, ibu dan bapak sehat juga." Sahut mas Farhan dengan senyum mengembang.
"Alhamdulillah sehat. Gini Nak Farhan, ibu kangen sama Rina apa boleh Rina kerumah ibu?" Pinta ibu terdengar suara isakan darinya apa ibu menangis, ujarku dalam hati.
"Farhan dan Rina besok akan kerumah ibu, dan nginap beberapa hari disana," Farhan suamiku menyakinkan ibu kalau kami akan berkunjung.
Terdengar suara sumringah dari ibu.
"Ibu tutup teleponnya, assalamualaikum," ucap ibu
"Waalaikumsalaaam Bu," jawab kami berdua.
"Ck. Ternyata aku anak durhaka sudah lama gak main ke rumah ibu." Terdengar helaan nafasnya, Rina menyesal tidak mengindahkan Farhan yang sudah menyuruhnya untuk berkunjung.
Farhan memeluknya dan mengelus rambut panjangnya yang tergerai indah.
"Cup, cup, jangan nangis, besok pagi kita kerumah ibu dan nginap beberapa hari disana sampai kamu betah."
"Benarkan. Mas."
Farhan anggukan kepala dan mengecup keningnya.
"Makasih ya Mas." Rina mendusel duselkan wajahnya di dada bidangnya.
"Kita lanjut tidur, besok pagi kita harus berangkat."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!