Jam masih menunjukkan pukul 15.00 namun langit terlihat sangat hitam. Di sebuah toko tua di pinggir jalan kota, ada seorang wanita muda yang tengah sibuk membereskan dagangannya masuk ke dalam tokonya karena hujan akan turun.
“Huft … padahal masih siang, harusnya buahnya bisa terjual banyak,” gumamnya pelan.
Dari pada mengeluh, wanita muda bernama Qyen Fayre kini kembali melanjutkan acara membereskan buah-buahannya.
Memiliki tinggi badan 159 cm membuat Qyen tidak terlihat begitu tinggi, diumurnya yang ke 20 ini. Ia memiliki postur badan kurus dan kulit putih yang tak terawat. Qyen tidak memiliki orang tua, ia hidup sebatang kara di dalam toko buahnya itu. Qyen sudah menjadi yatim piatu sejak lahir, dan diumurnya ke 16 tahun, ia memutuskan untuk pergi dari panti asuhan agar bisa melanjutkan hidupnya sendiri.
Sejak saat itu, ia mengumpulkan uang untuk bisa membayar sewa toko usang itu dengan cara bekerja di beberapa restoran sebagai kurir dan tukang cuci piring, bahkan ia menjadi tukang sapu jalanan. Butuh waktu 3 tahun, untuk Qyen memiliki modal berwirausaha sendiri. Kini, selama satu tahun terakhir ia bisa memiliki toko buah, dan dari hasil penjualan buahnya itu, ia bisa mencukupi kehidupan sehari-hari.
Selama satu tahun, jalannya berjualan buah tidak semulus itu, ia masih memiliki banyak sekali kendala, diantaranya buah-buahan yang ia jual tidak laku beberapa minggu karena orang belum mengenal tokonya, dan berakhir ia harus bisa berjualan sambil kembali menjadi tukang sapu jalanan agar modal untuk toko bisa kembali tertutupi.
Suara mobil yang berhenti di sisi tokonya terdengar, seorang pria turun dari mobil dengan senyumnya yang lebar sambil memberikan sesuatu kepada Qyen.
“Hai, Qyen. Dari berita saya dengar akan ada hujan badai tiga puluh menit lagi. Harusnya kamu membereskan bauh-buahan ini dari siang,” ucapnya.
Qyen yang sedang memegang keranjang buah melon itu, kembali di simpan. “Hai Kak Fin, aku sudah tau kabarnya dengar dari radio ponsel tadi. Kamu bawa apa?” tanya Qyen sambil menerima paperbag berwarna coklat dari seseorang bernama Fin itu.
“Ada beberapa bahan makanan untuk makan malam dan sarapan besok. Jangan lupa di makan ya,” kata Fin sambil mengusap rambut Qyen.
Lagi daln lagi, Qyen merasa canggung diperlakukan seperti ini oleh Fin. Qyen rasa Fin terlalu berlebihan dekat dengannya, padahal dulu Fin hanyalah qustomer di toko buahnya.
Qyen tersenyum canggung di depan Fin, ia pun memundurkan langkahnya agar Fin tidak lagi mengusap kepalanya. Fin yang tahu Qyen menghindar, ia pun menjauhkan tangannya dari kepala Qyen.
Fin Ghazi, seorang laki-laki yang Qyen kenal berumur 27 tahun. Ia merupakan direktur salah satu perusahan wisata di Bali. Fin dekat dengan Qyen, karena Fin selalu membeli buah-buahan Qyen di setiap paginya sebelum berangkat kerja. Bahkan, dengan secara berlebihan Fin selalu membawa bingkisan seperti ini kepada Qyen di waktu-waktu yang tidak tentu.
Walaupun Qyen sudah terbiasa, dan menganggap Fin adalah sahabatnya, ia pun mencoba membuang pikiran-pikiran buruk dari kepalanya tentang Fin. Qyen yakin, jika Fin adalah orang baik.
“Saya bantu ya, Qyen,” ucap Fin, membantu Qyen memasukkan keranjang semangka ke dalam toko sekaligus rumah bagi Qyen itu.
“Iya, terimakasih ya, Kak Fin. Aku tidak tahu kalau kamu mau mampir ke sini.”
“Tidak apa-apa. Saya tidak sengaja habis dari super market dan ingat kamu kalau hari ini akan ada hujan badai, saya siapkan persediaan makanan untuk kamu.”
“Sebenarnya aku tidak tau kalau akan ada hujan badai tadi siang. Kalau aku tahu dari awal, aku tidak akan buka toko buahnya,” ucap Qyen dengan nada lesu.
“Tidak apa-apa, besok cuaca pasti cerah lagi.”
Di tengah Fin membantu Qyen, ia mendapatkan telpon darurat dari karyawannya jika ada salah satu wisatawan meninggal setelah bermain water sports.
“Saya pergi, Qyen. Hati-hati jangan lupa terus hubungi saya.”
Untuk menghormati Fin, ia mengantarkan Fin sampai dimobilnya. “Hati-hati, Kak. Angin sudah mulai kencang,” ucap Qyen mencoba mengabaikan ucapan Fin sebelumnya.
“Iya, saya akan hati-hati, kamu dengarkan apa yang sudah saya ucapkan tadi?”
Dengan sedikit ragu, Qyen pun mengangguk. “Good girl, saya pergi dulu ya, Qyen … bye ….”
Qyen mundur dan juga melambaikan tangannya. setelah mobil Fin pergi, ia kembali berjalan terburu-buru ke dalam tokonya untuk mengambil beberapa kantung plastik untuk mencegah kebocoran di jendela tokonya karena ada beberapa lubang yang cukup besar di sana.
Semua buah sudah masuk ke dalam toko, angin mulai berhembus semakin kencang, juga gerimis mulai turun. Satu hal yang kini Qyen lakukan yaitu menutup halaman tokonya menggunakan plastik besar yang cukup tebal, agar setidaknya air hujan tidak terlalu banyak membasahi dinding tokonya.
“Kenapa gerimis cepat sekali datang? Aku belum selesai membereskan semuanya,” ucap Qyen yang sedikit kesal.
Setelah menurunkan plastik besar itu, Qyen mulai masuk ke dalam tokonya dan memilih untuk tertidur. Namun, entah mengapa perasaannya di dalam dirinya ingin sekali mengecek keluar tokonya satu kali lagi, seperti ada hal yang belum ia bereskan.
“Buah semua sudah masuk ke dalam kulkas. Bolongan di jendela sudah di sumbat oleh plastik, tirai plastik juga sudah diturunkan, apalagi ya yang belum?”
Ia keluar dari toko, dan mengintip di sela-sela tirai plastiknya kearah jalanan. Pada saat itu juga, Qyen menemukan sesuatu yang mengganjal dipengelihatannya, bagaimana tidak? Ia melihat ada seorang anak laki-laki yang masih berkeliaran dijalanan. Ia bisa melihat jika wajah anak kecil itu menangis tanpa suara. Anak laki-laki yang terlihat seperti bule itu memakai baju seragam taman kanak-kanak berwarna pink, yang kini sudah duduk menekuk kepalanya diantara lutut.
“Aduh … itu anak siapa ya? Kenapa ada anak kecil berkeliaran di sini?”
“Anaknya bule, bisa bahasa Indonesia enggak ya. Kalau dia cuma bisa bicara pakai bahasa Inggris, mati aku,” ucap Qyen yang memiliki rasa empati terhadap anak bule tersebut.
Gerimis sudah semakin besar, beberapa menit ia menunggu anak kecil itu dari jauh, siapa tahu ia sedang kabur dari orang tuanya dan orang tuanya tidak jauh dari sini, tapi sudah beberapa menit berlalu dan hujan semakin besar juga angin serta petir yang semakin menjadi-jadi, di tambah tidak ada kendaraan yang berlalu lalang di sini, Qyen pun memutuskan mengambil payung kecil dan menghampiri anak kecil itu untuk membawanya berteduh di halaman tokonya.
“Hai, kenapa kamu diam saja di sini? Ayo ikut kakak, kakak bukan penculik, tapi penjual buah,” ucap Qyen yang sedikit berteriak karena suaranya ditutupi oleh suara hujan yang sudah semakin membesar.
Entah mengapa, anak kecil yang sangat tampan itu mengerti apa yang dibicarakan oleh Qyen, ia pun mengikuti kemana Qyen mengajak dirinya pergi. Sampai Qyen dan anak kecil itu tiba di halaman tokonya, ia menyimpan payung dan buru-buru masuk kedalam tokonya untuk mengambilkan handuk kecil.
“Pakai ini, ayo masuk ke dalam. Angin sudah semakin kencang,” ucap Qyen yang juga sebenarnya takut dengan badai hujan ini.
Qyen mengajak anak berseragam pink itu masuk ke dalam tokonya, mereka menuruni tangga untuk bisa sampai di sebuah tempat yang memiliki ruang tamu kecil, dapur minimalis dan satu buah kamar dan kamar mandi didalamnya. Keadaan di bawah toko buahnya cukup bersih dan rapi, karena Qyen merawat dan memperbaharui ruangan yang sudah ia jadikan rumah itu.
“Anak siapa ya itu? Bajunya basah kuyup lagi, aku harus gimana ya?” gumam Qyen yang kini kebingungan.
“Ah, aku punya niat buat nolongin dia. Bajunya basah, aku harus meminjamkan beberapa bajuku yang sudah kecil untuk dia pakai, dan juga setelah itu aku akan telpon polisi dan menyerahkan anak itu kepolisi.”
Setelah membawa baju kecil yang ia punya, ia pun mendekat kearah anak laki-laki yang kini sudah tidak menangis itu, bahkan matanya terlihat nyaman berada di sini.
“Hai, kamu bisa berbahasa Indonesia?”
Anak itu mengangguk. “Ya, saya lahir di Indonesia,” ucapnya dengan sangat pintar.
Qyen cukup terkejut mendengar suara manis anak laki-laki itu, ia sangka, ia akan kesusahan untuk berkomunikasi dengan anak ini, ternyata tidak.
“Oke, boleh aku tau siapa nama kamu?” tanya Qyen sambil mengajak untuk duduk di satu buah kursi kecil yang ada di ruang tamu ini.
“Namaku Max Alan, panggil saja aku Alan.”
“Alan? Nama yang tampan,” puji Qyen.
“Aku memang tampan, dan aku tidak suka di puji.” Mendengar itu, hati Qyen terasa tertohok. Untuk melepas kekesalannya, Qyen mencoba tertawa kecil.
“Kenapa kamu bisa ada dijalanan? Hari sudah gelap, dan gerimis juga datang, di mana ayah ….”
“Kamu bisa berhenti berbicara? Aku haus dan dingin. Bisakah kamu pinjamkan satu buah kaos untuk aku?”
Lagi dan lagi, Qyen terkejut mendengar ucapan dari mulut Alan. Sepertinya anak kecil ini anak dari seorang pengacara hebat, menjadikan anaknya pandai berbicara seperti ini.
Qyen mencoba sabar untuk menghadapi anak kecil ini, ia menarik nafas dan mengeluarkannya. “Oke, silahkan berganti baju dikamarku,” ucap Qyen mempersilahkan Alan masuk kedalam kamarnya.
Dengan santainya Qyen melihat Alan masuk ke dalam kamarnya sambil membawa kaos berwarna hijau miliknya. Tak lama anak kecil itu keluar dan memberikan baju basah itu kepada Qyen. Qyen tidak habis pikir melihat tingkah Alan yang sangat santai, mungkin jika anak kecil lainnya berada terjebak di waktu seperti ini, ia sudah menangis-nangis dan meminta tolong, namun berbeda dengan Alan yang terlihat santai dan tenang.
Alan kembali duduk dan melipat tangannya di depan badannya, juga menatap lurus kearah pintu kamar Qyen. “Kamu bawa ponsel?” tanya Qyen berbasa-basi sambil membereskan pakaian Alan yang ia gantung agar cepat kering.
“No, bu guru tidak membolehkan kami membawa ponsel.”
“Lalu kenapa kamu ada di jalan ….”
“Ada makanan? Aku lapar sekali,” ucapnya lagi-lagi memotong ucapan Qyen.
“Yayaya … aku punya makanan, kamu tunggu di sini,” ucap Qyen yang memilih mengalah sambil berjalan menuju dapurnya untuk mengambil beberapa makanan ia punya.
Setelah membuka bingkisan yang dikirim oleh Fin, ternyata Fin membawakan dirinya beberapa chips, minuman bersoda, roti, dan juga makanan instan lainnya. Qyen membawakan Alan satu bungkus chips rasa jagung, mengambil botol mineral dan membawakan potongan buah semangka yang tersedia di kulkas kecilnya.
“Aku hanya ada makanan ini, kalau kamu mau makan nasi, tunggu sebantar aku buatkan ….”
“Tidak apa-apa, Alan suka chips jagung dan buah semangka,” ucapnya langsung memakan makanan yang disuguhkan oleh Qyen.
Qyen hanya bisa diam memperhatikan anak tampan itu mengunyah semangka di dalam mulutnya. “Kalau kamu mau ambil saja, aku suka kok berbagi makan dengan orang lain,” ucapnya.
Qyen semakin penasaran berapa umur anak ini. Karena penasaran ia pun kembali bertanya. “Kenapa kamu ada di jalanan? Ayahmu kemana?”
“Aku habis pulang sekolah, aku kira supir ayahku yang menjemput, ternyata seorang penculik yang menjemput aku. Kamu lihat? Ada luka di jidat aku? Ini hasil dari aku melawan penculik itu,” ucapnya dengan sangat bangga dan santai.
Qyen tersenyum canggung melihat betapa beraninya anak kecil bernama Alan ini. “Lalu kemana aku harus mengantar kamu, Alan?”
“Hem, akupun tidak tahu,” ucapnya.
Setelah mendengar beberapa informasi dari Alan, ia pun membuka ponselnya untuk menghubungi polisi, agar polisi bisa membantu dirinya mengembalikan Alan kepada orang tuanya. Namun, ketika ia hendak memasukkan nomer darurat, cahaya petir pun masuk ke dalam rumahnya, dan di saat bersamaan listrik padam, tidak ada sinyal sama sekali, dan mereka berdiam didalam ruangan yang sangat gelap.
Seorang laki-laki dengan wajah tegas tanpa ekspresi, sedang membereskan berkas-berkas di atas mejanya. Ada banyak sekali pekerjaan yang harus ia selesaikan hari ini, dan jam sudah menunjukkan pukul 14.00, hampir 1 jam lamanya ia telat menjemput sang buah hati disekolahnya.
Tak lama, pintu kantornya pun terbuka, dari arah depan ia bisa mendengar suara siul seorang laki-laki muda dan juga suara langkahnya yang terkesan berisik.
“Ketuk pintu dulu kalau masuk,” ucap laki-laki dengan wajah tegas tanpa ekspresi itu.
“Sorry, Papa nyuruh Gue buat ngasih ini ke Lo,” kata laki-laki yang bersiul itu, sambil memberikan sebuah kotak hitam berukuran sedang.
“Papa? Apa isinya?”
Ditanya seperti itu, laki-laki muda yang memiliki nama Max Ian Sander pun menggeleng dan mengangkat bahunya, “entah, Gue gak tau isinya apa.”
Kakaknya mengangguk, ia pun menerima kotak itu dan memasukkan ke dalam laci meja kerjanya. Hari ini, terhitung sebagai hari ke 5 setelah kakak beradik itu mencoba untuk berdamai dan melakukan visi dan misi yang sama.
“Bisa jemput Alan sekarang? Kamu gak liat saya lagi apa?” tanya Max Albra.
Ya, seseorang yang berbicara dingin sedari tadi itu adalah Max Albra, kakak tiri dari Ian. Mengapa mereka dikatakan adik kakak tiri? Karena mereka dilahirkan dari ibu yang berbeda. Albra dilahirkan dari seorang wanita bayaran pertama, dan Ian dilahirkan dari wanita bayaran kedua ayahnya.
Ayah Albra dan Ian bernama Adule Frans Max, laki-laki berumur 65 tahun dan tidak memiliki istri. Frans menghabiskan umurnya tanpa ada seorang wanita, ataupun ibu disampingnya. Sebenarnya Albra dan Ian adalah anak pilihan dari beberapa wanita bayaran yang mengandung anaknya. Mengapa demikian? Karena Albra dan Ian adalah laki-laki yang bisa meneruskan perusahaannya.
Terhitung ada 5 wanita bayaran yang mengandung anaknya, dan 3 diantaranya melahirkan anak perempuan dan Frans tidak mengakui anak itu sebagai anaknya, lagi dan lagi hal itu bisa terjadi karena dikendalikan oleh uang. Berbeda dengan 2 wanita lainnya yang berhasil melahirkan laki-laki, yaitu Albra dan Ian.
“Alan? Bukannya mau dijemput sama Papa?” tanya Ian yang kini duduk di sofa sambil mengangkat satu kakinya.
“Bukannya kamu baru bertemu dengan Papa? itu tandanya Papa tidak menjemput Alan,” ucap laki-laki berusia 32 tahun itu.
“Hmm … Alan-kan punya supir sendiri …” ucapnya karena sangat malas.
“Bisa kamu mendengarkan saya terlebih dahulu?” tanya Albra dengan suara dingin andalannya.
“Ya – ya …” kata Ian sedikit kesal.
“Siapa yang pakai supir Alan tadi?” tanya Albra.
“Iya-iya, Gue jemput Alan.”
Albra berdiri dari duduknya, ia melipat tangannya sambil menatap wajah Ian dengan tatapan mata elangnya.
Merasa nyalinya ciut ditatap seperti itu oleh kakak tirinya, Ian pun bangun dari duduknya dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. “Kenapa? Ada yang salah?”
Albra menggeleng. “Jangan nangis kalau dipukulin Alan,” kata Albra dan langsung pergi dari hadapan Ian untuk pergi ke toilet.
Melihat Albra pergi, Ian yang merasa kesal, ia pun tak sengaja mengekspresikan rasa kekesalannya itu kepada meja yang ada didepannya, alhasil, kakinya kini terasa sakit.
“Aw! Dasar Albra gak berguna. Papa lagi, kenapa nyuruh Gue sama beruang kutub kaya gitu baikan,” kesal Ian.
“Udah punya anak, gak tanggung jawab sendiri,” kesalnya lagi sambil berjalan keluar dari kantor Albra. Sebenarnya Ian merasa sedikit takut juga karena ia tidak sengaja sudah meminjam mobil Alan dan alhasil supirnya Alan telat untuk menjemput Alan.
“Bisa habis Gue dihantam tu bocah,” gumam Alan yang saat ini mulai melajukan mobilnya untuk pergi kesekolah Alan.
Butuh waktu 30 menit untuk akhirnya Ian sampai di sekolah Alan. Sebenarnya menuju tempat ini dari kantor Albra tadi, hanya membutuhkan waktu 15 menit, hanya saja Ian mendapat kesulitan karena ia tersesat gara-gara petunjuk maps yang tidak benar.
“Kenapa berita tiba-tiba ngasih kabar kalau sekarang bakalan ada badai? Mana sekolah Alan udah di tutup,” ucap Ian yang kini turun dari mobil lalu bergegas menuju pos satpam untuk menanyakan sesuatu.
“Hah? Semua murid sudah bubar?” tanya Ian terkejut.
“Iya, tuan. Dua jam yang lalu semua murid sudah bubar. Tuan mencari siapa?”
“Saya mencari Alan, Max Alan. Bapak tahu?” tanya Ian, dan perasaannya sudah mulai tidak enak.
“Saya kenal, dan saya melihat tadi tuan Alan sudah menaiki mobil hitam bersama seorang supir berseragam hitam juga,” ucap satpam tersebut.
Ian yang sudah kalap dengan pikirannya, karena pasalnya mobil Alan, ia pakai sampai saat ini. Lalu mobil siapa yang menjemput anak itu? Tanpa menunggu lama, ia pun menghubungi ayahnya untuk menanyakan apakah Alan sudah ada bersamanya di rumah atau belum. Jika Alan hilang sudah dipastikan, ayahnya itu akan mengamuk dan sepertinya akan terjadi perang dunia kesekian kalinya karena mengetahui cucu satu-satunya itu hilang.
“Pa? Alan dimana?” tanya Ian tanpa basa-basi.
“Alan? Ya sudah pasti dengan Papanya, kamu kenapa bertanya dengan Papa? Gak jelas kamu,” ucap Frans diujung telpon.
Jantung Ian berdegup sangat kencang bukan main. Bagaimana bisa ayahnya itu mengatakan jika Alan bersama dengan Albra, bahkan Albra sendiri yang menyuruh dirinya untuk pergi menjemput Alan.
“Papa yakinkan gak nyuruh orang buat jemput Alan?” tanya Ian satu kali lagi untuk memastikan.
“Iya, ada apa? Alan tidak ada? Bagaimana bisa Alan sampai hilang seperti ini? Papa gak mau tahu, kamu cari Alan sampai ketemu.” Telpon itupun terputus dengan cepat.
“Aish … Alan kemana ya? Gak mungkin dia di culik. Siapa juga yang mau culik anak bawel kaya Alan,” ucap Ian di sela-sela kekhawatirannya.
“Ada, tuan?” tanya satpam tadi memperhatikan.
“Tidak ada. Bisa tolong saya untuk mengirimkan CCTV di depan sekolah? Tolong kirim ke alamat email ini. Saya tunggu, terimakasih,” ucap Ian yang memutuskan untuk mencari Alan disepanjang jalan menuju pulang sekaligus melapor kepada Albra tentang hilangnya Alan.
Disepanjang jalan, Ian disambut oleh gerimis, angin kencang dan petir yang bersahutan. Kabut pun sedikit-sedikit mulai menghalangi jalan. Sekolah Alan memang terletak sedikit di ujung kota, dengan dikelilingi oleh jalan yang sepi.
“Alan … Alan kemana sih ….”
Disamping itu, Ian sudah menghubungi Albra jika Alan tidak ada sisekolahnya, dan Frans tidak menjemput cucunya. Albra yang kini masih berada di kantor sangat terkejut mendengar hal itu, dan Albra menyuruh Ian untuk kembali ke kantor karena kondisi jalanan sedang tidak baik. Untung saja, dibalik sikap dan sifat Albra yang sangat dingin, ada hati hangat yang ia simpan untuk keluarga dan anaknya.
Sesampainya Ian di kantor, ia tidak peduli bajunya basah, yang kini ia pedulikan hanyalah informasi mengenai Alan, keponakan satu-satunya yang ia miliki, dan cucu satu-satunya penerus keluarga Max nanti adalah Alan, sibocah 4 tahun ini.
“Al, Gue gak tau kenapa Alan gak ada disekolahnya,” ucap Ian dengan napas memburu.
Albra yang juga merasa panik, ia pun mencoba tenang. Ia percaya dengan anaknya yang pintar dan cerdas, ia yakin, Alan pasti aman disuatu tempat saat ini.
“Tenang, kita cari dia dengan kepala dingin,” ucap Albra yang kini sedang melihat rekaman CCTV di depan gerbang sekolah Alan.
“Papa udah tau. Papa pasti bakal marah sama Gue,” ucap Ian yang sudah sangat panik.
“Kamu juga yang salah, kenapa harus pakai mobil Alan,” kata Albra menatap Ian dengan sengit.
Ian pun menundukkan wajahnya. “Mobil Gue-kan lagi di service …” gumam Ian pelan.
Albra bangun dari duduknya. “Laki, cengeng banget,” sindirnya sambil menepuk bahu Ian.
“Gue gak cengeng. Gue gak bisa bayangin betapa sulitnya penculik disana ngadepin Alan anak super bawel itu. Gimana kalau Alan di buang di jalan-jalan. Anak umur 4 tahun, ya tuhan ….”
Albra merasa kesal mendengar ucapan Ian, ia pun menepuk kepala belakang Ian. “Sembarangan kamu kalau ngomong. Alan tahu, dia pintar, dia gak mudah buat dibohongin. Kamu liat CCTV-nya.”
Ketika mereka sedang sibuk melihat rekaman CCTV di laptop Albra, tak lama Frans datang dengan jalan terburu-buru. “Kenapa Alan bisa hilang?” tanya Frans langsung dihadapan kedua anaknya.
Ian yang tidak berani melihat ayahnya akan marah hanya bisa menunduk, sedangkan Albra yang pandai menyembunyikan perasaannya ia pun terlihat tampak tenang.
“Albra lagi lihat kemana Alan pergi.”
“Kamu, Ian. Kenapa harus pakai mobil Alan buat pergi?” tanya Frans melihat kearah Ian yang nyalinya kini sudah ciut.
“Ada rapat mendadak tadi, Pa. Papa-kan tau kalau mobil aku lagi di bengkel. Jadi aku pakai mobil Alan,” ucapnya.
Frans yang merasa kesal, ia pun hendak memukul tangan Alan namun ditahan oleh Albra. “Biki malu saja kamu!” ucap Frans yang masih kesal dengan Ian.
“Sudah, Pa. Alan anak pintar, dia gak gampang dibodohin orang lain,” ucap Albra mencoba untuk menenangkan Frans.
“Itu Alan, mundur ke lima detik yang lalu,” ucap Ian yang melihat tas biru kesukaan Alan yang masuk ke dalam mobil hitam.
Albra, Frans dan Ian pun mendekat kearah layar laptop. Mereka memperhatikan pergerakan orang aneh yang mengajak beberapa anak masuk ke dalam mobil, termasuk ada Alan didalamnya.
“Ini gak bisa dibiarkan. Panggil keamanan dan lapor polisi,” ucap Frans kepada sekertarisnya.
Sekertarisnya pun berlari, dan tak lama, lampu perusahaan mati beberapa detik saja dan kembali hidup. Setelah itu, mereka bisa melihat kerah jendela jika diluar sangat gelap dan hanya ada lampu jalan saja yang menerangi jalanan.
“Sedang ada pemadaman listrik. Sepertinya polisi tidak bisa dimintai bantuan saat ini.” Albra yang merasa tidak bisa diam saja, ia pun bergegas pergi untuk bisa mencari Alan, anak semata wayangnya di tengah badai hujan dan pemadaman listrik ini.
Di dalam sebuah kamar gelap, ada sebuah lilin kecil menyala untuk menerangi kegiatan dua orang manusia yang tengah melakukan makan malam sederhana. Mereka adalah Qyen dan Alan, mereka bisa makan dengan nikmat dan tenang walaupun di dalam suasana listrik tengah padam.
“Alan, aku enggak tau kalau kamu di rumah, kamu makan apa. Mungkin makanan malam seperti ini kurang untuk ….”
“Syut … jika sedang makan, Papa bilang mulutnya tidak boleh berisik,” kata Alan santai tanpa melihat kearah Qyen. Lagi dan lagi, Alan selalu saja memotong pembicaraannya. Qyen kini curiga jika Alan adalah manusia renkairnasi dari raja terdahulu, karena ia masih merasa tidak percaya jika ucapan itu keluar dari mulut anak kecil ini.
“Ya … kamu selalu menang dalam hal apapun,” kata Qyen yang kini menyerah untuk berbicara kepada Alan.
Mereka pun kembali makan dengan tenang. Menu makan malam kali ini adalah nasi hangat, telur goreng, dan juga pangsit goreng, karena hanya ada bahan makanan itu saja yang aman di makan oleh anak-anak. Sisanya Qyen hanya memiliki makanan pedas siap saji, ia tidak mungkin memberikan makanan itu kepada Alan, atau Alan akan bersabda nantinya.
Qyen membereskan peralatan makan mereka. Dalam hatinya ia sedikit mendumel karena masih kesal dengan anak kecil bernama Alan itu.
“By the way, aku tidak tau siapa nama kamu,” kata Alan yang kini sudah berada di atas tempat tidur Qyen.
“Kamu tidak perlu tahu siapa namaku. Panggil saja ‘kak’,” jawab Qyen yang tak mau kalah dari Alan.
“Masih kecil sombongnya minta ampun. Dia gak tau kalau ibu ayahnya lagi kelimpungan cari dia …” ucap Qyen pelan sambil pergi menuju dapur.
Ketika sesampainya di dalam kamar dan Qyen ingin mengambil selimut di dalam lemarinya, ia pun mendengar Alan berbicara. “Hey, aku belum tau siapa nama kamu. Papaku bilang, tidak sopan jika berkenalan tapi tidak tahu nama,” kata Alan.
Qyen yang merasa terpancing dengan anak bule itu, ia pun mendekat kearah Alan dan menjulurkan tangannya. “Namaku Qyen. Sudah? Kamu hanya perlu memanggil aku Kak Qyen. Okey, Alan?” mereka pun berjabat tangan dan Alan pun menganggukkan kepalanya.
“Okey, Qyen,” jawab Alan tanpa rasa berdosa.
Kali ini kekesalan Qyen memuncak, di atas kepalanya Qyen bisa merasakan api yang sangat besar menyambar. Bahkan hal itu berbarengan dengan datangnya kilatan petir yang cukup terang dan setelahnya suara petir pun terdengar. Untuk meredakan kekesalan itu, ia pun menarik dan membuang napasnya dengan perlahan. Sepertinya ia harus lebih bersabar menghadapi anak milenial yang pinter berbicara seperti Alan ini.
“Boleh aku buka tas kamu? Untuk mencari informasi dimana rumah kamu, agar aku bisa mengantar kamu sampai ke rumah esok hari,” kata Qyen. Pikirnya, kini lebih baik ia harus mencari jalan untuk mengembalikan anak ini kehabitatnya, maksudnya kepada keluarganya. Qyen yakin jika keluarga Alan pasti sangat khawatir karena anak pintar mereka ini hilang begitu saja.
“Sure, Qyen. Boleh aku tidur terlebih dahulu? Mendengarkan suara hujan seperti ini rasanya mataku mulai ngantuk,” katanya yang lagi-lagi berbicara seperti orang dewasa.
Qyen mengangguk, sepertinya membiarkan Alan tidur akan membuat dirinya sedikit tenang hari ini. “Ya, tidur saja. Jangan lupa baca doa.”
Alan megangguk, Qyen bisa melihat jika Alan mulai mencari posisi tidur ternyamannya di atas satu-satunya kasur yang Qyen miliki. Malam ini sepertinya Qyen harus tidur di sofa dengan selimut tipisnya. Tidak apalah, ia harus mengingat jika ini adalah salah satu kemanusiaan untuk menolong orang di cuaca rawan bencana seperti ini.
Setelah menyiapkan selimut, kini Qyen duduk di sofa yang terlihat sudah sedikit usang. Ia pun mengambil tas Alan yang berwarna biru, menyalakan satu lilin agar ia bisa melihat dengan jelas apa saja yang ada di dalam tas Alan.
Setelah mengeluarkan benda-benda yang ada di dalam sana, ia pun melihat ada 3 buku bacaan, kotak pensil, botol minum, kotak bekal, dan satu name tag bertali, juga Qyen bisa melihat jika semua benda itu berwarna biru. Tidak ada benda lain yang tersimpan di dalam tas Alan yang bisa memberikan informasi untuk Qyen.
“Orang tua macam apa yang tidak menyediakan payung di tas anaknya?” gumam Qyen untuk memecah keheningan.
Suara hujan masih terdengar sangat jelas bahkan kini angin pun semakin berhembus dengan sangat kencang. Sebenarnya hati Qyen merasa khawatir karena takut jika Alan akan menangis di malam hari dan meminta dirinya untuk mencari orang tuanya dimana. Namun sepertinya tidak, dari sini, Qyen bisa melihat jika Alan tidur dengan sangat damai.
“Alan … Alan … mimpi apa aku kemarin bisa bertemu sama anak pintar kaya kamu,” ucap Qyen lagi. Tak sadar bibirnya membentuk senyuman, jika dilihat-lihat ia bisa mengakui Alan sangat-sangat tampan dan juga lucu. Tapi balik lagi dengan melihat kenyataan, jika sifat Alan tidak selucu wajahnya, karena Alan sangat menyebalkan.
“Fokus, Qyen … kamu harus bantuin Alan besok …” kata Qyen yang kini mulai membuka buku-buku Alan.
“Max Alan …” gumam Qyen melihat sebuah nama tercetak jelas di buku sampul Alan.
“Name tag ... name tag ….”
Kini Qyen beralih mengambil name tag Alan, di sana terlihat jelas ada sebuah foto yang memperlihatkan Alan dengan seorang laki-laki dewasa. “Sepertinya … ini ayahnya deh,” kata Qyen yang tidak terlalu peduli dengan siapa laki-laki itu.
“Children International School?” tanya Qyen kepada dirinya sendiri.
Ia kini mencari ponselnya untuk mengetahui dimana letak sekolah itu, agar esok hari ia bisa mengantarkan Alan menuju sekolahnya. Setelah menemukan ponselnya, Qyen baru tersadar jika malam ini sedang ada pemadaman listrik, dan tidak ada satu koneksi internet pun yang tersedia.
“Aku tau daerah sekitar sini, tapi aku gak tau dimana letak sekolah Alan. Sepertinya besok pagi aku harus cepat-cepat mencari informasi di internet,” kata Qyen.
Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 sudah cukup malam. Qyen membereskan barang-barang Alan, lalu ia bersiap-siap untuk tidur. Tak lupa ia memastikan jika Alan terselimuti dengan benar karena cuaca kali ini sangat-sangat dingin, ia pun mengusap kepala Alan dengan lembut sambil mengucapkan, “selamat malam, Alan. Tidur yang nyenyak ….”
Setelah itu, ia mematikan lilin dan tertidur, agar esok ia bisa bangun lebih pagi.
Di sisi lain, dua laki-laki dewasa tengah berada di dalam mobil dan kembali menelusuri jalanan untuk mencari dimana keberadaan Alan. Ada Albra dan Ian, kini Albra yang menyetir mobilnya, dan Ian yang memperhatikan jalanan.
“Gue yakin banget Alan pasti baik-baik aja,” kata Ian yang masih menyemangati dirinya.
Melihat situasi yang tidak memungkinkan, kini pikiran Albra menjadi kacau. Ia semakin khawatir dengan anak sematawayangnya itu.
“Polisi lagi nyari kearah kota, sebaiknya kita pergi ke jalan menuju sekolah Alan,” kata Ian yang melihat maps diponsel canggihnya. Kini pencarian mereka dibantu oleh polisi dan beberapa pengawal Frans agar Alan cepat ditemukan.
Jam sudah menunjukkan pukul 23.49 Albra hampir menyerah untuk mencari Alan malam ini karena hal ini tidak memungkinkan.
“Sepertinya kita belum bisa mencari Alan malam ini. Hujan semakin deras, kondisi jalanan tidak stabil, dan tingkat kecelakaan semakin tinggi, dan juga … saya yakin Alan tidak akan ada dijalanan,” ucap Albra yang merasa ikatan batinnya masih kuat terjalin dengan baik kepada anaknya.
Ian mengangguk. “Alan anak mandiri, dia pasti melakukan segala cara biar bisa bertahan hidup,” tambahnya.
Kini mereka diselimuti keheningan, ketika melewati sekolah Alan, Albra memutuskan untuk pergi ke sekolah Alan dan kembali mencari informasi sebanyak-banyaknya di sana. Walaupun batinnya percaya jika Alan akan baik-baik saja, namun pikirannya masih kacau.
Mereka disambut baik oleh penjaga sekolah dan juga ada beberapa guru yang turut membantu memonitori pencarian Alan, karena sekolah ini adalah titik terakhir yang merekam keberadaan Alan.
“Selamat malam tuan Albra, kami tidak tau kejadiannya akan seperti ini. Sepertinya kami harus membenahi sistem keamanan di sekolah kami,” ucap salah satu guru yang notabenenya adalah wali kelas Alan.
Albra mengangguk. “Tidak sepenuhnya salah sekolah. Saya kesini hanya ingin memastikan jika ini adalah lokasi terakhir anak saya terlihat,” kata Albra yang kini melihat beberapa monitor CCTV yang sedang mengulang kejadian tadi siang.
“Bu, ada laporan jika dua anak perempuan selain Alan juga baru ditemukan tadi jam sepuluh di sebuah toko usang oleh polisi. Keduanya dalam keadaan baik dan mereka menangis kencang,” ucap seorang guru lainnya sambil melapor.
Mendengar hal itu, jantung Albra rasanya hampir copot. Seketika ia menjadi panik karena yang ditemukan hanya dua orang anak perempuan saja, lalu … kemana perginya Alan?
Kini Albra benar-benar tidak bisa diam saja, ia sudah mendapatkan gambar mobil yang sudah membawa Alan, ia pun bergegas pergi dengan terburu-buru bahkan ia meninggalkan Ian sendiri di dalam sekolah Alan. Kini pikirannya sudah tidak teratur, yang ada di dalam pikirannya saat ini hanya Alan.
Albra mengendarai mobil dengan kecepatan diatas rata-rata, ia menghiraukan badai hujan yang menghujami mobilnya. Bahkan kini pengelihatan di jalanan hanya berjarak 5 meter saja, tapi Albra tidak memperdulikan akan hal itu.
“Alan … kemana kamu, Nak …” gumam Albra yang tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!