Dentuman musik yang menghentak serta menggema di seluruh penjuru ruangan, membuat sepasang muda mudi yang sedang dimabuk asmara itu semakin bersemangat meliuk-liukkan tubuhnya, seirama musik yang dimainkan oleh DJ. Lampu disko yang berkelap-kelip membuat suasana semakin memacu adrenalin untuk bergoyang. Sudah satu jam berlalu dan mereka tak merasakan lelah sedikit pun, tak berniat untuk berhenti dan beristirahat.
Usai meneguk minuman beralkohol tinggi tadi, keduanya menjadi semakin liar tak terkendali. Ini kali pertama bagi mereka mencoba minuman memabukkan itu. Karena toleransi alkohol keduanya masih sangat rendah, alhasil segelas saja sudah cukup membuat sepasang kekasih tersebut mabuk berat.
"Feli ... Baby, yuk, cabut!"
Gadis berusia 19 tahun, berparas ayu, bertubuh mungil berisi itu membalikkan badannya yang terasa enteng bak lembaran kertas tertiup angin. Felinova, begitulah orang-orang memanggilnya. Ia memicingkan mata untuk melihat lebih jelas sosok lelaki yang saat ini berdiri dengan oleng di hadapannya.
"Jonas?" lirih Feli terkekeh, ia tak tahu mengapa respon otaknya begitu lambat untuk mengenali lelaki yang sudah setahun ini menjadi kekasihnya.
Jonas memutar bola matanya gemas, ia menarik lengan Feli dan menyeretnya keluar dari Pub. Tak sanggup menolak, Feli pun mengikuti kekasihnya itu pergi.
"Kita ke apartemenku, oke?" cerocos Jonas sembari mengeluarkan kontak mobilnya dan memaksa Feli masuk setelah ia membuka pintu mobil.
Tanpa perlawanan, Feli hanya menurut saja saat mobil sport berlogo kuda jingkrak itu melesat cepat menembus jalanan ibukota yang mulai lengang di dinihari.
Tak butuh waktu lama, mereka berdua sudah tiba di apartemen Jonas yang berada di sebuah kawasan elit. Seluruh tubuh Feli memanas, entah karena cuaca yang memang sedang panas-panasnya di bulan Juni atau karena efek alkohol yang ia tenggak beberapa jam yang lalu. Feli melepas croptop-nya dan melemparnya ke sembarang arah. Ia tak sadar bila dua mata Jonas tak berkedip sedari tadi menatapnya, sesekali Jonas menelan saliva-nya gugup saat ditubuh Feli hanya tersisa bra dan hotpant saja.
Pengaruh alkohol membuat Feli lupa diri, ia membuka pintu kamar Jonas dan merebahkan tubuhnya di ranjang Kingsize bersprai biru itu. Tubuhnya terasa sangat ringan, sesuatu di dalam dadanya menggelora dan terasa panas. Yang ada dipikiran Feli saat ini, ia tengah berada di kamarnya sendiri.
Tak ingin kehilangan kesempatan, Jonas menyusul Feli dan memeluknya dari belakang. Sesuatu di bagian bawah tubuhnya menegang sedari tadi, Jonas sudah tak sanggup menahannya lagi.
"Fel ..." de-sah Jonas lirih.
"Hmmm ..."
Jonas membalik tubuh Feli dengan sedikit paksaan, tubuh wangi dan setengah telan-jang itu nampak sangat menggoda iman. Hembusan napas Feli yang hangat membuat gairah Jonas semakin menggebu-gebu. Dengan cekatan, ia melepas pengait bra di punggung Feli hingga gundukan daging itu terburai bebas setelahnya. Jonas kembali menelan salivanya dengan tak sabar, desiran hangat itu berubah semakin panas.
"This is yours, Fel." Jonas menarik tangan Feli dan mengarahkannya pada buwung di bawah sana.
Feli tersenyum di antara rasa kantuknya yang semakin menjadi-jadi. Ia meremas buwung itu dengan gemas. "I looooove this things!!"
.
.
"Angkat, Jonas! Angkat!!"
Suara menggerutu dari mulut Feli semakin membuat suasana hatinya memburuk.
"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau --"
"Arrggg!! WTF!!" Feli melempar ponselnya ke ranjang dengan kesal.
Sudah seminggu ini Jonas tidak bisa dihubungi. Berkali-kali Feli mencoba, berulang kali pula ia mengumpat kesal karena kecewa. Orang tua Jonas tinggal di luar negeri, di Jakarta ia hidup seorang diri, di apartemen yang juga tak berpenghuni sejak kekasihnya itu menghilang.
Feli menoleh ragu pada amplop putih di atas meja nakasnya. Ada dua tespack di dalam amplop itu, dan dua-duanya menunjukkan hasil yang sama, dua garis merah! Feli menghembuskan napasnya frustasi.
"Di mana kamu, Jonas!!" umpat Feli penuh amarah.
Jadwal menstruasi yang selalu tepat tiba-tiba saja membuat Feli kalang kabut saat darah kotornya itu tak kunjung datang bulan ini. Ia semakin frustasi saat menyadari bila di malam itu beberapa minggu yang lalu, ia dan Jonas melakukan hubungan badan tanpa pengaman. Berkali-kali ia dan Jonas tenggelam dalam gairah satu malam, dan setelahnya menyesal karena hubungan sakral yang harusnya mereka lakukan setelah resmi menjadi suami istri, malah mereka lakukan karena berada di bawah pengaruh alkohol.
"Bodoh kamu, Feli! Bodoh!!" gerutu Feli lagi sembari menghempaskan pantatnya di ranjang.
Tangan mungil Feli mulai membuka laci meja nakas dan meraih sebuah obat yang ia beli secara online kemarin. Menurut artikel yang ia baca, obat ini bisa meluruhkan janin yang masih berusia trisemester pertama. Feli tak punya pilihan lain, ia harus segera mengugurkan kandungannya secepat mungkin, terlebih setelah keberadaan Jonas seolah hilang ditelan bumi.
Feli bangkit dari ranjang, ia memutuskan mengambil air di dapur sebelum menenggak pil berbentuk heksagon berwarna putih itu. Dengan tubuh gemetar, Feli menuang air di dalam kulkas ke gelas besar yang ia ambil dari pantry.
"Non, malah di sini! Tadi di cari nyonya besar, loh!"
Feli tersentak dan menoleh cepat ke asal suara di sampingnya. Bik Sum tengah memandang Nona mudanya dengan pandangan kepo.
"Bibik, ngagetin aja!" sungut Feli sembari memasukkan kembali botol air ke dalam kulkas.
"Tumben Non Feli nggak nyuruh Bibik ngambilin airnya?" selidik Bik Sum.
Feli menghela napasnya sesaat sembari berpikir. "Suka-suka saya, lah!" sahutnya sinis sambil berbalik dan melenggang pergi.
Feli tak pandai berbohong, wajahnya akan memerah tiap kali ia berdusta. Maka dari itulah ia memilih pergi sebelum Bik Sum memergoki perubahan di wajahnya.
Dengan langkah cepat, Feli naik ke lantai atas menuju kamarnya. Ia harus buru-buru agar bisa segera menenggak pil itu dan lepas dari segala beban yang kini bersarang di perutnya! Benih dari Jonas, kekasihnya.
Pintu kamarnya yang terbuka membuat Feli mengernyitkan keningnya heran, ia mengurangi laju kecepatan langkahnya sembari berpikir, sepertinya tadi ia sudah menutup pintu kamarnya dengan rapat, kenapa sekarang malah terbuka?
Masih dengan langkahnya yang ragu-ragu, Feli mendorong pintu kamarnya agar terbuka lebih lebar.
Prang ...
Bola mata Feli terbelalak, tubuhnya yang gemetar mendadak dingin dan kaku, gelas yang ia pegang dengan erat tanpa sadar terlepas dari genggaman tangannya dan hancur berkeping-keping. Cipratan air dan pecahan kaca yang jatuh tepat di telapak kaki Feli membuatnya seketika tersadar, Maminya tengah memegang erat obat miliknya sembari menatap tajam ke arahnya.
"Obat apa ini, Feli? Kamu hamil??"
...****************...
Hola, Bestie!
**Otor kembali lagi dengan karya baru, nih. Jangan lupa klik jempol, favorit dan vote agar tak ketinggalan updatenya! **
**Salam sayang **❤️
"Dasar, Anak Nakal! Kamu mau menambah dosamu dengan menggugurkan janin itu, huh!?"
Feli mengusap air matanya dengan kasar, ia menatap Papinya dengan tajam. "Feli nggak punya pilihan lain, Pi! Feli nggak mau hamil!"
Handoko menghembuskan napasnya dengan geram. "Tidak mau hamil tapi mau enaknya saja! Dasar anak muda jaman sekarang! Panggil Jonas kemari sekarang juga!!" titahnya emosi.
"Jonas ... menghilang, Pi."
"Apa!?"
Feli menunduk takut. Maminya berdiri di ujung kamar dengan air mata berurai dan ingus meleleh, ia kehabisan kata-kata dan sangat syok saat mengetahui bila putri yang ia bangga-banggakan di depan teman-teman sosialitanya mendadak hamil tanpa suami! Apa kata dunia coba kalo sampai teman-teman julidnya itu tahu! Mau disembunyikan di mana lagi mukanya yang sudah dipermak habis-habisan di Korea.
"Papi akan cari dia sampai dapat dan menyeretnya kemari untuk menikahimu!"
Namun nyatanya, dua minggu berlalu begitu saja tanpa ada kabar apapun dari Jonas. Pun begitu, Papinya tak dapat menemukan keberadaan Jonas yang baru setahun ini tinggal di Indonesia.
Sartika, Mama Feli, masih tak sanggup keluar rumah setelah kejadian itu. Ia merasa sangat malu, merasa sangat ketakutan. Bagaimana nasib putrinya bila sampai Jonas tak ditemukan?
"Pi, kita harus segera menikahkan Feli," rengek Sartika saat sore itu mereka duduk santai di taman rumah. Di wajah wanita berusia di penghujung lima puluhan itu tengah terpasang masker anti aging setebal buku kamus bahasa Inggris.
"Papi tahu, Mi. Tapi Jonas belum ketemu! Papi sampai sewa detektif buat mengintai apartemen dia, tapi Jonas nggak pernah pulang sejak terakhir kali keluar bersama Feli. Papi khawatir Jonas sengaja melarikan diri."
Sartika menghela napasnya dalam sembari menepuk-nepuk maskernya yang mulai mengering, ia mulai menerawang untuk berpikir. Ia tak ingin berita kehamilan Feli sampai menyebar, tapi ia juga tak mau Feli menjalani kehamilannya seorang diri.
"Andai Feli tahu seberapa sulitnya kita mendapatkan dia dulu, pasti dia tidak akan gegabah untuk menggugurkan kandungannya," lirih Handoko sedih.
Mendapatkan Feli?? Sartika menolehi suaminya dengan pandangan mata berbinar. Aha, dia ada ide cemerlang!
"Pi, gimana kalo kita nikahkan Feli dengan Faisal!" usul Sartika sembari mengacungkan jari telunjuknya.
Handoko terbelalak, ia menolehi istrinya dengan tatapan tak percaya. "Mi, Faisal masih anak kita juga!"
"Tapi Faisal dan Feli nggak ada hubungan darah, Pi! Mereka masih sah untuk menikah. Toh sampai hari ini Faisal juga belum punya pacar, kan!?"
Handoko menghembuskan napasnya berat. Sartika ada benarnya juga, diusianya yang sudah kepala tiga Faisal memang belum tertarik untuk menikah. Sudah berkali-kali Handoko memintanya untuk mengakhiri masa lajang namun Faisal selalu memiliki banyak alasan untuk menolak. Mungkinkah ini pertanda bila Feli adalah jodoh putra asuhnya itu? Akh, tidak ... tidak!
"Setidaknya Faisal anak yang baik dan jelas-jelas menyayangi Feli, Pi. Mami nggak mau Feli menikah dengan pria sembarangan!" Sartika mulai manyun.
Pikiran Handoko perlahan mulai terbuka, Sartika benar, Feli tidak boleh menikah dengan orang sembarangan dan lagi mereka harus bergerak cepat sebelum kandungan Feli semakin besar dan membuat orang lain curiga.
"Ya sudah, tolong ambilin ponsel Papi di dalam, Papi akan telefon Faisal dulu!"
.
.
Di sebuah bangunan bertingkat, ratusan kilometer dari Ibukota. Seorang lelaki nampak merenung di balkon sembari menatap lurus ke arah matahari yang mulai turun ke peraduannya. Faisal Ramadhan, demikian orang-orang mengenalnya. Berusia matang 34 tahun namun masih betah menyendiri. Tidak, tepatnya bukan menyendiri tapi mengasingkan diri.
Puluhan tahun yang lalu, dia diadopsi oleh sepasang suami istri yang datang ke Panti Asuhan tempatnya tinggal. Faisal dibesarkan dengan sangat baik oleh mereka, disekolahkan di sekolah Internasional dan mendapat fasilitas terbaik, disayangi dengan sepenuh hati. Namun begitu, masih ada satu sisi kosong di salah satu bilik hati Faisal, tepatnya di bilik kesepian. Mungkin ia disayangi dan diperhatikan, namun Faisal masih merasa minder untuk mengaku sebagai anak dari keluarga Handoko Barata hingga membuatnya selalu mengurung diri dan menjadi semakin kesepian.
Usai menyelesaikan kuliahnya, Faisal memilih untuk menepi. Beruntung Handoko memiliki Perkebunan Teh, jadilah Faisal yang menghandle Perkebunan itu sementara Handoko fokus mengelola Pabrik Teh di kota.
"Bisakah kamu menyempatkan datang ke kota, Sal? Papi ingin membahas sesuatu denganmu besok."
Permintaan Handoko kembali terngiang di telinga Faisal. Tak biasanya Handoko memaksanya untuk datang di hari kerja seperti ini, pasti telah terjadi sesuatu yang genting.
Dengan wajahnya yang selalu datar dan dingin tanpa ekspresi, Faisal mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menghubungi nomor salah satu karyawannya.
"Halo, Pak Faisal."
"Halo, Zul. Besok pagi aku minta tolong antarkan aku ke kota. Bisa, kan?"
.
.
Brak.
Feli menutup pintu kamarnya dengan kasar, tak berapa lama pintu itu kembali dibuka dari luar oleh Handoko.
"Hanya ini satu-satunya cara agar anakmu punya status yang jelas, Feli!"
"Tapi Feli nggak mau menikah sama Kak Ical, Pi! Masih banyak pria lain di luaran sana, tapi kenapa harus Kak Ical??"
"Papi tidak mau kamu menikah dengan lelaki sembarangan! Cukup Jonas saja yang mengecewakan Papi, Papi tidak mau kamu salah memilih lagi." Handoko melipat tangannya di dada.
Feli mengepalkan tangannya untuk menahan diri dari emosinya yang meluap-luap. Selera makannya telah lenyap bersamaan dengan kabar buruk yang baru saja ia dengar dari Papinya. Kabar yang akan merubah statusnya dari seorang adik menjadi istri!
"Lagipula Papi sudah memikirkan hal ini dengan matang. Kamu dan Faisal tidak ada hubungan darah, jadi pernikahan kalian tidak akan melanggar norma agama!"
Feli mendengus kesal. Menikah dengan Faisal? Hahaha ... yang benar saja! Meskipun dia hanya sebentar mengenal kakak asuhnya itu, tapi Feli bisa mengingat dengan jelas betapa dingin, kuno dan kakunya sikap Faisal.
"Feli nggak mau! Mending Feli gugurin janin ini daripada harus menikah sama Kak Ical! Kak Ical adalah lelaki terakhir yang ada dipikiran Feli seandainya stok pria di muka bumi ini punah!"
"Feli! Jaga mulutmu! Papi tidak pernah mengajarimu merendahkan orang seperti itu!" sentak Handoko marah.
Feli membuang muka, ia bersedekap dan menantang tatapan Handoko yang semakin tajam.
"Kalo Papi mau nikahin Feli sama Kak Ical, mending Feli mati sekalian!"
"Kamu ..." Handoko melotot geram, ia merasa sesuatu seolah menghantam dada sebelah kirinya. Untuk sesaat Handoko menarik napasnya yang tiba-tiba terasa sesak.
Feli yang melihat gelagat mencurigakan Papinya mulai cemas. Napas Handoko semakin tersengal-sengal, ia terlihat pucat dan mencengkram erat dada sebelah kirinya.
"Papi!!" teriak Feli panik. Ia berlari menghampiri Papinya dan menahan tubuh besar itu dengan sekuat tenaga.
"Toloooong, Mami!! Papi pingsan!! Mamiiiiii ...."
...****************...
Hening. Hanya suara jarum jam yang berbunyi dalam hitungan konstan. Faisal sudah tiba di kediaman mewah Handoko sejak dua jam yang lalu. Bik Sum lah yang pertama kali menyambut kedatangan Tuan Mudanya itu, sementara Sartika masih sibuk di kamar untuk merawat suaminya. Feli yang biasanya paling bersemangat menyambut kedatangan Faisal kini memilih bersembunyi di kamar dan mengurung diri. Zulfikar, karyawan Faisal yang tadi mengantarnya ke kota, memilih untuk jalan-jalan dulu mumpung ada di kota besar.
Tok tok tok.
Faisal tersentak, ia menolehi pintu kamarnya dengan waspada. Tak berapa lama pintu itupun terbuka perlahan, wajah cantik Sartika muncul dengan senyuman hangat.
"Kamu sudah makan, Sal?" tanya Sartika lembut sembari menghampiri putra asuhnya tersebut.
"Sudah, Mi. Tadi kami mampir di rest area untuk sarapan sebelum kemari. Gimana keadaan Papi?" tanya balik Faisal. Ia sangat khawatir saat tadi Bik Sum bilang bila Handoko sedang sakit.
"Sudah mendingan. Baru bisa tidur setelah semalaman tadi sempat kesakitan. Apa kamu sudah bertemu Feli?"
Faisal menggeleng cepat, sejujurnya ia rindu pada adiknya yang usil dan temperamen itu namun Faisal tak pernah berani masuk ke kamar Feli. Selain karena mereka sudah sama-sama dewasa, Faisal bukanlah Kakak kandungnya. Kenyataan itu membuat Faisal mulai menjaga jarak semenjak Feli mulai ABG, ia tak ingin terlampau dekat mengingat mereka tak sedarah.
"Feli hamil, Sal."
"Hah?!" Faisal melotot kaget dengan napas tertahan. Ia mengawasi Sartika dan berharap Maminya itu tertawa sembari berkata bila dia sedang bercanda seperti kebiasannya. Namun nyatanya, air mata Sartika menetes saat tatapannya dan Faisal bertemu.
"Mi, bagaimana bisa?" keluh Faisal syok, raut dingin wajahnya berubah sendu.
"Mami juga kaget, baru sekarang Feli pacaran dan kelewat batas seperti ini. Dan yang paling menyakitkan, pacarnya kabur, Sal! Huhuhu ..." tangisan Sartika semakin histeris.
Faisal mengusap wajahnya yang terasa menegang karena terlampau syok. Napasnya mulai naik turun tak normal.
"Untuk itulah kami memanggilmu kemari, hanya kamu yang bisa menyelamatkan Feli, Sal!"
"Apa maksud Mami? Apa yang bisa aku lakukan untuk menyelamatkan Feli, Mi?!" paksa Faisal dengan frustasi.
Sartika terdiam, ia memegang erat dua bahu Faisal dan menatapnya dalam. "Nikahi Feli."
Jderrrr.
Bagai petir di siang bolong, tubuh Faisal terasa tersambar dan hancur berkeping-keping. Sengatan listrik ratusan ribu volt seolah menyengat tubuhnya kala itu juga.
"T-tapi Mi, kami bersaudara ..."
"Tolong kami, Sal." Sartika bangkit dari samping Faisal dan bersiap untuk bersujud di depan putranya itu.
Secara reflek Faisal berdiri dan menahan tubuh Sartika yang hendak bersimpuh di hadapannya. "Mi, jangan seperti ini."
"Hanya kamu satu-satunya harapan kami, hanya kamu yang menyayangi Feli dengan tulus."
"Tapi kami bersaudara, Mi. Bagaimana kalau --"
"Papimu sudah memikirkan hal itu, lagi pula kalian tak sedarah, bukan? Orang-orang sudah tahu bila kami mengadopsimu kala itu. Mereka pasti paham."
Faisal menghembuskan napasnya berat. Kenapa semua malah dibebankan di pundaknya!
"Feli sempat ingin mengugurkan janinnya. Beruntung saat itu Mami lebih dulu menemukan obat itu. Kalo nggak ... mungkin seumur hidup Feli akan menyesali perbuatannya!"
Faisal melirik Sartika yang mulai tenang dan sesekali merapikan bulu mata extensionnya. Sekali lagi napas Faisal terhembus dengan sangat berat, seolah ribuan ton beras bertumpu di pundaknya. Kenyataan bila Feli hamil tanpa suami sudah memukul jiwanya, ditambah lagi Faisal harus menikahinya! Ide gila macam apa ini! Dan Feli sempat akan mengugurkan kandungannya? Oh, yang benar saja! Janin itu tidak berdosa, orang tuanya-lah yang pendosa. Sebagai alumni anak panti asuhan yang dibuang di sana sejak bayi, Faisal paham rasanya menjadi anak yang tak diharapkan, dan dia tak ingin anak Feli kelak merasakan hal itu.
"Hanya kamu yang bisa menyelamatkan masa depan Feli dan anaknya, Sal." Sartika kembali duduk di ranjang Faisal dan menatap putranya itu dengan hangat. "Sebenarnya kami bisa saja menikahkan Feli dengan lelaki lain dan membayarnya, tapi kami takut hal itu akan memperburuk keadaan mereka berdua suatu saat nanti. Belum lagi segala kemungkinan bisa saja terjadi, Feli bisa saja dilecehkan, diperlakukan dengan nggak baik dan --"
"Baiklah, Mi. Aku akan menikah dengan Feli."
.
.
"Saya terima nikah dan kawinnya Felinova Barata binti Handoko Subhan Barata dengan mas kawin perhiasan seberat 10 gr dibayar tunai!"
Faisal melirik Handoko dan Zulfikar serta penghulu yang menikahkannya dengan hati berdebar. Semalam suntuk Faisal menghafalkan ijab qobul dan mempersiapkan batinnya.
"Sah?" Penghulu menolehi para saksi.
"Sah!!!" "Sah!" Zulfikar dan Handoko menyahut bersamaan.
Fiuh! Faisal menghembuskan napasnya lega. Ia menggosokkan kedua tangannya yang dingin dan gemetaran. Satu fase penting kehidupannya sudah berhasil ia lalui dengan lancar meskipun dengan keterpaksaan.
Senyuman di wajah Handoko terlihat semakin lebar, ia bangkit dan memeluk Faisal dengan erat.
"Terima kasih, Sal! Terima kasih, Anakku!"
Faisal membalas pelukan itu dan memejamkan matanya dengan perasaan campur aduk. "Tidak perlu berterima kasih, Pi. Apapun akan aku lakukan untuk kalian."
Handoko menepuk-nepuk pundak anak angkat sekaligus menantunya itu dengan bahagia. Satu beban beratnya telah teratasi, pengorbanan Faisal membuat segala permasalahan selesai.
Sementara itu di kamar, Feli tak henti-hentinya komat-kamit membaca doa. Di satu sisi ia gugup dan cemas apakah Faisal lancar melalui prosesi ijab qabulnya, sementara disisi lain Feli membenci dirinya sendiri dan janin yang ia kandung karena telah mengacaukan masa depannya.
Tok tok tok.
Feli tersentak, ia mengawasi pintu kamarnya dengan panik. Perlahan daun pintu itu terbuka, seraut wajah yang selalu Feli rindukan diam-diam muncul. Wajah yang selalu datar tanpa ekspresi itu perlahan tersenyum kikuk saat tatapan mereka bertemu.
"Sudah?" tanya Feli cemas seraya bengkit dari ranjangnya dan menghampiri Faisal yang mematung di pintu.
Faisal mengangguk. "Sudah."
"Fiuuuh! Aku khawatir banget takut Kak Ical nggak bisa ngomong! Syukurlah kalo sudah beres!" Feli mengusap-usap dadanya dengan lega.
Dari tempatnya berdiri, Faisal bisa melihat betapa Feli kini nampak sangat berbeda. Sudah beberapa bulan ini mereka tak lagi bertemu karena Faisal hanya sesekali mengunjungi Handoko dan Sartika.
Suasana pun mendadak canggung, Faisal tak tahu harus berbuat apa setelah ini. Ia masih mematung di pintu, tak berani untuk masuk ke dalam kamar Feli yang sangat girly.
"Masuklah, Kak. Ada yang harus kita bicarakan!" perintah Feli sembari menarik tangan Faisal dengan cepat.
Mau tak mau Faisal pun menurut, ia mengikuti Feli yang menariknya untuk duduk di sofa beludru berwarna biru langit. Ini kali ketiga Faisal masuk ke dalam kamar Feli semenjak adiknya itu beranjak ABG.
Setelah mereka duduk saling berjauhan, Feli menatap lelaki di hadapannya ini dengan tatapan tajam.
"Kita harus buat perjanjian!"
Faisal mengernyit bingung. "Perjanjian?"
Feli mengangguk cepat. "Karena kita menikah hanya demi status janin sialan ini, maka kita harus membuat perjanjian."
Janin sialan? Faisal menghembuskan napasnya geram. "Fel, jangan menyebutnya janin sialan."
"Memangnya kenapa? Gara-gara janin ini semuanya jadi runyam! Coba kalo dia nggak ada, semua ini pasti nggak akan terjadi!"
"Coba kalo kamu tidak ceroboh. Coba kalo kamu bisa menjaga diri. Janin itu tidak berdosa, kamu dan kekasihmu itulah yang pendosa!" cecar Faisal marah, rahangnya mengatup rapat.
Mendengar Faisal menceramahinya, raut wajah Feli yang tadinya full senyum sontak berubah marah. Ia menatap Faisal tak percaya.
"Kamu mau perjanjian yang bagaimana? Mari kita buat perjanjian itu asal kamu berjanji jangan pernah lagi menyebutnya janin sialan!"
Feli mengangguk paham. Sudah ia duga bila awal pertemuannya dengan Faisal akan runyam, terlalu banyak perbedaan keduanya yang tak bisa disatukan.
"Oke baiklah," lirih Feli menahan diri untuk tidak emosi. Ia harus membicarakan hal ini dengan kepala dingin.
"Pertama, Kak Ical dilarang menyentuhku atau memintaku melakukan hubungan badan. Kedua, kita tidur di kamar terpisah. Ketiga, kita akan bercerai setelah bayi ini lahir. Deal?"
...****************...
Hola, Bestie!
Jangan lupa tap ❤️ dan jempolnya 👍🏻 agar tak ketinggalan update setiap harinya. Happy weekend semua kesayangan Otor!! 🥳
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!