Bisa menikah dengan lelaki yang kucintai adalah hal yang sangat membahagiakan dalam hidupku. Aku bermimpi dapat membangun sebuah mahligai rumah tangga yang indah dan penuh cinta. Namun semua hanya dalam angan semata, saat aku menyadari tak penah ada cinta dari suamiku untukku.
Namaku Kavita Saputri Indrawan, aku orang yang baik, ramah, manis, itu kata orang. Kataku sih biasa aja. Aku mempunyai bisnis dalam dunia mode, yang sudah ku tekuni sejak kuliah. Tapi aku rela menyamar menjadi seorang karyawan dalam sebuah perusahaan demi mendapatkan perhatian dari seseorang, yang aku sayang.
CEO dari perusahaan Gemilang Jaya, Adrian Saputra Wijaya. Atasan di tempatku bekerja, orangnya ganteng, mapan, baik meski agak kaku. Dia adalah targetku untuk dapat ku tundukkan hatinya agar bisa menjadi pendamping hidupku. Meski itu terdengar seperti mimpi, tapi aku sangat optimis akan hal tersebut.
Semuanya bermula saat aku berada di sebuah pesta di hotel ternama, tepatnya di lantai sembilan. Aku yang sedang mabuk tidak begitu sadar saat tergelincir dan hampir saja terjatuh dari ketinggian beberapa belas meter karena memang posisiku saat itu berada di balkon sedang menikmati pemandangan kota dari atas sana.
Entah apa yang aku fikirkan saat itu, pegangan ku pada pagar besi terlepas dan kakiku tergelincir. Rasanya aku sudah pasrah jika harus mati saat itu juga. Tetapi secercah harapan kembali hadir saat aku merasakan ada yang memegangi tanganku erat.
"Pegang tanganku yang erat, jangan takut! Aku akan menarikmu ke atas, " ucapnya kala itu.
Bagaikan superhero, dia datang di waktu yang tepat. Dia berhasil menyelamatkan dengan menarikku sekuat tenaga hingga aku kembali berhasil mendarat di balkon dengan selamat.
Aku yang masih mabuk dan tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhku kembali limbung dan jatuh ke pelukannya, sangat nyaman aku rasakan. Wanginya yang maskulin, tubuhnya yang tegap dan tinggi, menangkap dan merengkuh tubuh rampingku ke dalam pelukannya.
Lelaki impianku, sejak saat itu aku menetapkan dirinya sebagai lelaki idamanku. Aku yang ambisius dan merasa harus bisa mendapatkan dirinya, seperti aku mendapatkan semua yang aku impikan sejak kecil. Semua dapat aku raih dengan kerja keras dan kegigihanku.
Dengan lembut ia menyerahkan ku kepada Nadiva temanku untuk dibawa pulang karena aku sudah sangat mabuk katanya. Dari Nadiva pula aku tau namanya Adrian, dan merupakan CEO dari salah satu perusahaan.
"Gue harus kerja disana, " ucapku saat sampai di rumah.
Diva mengernyit, "maksud lo? "
"Ya, gue harus bisa deket sama si Adrian itu. Kata lo, dia single kan? Jadi gak masalah dong kalau gue deketin dia, " aku menaik turunkan alis saat bicara pada Diva.
"Lo bukannya mabuk ya? Kok bisa-bisanya sih lo sesadar ini sekarang? " heran Diva.
"Ya gaklah! Mana mungkin gue mabuk kalo cuma minum anggur se gelas doang, " balas ku.
"Terus, tadi itu berarti lo sadar pas mau jatoh dari balkon? "
Aku mengangguk mengiyakan, "he'em, "
"Lo bener-bener gila ya, Vit! Kok lo bisa seyakin itu kalau dia bakal nyelametin lo disaat yang tepat? Kalau gak gimana coba? Udah mampus duluan lo sebelum pedekate ma Adrian, " sembur Diva yang merasa gemas padaku.
Aku memamerkan deretan gigiku, "hehe.. sori, Div, "
"Sebenernya sih, gue juga gak yakin kalau dia bakal nyelametin gue. Tadinya bukan dia target gue, " lanjut ku terus terang.
"Lah, terus siapa?"
"Papa, " jawabku sendu.
"Om Indrawan? " tebak Nadiva.
Aku mengangguk lesu, "iya, siapa lagi? "
"Lo tadi juga liat kan dia gak nganggep gue, padahal posisi kita deket, " ucapku lagi.
"Om Indra masih marah ya sama lo gara-gara waktu itu? "
"Iya, "
"Yang sabar ya, Vit.. moga aja Om Indra bisa segera maafin lo, dan kalian bisa deket kayak dulu lagi, " hibur Diva.
"Semoga aja ya, Div, " balas ku. Kemudian kami sama-sama mengistirahatkan mata dan tubuh yang lelah.
***
"Papa bakal maafin kamu, kalau kamu mau menikah dengan Adrian. CEO dari perusahaan Gemilang Jaya, " ucap papaku suatu pagi.
Aku yang sedang makan dengan khidmat mendongakkan kepala, kaget.
"Uhuk, uhuk.. " aku tersedak saking kagetnya.
Itu perkataan perkataan pertama papa setelah ia mendiamkan ku sebulan lamanya.
"Minum dulu, Nak.. " mama menyodorkan se gelas air putih padaku.
"Papa, bisa kan ngomongnya nanti dulu, tuhkan Vita jadi keselek gara-gara kaget denger omongan papa, " tegur mama pada papa.
Papa mendengus, "papa sibuk, abis ini langsung mau berangkat kerja. Karena kalau bukan papa sendiri yang menjalankan perusahaan, siapa lagi, " ucap papa yang bermaksud menyindir ku.
"Pa.. jangan mulai deh, " tegur mama lagi.
Aku mengabaikan sindiran papa yang sudah biasa aku dengar, lalu lebih memilih bertanya tentang poin utama yang papa ucapkan padaku.
"Maksud papa, disuruh nikah sama Adrian CEO perusahaan Gemilang Jaya itu?, " tanyaku.
Papa mengangguk, "iya, "
"Yang orangnya, ganteng, gagah, tinggi,"
" Iya, "
"Yang kayak papa itu? " tanyaku lagi.
Papa menaikkan sebelah alisnya, "emang ada yang gantengnya kayak papa? " tanya papa dengan sombongnya.
"Iya-iya, papaku yang paling ganteng sedunia yang gak akan ada tandingannya, " jawabku mengalah yang sebenarnya aku merasa sangat senang karena papa bisa kembali seperti dulu, sebelum beliau marah padaku.
Mama pun ikut tersenyum lega melihat tembok es antara papa dan aku mulai mencair.
"Kamu mau menikah dengannya, atau mau papa kembali marah? "
"Aku? Ya jelas maulah.. diakan superhero ku! "
"Superhero? " tanya mama dan Kavero bersamaan.
Vero adalah adikku yang terpaut enam tahun dariku. Dia masih kuliah semester awal. Dan karena dia juga aku bisa dengan santainya menolak saat papa menyuruhku meneruskan perusahaannya, dengan dalih agar Vero yang melanjutkan, sedangkan aku pada ambisiku sendiri, yakni membangun dunia mode.
Mama dan Vero belum tau kisah pertemuan ku dengan Adrian, aku atau papa pun belum sempat untuk menceritakan pada mereka, sampai pada papa memberikan pernyataan mengejutkan seisi rumah. Aku harus menikah dengan Adrian.
"Ada deh.. " jawabku dan papa kompak.
Lalu kami tos dan tertawa bersama, sedangkan mama dan Vero saling padang dengan kekepoan mereka.
Berbekal perintah papa, juga perasaan cintaku yang menggebu pada sosok lelaki penyelamatku. Aku bersedia menikah dengan Adrian, jangan tanya lagi bagaimana perasaanku, yang jelas aku sangat bahagia dapat bersanding dengan lelaki yang ku kejar selama berbulan ini.
Pernikahan besar pun dilaksanakan, gedung hotel berbintang yang disulap begitu indah, gaun yang ku kenakan sangat mewah hasil rancangan ku sendiri, membaur dengan begitu indah dengan dekorasi yang menawan bernuansa gold and white.
Kami tampak bahagia seperti sepasang pengantin pada umumnya yang telah merajut kasih lama. Senyumnya mengembang sempurna membuatku semakin jatuh cinta. Semua orang bersuka cita dengan pernikahan kami.
Usai acara, kami berdua memasuki president suit room yang merupakan kamar pengantin kami. Ruangan tersebut sudah di hias sangat indah, harum bunga-bunga menyapa Indra penciuman kami saat baru saja memasukinya.
Adrian membawaku ke kamar dengan menggendong ku ala bridal dari hadapan semua orang. Aku tersanjung dengan perlakuannya. Bagitu kami tiba di dalam kamar, ia melemparkanku dengan sedikit kasar diatas kasur yang penuh dengan kelopak mawar.
"Kenapa? "
Aku merasa agak janggal, meski begitu aku tetap tersenyum ke arahnya.
"Kau senang? Aku muak!" ucapnya dengan nada rendah tapi penuh penekanan. Kemudian ia berlalu ke kamar mandi.
Deg.
Apa ini sebenarnya..
Usai Adrian keluar dari kamar mandi, dia tak mengucap sepatah katapun. Begitupun setelah aku selesai mandi juga, dan memakai gaun tidur terbukaku yang sudah disediakan di dalam almari hotel.
Dia tak melirikku sama sekali meskipun penampilanku sudah sangat cantik, seksi dan menggoda. Dia tak tidur di sofa ataupun menyuruhku untuk pindah ke sofa jika memang dia tak ingin berbagi ranjang denganku seperti cerita dalam novel yang sering kubaca.
Tapi kenapa dia mendadak berubah menjadi dingin seperti ini padaku? Atau, ini hanya perasaanku saja?
"Mungkin dia sedang merasa lelah, atau masih merasa canggung denganku. Aku saja yang terlalu bersemangat karena terlalu bahagia," begitu aku mensugestikan diriku.
"Emm, Pak Adrian capek ya? Mau aku pijitin? " tanyaku padanya yang sudah berbaring dan sedang mengutak-atik ponselnya.
Dia diam tak menjawab satu huruf pun, iya, atau hem, atau apalah itu.
Aku mencoba bertanya lagi, "atau, Bapak haus? Apa laper mungkin? Biar saya pesenin, " tawar ku.
Hening.
Aku bingung harus bagaimana lagi, akupun merasa sangat lelah karena acara resepsi hari ini yang sebagian banyak berdiri. Apalagi beberapa hari ini aku memforsir diriku untuk mempersiapkan pernikahan kami.
"Ah, mungkin dia memang masih sangat canggung padaku, kita kan memang belum se'akrab itu ya. Hihihi, sok kenal sok deket deh aku, " lagi, aku menenangkan diri sendiri.
Aku beringsut mendekat padanya, meskipun jantungku dag dig dug tak menentu. Namun, perasaan bahagia yang membuncah membuatku ingin memeluknya erat, menciumnya, bahkan rasanya aku ingin bercinta dengannya.
Ini adalah pertama kalinya aku merasakan tergila-gila dengan makhluk yang namanya laki-laki. Hingga dua puluh lima tahun selama aku hidup, aku tak pernah merasakan bagaimana rsanya itu jatuh cinta, menahan beratnya rindu, memeluk, apalagi mencium laki-laki. Karena selama ini aku hanya berfokus pada target-target yang menjadi ambisiku.
Sampai pada pertemuanku dengan Adrian malam itu, itulah pertama kalinya aku merasakan genggaman tangan laki-laki selain papa dan Kavero adikku. Aku merasakan pelukan laki-laki selain papa dan adikku. Dan aku, jatuh cinta pada pandangan pertama.
Itulah kenapa aku dengan kepribadianku yang ambisius, merasa sangat ingin mendapatkannya, memilikinya, dan mendekapnya dalam kehangatan cinta yang ku punya.
Ah, indahnya jatuh cinta..
"Pak Adrian.. eh, baiknya aku panggil apa ya? Menurut kamu, bagusnya apa?" pancingku.
Senyap, dia masih fokus pada ponselnya.
Aku tak berani mengintip, karena itu mungkin privasinya, dan aku sangat menghargai itu. Aku pun juga masih menjaga privasi hingga saat ini, karena memang kami belumlah se'intim itu selama ini. Hanya baru beberapa kali berbincang, tapi selama pertemuan itu, dia sangat hangat dan bersikap baik, juga sopan padaku.
Apa saat ini dia sedang mengerjai aku? Mungkin iya.
"Gimana kalau aku panggil Mas? atau Sayang, Hubby, Suamiku, Cintaku, Sayangku, My Lovely, My Honey, Sweety, Baby? " dia menutup telinganya dengan tangan kiri, sedang tangan kanannya masih pada ponselnya.
Apa aku se berisik itu?
Itu karena dia tak mau bicara padaku, makanya aku mengoceh sendiri.
Terbesit sedikit rasa cemburu, tapi mungkin itu urusan pekerjaan yang mendesak, pikirku.
Tapi ini kan malam pertama kita, malam pernikahan kita. Bukan waktunya untuk mengurusi pekerjaan. Apalagi waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, itu tandanya sudah waktunya para umat manusia mengistirahatkan mata, jiwa bahkan raga.
Lagipula manusia mana pekerja kantoran yang masih mau bekerja di jam segini, di hari minggu pula. Otak dan hatiku mulai berdebat.
"Yaudah kalau kamu masih sibuk, aku tidur duluan gak papa, ya? Nanti kalau ada apa-apa atau butuh sesuatu, bangunin aja. Aku stanby 27 jam kok buat kamu, oke? Selamat malam.. " pamit ku sebelum memejamkan mata.
"Ya, " akhirnya aku mendengar suaranya lagi setelah beberapa lama menunggu.
Aku tersenyum dengan mata terpejam, lalu mulai berdoa untuk tidur. Terserahlah dia mau apa, aku sudah sangat mengantuk rasanya.
Tapi kenapa rasa kantukku tak mampu membawaku terlelap?
Apa karena ini hari pernikahanku, malam pengantin ku? Dan pertama kalinya juga aku tidur dengan orang asing?
Aku merasa Adrian menggerakkan badan, ia berbaring disampingku dari posisinya yang semula bersandar.
Tak ada pelukan seperti pada kisah yang aku baca dalam novel, ataupun pada drama yang sering aku tonton. Ah, hidup percintaan ku memang hanya sebatas dalam novel dan drama.
"Ini dunia nyata, Vita. Come on!" seruku dalam hati.
Mungkin para penulis novel dan pembuat naskah drama itu terlalu banyak menghayal agar cerita mereka menjadi sweet. Pikirku jengkel sendiri karena yang kubayangkan tak sesuai dengan kenyataan yang kualami.
Pagi menyapa, aku melihat Adrian yang sudah berganti pakaian santai sedang menatap layar laptop di sofa, dan sesekali mengetik disana.
Aku benar-benar tak tersentuh!
Boro-boro kiss morning atau apalah itu namanya, sapaan saja tidak ada.
Aku menurunkan kakiku dari ranjang dan menghentakkannya kesal. Lalu berjalan ke kamar mandi dan menutup pintu denga sedikit keras, terserah kalau dia kaget. Mungkin itu akan lebih baik karena dia akan menyadari keberadaanku.
Berendam dalam bathup berisikan air hangat, dan juga aroma therapy dari lilin membuat fikiranku kembali fresh.
Entah sudah berapa lama aku berendam, aku bangkit dengan keadaan segar dan perasaan yang lebih baik. Kusambar kimono yang tersusun di rak dan memakainya asal, lalu keluar begitu saja tanpa mengeringkan rambut terlebih dahulu. Sengaja.
"Morning, My Hubby.. " sapaku seraya duduk dan bergelayut manja di bahu Adrian.
Dia terjingkat kaget dengan kedatanganku, "rambutmu basah, " ucapnya pelan.
"Oh, maaf, " aku beranjak mengambil handuk kecil dan membungkus rambutku.
Kini terpampang lah nyata leher jenjang ku yang putih mulus tanpa cela, tak lupa aku duduk menyilangkan kaki hingga kimono yang kupakai tersingkap dan mempertontonkan pahaku yang seksi. Ditambah belahan dada yang juga ikut mengintip manja. Ingat, aku tak memakai apapun selain kimono itu.
Tujuannya tentu saja memancing hasrat kelelakian suamiku ini.
Hey hey.. ini pertama kalinya bagiku ya, aku mengesampingkan rasa malu. Hanya untuk mencari pahala bersama suami.
Tapi seakan dia buta, matanya sama sekali tak tergoda, meski aku sempat melihatnya menelan ludah gusar saat melirik belahan dadaku.
"Dasar murahan! Apa ini kebiasaannya selama ini. Cih! Ternyata kamu sama saja dengan wanita di luaran sana. Hanya dia yang berbeda, Vara, " batin Adrian menilai Vita saat sekelebat tadi lelaki itu melirik pada istrinya.
"Kamu pagi-pagi udah sibuk aja sih? Emang gak mau-" perkataanku terpaksa harus berhenti karena dia tiba-tiba memotongnya.
"Cepat pakai pakaianmu, kita sudah terlambat! " pengucapan yang pelan namun sarat perintah itu membuatku tertegun.
Aku memilih menurut untuk berganti pakaian, aku mengambil satu lembar dress dalam lemari dan menuju kamar mandi untuk mengenakannya.
"Vara.. " aku mendengar gumaman Adrian sesaat sebelum pintu kamar mandi benar-benar kututup.
"Siapa Vara? "
Kami keluar dari dalam kamar menuju restaurant hotel yang ada di lantai bawah. Entah sengaja atau tidak, ternyata warna dress yang ku kenakan senada dengan baju yang dipakai Adrian.
Di salah satu sudut restaurant yang terdapat meja besar dan panjang, aku melihat keluargaku juga keluarga Adrian sedang bercengkrama dan tertawa bersama. Disaat itu juga, Adrian menggamit tanganku kedalam genggaman tangannya.
"Kenapa tiba-tiba? " dia diam tak menjawab.
Padahal sejak perjalanan dari kamar sampai ke restaurant ini saja dia mengabaikanku dan memilih memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana, dan yang satunya tentu saja bermain ponsel, apalagi. Kebiasaannya yang kutahu setelah menjadi istrinya, Adrian tidak bisa terlepas dari ponsel sama sekali. Bahkan saat dia sedang tidur sekalipun.
Sampai di depan meja yang kami tujuan aku dan Adrian langsung menyapa semua orang. Aku bercipika cipiki dengan mama, papa, juga orang tua Adrian yang sudah resmi menjadi mertuaku sejak kemarin.
"Pagi, Ma, Pa, Mi.. Pi.." sapaku.
"Pagi, Sayang.. " lembutnya suara ibu mertuaku, dan hangatnya sambutan beliau padaku, membuatku bahagia dan menepis anggapan jika mertua itu jahat. Catat.
Bahkan ibu mertuaku yang biasa di panggil Mami Sinta itu sampai berdiri dari duduknya untuk menyambutku kedalam pelukannya.
Memanglah mami Sinta tak memiliki anak perempuan. Satu-satunya saudara Adrian adalah Aditya Saputra Wijaya yang berumur di bawahku tapi diatas Vero. Dia baru saja lulus kuliah dan sedang dalam masa mencari pekerjaan karena dia tak mau jika langsung diberi jabatan di perusahaan yang dikelola keluarganya. Begitu setahuku dari cerita mami Sinta.
Tapi kemana bocah itu, kenapa tak terlihat batang hidungnya?
Malah aku melihat sosok wanita yang kira-kira usianya sama dengan Adrian, yaitu 27 tahun. Mungkin ya kalau aku tidak salah.
Tapi siapa wanita itu? Bahkan kemarin saja aku merasa tak melihatnya saat resepsi pernikahan.
"Wuih.. pengantin baru yang abis MP gini nih, jam segini baru abis keramas, " cetus Vero yang sontak membuatku memukul lengannya karena gemas dan malu.
"Andai kamu tau yang sebenarnya, Dek."
Aku bertanya pada Vero dengan isyarat mata dan dagu menunjuk wanita itu, tapi Vero hanya mengangkat bahunya acuh. Sepertinya dia juga tidak kenal dengan wanita itu.
"Eh, Bocil. Sok tau lo, " aku menoleh pada Adrian yang ternyata mau menanggapi gurauan adikku.
Sampai di kursi yang belum di tempati, Adrian menarik kursi tersebut dan mempersilahkan aku duduk.
"Makasih, " ucapku tersenyum meski merasa aneh dengan sikapnya yang berubah menjadi manis dalam sekejap.
Adrian balas tersenyum seperti yang sering ia tunjukkan padaku waktu-waktu lalu pada pertemuan kami.
"Ah, mungkin memang semalam dia sangat canggung padaku, " batinku gembira.
Dia pun ikut duduk di kursi sebelahku, dan yang membuatku kembali terpukau adalah saat tangan kirinya kembali menggenggam tangan kananku yang berada di atas meja.
Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan kami semua, "yang pengantin baru, dunia emang serasa milik berdua ya. Kami semua mah, ngontrak, "
Ternyata itu Aditya yang baru saja tiba entah darimana. Ia langsung mengambil posisi duduk di antara Vero dan wanita asing tadi yang memang masih kosong.
"Hai, Dit. Darimana? " sapaku sekedar berbasa basi.
"Kamar, "
"Kamu baru aja dateng udah langsung godain kakak-kakak kamu aja sih, Dek. Kalau kamu mau, bisa langsung nyusul, kan udah lulus kuliah, " tegur mami Sinta.
"Belum pengen, Mih. Lagian juga belum ada yang mau diajak nikah. Pengennya sih yang kayak Vita, " jawab Aditya yang membuatku tersedak dan langsung menoleh padanya.
"Kenapa harus kayak aku? "
Aditya tersenyum, "karena lo itu langka, "
Aku merasakan genggaman tangan Adrian mengeras hingga aku sedikit meringis karena sakit.
Dia ini kenapa? Cemburu, Pak? Semalem aja gue dicuekin.
"Ya gak, Bang? " Aditya tersenyum smirk pada Adrian yang hanya memutar bola matanya malas.
Ada apa sebenarnya diantara mereka? Perasaan sebelum pernikahan ini semuanya baik-baik saja. Bahkan Adrian dan Aditya masih saling bercanda. Kenapa sekarang seperti ada jarak diantara mereka?
Bukan karena ada aku dan Vero yang duduk diantara mereka loh ya, tapi memanglah sesuatu yang menurutku agak aneh.
"Ayo mulai makan, Papi sudah lapar nih.. " ucap ayah mertuaku yang mungkin memang sudah menunggu kami sejak tadi hingga kelaparan.
Aku meladeni Adrian, aku langsung memanggil namanya karena memang dia yang belum memutuskan mau dipanggil apa olehku, bukan karena aku tidak sopan pada suami, oke.
Saat aku menanyakan tentang seberapa banyak nasi dan akan menggunakan lauk apa, dia hanya menjawab dengan anggukan dan gelengan. Lalu dia langsung makan dengan lahap. Mungkin Adrian sudah sangat kelaparan juga karena semalam ia tak membangunkan aku untuk memesan makanan.
Akupun ikut makan dengan santai, tak ada lagi obrolan karena semuanya sibuk dengan makanan masing-masing. Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang terdengar.
Sampai terdengar suara batuk karena seseorang tersedak membuat kami semua menoleh pada sumber suara. Aku melihat wanita tadi memegang tenggorokannya.
"Kamu nggak apa-apa?" aku mendengar nada kekhawatiran dari suara seseorang yang ternyata adalah suamiku.
But, wait. Kenapa Adrian sekhawatir itu padanya? Sebenernya siapa sih dia?
Aku juga sempat menangkap raut cemas di wajah kedua mertuaku yang saling pandang. Tatapan mata mereka benar-benar terasa aneh bagiku. Apalagi tak ada satu orangpun yang bersedia memperkenalkan wanita itu padaku. Bahkan dirinya sendiri.
Tapi sepertinya papi dan mami Adrian bukan cemas pada kondisi wanita itu, karena mami Sinta pun terlihat enggan memberikan minum padanya, padahal posisi duduk mereka bersebelahan.
Aku melihat Aditya terkekeh kecil sedangkan wanita itu melotot pada Adrian.
"Minum, jangan caper! " Samar-samar aku mendengar bisikan Aditya.
Aku nggak salah dengar kan? Kenapa sepertinya Aditya tak menyukai wanita itu, sedangkan suamiku saja sepertinya sangat mengkhawatirkan nya.
Sungguh, perasaanku dibuat tak menentu oleh keadaan ini. Tapi aku harus bertanya pada siapa, dan apakah orang itu mau menjawabnya.
Usai sarapan, kami masih mengobrol kesana kemari. Lalu ada seseorang yang berdiri disampingku dan mengejutkanku. Rupanya wanita tadi, mau apa dia?
"Hai.. kamu Kavita kan? Kenalin aku Vara.. "
Deg.
Jadi dia yang bernama Vara?
Vara mencium pipi kanan dan kiriku sok akrab.
"Selamat ya buat pernikahan kalian.. semoga pernikahan kalian bahagia dan langgeng selamanya.."
"Amin," jawabku mengaminkan.
"Sorry kemarin aku gak bisa dateng pas acara resepsinya. Soalnya aku baru aja sampe dari Ausie pagi ini, dan langsung kesini, "
"Cih! "
Siapa yang berdecih di belakang itu? Aditya?
"Kamu pasti bingungkan aku siapa, kok sampai ikut di acara breakfast kalian? "
Wanita ini benar-benar sok akrab, tapi gakpapa lah. Aku juga bisa kok bersikap seperti itu.
"Siapa dong kalau boleh tau? " balas ku akrab tak mau kalah.
Lagi, aku melihat ketegangan di wajah kedua mertuaku. Apa ada yang mereka sembunyikan dariku?
Aku pun melirik Adrian, wajah suamiku itu tak kalah tegangnya dengan wajah papi Wijaya dan mami Sinta. Hanya Aditya saja yang malah tampak tersenyum miring.
Sedangakan papa, mama dan Vero ikut menunggu jawaban dari Vara.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!