Di sebuah jalana pekat di tengah malam.
"Pak, ayo, cepat, Pak! Cepat!" Calya menepuk pundak sang sopir dan menyuruhnya agar berkendara lebih cepat.
Sedangkan di belakang mobil taksi itu, ada sebuah mobil yang berusaha mengejar mereka. Mobil itu tak lain adalah mobil sang ibu. Orang yang saat ini paling ditakutinya.
Calya terus menangis sambil menyuruh sopir berkendara lebih cepat. Bahkan dia memohon kepada Tuhan agar memberikannya sebuah pintu ajaib yang akan mengantarkannya ke mana saja.
"Ya Tuhan, tolonglah aku. Tolong bawa aku pergi dari dunia ini. Entah ke dimensi lain atau bahkan planet lain! Aku sungguh tak ingin bertemu dengannya lagi."
Begitulah doa Calya yang membuat sang sopir berpikir bahwa dia sudah gila.
Beberapa jam yang lalu.
"Calya sayang, sekarang giliran kamu melayani Pak Andi, ya," ucap seorang wanita separuh baya yang masih kelihatan cantik dan seksi. Dia adalah Ambar, ibu kandung Calya sendiri. Wanita yang telah menjadikan Calya wanita penghibur sejak usia delapan belas tahun. Ambar adalah wanita yang tak bisa hidup tanpa uang sehingga rela melakukan apa saja termasuk menjual anak kandungnya sendiri. Dia menjadikan Calya sebagai mesin pencetak uang dengan cara menjajakan tubuhnya kepada pria hidung belang.
Menyesal, jelas Calya menyesal karena keputusannya untuk ikut dengan sang ibu yang dia kira sangat baik dan menyayanginya itu ternyata salah. Wanita itu tak lain hanyalah seorang ibu yang kejam. Menjual Calya pada lelaki hidung belang demi kepuasan dunianya.
Dia masih ingat saat dirinya dihadapkan dengan dua pilihan saat orang tuanya bercerai. Yang pertama dia ikut sang ayah bersama kakaknya, dan yang kedua dia ikut sang ibu. Sedangkan perceraian itu sendiri terjadi karena Ayah Calya ketahuan selingkuh oleh ibunya. Namun, sang ayah menyangkal dan tidak mengetahui diapa wanita yang tiba-tiba datang dan memeluknya. Justru sang ayah menuduh ibunya lah yang berselingkuh karena kerap kali menemukan pesan mesra di ponselnya.
Namun, karena Calya percaya pada sang ibu, dia pun memutuskan untuk memilih ibunya. Sang ibu berkata bahwa dia akan bahagia jika hidup bersamanya. Akan diberikan pendidikan tinggi dan tempat tinggal yang nyaman.
Dia pun ikut ibunya ke luar kota dan menetap di sana. Namun, alih-alih akan dikuliahkan seperti janjinya, Calya malah dijual oleh teman ibunya seharga dua ratus juta. Dan selebihnya, dia pun dijadikan wanita malam karena banyak pelanggan yang merasa puas dengannya.
Beberapa kali Calya ingin meminta tolong pada sang ayah, namun nomor ponselnya sudah tidak aktif lagi. Sedangkan ponselnya sendiri juga disadap oleh ibunya sehingga dia tak bisa melakukan hal lebih banyak.
"Ma, aku capek, Ma. Hari ini aku udah melayani tiga pelanggan," ucap Calya sambil memohon.
Bukannya merasa kasihan, Ambar malah menampar pipi Calya dan menjambak rambutnya lalu membenturkan kepalanya ke dinding.
Calya meringis merasakan sakit di kepalanya. Hal ini emang sering dilakukan ibunya ketika dia tidak mau menurut.
"Nggak bisa! Pokoknya kamu harus melayani laki-laki itu atau Mama akan menyiksamu malam ini!" ancam Ambar.
"Tapi, Ma, Calya nggak sanggup kalau hidup seperti ini terus!"
"Mama nggak peduli! Pokoknya kamu harus menghasilkan uang yang banyak malam ini karena Mama baru saja kalah judi!" Ambar menarik Calya ke salah satu kamar di sebuah klub malam tempat di mana Calya menjajakan tubuhnya.
Di dalam kamar itu, terlihat dua orang pria berbadan besar dengan wajah yang sangar dan menyeramkan. Mereka menatap Calya dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan tetapan penuh hasrat. Bagaimana tidak, Calya memiliki wajah yang cantik dan tubuh indah dan langsing.
Calya langsung ketakutan karena dia harus melayani dua pria yang sepertinya adalah preman. Harganya yang sangat mahal pun tak menghalangi kedua pria itu untuk mendapatkan tubuhnya.
Dia pun berusaha mencari cara untuk kabur dari sana dan mengelabui kedua preman itu.
"Mas, saya harus ke kamar mandi. Tunggu di sini, ya," ucap Calya dengan senyuman yang menggoda. Senyuman yang terpaksa dia berikan pada kedua pria itu agar tidak mencurigainya.
Di dalam kamar mandi, akhirnya dia mencari cara untuk kabur dengan melompat ke jendela yang menuju ke luar club.
Setelah berhasil melompat, dia pun langsung berlari ke jalan raya dan menyetop taksi yang lewat.
"Pak, antar saya ke pelabuhan, cepat, Pak!" Calya menepuk pundak sang sopir dengan raut wajah penuh ketakutan. Apalagi saat dia melihat ibunya keluar dari klub dan berusaha untuk mengejarnya.
Sang sopir yang tak punya pilihan lain pun langsung menanjak gas mobilnya.
"Pak, boleh saya pinjem hp bapak? Saya ada perlu," ucap Calya berusaha menenangkan suasana hatinya yang campur aduk.
Sopir itu memberikan ponsel pintarnya kepada Calya. Dia pun langsung menelepon sahabatnya yang berada satu kota dengan ayah dan kakaknya.
[Halo.] Terdengar jawaban dari seberang telepon.
"Tia! Ah, syukurlah kamu mengangkatnya. Ini aku Calya. Tia, aku mau minta tolong sama kamu. Tolong bilang sama papaku untuk menjemputku di pelabuhan kota kalian. Aku akan berlayar malam ini!"
Namun, tak terdengar sahutan dari seberang sana.
"Halo, Tia! Kamu denger aku, kan? Aku minta tolong, Tia! Aku sedang dikejar sama Mama. Ceritanya panjang, Tia, aku mohon, katakan pada papaku bahwa aku akan berlayar ke sana!"
[Kenapa kamu kok pergi dari sana?]
"Nggak ada waktu untuk menjelaskan Tia. Yang penting, ibuku bukanlah orang yang baik! Dia sangat jahat! Makanya aku ingin pergi dari kota ini. Aku mohon, beritahu ayahku soal ini."
[Maaf, aku nggak bisa.]
"Apa? Kenapa, Tia?" Calya terkejut setengah mati mendengar penolakan dari Tia.
[Denger, ya, Calya, hidupku itu udah bahagia. Kenapa kamu malah mau balik ke sini? Harusnya kamu tetap di sana sama mama kamu jadi wanita malam terus.]
Bagai disambar petir saat Calya mendengar ucapan Tia.
"Apa? Jadi kamu tau kayakmana mamaku? Jadi, kenapa waktu itu kamu seperti mendukung aku agar ikut dengan mamaku?"
[Karena gue mau liat elo menderita! Gue tau nyokap loe itu doyan selingkuh dan udah jadi ke rumah waktu masih tinggal di sini. Makanya, gue ngedukung elo buat ikut nyokap lo biar lo ngerasain penderitaan di sana.]
"Apa? Tia! Kenapa kamu jahat banget sama aku?" Calya menangis tersedu-sedu.
[Udah lama gue pengen nyingkirin elo biar Radit jadi milik gue! Tapi sialnya dia nggak bisa move on dari loe dan gue ditolak sama dia! Gue benci sama loe, Cal. Loe itu udah ngerebut semuanya dari gue. Radit yang gue suka dari dulu, perhatian temen-temen, sampe cita-cita gue yang pengen jadi pemenang olimpiade pun elo ambil!]
Calya tak percaya dengan apa yang dia dengar. Rupanya, selama ini Tia sangat membenci dirinya. Persahabatan yang dulu mereka jalin hanyalah sebuah kepalsuan. Tia sengaja menjadi sahabat Calya agar bisa menghancurkan hidupnya.
Tanpa terasa mobil yang dikendarai oleh sopir taksi tadi berhasil disusul oleh ibunya. Hal itu pun membuat Calya semakin panik dan ketakutan. Apalagi saat salah satu ajudan mamanya mengarahkan pistol ke arah mereka.
Dorrr! Suara tembakan pun terdengar bersama sopir yang sudah tewas bersimbah darah di kepalanya. Tak hanya itu, mobil pun oleng ke sembarang arah dan terseok-seok. Hingga akhirnya, mobil itu pun jatuh ke jurang yang dibawahnya terdapat air laut.
Calya pun tenggelam bersama mobil itu. Dia terkunci di dalam mobil dengan air yang terus-menerus masuk memenuhi isi mobil.
Bayangan demi bayangan pun muncul di ingatan Calya. Dari saat dirinya kecil hingga dewasa. Perhatian mama dan sahabatnya yang ternyata palsu. Hingga kisah cintanya bersama Radit yang belum selesai.
Perlahan, pandangannya pun gelap, dan dia tak ingat apa-apa.
Samar-samar Calya mendengar suara orang-orang yang ada di sekitarnya. Dari suasananya, sepertinya keadaan sedang panik.
Perlahan, dia pun membuka mata dan terkejut karena dirinya masih hidup. Namun, dia lebih terkejut lagi saat melihat orang-orang yang ada di sana tampak lebih muda. Jika diingat, dia sudah meninggalkan mereka selama lima tahun. Namun wajah mereka seperti lebih muda.
Dia lebih terkejut lagi ketika melihat ada ibu dan ayahnya di sana. Juga kakak dan sahabatnya, Tia. Mereka terlihat khawatir padanya yang sedang terbaring di atas ranjang.
Dia melihat sekeliling kamar itu. Rupanya ini adalah kamarnya. Beragam piagam, medali dan trophy miliknya pun juga masih berjejer rapi di dinding kamar itu.
"Calya, ya ampun, Sayang, kamu udah sadar?" tanya Ambar sambil berusaha untuk memeluknya. Namun, Calya yang ketakutan langsung menghindar dan membuatnya terkejut.
"Kamu kenapa, Sayang? Kamu marah sama kami karena ingin bercerai?"
Pertanyaan itu langsung membuat Calya terkejut. Apa ini? Bercerai? Jadi saat ini dia sedang berada di masa lalu.
'Nggak, pasti ini nggak nyata. Aku kan udah mati,' batin Calya sambil menepuk-nepuk pipinya.
"Calya, jangan gitu. Kamu kenapa? Sejak sadar dari pingsan kok kamu malah kayak gini?" Lidya, kakak Calya pun mencoba menyadarkan sang adik yang dia kira sedang linglung.
"Pingsan?" tanya Calya terkejut.
"Iya, kamu pingsan, Calya. Tadi, waktu kamu mendengar bahwa Mama dan Papa sudah bercerai, kamu mendadak pingsan." Lidya menjelaskan.
'Apa ini? Apakah aku mengalami perjalanan lintas waktu ke masa lalu? Apa Tuhan mendengarkan ucapanku saat di mobil taksi tadi? Jadi, aku nggak mati? Aku kembali ke masa lalu?' batin Calya masih tak percaya. Untuk membuktikannya, dia pun mengambil gunting yang ada di atas laci nakasnya, lalu menggoreskannya ke tangan hingga berdarah.
'Ya, ini memang nyata. Aku masih bisa merasakan sakit dan perih luka ini. Jadi, ternyata keajaiban itu memang ada. Terima kasih, Tuhan, aku akan memperbaiki nasibku mulai dari sekarang.'
Calya pun mencoba mengingat kejadian saat dulu dirinya pingsan. Memang, kala itu dia pingsan setelah mendengar kedua orang tuanya telah bercerai. Dan setelah ini, dia akan diajak ke ruang keluarga untuk memutuskan dengan siapa dia akan ikut.
Dan benar saja, dia pun diajak ke ruang keluarga untuk berunding.
"Jadi, dengan siapa kamu akan ikut, Sayang?" tanya Ambar dengan sehalus dan selembut mungkin.
'Cih, kelembutan dan senyuman ini adalah kepalsuan. Bahkan kamu nggak pantas disebut sebagai ibu!' batinnya sambil melirik Ambar.
"Aku ikut sama papa, Ma," ucapnya yang langsung membuat sang Mama terkejut.
"Lho, kok kamu malah ikut Papa. Ikut Mama, dong. Udah tau papamu ini tukang selingkuh. Ngapain kamu ikut dia!"
Seperti yang Calya duga, ibunya pasti akan mengamuk setelah tahu sumber pendapatannya di masa depan tidak berpihak padanya.
"Ya, Ma, aku nggak peduli mau papa itu tukang selingkuh atau enggak, tapi aku akan tetap ikut Papa!" Calya kembali menekankan kalimatnya.
"Kamu jangan sampai salah memutuskan, Cal. Kenapa nggak ikut Mama aja. Seenggaknya kan kita bisa saling menjaga orang tua kita." Lidya seperti tak ingin kehilangan kontak dengan sang ibu.
'Kamu nggak tau aja, Kak. Kalau wanita yang kita sebut sebagai Mama adalah iblis yang sangat jahat!' batin Calya sambil menatap sinis pada Ambar.
"Aku nggak salah memutuskan! Mau bagaimanapun aku akan tetap memilih ikut papa."
"Nggak bisa! Kamu harus ikut Mama, Sayang. Mama sedang mempersiapkan universitas yang bagus untuk kamu di kota B. Kamu itu pintar, Sayang. Di kota B, banyak sekali universitas yang bisa kamu datangi. Kamu akan jadi orang sukses kalau ikut Mama." Ambar kembali meyakinkan dan membujuk Calya agar ikut dengannya.
Namun, jelas saja Calya tidak akan mau karena dia sudah tahu bahwa semua janji yang diucapkan mamanya adalah suatu kebohongan besar.
"Mama jangan maksa, dong! Kalau aku nggak mau berarti enggak!" Calya pun membentak mamanya hingga membuat sang mama terkejut.
"Calya, berani kamu bentak Mama, ya?" Ambar berdiri dan berkacak pinggang sambil memelototi Calya.
Tatapan itu? Tatapan yang sering diperlihatkannya di masa depan pada Calya.
"Pokoknya aku mau ikut Papa, titik!" Calya pun masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan mereka yang sedang bertengkar karena Ambar masih terus berusaha memaksa Calya untuk ikut dengannya.
"Udah, ya, Calya mau ikut aku! Sekarang kamu pergi dari rumah ini. Kamu kan udah dapat uang dari hasil penjualan semua aset kita? Dan rumah ini adalah rumah kami! Pergi kamu ke kota yang ingin kamu datangi itu!" Chandra, papa Calya pun mengusir sang mantan istri.
"Enggak! Aku akan tetap tinggal di kota ini sampai Calya mau ikut aku!" Ambar pun pergi dari rumah itu dengan perasaan teramat kecewa karena sang anak tak jadi ikut dengannya. Sumber penghasilannya kelak telah gagal dia bawa.
Dia pun mengambil ponselnya dan menelepon seseorang.
"Halo, misi batal! Bilang sama Pak Diki, aku nggak bisa ngasih dia perawan! Kalau dia mau nunggu, harus sabar sampai aku berhasil bujuk anakku ke sana."
Ambar pun mematikan panggilan tersebut dan pergi menuju ke rumah kontrakan yang akan ditempatinya. Dia telah gagal membawa anak bungsunya ikut dengannya. Karena itu, dia pun berencana menunggu sampai sang anak luluh dan mau ikut dengannya.
*****
"Pa, aku seneng banget karena Calya mau tetap tinggal sama kita di sini! Padahal selama ini Calya itu kan paling nurut sama mama." Lidya berdecak senang karena sang adik tidak jadi ikut mamanya ke luar kota.
"Iya, Papa juga nggak nyangka karena adikmu mau ikut Papa. Padahal waktu papa dijebak selingkuh, dia yang paling murka dan ngebelain mama mati-matian. Alhamdulillah dia sadar dan mau ikut kita." Chandra juga berdecak senang. Karena tanpa dibujuk, nyatanya Calya tetap mau ikut dengannya.
Calya sedang asyik menyirami tanaman yang ada di halaman. Hal yang memang jarang dia lakukan karena biasanya dia akan tekun belajar.
"Wah, tumben kamu nyiram taneman. Pasti bakalan tumbuh sehat tuh taneman," ucap Lidya saat menghampiri sang adik.
"Iya, Kak. Mereka kan juga makhluk hidup, jadi nggak ada salahnya kan kalau kita juga merawatnya."
"Kamu banyak berubah dari kemarin. Kakak seneng liat kamu kayak gini. Padahal dari kecil kamu itu nggak deket sama papa. Tapi, saat mereka bercerai kamu malah ikut papa."
"Iya, Kak, aku baru sadar kalau Papa adalah orang tua terbaik buat kita. Aku nggak perlu mama." Calya tersenyum pada Lidya. Memang, sejak kecil yang dekat dengan papanya adalah Lidya. Sedangkan dirinya sering perbedaan argumen dengan sang papa yang menurutnya sering menentang hal-hal yang dilakukannya seperti Calya yang tak pernah mau tahu tentang pekerjaan rumah karena terus-menerus memikirkan pendidikan.
Ya, wajar saja karena dia adalah juara pertama di sekolahnya. Olimpiade sering dia ikuti hingga berhasil memenangkannya. Terbukti dari banyaknya penghargaan yang ada di kamarnya. Namun, sang papa seakan ingin mengubur impiannya dengan tidak memperbolehkannya melanjutkan pendidikan. Malah menyuruhnya untuk memperdalam ilmu agama di pondok pesantren kota itu.
Ya, papanya adalah orang yang religius dan lebih mementingkan akhirat daripada dunia. Maka wajar saja jika selama ini mereka hidup sederhana. Sedangkan mamanya ternyata adalah orang yang gila harta bahkan rela melakukan apapun sampai menjual anak gadisnya.
"Tapi kakak penasaran, kenapa sih kamu nggak ikut Mama? Maksud kakak, kemarin-kemarin kamu itu deket sama mama, lho." Sepertinya Lidya juga penasaran dengan sikap Calya yang tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat.
"Aku cuma feeling aja, Kak. Udah gitu aku sempet mimpi mama ngejual aku. Jadi tadi aku tes gimana reaksi mama. Kelihatan kan mama marah banget karena aku nggak mau ikut dia."
"Calya, kamu itu kan pinter, masa percaya sama mimpi, sih. Mana mungkin ada ibu kandung yang menjual anaknya sendiri. Kamu ada-ada aja." Lidya hanya terkekeh mendengar ucapan sang adik yang dia rasa terlalu berlebihan karena menganggap bahwa mimpinya benar.
'Kamu hanya belum berkesempatan melihat bagaimana bringasnya mama kita, Kak. Syukurlah dulu kamu memilih jalan yang tepat dengan ikut bersama papa,' batinnya.
"Oh ya, apa Kakak percaya kalau papa itu selingkuh?" tanya Calya yang penasaran.
"Enggak lah, meskipun mama memiliki bukti, tapi Kakak nggak akan percaya begitu saja kalau papa kayak gitu. Bisa aja yang papa bilang benar soal dia dijebak."
"Nah, sama, Kak, aku juga berpikir seperti itu. Papa itu kan setia, mana mungkin selingkuh. Mama kali yang selingkuh."
"Udah ah, ngapain bahas itu. Mending kita jalan-jalan ke depan, jajan seblak, yuk," ajak Lidya yang langsung disambut senang hati oleh Calya.
Mereka pun segera pergi ke jalan yang ada di depan untuk membeli seblak. Makanan itu adalah makanan favorit mereka berdua.
"Eh, ada neng cantik. Mau beli apa, neng?" tanya seorang penjual pada Calya. Banyak pria memang langsung tertarik pada Calya begitu pertama kali melihatnya. Wajahnya sangat cantik dan tubuhnya sangat indah. Berbeda dengan Lidya yang bertubuh pendek dan lumayan gempal. Kulitnya juga tak sehalus Calya yang menurun kulit mama mereka.
"Beli seblak dua, ya, Pak," ujar Calya sambil memilih tempat duduk di dalam warung kecil itu.
Terlihat beberapa pengunjung pria memperhatikan Calya. Sesekali mereka berbisik dan melempar senyuman saat melihat senyuman gadis itu.
"Mbak cantik, udah punya pacar belum?" tanya salah seorang pemuda yang akhirnya memberanikan diri berkat dorongan teman-temannya.
Pria itu terlihat memakai pakaian rapi yang sepertinya seorang pekerja kantoran.
"Udah, Mas, adek saya kan cantik, jelas punya pacar, dong," ujar Lidya sambil terkekeh.
"Mbak, saya kan nanya adeknya. Kok Mbak yang jawab, sih? Lagian kok kayaknya nggak ada pantas-pantasnya jadi kakak adik. Malah lebih mirip majikan dan pembantu."
Sontak ucapan pria itu langsung membuat teman-temannya tertawa.
"Mas, maaf, ya, kalau ngomong jangan seenak jidatnya aja. Saya udah punya pacar, sebentar lagi juga mau nikah." Sangking kesalnya, Calya pun berbohong soal statusnya yang sebenarnya masih berpacaran dengan Radit. Seorang pegawai kantoran yang usianya berbeda lima tahun dari Calya.
Pria itu pun langsung kecewa dan duduk kembali bersama teman-temannya.
"Udahlah, Cal, Kakak udah biasa diginiin. Kan memang bener kamu lebih cantik." Lidya mencoba tertawa, padahal, Calya yakin bahwa saat ini hatinya sedang sedih.
"Iya, Kak." Calya hanya mengangguk pelan. Sayangnya, di masa depan dia sama sekali tidak mengetahui apakah kakaknya sudah menikah atau belum. Siapa jodohnya dan bagaimana hidupnya pun tak bisa diketahui karena mereka putus kontak setelah sang Ibu membawanya ke luar kota.
Setelah makan, mereka pun memutuskan untuk duduk di sebuah taman mini yang ada di kota itu. Sudah lama sekali Calya ingin merasakan suasana kota itu. Di masa depan, taman itu kelak akan menjadi sebuah jalan yang dibangun oleh pemerintah. Namun, taman itu tetap ada, hanya dipindahkan ke tempat lain dengan ukuran yang lebih luas.
"Cal, Kakak pergi sebentar, ya. Kakak lupa nih harus beli perlengkapan di dapur. Udah pada habis. Kamu tetap di sini, ya, bentar lagi Kakak dateng."
Lidya pun pergi meninggalkan Calya menuju ke sebuah ruko kecil yang menjual kebutuhan dapur.
Sedangkan Calya sedang asyik melihat ponselnya. Dia tertawa geli melihat ponselnya yang sangat kecil. Padahal, lima tahun lagi, makan banyak produk ponsel baru yang muncul dengan harga fantastis.
Namun, saat sedang asyik bermain ponsel, tiba-tiba saja ada beberapa orang yang datang dan menarik Calya secara paksa.
Calya yang panik pun langsung berteriak minta tolong. Namun, Tak ada satupun orang yang berani melawan para pria berbadan kekar itu.
"Toloooong!"
Para pria itu pun menyeret Calya untuk masuk ke dalam mobil Jeep mereka. Namun, sekuat tenaga Calya berusaha menahan tubuhnya agar tidak dibawa.
Hingga tiba-tiba, seseorang datang dan langsung memukul punggung salah satu preman itu.
Mereka pun terkejut melihat seorang pria yang membawa sebuah pentungan yang tadi dijadikan alat pemukul ke teman mereka.
"Cari mati nih orang!" Para preman itu pun langsung menyerang pria itu. Namun, mereka malah kalah karena tenaga pria itu sanga kuat meskipun hanya sendiri.
Mereka memilih kabur daripada dijadikan rujak olehnya.
Calya tersenyum melihat seseorang di depannya. Seseorang yang di masa depan pun menjadi orang yang selalu dirindukannya. Orang yang selalu mencintainya dengan sepenuh hati, namun dia meninggalkannya begitu saja karena memilih ikut dengan ibunya.
"Mas Radit."
Kini dia tidak akan pernah melewatkan kesempatan untuk bersama dengan Radit. Hubungannya dengan pria itu akan dia jaga sampai kapanpun.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!